Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (37)Wanita Bar-Bar (2)Lucunya lagi, di saat semua itu terjadi, mereka baru ingat tiga anak yang kubawa berjuang panas perih menata hidup yang porak poranda akibat nafsu dan keserakahan mereka. Anak yang beberapa saat menanyakan di mana ayahnya. Bahkan si kecil Zoya tak sempat menyicip serunya naik pundak ayahnya untuk mengejar gelembung balon sabun. Maka dengan keyakinan sekuat baja tentu saja kutolak permintaan mereka mentah-mentah. "Kalau begitu, menikahkah lagi dengan wanita normal, Mas. Dengan begitu orang tuamu akan puas, mendapatkan cucu darah daging mereka sendiri." Ucapanku membuat Mas Galih berhenti berjalan. Dia menatapku tak percaya, aku bisa mengucapkan kata-kata seperti itu. Tatapan matanya menelisik, membuatku sedikit kehilangan nyali. "Kenapa? Ada yang salah dengan kalimatku?" Aku bertanya dengan raut wajah merasa tak berdosa. "Kamu berubah, Vinda. Sekarang kamu menjadi wanita yang sulit ditebak, bahkan kamu menjadi lebih kasa
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 38)Isyarat (1)Aku duduk di depan mesin kasir saat melihat rombongan Bu Fatma masuk ke dalam restoranku. Seperti biasa, dia langsung menyapaku dengan sangat ramah. Tak kusangka Soraya mengekor di belakang pimpinannya. Bedanya, dia langsung mengambil tempat duduk yang sudah direservasi atas nama pimpinan mereka. "Mbak Vinda … sehat?" tanyanya sembari menampakkan barisan giginya yang rapi. Sungguh, tak terpancar sedikit pun aura mencekam dari wajah kepala sekolah yang satu ini. Bahkan dia tak segan-segan menyapa dengan ramah para pegawaiku. Dia juga kulihat beberapa kali memberi uang tip cukup lumayan pada mereka. "Alhamdulillah sehat, Bu Fatma. Terima kasih sudah reservasi untuk ke sekian kali. Bawa rombongan banyak pula," ucapku tak kalah sumringah. Tak kusangka, Bu Fatma mendekat dan berbisik di telingaku. "Abaikan wajah demit betina itu, Mbak. Bawaan lahir sepertinya," bisik Bu Fatma. Aku hampir meledakkan tawa kalau tak ingat ada puluhan p
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (39)Isyarat (2)"Lho, Bu Fatma kok belum pulang?" tanyaku sekembalinya dari ruang istirahat di belakang. Kulihat Bu Fatma duduk sendirian di tempat yang tadi di pesannya. Semua rekannya sudah tak ada yang duduk di sana. Setelah menunaikan sholat ashar aku memutuskan untuk merebahkan diri sebentar. Suasana yang gerimis membuatku nyaman meluruskan pinggang di ruangan kecil itu. "Iya Mbak. Kuminta Rafli menjemputku. Tadi saya nggak bawa mobil. Sebentar lagi sampai," terangnya. Suasana yang sepi membuatku duduk di sampingnya. Tak kecanggungan karena selama ini Bu Fatma juga bersikap sangat baik padaku. "Mbak Vinda nggak ada niatan menikah lagi?" tanyanya kemudian. Aku sedikit terlonjak mendapatinya bertanya demikian. Jujur, aku belum berpikiran sampai sana. "Belum, Bu. Saya masih fokus dengan anak-anak," jawabku jujur. Memang anak-anak menjadi fokusku kali ini. "Anak-anak juga perlu sosok ayah, Mbak. Apalagi mereka masih kecil-kecil. Jangan sampa
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 40 ) Status Pak Rafli (1)"Wah… anaknya lucu sekali, Pak. Siapa namanya?" tanyaku pada laki-laki berkemeja salur itu. Pak Rafli hanya tersenyum kecil mendengarnya. Entah mengapa pertanyaanku membuat Bu Fatma menatapku cukup lama. Dahinya pun berkerut. "Anak?" tanyanya dengan nada bingung. Lagi-lagi Pak Rafli tak menjawab, dia hanya mengulum senyumnya. Bu Fatma justru makin terlihat bingung. Tiba-tiba aku menyadari ada sesuatu yang aneh dari respon mereka. "Lho, anaknya Pak Rafli, 'kan? Namanya siapa?" Kini terdengar suara tawa yang meledak dari Bu Fatma. Aku tertegun. Tak lama, seorang wanita cantik yang ternyata satu mobil dengan Pak Rafli menyusul ke meja kami. Dia heran dengan suara tawa yang dikeluarkan Bu Fatma. "Rame sekali, Mbak. Ada apa ini?" tanya wanita yang menggenakan terusan polos warna mustard dilengkapi longcardy warna hitam. Terlihat serasi sekali untuk kulitnya yang putih. Wanita yang kuyakini istri Pak Rafli kemudian duduk t
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (41)Status Pak Rafli (2)Tak berpikir lama, aku segera mendekati Putri yang berdiri tepat di pantry. "Put. Nitip resto ya, Zoya muntah-muntah. Kalau sempat aku balik ke mari lagi, kalau tidak tolong rekapan seperti biasa," ucapku pada gadis yang sudah sangat kupercaya. Putri mengangguk dan berpesan agar aku hati-hati. Segera aku berjalan menuju parkiran dan masuk ke dalam mobil. Pikiranku kalut, khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada anakku. Biasanya ibu tak sampai menyuruhku pulang jika ada masalah dengan Zoya. Jika sekarang aku disuruh pulang, pasti sesuatu yang gawat sudah terjadi. Aku ingat saat Zoya masih berusia sembilan bulan, anakku itu pernah panas dan kejang. Aku yang tak punya uang saat itu, dengan nekad membawa anakku ke klinik tak jauh dari rumah. Dengan sangat bodohnya aku pernah meminta Mas Galih membantuku menebus obat-obatan Zoya. Tahu apa jawaban pesannya? Dia berkata tak punya uang, karena kartu ATM-nya sekarang dipegang
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 42 ) Keluarga Tak Tahu Malu (1)Anakku sudah mulai tenang, meski masih kulihat gurat-gurat tangis memenuhi pipi mungilnya. Wajahnya nampak pucat dengan bibir yang sedikit kebiruan. Terdengar suara merintih Zoya. Aku mendekat. Kuciumi wajah cantik anakku. Kuabaikan butiran-butiran air mataku yang jatuh di pipinya. "Zoya sayang… Zoya kenapa?" tanyaku sedikit terisak. Sungguh, hatiku nyeri mendapati belahan jiwaku terbaring lemah di sana. Zoya hanya mengerjapkan mata sesekali. Suara rintihannya sudah mulai jarang terdengar. Dokter menjelaskan kondisi Zoya pada ayah dan ibu. Sayup-sayup aku mendengar dokter membawa sampel makanan yang keluar dari perut Zoya ke laboratorium. Dokter memberi harapan besok hasil sampel bisa keluar sehingga dapat dipastikan penyebab Zoya mengalami keadaan seperti ini. "Vin… ," panggil ibuku lirih. Kulihat gurat penyesalan terhambar jelas di wajah tuanya. "Maaf, Vin. Ibu lalai menjaga Zoya. Mbak Mi hari ini libur, dia
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (43)Keluarga Tak Tahu Malu (2)Setelah visitasi dokter, sore ini Zoya diperbolehkan pulang. Kondisi Zoya yang berangsur membaik membuat kami amat bahagia. Putri bungsuku sudah sudah kembali normal. Sungguh, sebagai ibu hal yang amat membahagiakan adalah melihat anak-anak sehat dan tumbuh dengan baik. Dari penjelasan dokter, Zoya keracunan es jagung yang dibelikan oleh ibuku. Jika anak-anak lain tidak mengalami reaksi berlebihan, tidak dengan Zoya. Kondisinya yang lebih sensitif membuat Zoya sangat rentan dengan bakteri yang masuk ke dalam tubuhnya. Beruntung anakku belum sampai dehidrasi akibat terlalu banyak memuntahkan makanan dan minuman dari perutnya. Ayah dan ibu sangat sigap membawanya segera ke klinik. Tentu ini menjadi perhatian kami agar lebih berhati-hati. Kuparkir mobil ke dalam garasi rumah. Ibu membopong Zoya dengan dibantu Mbak Mi membawa barang-barang yang kemarin dibawa ke rumah sakit. Zayn dan Ziyan menciumi kepala adiknya den
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 44 ) Buah dari Kesombongan (1)"Betul, Bu Mirna. Tuhan memang tak pernah tidur. Bahkan dia sudah mengirim seorang menantu dan istri yang mandul untuk dua orang mertua dan suami yang tak punya hati, lebih cepat dari perkiraanku. Bahkan dengan tidak malunya, istri mandul itu ikut-ikutan mendukung keluarga suami meminta seorang anak yang pernah tak diharapkan keluarga itu. Adakah yang lebih menjijikkan dari tingkah si istri mandul dan keluarga mantan suami itu?" Aku menyenderkan punggungku di sofa dengan gerakan pelan. Kutatap wajah bengis mereka satu per satu. Tak ada yang berani berucap lagi, terlebih Soraya. Kurasa dia amat terhina setelah kusamakan dirinya dengan sampah. "Jangan mengajariku soal merawat anak. Aku ibunya, aku tahu mana yang terbaik untuk anak-anakku. Pulanglah, aku minta maaf karena sekian kali membuat kalian malu seperti ini… .""Tutup mulut busukmu, Vinda!" teriak Soraya. Dadanya naik turun menahan emosi. Aku tersenyum mere
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa