Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (45)Buah Kesombongan (2)"Berhenti menyudutkan kami, Vinda. Ingatlah. Kita pernah menjadi keluarga yang saling menyayangi. Tak ada gunanya bertikai semacam ini terus menerus!" Akhirnya mantan suamiku itu bersuara. Aku tersenyum muak pada pecundang itu. "Aku sudah bersikap sangat baik pada kalian. Sekali lagi kupersilahkan kalian menemui anak-anakku. Tapi memang tak akan kuizinkan kalian membawa mereka keluar dari rumah ini, meski sebentar. Tapi permintaan kalian jauh di atas nalar manusia normal. Permintaan kalian tak bisa diterima oleh akal sehat manusia. Bahkan kalian berniat menukar uang hasil penjualan rumah dengan Zoya, yang jika kalian punya malu seharusnya kalian menyadari ada hak saya di sana. Tapi nyatanya tak ada sepeser pun uang itu masuk kepadaku. Aku sudah mengikhlaskannya. Mungkin kalian lebih membutuhkannya. Tetapi nyatanya kalian datang lagi, meminta Zoya dengan dalih kalian berhak. Berhak dari mana? Apakah kalian mengingat hak Z
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 46 ) Penolakan Zoya ( 1)Hari ini kuputuskan membawa ketiga anakku setelah menjemput kembar dari sekolahnya. Kusinggahkan mereka di ruangan yang biasa kugunakan untuk beristirahat. Ruangan yang terletak di belakang restoran ini sudah kufokuskan sebagai tempat beristirahat saja. Sedangkan bagian belakang bangunan utama kubangun kolam ikan dimana bagian atasnya kubuat saung-saung hingga konsep restoran taman impianku terwujud. Tentu saja anak-anak sangat antusias. Mereka asyik melihat proses finishing yang dilakukan oleh beberapa tukang. Apalagi saat mereka melihat ikan koi berukuran lengan orang dewasa mulai dilepaskan di kolam yang sudah selesai pembangunannya. Ayah dan ibu sengaja kuminta untuk ikut. Aku ingin mereka menjadi saksi langkah demi langkah kemajuan restoran yang kubangun dengan berdarah-darah. Sekali lagi aku amat bersyukur, mereka sangat mendukung saat di awal-awal aku merintis usaha ini hingga bisa sebesar ini. Aku yakin, tanp
Diceraikan Karena bukan Wanita Karier (46)Penolakan Zoya (2)"Apa susahnya memberikan satu anakmu pada kami? Jangan tamak! Aku sangat muak melihat keangkuhanmu itu. Gara-gara kamu, Mas Galih berniat akan menceraikanku! Sial*n kamu, Vinda! Tak akan kubiarkan Mas Galih melakukan hal itu. Atau kamu… kamu yang menyuruhnya menceraikanku, agar kamu bisa kembali ke pelukannya?" tuduh Soraya dengan teriakan tanpa ampun. Tangannya memegang erat pergelangan tanganku. Malu sekali, bahkan kulihat bisik-bisik pada tamuku. Tentunya tidak semua pelanggan tahu kisah pribadiku. "Jangan gila kamu, Soraya. Kamu lupa dimana kamu sekarang?" ujarku masih berusaha mengulurkan sabar. Bagaimanapun aku masih punya malu untuk tidak ikut berteriak seperti yang Soraya lakukan. "Vinda. Tolong. Jangan membuat rumah tangga anakku berantakan. Berikan Zoya, maka apapun yang kamu minta akan kami turuti." Tiba-tiba wanita angkuh nan tak punya hati itu bersimpuh di hadapanku. Ya Allah… Lagi-lagi anakku yang menjadi a
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 48 ) Teman Bunda (1)Mataku memicing menatap benda pipih yang berbunyi menandakan sebuah pesan masuk. Kuraih dan kubuka pesan tersebut dengan cepat. [ Akan kubantu urus hak asuh atas anak-anakmu segera. Aku tak ingin mereka mengambil salah satunya darimu… aku tak ikhlas ] Aku membulatkan bola mata setelah menyadari siapa pengirim pesan itu.Segera kualihkan pandanganku ke arah meja Bu Fatma. Di sana, Pak Rafli melambaikan tangannya sambil tersenyum. Aku yang tiba-tiba merasa canggung hanya membalas senyumnya sekilas. Apakah dia memperhatikan peristiwa memalukan tadi? Aku menunduk membaca pesan baru lagi darinya. [ Siapkan berkas-berkas yang kuminta. Aku punya kenalan pengacara handal. Akan kupastikan anak-anak aman bersamamu] Aku tiba-tiba bingung dengan perlakuan pria itu. Apalagi setelah aku tahu kenyataan mengenai statusnya yang seorang duda. Aku tak mau gegabah menerima bantuannya. Aku tak mau memanfaatkan sikap baik seseorang. Lagi pul
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (49)Teman Bunda (2)"Cepet keluar… ada temannya Bunda. Kata mbah suruh panggil Bunda… ," pinta Ziyan sambil menarik tanganku. Dengan muka bantal, aku meraih kerudung instan di sudut kasur. Kupakai dengan gerakan lambat, karena sejujurnya aku masih sangat letih. Tubuhku masih membutuhkan jatah istirahat sebentar. "Sabar Nak… ," ucapku saat anak itu menarik tanganku agar mengikutinya berjalan lebih cepat. Sungguh mataku seperti diolesi lem, susah sekali untuk membukanya lebar. "Itu, Bun. Teman Bunda. Kemarin kakak ketemu teman Bunda di sekolah. Bahkan kemarin dia yang nganter Ziyan dan Zayn pulang sekolah," ucap Ziyan yang langsung membuatku membelalakkan mata. Memang kemarin saat aku akan menjemput mereka, aku menerima telepon dadi ibu. Beliau berkata kedua anakku sudah pulang. Kukira ayah yang menjemput mereka. Ternyata? "Pak Rafli? Kok bisa di sini?!" tanyaku lumayan kaget. Laki-laki itu memakai kaos putih dengan celana khusus untuk aktivitas
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 50 ) Bukti Chat (1)Pagi ini aku sudah sampai di restoran, lebih awal dari biasanya. Sengaja kuputar musik klasik untuk mengawali hari ini. Kulap satu per satu meja tamu beserta kursinya. Biarlah kuberi surprise pegawaiku saat mereka sampai pekerjaan awal mereka sudah selesai. Kutata ulang meja kasir tempatku biasanya duduk berlama-lama menerima pembayaran pengunjung. Kuberi vas bunga dan kuisi dengan bunga kering hasil berbelanja di online shop tempo hari. Foto ketiga anakku terbingkai rapi di sudut meja, agar tak mudah tesenggol saat bertransaksi dengan mesin kasir. Berkali-kali aku berterima kasih pada diri sendiri, setelah mengucap syukur pada pemilik kehidupan tentunya. Terima kasih atas tubuh, pikiran dan keadaan yang telah menempaku dengan sangat kuat. Kini aku tak mudah jatuh dan rapuh."Lho, Mbak Vinda gasik sekali," ucap Putri saat aku sudah duduk santai di meja kasir sambil menyesap kopi. "Iya Put. Nanti jam sebelas ada urusan kel
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (51)Bukti Chat (2)"Dulu sudah kami peringatkan. Berikan Zoya dengan baik-baik. Maka tidak akan terjadi hal yang pastinya membuatku tak nyenyak tidur mulai hari ini," ucap Pak Tanu dengan logat sombongnya. Rasanya ingin tertawa hingga berlinangan air mata melihat tingkah konyolnya. Sepertinya keluarga ini memang tak bermain-main dengan gertakannya dulu. Mereka pernah mengatakan akan mengajukan pencabutan hak asuh atas Zoya dariku. Sayangnya kalian telat satu langkah dariku. "Jangan menyesali keputusanmu, Vinda. Ini semua karena sikap sombong dan serakahmu. Sekarang nikmatilah saat-saat terakhir dengan Zoya. Kamu sudah terbukti lalai menjaga anakmu, kami yakin itu menjadi bukti kuat bagi pengadilan untuk meninjau keputusannnya." Bu Mirna mencebik sangat sinis. Bibirnya yang dipoles warna merah cabai makin menguatkan kesan antagonis pada sosoknya. Kubiarkan mereka merasa di atas angin sejenak. Kupasang tampang memelas dan ketakutan, agar mereka
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 52 ) Permohonan Mas Galih (1)[ Kau sudah gila, Vinda! Kamu berubah sangat mengerikan. Kumohon, hapus tangkapan layar itu dari ponselmu! ] Mas Galih mengakhiri chatnya dengan disertai emotikon memohon. Sayangnya aku tak juga merasa kasihan. Sudah kubilang untuk tak mengusikku, 'kan? [ Kabari aku secepatnya, siapa yang nanti malam sudah tak bisa tidur nyenyak! ] Setelah mengirimkan chat tersebut, aku langsung keluar dari grup gila itu. Jika kemarin kalian masih bisa tidur nyenyak setelah siang malam menerorku tanpa henti, maka kupastikan mulai detik ini kalian akan sulit memejamkan mata. Aku yakin itu. Kulajukan mobil keluar dadi pelataran gedung itu dengan hati yang puas. Seandainya aku mampu bersiul, sudah kulakukan dari tadi saking senangnya. Bahkan jika perlu kudendangkan satu full lagu Rhoma Irama dengan nada siulan untuk merayakan hal ini. Aku terkekeh membayangkan keempat manusia itu kelimpungan di sana. Bahkan aku sangat yakin, merek
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa