Sontak saja Sandrina terperanjat kaget mendengar ucapan lelaki di hadapannya. Awalnya Sandrina bersikap lemah lembut dan merendah karena merasa bersalah. Namun saat melihat sikap lelaki itu yang tampak angkuh, tiba-tiba saja Sandrina merasa kesal dan emosi. Sudah benar dia bicara sopan dengan gaya elegan ingin bertanggung jawab, tapi lelaki itu malah ingin membawanya ke kantor polisi.
"Eh-eh, tunggu dulu. Jangan seperti ini. Saya akan bertanggung jawab!" teriak Sandrina yang kini sudah diseret paksa oleh dua orang pria yang sepertinya adalah bodyguard si lelaki misterius itu.
Hurraim Arkhaziyad, si lelaki bertubuh tinggi itu tidak menggubris. Dia kini masuk ke dalam mobil yang sama dengan Sandrina. Kacamata hitam itu masih menyembunyikan sorot mata kala menatap pada wanita di sampingnya.
Sandrina menatap sebal. Ini memang kesalahannya, tapi kenapa orang itu harus membawanya ke kantor polisi. Padahal dia akan bertanggung jawab. Bagaimana pun caranya, Sandrina tidak mau sampai dipenjara. Dia baru saja akan memulai karirnya, tapi seseorang kini sedang berpotensi menghambat tujuannya.
"Tuan, saya tahu mobil Anda rusak. Tapi saya akan bertanggung jawab. Jangan libatkan polisi dalam hal ini," mohon Sandrina dengan ekspresi tegang.
"Kelalaian berkendara yang menyebabkan kerusakan, masuk ke dalam pasal 229 ayat 2," ucap Hurraim dengan suara datar dan tanpa ekspresi.
Sontak saja Sandrina terperanjat kaget. Lelaki di sampingnya itu bisa dengan lugas bicara soal hukum. Saat itu juga, Sandrina menelaah pada sekujur tubuh Hurraim. Dia merasa jika lelaki itu bukan orang biasa. Bisa jadi dia adalah pengacara besar atau abdi negara. Entahlah.
"T–tapi saya akan bertanggung jawab, Tuan. Tolong jangan penjarakan saya," pinta Sandrina dengan ekspresi memohon.
Hurraim hanya diam dengan tatapan fokus ke depan. Kendaraan miliknya itu kini sudah memecah jalanan menuju kantor polisi terdekat. Hal ini benar-benar membuat Sandrina semakin kesal dan agak panik. Semua yang membencinya pasti akan tertawa bahagia melihat dia dipenjara. Sandrina kini membayangkan ekspresi jahat dan nyinyir dari Lorenza, Eleanor dan juga Clara saat melihat dia dipenjara. Ini gawat, Sandrina bahkan seperti akan kehilangan harapannya untuk membangun masa depan yang lebih indah.
Di depan polisi, Sandrina meremas jari jemarinya. Dia bukan takut karena kelalaiannya, tapi dia takut dipenjara. Hurraim yang merasa dirugikan, melaporkan apa yang terjadi pada mobilnya.
"Atas kelalaian ini, Anda terkena pasal 229 ayat 2. Sebagai sanksinya, Anda dikenakan pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak 1 juta," ungkap polisi berbadan tegap.
Kedua mata Sandrina melebar. Rahangnya terjatuh dan mulutnya menganga. Dia benar-benar terkejut mendengar penjelasan itu.
"Saya tidak mau dipenjara! Lebih baik saya ganti rugi saja!" sergah Sandrina dengan suara lantang.
"Bagaimana, Pak? Apakah Anda bersedia dengan keinginan Mbak ini?" tanya Pak Polisi itu pada Hurraim.
Hurraim yang sejak tadi melipat tangan di dadanya, kini membuang napasnya pelan lalu mengangguk singkat. "Tidak masalah."
"Jadi, kasus ini sudah selesai sampai di sini saja. Korban sudah setuju untuk digantikan kerugiannya oleh tersangka. Mbak, Anda bebas dan tidak dipidana penjara," ucap polisi itu pada Sandrina.
Sandrina membuang napasnya lega. Seketika itu juga dia menatap sedikit aneh pada lelaki di sampingnya. Kalau begini caranya, kenapa tidak dari tadi saja dia katakan untuk diganti kerugiannya. Sandrina benar-benar sebal.
Sekarang, Sandrina berjalan cepat di belakang Hurraim. Lelaki itu sejak keluar dari ruangan, tidak bicara sepatah kata pun pada Sandrina. Langkah kaki Hurraim begitu cepat dan membuat Sandrina kesulitan mengimbanginya.
"Tuan, berikan nomor rekening Anda," ucap Sandrina.
Hurraim tidak menoleh sedikitpun. Namun, sempat berbicara. "Saya tidak punya banyak waktu. Lain kali kalau berkendara, jangan lalai."
Sandrina kebingungan. Apa sebenarnya yang lelaki itu inginkan? Tadi bersikeras membawanya ke kantor polisi, tapi sekarang seolah enggan diganti kerugiannya oleh Sandrina. Bahkan, Hurraim kini sudah bergerak masuk ke dalam mobilnya tanpa bicara apa-apa lagi pada Sandrina.
"Tuan, bagaimana dengan saya?" teriak Sandrina saat mobil yang ditumpangi Hurraim berjalan meninggalkannya.
Ini benar-benar membuat Sandrina semakin kesal sekaligus bingung. Dia sudah terlampau jauh dari mobilnya yang ia tinggalkan di sana. Lelaki menyebalkan itu bahkan tidak mengantarnya kembali ke mobilnya.
"Kenapa dia aneh sekali? Padahal tidak perlu ke kantor polisi kalau ujung-ujungnya dia pilih cara damai. Sekarang, dia tiba-tiba pergi tanpa memberi tahu nomor rekeningnya. Ck, benar-benar menyebalkan!" Sandrina berdecak kesal.
Sementara itu, Hurraim kini melepas kacamata hitamnya. Pria berusia 35 tahun itu melirik arloji di pergelangan tangannya. Dia adalah seorang CEO perusahaan di bidang industri. Hari ini, Hurraim akan menghadiri acara pembukaan perusahaan baru miliknya di Jakarta. Akibat kejadian tadi, dia sedikit telat dan kini terburu-buru. Sejak tadi, sang ayah meneleponnya berkali-kali. Hal ini membuatnya semakin kesal.
"Lebih cepat lagi! Telat sedikit saja aku bisa dimaki habis-habisan oleh ayah dan kakek," perintah Hurraim pada sopirnya.
Sopir mengangguk singkat dan dia menaikkan kecepatan mobil yang dikendarainya. Dalam situasi ini, Hurraim sangat tidak tenang dan merasa gelisah. Kemarahan ayahnya sudah dapat dia rasakan dari sekarang jika benar-benar terlambat datang.
"Jangan biarkan wanita itu lolos. Ini semua gara-gara dia," ucap Hurraim pada asisten pribadinya yang duduk di depan samping kemudi. Tiba-tiba saja dia teringat pada Sandrina yang telah menabrak mobilnya.
Waktu terus berjalan. Hurraim kini membuang napasnya kasar. Dia adalah putra tunggal keluarga kaya raya. Lelaki berdarah Turkiye–Indonesia itu baru saja tiba dari Dubai. Awalnya, Hurraim memimpin perusahaan yang ada di Dubai. Namun, tahun ini dia disuruh oleh sang kakek untuk mengurus perusahaan barunya di Jakarta.
Hurraim adalah lelaki tampan yang selalu menjaga jarak dari wanita. Tampangnya yang galak dan sikapnya yang dingin, membuat semua orang ketakutan dan segan setiap berhadapan dengannya. Sampai saat ini, Hurraim belum memiliki kekasih. Meskipun kakek dan kedua orang tuanya sudah sering menyinggung soal pernikahan, tapi Hurraim masih betah melajang.
Sementara itu, Sandrina kini terpaksa memesan ojek online untuk mengantarkannya ke tempat mobilnya berada. Rencana belanja keperluan rumah makan barunya, terpaksa harus dia batalkan. Berbagai macam kejadian hari ini seakan tidak mengizinkan Sandrina untuk membuka jalan menuju kesuksesan.
"Ya ampun, penyok begini mobilku," keluh Sandrina sembari menatap kesal pada bagian depan mobilnya.
Sandrina tidak berniat untuk pergi ke bengkel. Dia memilih pulang karena pikiran dan badannya lumayan lelah. Saat tiba di rumah, Sandrina menatap kaget dan saat itu juga kekesalannya semakin bertambah. Michael, lelaki itu ternyata sudah menunggunya di teras rumah. Keadaan rumah sangat sepi, karena kedua orang tua Sandrina sedang pergi.
Begitu melihat Sandrina keluar dari mobil, Michael bangkit dari duduknya. Dia kini terlihat tidak sabar ingin bertemu dengan mantan istrinya. Ada rasa kesal dan dendam atas keputusan Sandrina yang bercerai dengannya. Michael masih terus memikirkan Sandrina dan menyesal karena telah mengkhianatinya.
"Sandrina, aku ingin bicara," ucap Michael dengan suara tegas.
Sandrina tidak mau menatap wajah Michael yang menjijikan baginya. Dia sangat membenci mantan suaminya itu. "Tidak ada yang harus dibicarakan. Semuanya sudah jelas, kita sudah berpisah."
"Sandrina, tolong beri aku kesempatan sekali lagi," pinta Michael berusaha meluluhkan hati Sandrina.
Kedua mata Sandrina melotot tajam. "Tidak tahu malu! Kamu sudah menodai pernikahan yang suci. Dan sekarang meminta aku untuk memberi kesempatan? Itu tidak akan terjadi. Lagipula, aku sudah bukan istrimu lagi. Sebaiknya jalani hidup masing-masing." Setelah bicara demikian, Sandrina melengos pergi. Buru-buru dia membuka pintu lalu masuk tanpa menoleh ke arah Michael yang tengah berjalan mengikutinya.
Michael mengepalkan kedua tangannya. Semakin Sandrina menjauhinya, dia semakin merasa terhina. Michael seolah tidak sadar atas perlakuan kejinya pada Sandrina. Dia hanya mengira jika Sandrina jijik dan ilfil atas kemandulan yang dia alami.
"Aku merindukanmu, Sandrina," ucap Michael sembari menarik tangan Sandrina lalu membawa ke dalam pelukannya.
Bersambung..."Tidaaaak! Lepaskan!" pekik Sandrina dengan suara yang lantang dan panik.Jika dulu dia sangat bahagia dipeluk dan dimanja oleh Michael, tapi sekarang justru sebaliknya. Sandrina sangat takut dan membenci pelukan Michael. Mereka sudah resmi bercerai, tidak ada ikatan dan kewajiban lagi di antara keduanya. Sandrina tahu perkara haram dan dosa. "Kamu juga masih cinta 'kan sama aku, Sandrina? Jangan munafik," ucap Michael sembari menatap lekat wajah Sandrina yang tegang dan panik.Sandrina merengkuh tubuhnya sendiri. Dia sangat jijik dengan tindakan Michael padanya. Sekarang, tidak ada lagi tatapan manis dari Sandrina untuk Michael. Teringat kelakuan bejat lelaki itu, Sandrina merasa mual dan muak. "Jangan mimpi!" bentak Sandrina, "Saat kamu mengkhianati aku, maka saat itulah cintaku lenyap untukmu," lanjutnya dengan rahang mengeras dan tatapan penuh kebencian.Michael merasa terhina dan disepelekan. Padahal dia sangat tahu bagaimana Sandrina begitu mencintainya sebelum perselingkuhan
Michael membanting pintu kamarnya dengan kasar. Penolakan dan sikap Sandrina yang cuek, berhasil membuat emosinya meluap-luap. Michael sampai saat ini masih mempertahankan tuduhannya terhadap Sandrina. Ya, dia mengira jika Sandrina bersikap seperti itu dan memilih bercerai dengannya karena dia mengalami kemandulan."Siaaaaal! Kenapa semua ini terjadi padaku? Kenapa aku harus manduuul!!?" teriak Michael sembari mengacak rambutnya frustrasi.Tidak mudah bagi Michael menerima kenyataan yang terjadi padanya. Dari dulu dia merasa sehat dan baik-baik saja. Bahkan, keluarganya pun mengira bahwa Sandrina yang mandul. Namun ternyata, takdir berkata lain. Bagaikan tersambar petir di siang bolong, Michael benar-benar terkejut dan sulit menerima kenyataan pahit ini. Tok tok tok!Terdengar seseorang mengetuk pintu. Michael menolehkan wajahnya dan menatap tajam pada daun pintu. Sejurus kemudian, dia pun melangkahkan kakinya lalu membuka handle pintu."Apa yang kamu lakukan, Michael? Jangan pernah
Hurraim menoleh pada asal datangnya suara. Sontak saja matanya memicing dan seperti sedang mengingat-ingat. Tentu saja dia seperti pernah bertemu dengan wanita di hadapannya itu. Sementara Sandrina, wanita cantik itu tiba-tiba melotot kaget saat melihat sosok pria di hadapannya. Ya! Sandrina tidak pernah lupa bahwa Hurraim adalah sosok lelaki yang pernah membawanya ke kantor polisi."Hah? Lelaki ini ... dia 'kan yang bawa aku ke kantor polisi," gumam Sandrina dalam hati.Hurraim menatap dingin dan kini menunjukkan wajah sangarnya. Setelah melihat penampilan dan name tag wanita di hadapannya, Hurraim mulai mengerti jika wanita itu adalah pemilik rumah makan itu. Soal kejadian tempo hari, entah dia masih ingat atau tidak."Kamu pemilik rumah makan ini?" tanya Hurraim dengan suara dingin tapi tegas. Tatapannya tajam dan rahang yang kokoh itu tampak mengeras. Sandrina menarik napasnya dalam lalu membuangnya perlahan. Melihat sikap lelaki di hadapannya yang biasa saja, Sandrina tampak mer
Michael melangkahkan kakinya keluar dari mobil. Dia berjalan bergandengan dengan Clara. Begitu sampai, Michael duduk di meja bagian pojok. Rumah makan milik Sandrina ini begitu strategis dan bertema klasik. Michael sangat kagum dan merasa nyaman ketika pertama kali masuk ke rumah makan itu. Setelah karyawati datang menunjukkan buku menu, Michael dan Clara pun memesan berbagai menu di sana. Harga yang cukup murah bagi mereka, sontak membuat keduanya sangat penasaran dengan rasanya. Mereka mengira bahwa rasanya biasa saja dan sesuai harga. "Murah-murah begini harganya. Kayaknya rasanya juga bias aja," ucap Clara."Coba saja kita tunggu. Aku juga penasaran sih sama rasanya," balas Michael. Mereka tidak tahu kalau pemilik rumah makan itu adalah Sandrina. Meskipun Sandrina bukan seorang chef, tapi dia sangat telaten dan pandai memasak. Saat dia masih menjadi istri Michael, Sandrina selalu belajar pada juru masak di rumah suaminya itu. Selain karena hoby, dia juga merasa tertantang dan i
Semua mata tertuju pada ketiga orang yang sedang mengalami pertikaian. Sandrina mengepalkan tangan dan menatap tajam pada Clara. Beberapa sorot mata menatap iba pada Sandrina, tapi mereka hanya diam dan menonton aksi Clara. Michael sebagai penengah, cukup merasa kesulitan menghentikan Clara yang terus menyerang Sandrina. Awalnya Sandrina hanya diam saja saat Clara menyiram jus alpukat pada wajahnya. Akan tetapi saat Clara hendak melakukannya lagi, dengan cepat Sandrina menepis tangan Clara dan alhasil baju Michael pun ikut ternodai. Sontak saja Michael melebarkan kedua matanya dan menatap kaget sekaligus kesal. Namun, tentu saja dia tidak bisa marah pada Sandrina karena ini semua ulah kekasihnya sendiri yaitu Clara."Cukup! Lebih baik kalian pergi dari sini sebelum aku seret ke kantor polisi!" bentak Sandrina dengan tatapan tajam dan penuh api kemarahan."Wow, sok berkuasa sekali. Hei, kalian! Wanita ini adalah mantan istri kekasihku ini. Dia bercerai karena tahu bahwa—" Clara belum
Seperti dugaan Sandrina kemarin, rumah makannya hari ini benar-benar ramai oleh pengunjung. Ada yang sudah sering datang ke sana, ada yang baru beberapa kali, dan ada juga yang baru menginjakkan kaki ke tempat itu. Sebagian mungkin karena penasaran dengan rasa dan kualitas rumah makan baru milik Sandrina itu. Namun, sepertinya yang lebih utama adalah orang-orang yang kepo pada Sandrina akibat kejadian viral kemarin. Sandrina saat ini sedang menghadapi beberapa konten kreator dan blogger. Banyak di antara mereka membuat konten di sana. Sandrina tidak marah atau melarang, dia justru merasa senang karena hal itu akan sangat menguntungkan baginya. Setelah ini, rumah makannya mungkin akan semakin dikenal banyak orang. "Saya tidak ada hubungan apapun dengan mereka. Terlebih saat saya memilih untuk mengikhlaskan mantan suami saya direbut oleh wanita itu," ucap Sandrina di depan kamera. "Oh, jadi dia mantan suami Mbak? Dengar-dengar, dia pemilik perusahaan sepatu terbesar di kota ini?" tan
Malam ini kedua orang tua Hurraim sudah berada di sebuah restoran mewah bersama Naima dan Kakeknya. Naima adalah gadis yatim piatu yang tinggal bersama Kakek dan neneknya. Namun, neneknya pun sudah lama meninggal dunia. Sekarang, Naima hanya hidup bersama sang Kakek yang sudah seperti pahlawan baginya. Kakek Naima sendiri bersahabat baik dengan kakek Hurraim. Sejak dulu, mereka saling bekerja sama untuk mengembangkan bisnis masing-masing. Kakek Hurraim ingin menikahkan cucunya dengan cucu sahabatnya, agar persahabatan mereka selalu terikat hingga generasi ke generasi yang akan datang. "Di mana Hurraim? Apakah dia tidak bersedia datang?" tanya Kakek Naima yang tampak heran.Sudah lima belas menit mereka menunggu kedatangan Hurraim, tapi Hurraim belum juga sampai. Naima sedikit canggung sekaligus tidak percaya diri. Dari awal, dia merasa jika Hurraim tidak akan mau dijodohkan dengannya. Namun, Naima sudah terlanjur menyukai Hurraim dan berharap mereka akan benar-benar menikah."Dia pa
Sandrina menolehkan wajahnya ke arah datangnya suara. Saat air matanya mengalir dengan deras membasahi pipi, suara misterius itu seolah seperti menarik kembali air mata itu. Perlahan dia mengamati siluet hitam tinggi yang tak jauh darinya. Semerbak parfum maskulin menusuk masuk ke dalam indera penciumannya. Sandrina merasa heran sekaligus penasaran. Dia juga sedikit malu karena tadi sempat mengoceh dan menangis sendiri. Apakah lelaki itu mendengar semua ocehannya? Begitu pikir Sandrina."Kamu!" ucap Sandrina saat dia melihat wajah tampan Hurraim. Hurraim menatap datar dan sedikit menyipitkan mata. Sudah dia duga tadi bahwa seperti pernah mendengar suara wanita itu. Benar saja, sekarang Hurraim sudah tahu siapa sosok wanita yang menangis di sana."Lanjutkan. Aku tidak bermaksud mengganggu," ucap Hurraim yang kemudian menyadarkan tubuhnya pada pohon besar di sana. Sandrina mendelikan matanya dan menatap jengah. Bagaimana dia mau melanjutkan, sedangkan di sana sudah ada sosok lelaki ya
"San, mau pulang bareng aku nggak?" tanya Juna saat Sandrina baru keluar dari ruangan Hurraim. Sandrina tersenyum simpul lantas menggeleng pelan. "Aku sudah dewasa, bisa pulang sendiri. Jangan khawatir, ok!" Ia bicara dengan santai. Juna menyeringai sembari menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak terasa gatal. "Aku cuma mau antarkan kamu pulang. Sesama rekan kerja, kita harus saling tolong menolong. Bukan begitu, sekretaris CEO?""Terima kasih atas niat baiknya, Juna. Tapi kumohon jangan sekarang, ya," ucap Sandrina meminta pengertian dari lawan bicaranya. Juna mengusap wajahnya kasar. Dia sungguh merasa kesulitan mendekati Sandrina. Saat pertama kali bertemu, Juna langsung tertarik pada Sandrina yang begitu positif vibes. Sekarang, mereka berjalan berdampingan menuju lantai bawah. Jam pulang kantor telah tiba. Sandrina berniat mampir ke San Kitchen sebelum benar-benar pulang ke rumahnya. Saat tiba di pintu utama perusahaan, Sandrina berpapasan dengan Hurraim. Lelaki tampan i
Sandrina menelan salivanya kasar. Ucapan Hurraim sukses membuatnya salah tingkah. Apa maksudnya? Tentu saja Sandrina dibuat bingung oleh CEO tampan di hadapannya ini. Dari awal bertemu, sikap Hurraim memang sangat membingungkan dan random. Namun, kali ini Sandrina bukan hanya sekedar bingung, tapi juga salah tingkah dan mendadak canggung. Masih penasaran dengan luka di bibir Hurraim, Sandrina mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin bertindak gegabah. Bisa saja Hurraim hanya sedang bercanda dan sengaja mengetes dirinya. "Apakah benar Michael yang melakukannya? Kenapa bisa terjadi?" tanya Sandrina sembari memalingkan wajahnya dan merapikan kotak obat kembali. Hurraim menarik tangan Sandrina sehingga membuat wanita cantik itu refleks menoleh. "Apakah kamu tidak mendengar ucapanku tadi?" Ia menatap dengan tajam dan penuh ancaman. Sandrina menatap ngeri sekaligus kikuk. "I–iya, saya dengar, Pak. Tapi ... mengapa demikian?""Jangan banyak tanya! Pokoknya aku nggak mau melihatmu
Jam makan siang telah tiba. Sandrina meregangkan otot-ototnya setelah berjam-jam duduk menghadap monitor. Pekerjaan ini sangat Sandrina nikmati. Selain mendapatkan pekerjaan baru, dia juga mendapatkan teman-teman baru di sana. "Hallo, Sandrina," sapa seorang lelaki yang tak lain adalah staf personalia di sana. Sandrina menyunggingkan senyuman ramah. "Hai, Juna.""Mau makan siang bersama ke kantin?" tanya lelaki bernama Juna itu. Sandrina terdiam sejenak seolah sedang berpikir keras. Beberapa detik kemudian, dia pun mengangguk mengiyakan. "Boleh. Kebetulan aku juga mau makan.""Ya sudah, ayo. Asyik banget nih punya rekan kerja seperti kamu, Sandrina," ucap Juna sembari berjalan berdampingan dengan Sandrina. "Baru juga kenal, Juna. Bay the way, kamu tinggal di mana, Jun?" tanya Sandrina. "Aku tinggal di Cengkareng, Sandrina. Tapi aku masih single, jadi aku ngekost sendiri," jawab Juna.Perbincangan pun terasa asyik di antara keduanya. Sandrina memang terbilang cepat akrab dan selal
Sandrina baru saja tiba di rumahnya. Wanita cantik itu bergegas mengganti pakaian dan membersihkan dirinya. Setelah itu, Sandrina menghempaskan bobot tubuhnya pada ranjang. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 10 malam. Sandrina belum merasa ngantuk, maka dia memilih untuk membuka gadget nya dan berselancar di sosial media. "Aku harus kasih tahu ibu soal kerja sama dengan perusahaan Hurraim. Ibu pasti senang dan bangga," ucap Sandrina dalam hati. Sebelum benar-benar tidur, Sandrina menyempatkan diri menghubungi team nya di grup. Tentu saja dia memberitahu soal kerja sama dengan perusahaan Hurraim. Besok, team nya harus memasak lebih banyak untuk dibawa ke perusahaan Hurraim dan untuk di San Kitchen. Para team bersorak gembira. Mereka semua tampak kompak dan memberikan ucapan selamat pada bos mereka.Pagi harinya..."Ada kabar baik yang mau San kasih tahu ke Ibu," ucap Sandrina sembari memeluk sang Ibu dari belakang. Marlinda tersenyum lalu menoleh sesaat. Namun tangannya masih fo
Sandrina mendelikan matanya dan menatap kesal pada Hurraim. Memang benar, sejak tadi dia bersikap formal karena mengingat bahwa dia baru saja melamar kerja ke perusahaan Hurraim. Tentu saja dia tidak mau dicap jelek oleh sang CEO. Siapa tahu dengan sikap dan attitude nya yang baik, membuat Hurraim bersedia menerimanya. Begitu pikir Sandrina. "Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ... CEO di perusahaan itu?" omel Sandrina sembari menatap sebal. "Ya kenapa aku harus bilang begitu? Selama ini, kamu tidak pernah bertanya apapun tentangku. Nanti kalau tiba-tiba aku jelasin siapa diriku ini, kamu akan menganggap ku sombong atau pamer," celoteh Hurraim panjang lebar. Sandrina membuang napasnya kasar. Benar juga, dia memang tidak pernah bertanya tentang kehidupan Hurraim. Seandainya dia tahu bahwa Hurraim adalah CEO di perusahaan yang dia datangi, Sandrina pasti tidak akan melamar kerja ke sana. "Aku benar-benar terkesan pada sikap dan jawaban kamu pagi tadi," ucap Hurraim sembari duduk di
1 bulan kemudian...Sandrina termenung di meja kasir. Dari hari ke hari, omset penjualan San Kitchen semakin menurun. Hal ini membuat Sandrina merasa resah dan takut. Tentu saja dia takut San Kitchen akan bangkrut dan tidak bisa beroperasi lagi. Mengingat pelanggan yang kian mengurang, membuat Sandrina merasa sedih dan seperti akan kehilangan San Kitchen. Ini semua karena ulah Clara dan Lorenza. Mereka telah berhasil membuat Sandrina nyaris kehilangan harapan untuk mengembangkan San Kitchen. Meskipun klarifikasi tentang fitnah itu sudah beredar, tapi tetap saja tidak membuat para pelanggan ingin kembali menikmati makanan San Kitchen. Memang tidak sedikit yang datang, tapi perbedaan antara saat ini dan pertama buka jauh terlihat. Ibaratnya, seribu banding lima ratus. "Bu, bulan ini omset kita tidak mencapai target," ucap Zakiah memberikan laporan. Raut wajahnya begitu kusut dan sedih. Sandrina memejamkan mata sejenak lalu membuang napasnya berat. Dia pun mengangguk lantas menyambar
Sandrina benar-benar duduk menemani Hurraim makan di San Kitchen. Lelaki tampan di hadapannya ini memesan berbagai menu kesukaannya. Sandrina cukup tertegun dan sedikit tidak menyangka bahwa Hurraim secinta itu pada masakan San Kitchen. Padahal, waktu itu Hurraim bersikap angkuh dan bersumpah tidak akan menginjakkan kaki di San Kitchen lagi. Kendati demikian, Sandrina tidak akan menghitamkan hal itu lagi. Toh, kedatangan Hurraim ke San Kitchen juga sebagai bentuk rezeki bagi Sandrina. "Kenapa kamu melamun seperti itu? Apa yang sedang kamu resahkan?" tanya Hurraim sembari menatap penasaran.Sandrina membuang napasnya berat. "Emh ... entah kenapa aku sangat takut.""Takut apa?" tanya Hurraim lagi. "Takut usahaku akan bangkrut. Kamu lihat 'kan, nggak banyak yang datang. Tuh, cuma ada lima orang. Biasanya sampai penuh," keluh Sandrina dengan ekspresi resahnya. Hurraim tersenyum singkat mendengar ucapan Sandrina. Keresahan yang Sandrina rasakan, adalah hal yang wajar bagi seorang pengus
Tiga hari sudah Sandrina menutup rumah makannya. Setelah video klarifikasi itu muncul ke publik dan mulai fyp, akhirnya Sandrina pun berniat untuk membuka kembali rumah makannya itu. Tepat di hari ini, Sandrina kembali bekerja sama dengan team nya untuk mengembangkan rumah makannya itu. Dukungan dan doa dari orang tua, membuat Sandrina kembali semangat dan berharap kejadian buruk tidak akan terulang lagi. Perempuan berusia tiga puluh tahun itu berdiri di depan San Kitchen. Kedua mata berkeliling mengamati seluruh tempat itu. Setelah 1 jam buka, tidak ada satu pun orang yang datang ke sana. Hal itu membuat Sandrina merasa sedih dan berkecil hati. Ia semakin khawatir akan perkembangan San Kitchen. Siapa yang tidak takut usahanya bangkrut? Semua orang yang punya usaha, pasti sangat ketakutan akan hal itu. Begitu pun dengan Sandrina. Dia takut San Kitchen akan bangkrut dan dia tidak bisa lagi membuka lapangan kerja untuk para team nya. "Kenapa belum ada yang datang? Ya Allah, apakah ini
"Kamu egois, Michael! Aku juga berhak bahagia! Aku jadi istri kamu, bukan ingin seperti ini. Aku ingin bebas! Aku ingin menjadi diriku sendiri," ujar Clara yang tampak menaikan suaranya. "Kalau kamu ingin bebas, kenapa kamu harus menikah denganku? Aku seorang suami yang nggak mau istri aku banyak pergaulan. Lebih baik jadi istri rumahan daripada banyak bergaul di luar. Itu nggak ada manfaatnya!" tegas Michael semakin ngotot. Clara membuang napasnya kasar. Mendengar prinsip Michael dalam mengekang istri, membuat Clara sadar bahwa suaminya itu bukanlah type nya. Awalnya dia mengira jika hidupnya akan bahagia dan satu frekuensi dengan suaminya, tapi ternyata dia lebih sering berdebat dan berbeda pendapat. "Kamu benar-benar tidak tahu diri, Michael. Masih untung aku mau menikah dengan kamu. Kalau aku nggak mau, siapa yang mau menikahi lelaki mandul seperti kamu!?" umpat Clara dengan tatapan tajam dan nyalang. Sontak saja Michael terperanjat kaget mendengar ucapan Clara. Dadanya semaki