"Apa yang kamu inginkan?" teriak Sandrina saat dia diseret keluar oleh pria misterius itu. Pria itu hanya diam saja, tapi tangannya meraih tangan Sandrina dan menariknya dengan kasar. Sontak saja Sandrina memekik kesakitan sekaligus tegang. Dia tidak tahu apa yang lelaki itu inginkan, tapi hatinya yakin bahwa lelaki itu akan melukainya. "Lepaskan! Aku harus pergi sekarang. Katakan, apa yang kamu inginkan?" teriak Sandrina lagi. Kakinya berusaha keras menahan tubuh agar tidak terbawa oleh lelaki itu. "Masuk!" perintah lelaki itu dengan suara dingin dan tatapan tajam."Tidak! Ambil mobilku jika kamu mau. Tapi jangan bawa aku," ucap Sandrina yang masih memiliki keberanian tinggi saat ini. Lelaki itu tidak menjawab. Namun, sekarang dia berjalan ke arah mobil Sandrina lalu menusuk ban mobil menggunakan benda tajam. Sontak saja hal itu membuat Sandrina terbelalak kaget. Tentu saja dia tidak mengerti kenapa lelaki itu tiba-tiba merusak mobilnya. "Kurang ajar! Kamu apakan mobilku?" benta
"Clara, hentikan!" teriak Michael dengan sorot mata yang berkilat marah. Sontak saja Clara menurunkan tangannya dan menatap sengit pada Michael. Dia sungguh tidak menyangka jika Michael akan datang ke sana. Padahal, Clara tidak memberitahu keberadaannya pada Michael. Kalau seperti ini, gagal sudah rencana Clara untuk melukai Sandrina. Michael berjalan cepat dengan ekspresi kaget sekaligus cemas. Dia begitu panik saat mengetahui Clara menyekap Sandrina. Tentu saja Michael takut Clara akan melukai mantan istrinya itu. Meskipun dia berusaha untuk membenci dan melupakan Sandrina, tapi sampai saat ini Michael tidak bisa melakukannya. "Michael! Syukurlah kamu datang. Jalang ini mau melukaiku," adu Sandrina dengan ekspresi tegang. Saat Michael datang dan menghentikan aksi Clara, Sandrina bisa bernapas dengan lega. "Sayang, kenapa kamu ke sini?" tanya Clara dengan ekspresi herannya. Alih-alih menjawab pertanyaan Clara, Michael justru mendekati Sandrina lalu berusaha melepas ikatannya. "S
Sandrina mengacak rambutnya frustrasi. Tangisnya meledak memenuhi ruangan tempat tidurnya. Raut wajah tertekan dan penuh amarah kini terpancar di pantulan cermin itu. Sandrina tidak menyangka jika Clara akan merusak rambut yang selama ini ia rawat. Rambut panjang itu, adalah salah satu yang membuat Michael jatuh cinta padanya. Selama ini, Sandrina selalu merawat dengan baik rambut indahnya itu. Selain karena ia suka dengan gaya rambut panjang lurusnya, Sandrina juga merasa terlihat cantik dengan rambutnya itu. "Dia sengaja merusak rambutku agar aku terlihat buruk seperti ini!" pekik Sandrina dengan amarah yang meledak-ledak. Sudah satu jam lebih Sandrina menangis di kamarnya. Hari ini dia bahkan tidak pergi ke rumah makan miliknya. Padahal sejak tadi ponselnya terus berdering. Karyawati yang kerja di sana sepertinya sedang membutuhkan Sandrina. Namun, apa yang menimpanya hari ini jelas membuat Sandrina tidak mood dan merasa hancur. Dia juga sangat malu untuk keluar rumah dengan kead
Setelah tiga hari Sandrina kehilangan mood dan semangatnya ke rumah makan, akhirnya hari ini dia kembali bangkit. Sandrina berjalan cepat tapi tetap anggun. Janda cantik itu tersenyum kepada para karyawan dan karyawati yang sudah beberapa hari ini tidak bertemu dengannya. "Wah, Ibu rambutnya gaya baru, nih," goda seorang karyawati saat melihat rambut Sandrina yang berbeda dari biasanya. Sandrina tersenyum simpul. Ia pun mengangguk lalu mengibaskan rambut barunya itu. "Tidak cocok, ya?" Ia bertanya sedikit resah. "Cocok kok, Bu. Malah cantik banget," jawab karyawati jujur. Ya! Sandrina kini telah memakai rambut palsu di kepalanya. Awalnya Sandrina menolak saat sang ibu menyuruhnya memakai rambut palsu itu, karena dia merasa kurang percaya diri dan seperti tidak biasa dengan gaya rambut baru selain lurus. Kali ini, Sandrina berubah penampilan. Tanpa disangka, dia ternyata sangat cocok dan begitu cantik dengan rambut curly panjang berwana kecokelatan. "Terima kasih. Yuk kita mulai a
Clara berjalan cepat dengan ekspresi kesal sekaligus marah. Sandal high hills yang ia pakai tampak memantulkan suara yang begitu nyaring. Gaun pengantin yang harusnya membuat dia terlihat anggun, kini justru tidak membantunya sama sekali. Clara terlihat kusut dengan ekspresi kesalnya. Ya, dia kesal karena Sandrina telah mengacaukan suasana hatinya. Apa yang Sandrina katakan, sukses membuat Clara merasa geram pada Michael. Tentu saja dia sangat kesal karena Michael memperlakukan berbeda dengan Sandrina dulu. "Buang saja bingkisan ini! Ini sama sekali tidak berarti apa-apa," gerutu Clara sembari menyambar bingkisan yang Sandrina berikan pada Michael.Melihat itu, Michael langsung panik. Dengan cepat dia berlari menghampiri Clara. Tidak akan Michael biarkan siapa pun membuang hadiah dari Sandrina. "Berikan padaku! Jangan macam-macam dengan hadiah itu!" ucap Michael dengan tatapan tajam dan ekspresi dingin. Clara melotot begitu lebar sehingga kedua bola mata itu seperti hendak keluar d
[Dear Michael, selamat menempuh kehidupan yang baru. Pengalaman menikah, sudah pernah kamu rasakan. Tapi, pengalaman hidup dengan wanita baru, hari ini kamu akan memulainya. Aku turut bahagia atas kebahagiaan kamu. Seperti yang kamu tahu, aku adalah wanita yang pernah berjuang mati-matian mencintaimu. Michael, semoga kamu betah menjadi suami Clara. Aku harap, tidak akan ada kesalahan yang sama dalam hidupmu. Semoga ini adalah pernikahan terakhir kamu dengan wanita pilihan hatimu. Kalau kamu mengira aku akan menangis menjerit meratapi nasib yang aku alami, kamu salah. Aku justru merasa bersyukur sekarang. Terima kasih karena sudah membuatku merasa bebas, membuatku merasa kembali menemukan kehidupanku yang sesungguhnya. Oh iya, aku cuma mau membahas tentang janji yang sering kamu ucapkan kepadaku. Tapi sayang, itu hanya sebuah janji yang tidak sempat kamu tepati. Dengar, aku tidak akan meminta kamu untuk menepati janjimu lagi. Karena sekarang kita tidak ada ikatan apa-apa. Tapi ingat,
Sandrina melebarkan mata menatap kaget. Dia tidak tahu kalau danau ini menjadi tempat Hurraim untuk menyendiri. Sudah ke sekian kalinya Sandrina bertemu dengan lelaki yang sama. Sepertinya kali ini dia tidak boleh pergi tanpa tahu nama lelaki yang duduk di atas batu itu. "Kalau benar begitu, coba aku mau dengar, apa yang aku katakan tempo hari!" desak Sandrina sembari menatap tegas.Hurraim melirik dengan ekor matanya. "Kurang lebihnya seperti ini. Kamu menangis, lalu meminta pada Tuhan untuk tidak membiarkan kamu jatuh cinta pada pria mana pun jika tidak ada yang benar-benar tulus mencintaimu."Sontak saja mulut Sandrina menganga disertai tatapan mata melebar karena kaget. Dia tidak menyangka jika ternyata Hurraim benar-benar masih ingat apa yang Sandrina katakan. "Eh, apakah kamu sengaja mengingat ucapanku itu? Tunggu dulu, sebenarnya kamu ini siapa? Aku rasa ini bukan sebuah kebetulan. Apa jangan-jangan kamu memang sengaja terus mengikuti aku?" Hurraim mengerutkan kening sembari
Michael memejamkan mata sembari menggigit bibir bawahnya. Sikapnya sudah terlalu ceroboh kali ini. Lelaki berusia 30 tahun itu kini bangkit dari duduknya lalu berjalan ke arah Clara. Sudah dapat dipastikan bahwa istri barunya itu sangat kesal bahkan mungkin marah besar padanya. "Sayang, itu tidak seperti yang kamu pikirkan," ucap Michael seraya melingkarkan tangannya di pinggang ramping Clara. Clara menepis dengan kasar tangan kekar Michael. Hatinya begitu panas karena sang suami telah berani menyebut nama Sandrina di saat mereka bercinta. Siapa pun wanitanya, pasti akan marah dan sakit hati jika suaminya seperti itu. "Aku nggak tahu lagi gimana caranya biar kamu lupa sama wanita itu. Apa jangan-jangan sejak tadi kamu membayangkan bercinta dengan Sandrina, hah?" sentak Clara sembari memutar tubuhnya menghadap Michael. "Nggak, Clara. Itu terjadi begitu saja. Aku juga nggak tahu kenapa tiba-tiba aku bisa sebutin nama dia," jawab Michael beralasan. Muak rasanya dengan sikap Michael
"Terima kasih ya, Pak," ucap Sandrina pada sopir grab car. Ya, malam ini Sandrina memilih menggunakan grab car. Hal itu dia lakukan karena malas menyetir. Lagipula, jarak dari rumahnya ke danau tidak terlalu jauh. Penjaga danau tersenyum melihat Sandrina. Setelah tahu bahwa hanya Sandrina yang diperbolehkan masuk ke danau itu, penjaga itu mulai mengerti jika Sandrina adalah wanita spesial bagi Hurraim. Saat ini Hurraim sudah menunggu di tepi danau. Lelaki tampan itu menatap danau yang bergelombang terhempas angin malam. Kegelapan membawanya masuk ke dalam sebuah hayalan. Ya, dia menghayal bisa menikah dengan wanita yang tepat. Wanita yang bisa menerima segala kekurangannya. "Selamat malam, Pak Hurraim," sapa Sandrina dengan suara anggun. Hurraim tidak menyahuti. Tentu saja karena dia tidak fokus. Hal itu membuat Sandrina mengerutkan dahi. Wanita cantik itu pun mencoba melangkah lebih dekat. Lalu, berdiri di hadapan Hurraim yang termangu tanpa kata. "Hei, serius amat ngelamunnya!"
"San, mau pulang bareng aku nggak?" tanya Juna saat Sandrina baru keluar dari ruangan Hurraim. Sandrina tersenyum simpul lantas menggeleng pelan. "Aku sudah dewasa, bisa pulang sendiri. Jangan khawatir, ok!" Ia bicara dengan santai. Juna menyeringai sembari menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak terasa gatal. "Aku cuma mau antarkan kamu pulang. Sesama rekan kerja, kita harus saling tolong menolong. Bukan begitu, sekretaris CEO?""Terima kasih atas niat baiknya, Juna. Tapi kumohon jangan sekarang, ya," ucap Sandrina meminta pengertian dari lawan bicaranya. Juna mengusap wajahnya kasar. Dia sungguh merasa kesulitan mendekati Sandrina. Saat pertama kali bertemu, Juna langsung tertarik pada Sandrina yang begitu positif vibes. Sekarang, mereka berjalan berdampingan menuju lantai bawah. Jam pulang kantor telah tiba. Sandrina berniat mampir ke San Kitchen sebelum benar-benar pulang ke rumahnya. Saat tiba di pintu utama perusahaan, Sandrina berpapasan dengan Hurraim. Lelaki tampan i
Sandrina menelan salivanya kasar. Ucapan Hurraim sukses membuatnya salah tingkah. Apa maksudnya? Tentu saja Sandrina dibuat bingung oleh CEO tampan di hadapannya ini. Dari awal bertemu, sikap Hurraim memang sangat membingungkan dan random. Namun, kali ini Sandrina bukan hanya sekedar bingung, tapi juga salah tingkah dan mendadak canggung. Masih penasaran dengan luka di bibir Hurraim, Sandrina mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin bertindak gegabah. Bisa saja Hurraim hanya sedang bercanda dan sengaja mengetes dirinya. "Apakah benar Michael yang melakukannya? Kenapa bisa terjadi?" tanya Sandrina sembari memalingkan wajahnya dan merapikan kotak obat kembali. Hurraim menarik tangan Sandrina sehingga membuat wanita cantik itu refleks menoleh. "Apakah kamu tidak mendengar ucapanku tadi?" Ia menatap dengan tajam dan penuh ancaman. Sandrina menatap ngeri sekaligus kikuk. "I–iya, saya dengar, Pak. Tapi ... mengapa demikian?""Jangan banyak tanya! Pokoknya aku nggak mau melihatmu
Jam makan siang telah tiba. Sandrina meregangkan otot-ototnya setelah berjam-jam duduk menghadap monitor. Pekerjaan ini sangat Sandrina nikmati. Selain mendapatkan pekerjaan baru, dia juga mendapatkan teman-teman baru di sana. "Hallo, Sandrina," sapa seorang lelaki yang tak lain adalah staf personalia di sana. Sandrina menyunggingkan senyuman ramah. "Hai, Juna.""Mau makan siang bersama ke kantin?" tanya lelaki bernama Juna itu. Sandrina terdiam sejenak seolah sedang berpikir keras. Beberapa detik kemudian, dia pun mengangguk mengiyakan. "Boleh. Kebetulan aku juga mau makan.""Ya sudah, ayo. Asyik banget nih punya rekan kerja seperti kamu, Sandrina," ucap Juna sembari berjalan berdampingan dengan Sandrina. "Baru juga kenal, Juna. Bay the way, kamu tinggal di mana, Jun?" tanya Sandrina. "Aku tinggal di Cengkareng, Sandrina. Tapi aku masih single, jadi aku ngekost sendiri," jawab Juna.Perbincangan pun terasa asyik di antara keduanya. Sandrina memang terbilang cepat akrab dan selal
Sandrina baru saja tiba di rumahnya. Wanita cantik itu bergegas mengganti pakaian dan membersihkan dirinya. Setelah itu, Sandrina menghempaskan bobot tubuhnya pada ranjang. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 10 malam. Sandrina belum merasa ngantuk, maka dia memilih untuk membuka gadget nya dan berselancar di sosial media. "Aku harus kasih tahu ibu soal kerja sama dengan perusahaan Hurraim. Ibu pasti senang dan bangga," ucap Sandrina dalam hati. Sebelum benar-benar tidur, Sandrina menyempatkan diri menghubungi team nya di grup. Tentu saja dia memberitahu soal kerja sama dengan perusahaan Hurraim. Besok, team nya harus memasak lebih banyak untuk dibawa ke perusahaan Hurraim dan untuk di San Kitchen. Para team bersorak gembira. Mereka semua tampak kompak dan memberikan ucapan selamat pada bos mereka.Pagi harinya..."Ada kabar baik yang mau San kasih tahu ke Ibu," ucap Sandrina sembari memeluk sang Ibu dari belakang. Marlinda tersenyum lalu menoleh sesaat. Namun tangannya masih fo
Sandrina mendelikan matanya dan menatap kesal pada Hurraim. Memang benar, sejak tadi dia bersikap formal karena mengingat bahwa dia baru saja melamar kerja ke perusahaan Hurraim. Tentu saja dia tidak mau dicap jelek oleh sang CEO. Siapa tahu dengan sikap dan attitude nya yang baik, membuat Hurraim bersedia menerimanya. Begitu pikir Sandrina. "Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ... CEO di perusahaan itu?" omel Sandrina sembari menatap sebal. "Ya kenapa aku harus bilang begitu? Selama ini, kamu tidak pernah bertanya apapun tentangku. Nanti kalau tiba-tiba aku jelasin siapa diriku ini, kamu akan menganggap ku sombong atau pamer," celoteh Hurraim panjang lebar. Sandrina membuang napasnya kasar. Benar juga, dia memang tidak pernah bertanya tentang kehidupan Hurraim. Seandainya dia tahu bahwa Hurraim adalah CEO di perusahaan yang dia datangi, Sandrina pasti tidak akan melamar kerja ke sana. "Aku benar-benar terkesan pada sikap dan jawaban kamu pagi tadi," ucap Hurraim sembari duduk di
1 bulan kemudian...Sandrina termenung di meja kasir. Dari hari ke hari, omset penjualan San Kitchen semakin menurun. Hal ini membuat Sandrina merasa resah dan takut. Tentu saja dia takut San Kitchen akan bangkrut dan tidak bisa beroperasi lagi. Mengingat pelanggan yang kian mengurang, membuat Sandrina merasa sedih dan seperti akan kehilangan San Kitchen. Ini semua karena ulah Clara dan Lorenza. Mereka telah berhasil membuat Sandrina nyaris kehilangan harapan untuk mengembangkan San Kitchen. Meskipun klarifikasi tentang fitnah itu sudah beredar, tapi tetap saja tidak membuat para pelanggan ingin kembali menikmati makanan San Kitchen. Memang tidak sedikit yang datang, tapi perbedaan antara saat ini dan pertama buka jauh terlihat. Ibaratnya, seribu banding lima ratus. "Bu, bulan ini omset kita tidak mencapai target," ucap Zakiah memberikan laporan. Raut wajahnya begitu kusut dan sedih. Sandrina memejamkan mata sejenak lalu membuang napasnya berat. Dia pun mengangguk lantas menyambar
Sandrina benar-benar duduk menemani Hurraim makan di San Kitchen. Lelaki tampan di hadapannya ini memesan berbagai menu kesukaannya. Sandrina cukup tertegun dan sedikit tidak menyangka bahwa Hurraim secinta itu pada masakan San Kitchen. Padahal, waktu itu Hurraim bersikap angkuh dan bersumpah tidak akan menginjakkan kaki di San Kitchen lagi. Kendati demikian, Sandrina tidak akan menghitamkan hal itu lagi. Toh, kedatangan Hurraim ke San Kitchen juga sebagai bentuk rezeki bagi Sandrina. "Kenapa kamu melamun seperti itu? Apa yang sedang kamu resahkan?" tanya Hurraim sembari menatap penasaran.Sandrina membuang napasnya berat. "Emh ... entah kenapa aku sangat takut.""Takut apa?" tanya Hurraim lagi. "Takut usahaku akan bangkrut. Kamu lihat 'kan, nggak banyak yang datang. Tuh, cuma ada lima orang. Biasanya sampai penuh," keluh Sandrina dengan ekspresi resahnya. Hurraim tersenyum singkat mendengar ucapan Sandrina. Keresahan yang Sandrina rasakan, adalah hal yang wajar bagi seorang pengus
Tiga hari sudah Sandrina menutup rumah makannya. Setelah video klarifikasi itu muncul ke publik dan mulai fyp, akhirnya Sandrina pun berniat untuk membuka kembali rumah makannya itu. Tepat di hari ini, Sandrina kembali bekerja sama dengan team nya untuk mengembangkan rumah makannya itu. Dukungan dan doa dari orang tua, membuat Sandrina kembali semangat dan berharap kejadian buruk tidak akan terulang lagi. Perempuan berusia tiga puluh tahun itu berdiri di depan San Kitchen. Kedua mata berkeliling mengamati seluruh tempat itu. Setelah 1 jam buka, tidak ada satu pun orang yang datang ke sana. Hal itu membuat Sandrina merasa sedih dan berkecil hati. Ia semakin khawatir akan perkembangan San Kitchen. Siapa yang tidak takut usahanya bangkrut? Semua orang yang punya usaha, pasti sangat ketakutan akan hal itu. Begitu pun dengan Sandrina. Dia takut San Kitchen akan bangkrut dan dia tidak bisa lagi membuka lapangan kerja untuk para team nya. "Kenapa belum ada yang datang? Ya Allah, apakah ini