Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (53)Permohonan Mas Galih (2)"Vinda. Kamu masih mendengarku?" Mas Galih terdengar mulai frustasi dengan reaksiku yang seolah tak peduli. "Seandainya kalian masih mau menempuh jalur itu aku persilahkan, Mas. Tetapi aku tak tinggal diam. Bahkan akan kubuka semua kelakuan busukmu dengan Soraya di masa lalu pada pengadilan. Bukankah kamu juga ingin tahu hal apa saja yang sudah kuketahui? Yang tadi itu tidak lebih dari separuh yang masih kusimpan. Memang akan jadi trending news jika publik tahu, dua orang abdi negara yang digaji menggunakan uang mereka berkelakuan minus alias cacat moral. Aku tak bisa membayangkan jika kalian akan kehilangan profesi jika sampai hal itu terjadi. Aku juga penasaran, apakah gelar kehormatan wanita karir akan tetap dibanggakan oleh kedua orang tuamu?!""Vinda. Jangan bermain-main dengan kami," ucap Mas Galih lagi. Dia mulai mengeraskan nada suaranya. "Aku sudah muak berurusan dengan keluargamu, Mas. Entah kalian gadaik
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 54 ) Penawaran Bu Fatma (1)Sejak kejadian di kantor pengadilan beberapa bulan yang lalu, aku benar-benar merasakan kelegaan yang luar biasa. Tak ada lagi satu pun dari keluarga Mas Galih yang nekad berurusan denganku. Hanya beberapa kali aku berpapasan dengan Soraya di swalayan yang memang menjadi satu-satunya tempat terlengkap yang tidak jauh dari tempat tinggal ku. Ada yang berbeda dari wanita itu. Jika biasanya dia akan mencari masalah denganku, sekarang tidak lagi. Bahkan sepertinya dia sengaja menghindar saat berpapasan denganku. Sengaja memutar lorong lain agar tak bertemu muka denganku. Tak masalah. Justru aku lega, tak perlu beradu urat lagi dengan wanita karir yang satu itu. Aku bisa santai menyusuri lorong demi lorong, mencari kebutuhan harianku yang kini bukan menjadi hal yang sulit untuk kupenuhi. Kini aku bisa fokus dengan usaha kulinerku. Anak-anak yang makin besar membutuhkan biaya besar pula. Aku ingin kebutuhan mereka terc
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (55)Penawaran Bu Fatma (2)"Mbak. Jika ada yang ingin berniat serius denganmu, apakah kamu mau menerimanya?" "Maksudnya?" "Aku bingung menjelaskannya. Hanya saja aku kasihan dengan Rafli." Jawaban dari Bu Fatma membuatku bertanya-tanya. Apa apa dengan Pak Rafli? "Mengapa hubungannya dengan Pak Rafli?""Jawab dulu pertanyaanku, Mbak. Apakah jika ada seseorang yang sudah siap lahir dan batin untuk membina rumah tangga denganmu, apakah kamu bisa menerimanya?" "Maaf, Bu. Kukira ini terlalu cepat. Aku masih ingin fokus dengan anak-anak. Lagipula aku tak punya bayangan sama sekali untuk menikah lagi. Memulai lagi kehidupan dengan seseorang asing dalam ikatan rumah tangga, kukira aku belum siap, Bu." Aku mengurai jawabanku pada Bu Fatma. Memang kenyataannya aku belum siap dekat dengan laki-laki lagi, apalagi menikah. Bagaimana pula dengan anak-anak nantinya, memiliki ayah baru dalam kehidupan mereka. Meski kenyataannya, si kembar beberapa kali perna
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 56 ) Fakta (1)"Kalau boleh saya tahu, alasan apa yang membuat Pak Rafli bercerai dari istri pertamanya?" tanyaku tiba-tiba. Bu Fatma menatapku dengan mimik serius. Manik matanya bergerak-gerak menelisik keseriusan dalam ucapanku. "Benarkah Mbak Vinda ingin mengetahuinya? Apakah Mbak janji setelah mengetahui hal itu, maka Mbak akan mempertimbangkan permintaanku tadi? Aku yakin Rafli tidak akan mengecewakanmu, Mbak!"Lidahku kelu mendengar pertanyaan beruntun dari Bu Fatma. Terdengar suara tertawa Bu Fatma yang sangat renyah. Aku tertegun memandang wajah ayu di depanku. "Nggak Mbak. Saya nggak maksa Mbak Vinda untuk menerima Rafli. Ada banyak kekurangan juga dalam dirinya. Saya nggak mau membebani Mbak Vinda dengan permintaan yang berat seperti itu. Apalagi untuk seseorang yang pernah gagal dalam berumah tangga, kukira harus cukup banyak pertimbangan untuk memulai lagi." Bu Fatma menjeda kalimatnya. Aku berusaha tersenyum, mengurai rasa gugup
Aku memutar gagang pintu kamar. Kulihat anak-anakku sudah tidur. Setelah membersihkan diri, aku berbaring di sisi mereka. Menciumi satu per satu anakku yang tumbuh dengan baik. Kuusap rambut mereka satu per satu, kulantunkan doa terbaik untuk mereka. Beginilah jika aku pulang telat sedikit saja. Jangankan menemani si kembar belajar atau Zoya bermain. Bahkan aku tak bisa sekedar menuntun mereka untuk berdoa sebelum waktu tidur. Ada rasa sesal menelusup dalam dadaku, mengingat mereka yang harusnya masih sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang dariku. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Kulihat nomor baru lagi. Aku mengabaikannya, mengingat waktu yang sudah malam. Jika memang penting, dia akan mengirimi pesan untuk menjelaskan kepentingannya. Sekarang saatnya beristirahat. Aku sudah cukup lelah dengan aktivitasku hari ini. Proses penambahan dan pergantian meja kursi serta peralatan dapur restoran membuatku payah bukan main. Kuhitung dengan pasti setiap item yang memang harus kuganti. T
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir (58)Sebuah Pertanyaan (1)Aku mengatur napasku yang memburu. Lengang. Tak ada jawaban apapun dadi ujung sana. Hanya kudengar helaan napas yang masih bisa tertangkap telingaku. Aku mulai menangkap suatu hal yang ganjil. "Siapa yang mau poligami, Mbak Vinda?" Suara tak asing yang beberapa waktu ini sudah tak pernah lagi kudengar. Aku menilik layar ponselku segera. Nama yang terpampang di sana membuatku panas dingin hingga bergetar hebat karena gugup. "Kulihat kamu sedang online, jadi kuputuskan untuk menghubungimu." Aku tak bisa berkata-kata. Rasanya malu hingga ke ubun-ubun. Aku kesal dengan diriku yang kali ini bertindak ceroboh hingga berbuah fatal seperti ini. "Mbak Vinda?!" panggil Pak Rafli. Aku makin gemetaran. Keringat keluar, di tengah hawa malam malam yang sebenarnya sangat dingin. "P-Pak Rafli?" tanyaku tergagap. Terdengar suara renyah dari ujung sana. Sial sekali. Bahkan dia tertawa seperti itu. Aku yakin sekali dia menertawakanku
Aku menyisir rambut Zoya yang sudah sampai bahunya. Dengan memakai dress selutut dan rambut kuncir ekor kuda, penampilan anakku makin membuatku gemas. Kuciumi pipinya yang penuh dengan aroma bayi. Tak kusangka anak ini sudah sebesar ini. Setelah kedua kakaknya berangkat dengan diantar Mbah Kalung mereka, aku memutuskan untuk membawa Zoya ke restoran hari ini. Rasanya aku ingin berlama-lama dengan anak perempuanku. Ruangan istirahat yang dulu hanya ada kasur dan televisi, kini kutambah dengan beberapa fasilitas yang kuyakin akan membuat anakku betah berada di sana. Karpet dengan aneka karakter dan juga beberapa mainan sengaja kusiapkan. "Zoya, tidak boleh rewel. Hari ini ikut Bunda kerja ya?" pintaku saat memakaikan seat bealt untuknya. Zoya mengangguk dan tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang tanpa karies sama sekali. Zoya sudah kebiasaan berkumur dengan air hangat setelah meminum susu. Dia juga sudah tahu aturan sikat gigi sebelum tidur. Kuusap rambut kepalanya dengan g
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 60 )Ibunda Pak Rafli (1)"Silahkan duduk, Mbak. Saya ibunya Rafli. Saya yang memaksa Rafli untuk membawaku kemari sepagi ini. Rasanya kesal sekali di PHP terus dari beberapa bulan yang lalu. Saya penasaran karena Fatma dan Dewi berkali-kali membicarakanmu." Kalimat itu meluncur dari bibir wanita yang masih terlihat menawan meski di usia lanjut. "Saya hanya ingin memastikan satu hal," lanjutnya. Aku menunggu kalimat selanjutnya yang akan dia ucapkan. "Kapan kalian meresmikan hubungan kalian? Anak saya sudah siap lahir batin, tunggu apa lagi? Saya bosan menunggu Rafli yang diam di tempat. Dia kira berapa usianya, bisa-bisanya maju mundur mendekati seorang wanita. Hingga rasanya gatal sekali ingin menanyakan langsung padamu. Jadi mau kapan?" Astaga. Aku menatap penuh selidik pada pria di samping wanita yang tengah memberondongku itu. Aku meminta kejelasan, perihal apa yang membuat ibunya bicara sejauh itu. Bisa-bisanya kami yang baru pertama ka
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa