Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 32) Ikatan Batin Ayah dan Anak (1)"Cukup, Vinda! Tutup mulut busukmu. Aku tak suka kamu mengatur hidupku." Kali ini Soraya terlihat meneteskan air mata. Kurasa kalimat ku benar-benar sudah memojokannya. "Kalau begitu cepat pulang. Kedatangan kalian kemari hanya sia-sia saja. Tak akan kalian dapatkan apapun, kecuali harga diri kalian yang akan kuinjak-injak akibat permintaan kalian yang tak masuk akal." Aku sudah melupakan soal kesopanan kali ini. Entahlah, semenjak berurusan dengan Mas Galih dan keluarganya, aku jadi sering mengusir orang. Aku tak mampu mengendalikan diri meski sekuat tenaga kutahan. Soraya mau berdiri setelah kedua tangannya ditarik paksa oleh orang tuanya. Aku tak habis pikir, dimana letak otak dan pikirannya hingga berani mengacaukan rumah orang di malam hari seperti ini. Dan lagi, kenapa dia datang justru bersama orang tuanya? Bukan dengan sang suami? Tak lama kudengar notifikasi panggilan dari ponselku. Kulihat nama Ma
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (33)Ikatan Batin (2)Aku tersengal antara kehabisan napas dan mendamaikan emosi yang berlomba-lomba menguasai diriku. Lelah, sungguh. Menghadapi manusia licik kita bisa mengalahkannya dengan trik. Tapi menghadapi manusia tidak tahu malu? "Vin. Soraya divonis dokter tidak bisa punya anak. Dia mandul," ucap Mas Galih dengan suara lemah. Ada setitik rasa kasihan untuknya. Tetapi mengingat bagaimana jahatnya dia satu tahun yang lalu, rasa itu tiba-tiba menguap. "Dia pilihanmu. Aku sudah berusaha mengingatkanmu waktu itu. Bahkan aku mengemis padamu demi anak-anak. Tapi tak ada secuil pun rasa kasihan untuk kami. Silahkan hiduplah sesuai pilihanmu, Mas. Barangkali takdirmu adalah menghabiskan waktu dengan wanita karir dari keluarga berkelas, meskipun kamu harus kesepian tanpa tawa riang anak-anak." Hening. Tak ada jawaban apapun dari Mas Galih. Hanya kudengar helaan napas beras dari ujung panggilan. "Mohon maaf. Tidak perlu menghubungiku lagi setel
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (34)Acara di Sekolah Anak Aku sengaja datang ke restoran tepat setelah adzan duhur. Zayn dan Ziyan hari ini ada kegiatan market day di sekolah tempat mereka menimba ilmu. Setelah semalaman mencari ide yang tepat untuk mereka, akhirnya aku dan kedua kembarku memutuskan membuat es jagung. Kali ini mereka menginginkan aku yang mengantar mereka ke sekolah. Selama ini memang ayahku yang mengantar cucu-cucunya ke sekolah. Kubantu mereka menata produk di lokasi yang sudah ditentukan oleh pihak sekolah. Zayn dan Ziyan sangat antusias, meski berkali-kali mereka mencuri pandang pada Alesha—teman mereka yang dibantu oleh kedua orang tuanya. Ayah Alesha dengan sangat sigap membantu memasang stand jualan anaknya. Aku paham apa yang dirasakan anak-anakku. Segera kualihkan perhatian mereka agar mulai menata cup tempat es yang akan mereka jual. Kuajarkan sekali lagi bagaimana cara mereka melayani pembeli nantinya. Dan berhasil, tatapan iri pada Alesha berhasi
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (35)Acara di Sekolah Anak "Dia kenalan saya, Pak Ikhwan. Kebetulan anak-anaknya sekolah di sini." Jawaban Pak Rafli membuatku sedikit lega. Tak lama, laki-laki yang kutahu bernama Pak Ikhwan itu mohon pamit. Pak Rafli kembali menyejajarkan langkahnya denganku. Kalau tidak ingat adab, tentu saja kutinggal kabur manusia ini. Aku tak suka tatapan mata menelisik seperti tadi. Bagaimanapun laki-laki dan perempuan yang berduaan seperti ini membuat pandangan miring terhadap kami. Apalagi jika mengingat statusku. Ah… Lagi-lagi aku mengulik soal statusku yang janda ini."Beberapa minggu terakhir saya ke luar kota, Mbak. Ada urusan yang harus kuselesaikan. Suami Mbak Fatma membeli tanah di daerah Banten. Ternyata tanah tersebut berstatus tanah sengketa. Dia meminta saya menyelesaikannya. Alhamdulillah sekarang sudah selesai," ujar Pak Rafli. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan tanda mengerti. Aku merutuk dalam hati. Peduli apa menyampaikan hal itu pad
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 36 ) Wanita Bar-Bar (1)Segera kuambil uang receh yang biasa kusimpan di dalam mobil. Setelah mengambil yang kira-kira menurutku cukup, aku kembali menutup mobil dengan sekali hentakan. Aku khawatir anak-anak menungguku terlalu lama. Aku berbalik dan jantungku berdegup tak berirama mendapati seseorang yang kukenal berdiri tepat di hadapanku.Mas Galih menatapku dengan raut wajah yang sulit kuartikan. Tak ada satu kata pun yang terucap dari bibirnya. Begitu pun aku yang tak bisa berpikir jernih. Dari arah beberapa meter kulihat Pak Rafli menatap ke arahku. Aku harap dia tak mendekat dan membuat urusanku makin runyam. "Ada apa, Mas?" tanyaku akhirnya pada mantan suamiku. Postur tubuh Mas Galih yang lebih tinggi dariku membuat wajahku mendongak. "Kudengar hari ini acara market day di sekolah anak-anak, aku ingin liat mereka." Kalimat yang keluar dari mulut Mas Galih terdengar memelas. Seolah dia meminta izin dariku untuk melihat anak-anak dari d
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (37)Wanita Bar-Bar (2)Lucunya lagi, di saat semua itu terjadi, mereka baru ingat tiga anak yang kubawa berjuang panas perih menata hidup yang porak poranda akibat nafsu dan keserakahan mereka. Anak yang beberapa saat menanyakan di mana ayahnya. Bahkan si kecil Zoya tak sempat menyicip serunya naik pundak ayahnya untuk mengejar gelembung balon sabun. Maka dengan keyakinan sekuat baja tentu saja kutolak permintaan mereka mentah-mentah. "Kalau begitu, menikahkah lagi dengan wanita normal, Mas. Dengan begitu orang tuamu akan puas, mendapatkan cucu darah daging mereka sendiri." Ucapanku membuat Mas Galih berhenti berjalan. Dia menatapku tak percaya, aku bisa mengucapkan kata-kata seperti itu. Tatapan matanya menelisik, membuatku sedikit kehilangan nyali. "Kenapa? Ada yang salah dengan kalimatku?" Aku bertanya dengan raut wajah merasa tak berdosa. "Kamu berubah, Vinda. Sekarang kamu menjadi wanita yang sulit ditebak, bahkan kamu menjadi lebih kasa
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 38)Isyarat (1)Aku duduk di depan mesin kasir saat melihat rombongan Bu Fatma masuk ke dalam restoranku. Seperti biasa, dia langsung menyapaku dengan sangat ramah. Tak kusangka Soraya mengekor di belakang pimpinannya. Bedanya, dia langsung mengambil tempat duduk yang sudah direservasi atas nama pimpinan mereka. "Mbak Vinda … sehat?" tanyanya sembari menampakkan barisan giginya yang rapi. Sungguh, tak terpancar sedikit pun aura mencekam dari wajah kepala sekolah yang satu ini. Bahkan dia tak segan-segan menyapa dengan ramah para pegawaiku. Dia juga kulihat beberapa kali memberi uang tip cukup lumayan pada mereka. "Alhamdulillah sehat, Bu Fatma. Terima kasih sudah reservasi untuk ke sekian kali. Bawa rombongan banyak pula," ucapku tak kalah sumringah. Tak kusangka, Bu Fatma mendekat dan berbisik di telingaku. "Abaikan wajah demit betina itu, Mbak. Bawaan lahir sepertinya," bisik Bu Fatma. Aku hampir meledakkan tawa kalau tak ingat ada puluhan p
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (39)Isyarat (2)"Lho, Bu Fatma kok belum pulang?" tanyaku sekembalinya dari ruang istirahat di belakang. Kulihat Bu Fatma duduk sendirian di tempat yang tadi di pesannya. Semua rekannya sudah tak ada yang duduk di sana. Setelah menunaikan sholat ashar aku memutuskan untuk merebahkan diri sebentar. Suasana yang gerimis membuatku nyaman meluruskan pinggang di ruangan kecil itu. "Iya Mbak. Kuminta Rafli menjemputku. Tadi saya nggak bawa mobil. Sebentar lagi sampai," terangnya. Suasana yang sepi membuatku duduk di sampingnya. Tak kecanggungan karena selama ini Bu Fatma juga bersikap sangat baik padaku. "Mbak Vinda nggak ada niatan menikah lagi?" tanyanya kemudian. Aku sedikit terlonjak mendapatinya bertanya demikian. Jujur, aku belum berpikiran sampai sana. "Belum, Bu. Saya masih fokus dengan anak-anak," jawabku jujur. Memang anak-anak menjadi fokusku kali ini. "Anak-anak juga perlu sosok ayah, Mbak. Apalagi mereka masih kecil-kecil. Jangan sampa
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa