Jam 6 sore, langit sudah mulai gelap. Bian datang ke rumah itu dan memarkirkan mobilnya di halaman yang sangat indah dan luas. Dari pintu utama yang tinggi dan besar, Danisha berjalan ditemani kepala pelayan menghampiri Bian. Ketika mereka bertatap muka, Bian terdiam, melihat di kening dan tangan Danisha ada plester besar yang menutupi luka-lukanya. Pakaian dan sepatu yang dipakai Danisha pun nampak mahal, padahal semalam istirnya kabur tanpa mengganti pakaian.
"Dari mana saja kau, semalaman tidak pulang? Bahkan kau merusak semua tanaman yang ada di belakang rumah!" Bukannya disambut dengan baik oleh orang yang menjemputnya, Danisha malah dipelototi. Kepala pelayan yang mengantarnya pun sampai terheran-heran dengan sikap kasar Bian. "Terima kasih, Bu! Saya tidak akan melupakan semua kebaikan kalian!" Danisha tidak langsung menjawab pertanyaan Bian. Ia malah berpamitan pada kepala pelayan, lalu berterima kasih lagi untuk kesekian kalinya sebelum dirinya benar-benar pergi. "Iya, iya! Sama-sama! Pergilah. Jangan lupa obatnya dihabiskan agar luka Anda segera sembuh." Kepala pelayan tersenyum sambil menepuk pundak Danisha. "Iya, Bu! Kalau begitu, saya permisi!" pamit Danisha sambil membungkuk hormat. Setelah itu, Danisha berbalik badan, lalu masuk ke dalam mobil tanpa mempedulikan pria yang masih berdiri di samping mobil. Setelah itu, mereka pergi. Dari salah satu balkon yang ada di rumah mewah tersebut, seorang pria berdiri sambil melipat kedua tangannya di depan. Dia terdiam, menatap tajam pada mobil hitam yang keluar dari gerbang rumahnya. Padahal tadi sore, sang pemilik rumah tidak benar-benar pergi seperti apa yang dikatakan oleh asisten pribadinya. Dia hanya bersembunyi di salah satu ruangan, karena tidak ingin bertatap muka dengan wanita yang sudah bersuami. Tapi sekarang ... dia melihat sesuatu yang janggal. Pengantin baru itu nampak aneh, ada sesuatu yang disembunyikan. *** Di perjalanan, Danisha meminta untuk diturunkan di jalan. "Berhenti di depan! Aku bisa pulang sendiri!" pinta Danisha pada pria yang mengemudi di sampingnya. Bian yang memang sudah sedari tadi menahan kekesalannya, sekarang semakin kesal lagi karena wanita di sampingnya terus meminta untuk diturunkan. Padahal dirinya lah yang menjemputnya pulang. "Danish! Tidak bisakah kau berpikir normal?" tanyanya dengan mengeratkan gigi. "Setelah apa yang kau lakukan, kau masih saja bersikap seolah dirimu tidak bersalah!" tambahnya lagi yang membuat Danisha terdiam sambil mengerutkan kening. "Bersalah? Kesalahan apa memangnya yang telah kuperbuat?" tanya Danisha yang hatinya sudah mulai membeku. Karena rasa sakit yang dia terima semalam dari suami yang menyebabkan dirinya terluka hingga demam tinggi, Danisha bertekad untuk membuang semua rasa cintanya yang telah tumbuh lebih dari tiga tahun untuk pria itu. Danisha akan melupakan semua kenangan indah bersama pria itu dan membuka lembaran baru dengan statusnya yang sekarang. 'Janda di malam pertama!' "Apa?" Bian mendengus kesal. "Kesalahan apa, katamu?" "Dasar wanita murahan!" makinya dengan tangan yang sudah terangkat ke atas di samping Danisha. Satu tangan masih memegang roda kemudinya. Namun, detik berikutnya Bian menghempaskan tangannya dan menahan sedikit amarahnya. "Setelah kau tidur dengan pria lain saat bersamaku, bukannya introspeksi diri, kau malah kabur dari rumah dan berlari ke pelukan pria lain. Mungkin saja tadi malam kau tidur bersama. Haha! Kau mengadu padanya telah dianiaya olehku, kan? Dasar wanita ular! Ke sana mah, ke sini mau." "Bian! Jaga bicaramu!" Kali ini Danisha sudah habis kesabaran. Tadi malam, dirinya masih syok karena tiba-tiba dimarahi dan ditendang oleh Bian sampai babak belur. Tapi sekarang, pikirannya sudah lebih tenang. Danisha sudah bisa membela diri atas tuduhan keji yang telah pria itu tuduhkan kepadanya. "Pertama, kau terus menuduhku, aku tidur dengan pria lain seperti yang ada di foto itu! Kau pun memakiku, mendorongku, menendangku seperti kau menendang seekor anjing ...." Saat mengucapkan kalimat ini, Danisha tidak bisa menahan air mata untuk tidak menetes keluar. Kalau diucapkan kembali, rasanya sangat sakit dan hatinya begitu hancur. Perbuatan Bian padanya benar-benar sudah keterlaluan. "Yang kedua," Danisha segera menyeka air matanya di wajah cantiknya. Lalu melanjutkan ucapannya, "kau menuduhku, aku pergi ke pelukan pria lain." "Pria lain yang kau tuduh itu adalah orang yang menolongku, Bian!" Saat mengingat orang baik yang semalam menolongnya, moodnya menjadi baik. Bahkan sudut bibirnya sedikit terangkat, memperlihatkan senyumnya yang manis. Namun detik berikutnya, ekspresinya berubah menjadi dingin. "Coba kau pikir, semalam kau menyiksaku tanpa apapun. Jangankan uang untukku naik taksi, atau membayar sewa hotel, ponsel untuk menghubungi orang lain pun, aku tidak ada!" "Tanpa uang, bagaimana aku bisa pergi ke rumah pria lain?" "Tanpa Ponsel, bagaimana aku bisa menghubungi pria lain? Coba kau pikir, Bian!!" Danisha terus mengatakan apa yang ada di kepalanya. Berharap, pria itu bisa mengerti dengan situasinya. Namun, bukannya mengerti Bian malah marah. Ia memaki sambil meninju dashboard yang ada di depannya sampai tangannya sedikit terluka. "Sudahlah! Jangan banyak bicara lagi! Semakin kau berbicara, aku semakin muak kepadamu!" "Besok aku akan mengurus surat perceraian kita. Tunggulah!" ucap Bian dengan tegas. "Ah, iya! Barangmu ada di bagasi. Ambilah kalau tidak ingin kubuang!" tambahnya lagi masih dengan nada yang tidak enak. Setelah itu, Bian membanting setirnya ke samping, menginjak rem dengan kasar sampai kepala Danisha hampir terbentur ke depan. "Aishhh! Kau!" Danisha mendengus heran. Pria di depannya ini benar-benar sudah gila.Pria di depannya ini benar-benar sudah gila. Tadi, Bian menjemput Danisha di rumah orang lain layaknya suami yang baik. Tapi sekarang, dia menurunkannya seperti akan menurunkan seekor domba dari mobilnya, sangat kasar dan arogan. Tanpa membuang waktunya lagi, Danisha pun segera membuka sabuk pengamannya, keluar dari mobil, lalu membuka bagasi belakang sesuai arahan dari Bian. Melihat ada koper hitam yang memang miliknya, Danisha langsung mengangkatnya, lalu menurunkannya ke tanah. Setelah itu, Bian benar-benar pergi. Dia mengunjak gasnya dengan kuat seperti akan menerbangkan mobil dua baris itu ke langit. Melihat mobil dan orangnya sudah pergi, Danisha pun terdiam. Ia membeku di pinggir jalan yang gelap dengan tinju yang terkepal erat di dalam pakaian. Ia pun tidak menyadari, orang yang menolongnya semalam mengikutinya dari belakang. Dan sekarang dia sedang memperhatikannya dari jarak yang tidak terlalu jauh. "Ah, sudahlah! Lebih baik seperti ini. Dia pergi aku pun pergi
"Hah?" Wihaldy mengerutkan kening. Wanita disampingnya bertanya, apa dia akan menculiknya? "Nona! Saya bukan penculik! Kalau diculik pun, Anda sudah saya ikat di belakang!" "Lalu ... kenapa kau membawaku dari bar? Di sana masih ada temanku, loh! Bukankah kita tidak saling mengenal?" tanya Danisha dengan mulut yang dikerucutkan ke depan. Matanya setengah menyipit, menatap pria di sampingnya sambil mencondongkan tubuhnya ke arah pengemudi. Sedikit lagi mereka akan bersentuhan. Orang mabuk memang sangat bodoh. Sudah tahu mereka tidak saling mengenal, tapi Danisha terus saja mendekatinya. "Nona!" panggil Wihaldy sambil menoleh ke samping. Seketika ia beradu pandang dengan mata indah nan cantik dengan wajah imut Danisha dari jarak yang sangat dekat. Detik berikutnya, Wihaldy segera menarik pandangannya kembali. Dengan pelan berkata, "Tadi ada mantan suami Anda di bar!" "Hah, mantan suami? Siapa? Bian maksdumu?" tanya Danisha dengan malas. Ia pun menarik tubuhnya kembali, duduk di k
Di pinggir jalan yang sepi, hawa panas memenuhi seisi mobil dengan uap yang menutupi kaca. Danisha yang sudah tak berdaya di bawah tubuh seorang pria pun tiba-tiba menghentikan ciuman pria itu. "Sekarang kita ada di jalan! Aku tidak ingin seseorang melihat kita!" Danisha masih trauma. Ia tidak ingin seseorang memotret dirinya, lalu fotonya disebar luaskan seperti yang Bian terima kemarin. "Apa kita pindah saja?" tanya Wihaldy yang di hatinya sangat enggan untuk berhenti. Permainan sudah sejauh ini, dan di bawah perutnya sudah sangat sesak, kalau tiba-tiba berhenti rasanya tidak enak. Tidak ada cara lain, permainan sudah sangat panas, pakaian bagian atas pun sudah sama-sama dilepas, mereka harus pindah tempat untuk melanjutkan, atau menyudahinya sekarang juga sebelum orang lain memergoki. "Enh" Danisha mengangguk dengan napas yang terengah. Padahal awalnya Danisha hanya ingin berterima kasih karena pria itu sangat baik padanya. Tapi respon dari Wihaldy di luar dugaan. Pria
Di jam makan siang, Danisha yang saat ini masih diberi cuti selama satu minggu, duduk bersama Stefia—yang sedang istirahat—di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantor tempat kerja mereka. Sebelumnya, Danisha sudah menghubungi Stefia melalui telepon yang ada di kamar, meminta teman baiknya itu untuk datang ke kamar hotel sambil membawa sweater besar, juga tas dan dompetnya yang semalam tertinggal di bar. "Sebenarnya semalam kau pergi dengan siapa? Katanya ke toilet, tapi malah menghilang. Pria yang duduk di depan kita bilang, kau pergi bersama temannya. Semua tagihan kita dibayar oleh orang yang bersamamu. Sha, sebenarnya mereka itu siapa?" tanya Stefia dengan heran. Di depannya, Danisha yang masih mengenakan pakaian yang kemarin, namun sekarang sudah memakai sweater, terdiam sambil mengaduk minumannya menggunakan sedotan. Padahal dirinya ingin melupakan kejadian semalam, tapi teman baiknya ini malah membahasnya. "Serius, Sha! Yang duduk di depan kita itu benar temanmu atau buk
Di sebuah restoran yang tidak jauh dari tempat kerja Danisha, Bian duduk sendiri sambil menyesap minuman yang baru dipesannya. Danisha yang baru masuk terdiam sejenak, lalu menarik napas, menegakan punggung sebelum berjalan menghampiri meja itu. "Ehem ...." Danisha berdehem sambil berdiri di depan Bian dengan perasaan yang sudah tidak karuan. Sudah 2 bulan mereka tidak bertemu, tapi rasa sakit karena tuduhan dan perbuatan kasar Bian pada Danisha masih terasa. Perasaannya masih sangat hancur dan hatinya rasa teriris. Inginnya ia tidak bertemu dengan Bian seumur hidupnya, inginnya mereka berpura-pura tidak saling mengenal dan tidak saling berbicara. Namun sepertinya itu tidak mungkin. Akan selalu ada alasan yang membuat mereka saling berkomunikasi. "Duduklah!" ucap Bian acuh tak acuh. Danisha pun segera duduk di depannya. Setelah itu Bian memanggil pelayan untuk memesan makanan. Sambil menunggu makanan disajikan, terlebih dulu Bian berbicara. "Kuharap kau tidak lupa dengan
"Apa? Kau me-melihatku di bar Venus?" tanya Bian dengan heran. Kalau Danisha bilang melihat Bian dan Rachel dengan mata dan kepalanya sendiri, itu artinya malam itu Danisha juga ada di bar Venus. "Danish! Apa kau juga pergi ke bar 2 hari setelah kita menikah?" tanya Bian dengan penasaran, namun dengan nada yang terdengar mengintrogasi. Bian menggunakan kata "Menikah" untuk menghakimi Danisha yang pergi ke tempat hiburan setelah mereka bertengkar di malam pertama. Padahal pertengkaran itu membuat hubungan mereka berakhir. Bian sudah mengucapkan kata perpisahan membuat Danisha menjadi janda di malam pertama. Namun di saat seperti ini, Bian malah tidak mau mengakuinya. "Dengan siapa kau pergi ke bar malam itu?" tanya Bian karena Danisha tidak menjawab pertanyaannya. Wanita di depannya malah asyik menyantap hidangan yang sudah tersaji di atas meja dengan ekspresi yang sangat baik. Seolah tidak mendengar apa yang Bian tanyakan. Waktu itu Danisha tahu dari Stefia. Teman baiknya i
"Hey, kau!" tunjuk Bian pada Wihaldy. "Nanti sore sepulang kerja, kita bertemu di kafe Fun! Aku tunggu!" ucap Bian sambil menahan amarahnya. Daripada ribut di restoran itu, lebih baik Bian mengajak Wihaldy bertemu dan berbicara empat mata di suatu tempat. Bian akan memperingatkan pria kaya itu untuk tidak mendekati Danisha lagi. "Oke!" jawab Wihaldy sambil melepaskan pelukannya. Setelah itu, Bian keluar dari restoran dengan langkah cepat. "Uhuk, uhuk, uhuk!" Danisha tersedak oleh air liurnya sendiri. Tadi yang memesan semua makanan di meja itu adalah Bian. Namun, sekarang dia pergi, sedangkan semua makanan yang ada di mejanya belum dia dibayar. "Ah, bagaimana ini?" 'Bagaimana aku membayarnya?' Jangankan untuk membayar makanan di restoran yang harganya sangat mahal, untuk biaya hidup sehari-hari pun Danisha sudah kesusahan. "Sha!" Dari arah pintu belakang, tiba-tiba seseorang memanggilnya. Ketika dilihat, ternyata itu adalah Stefia. Danisha pun segera melamba
Jam 5 sore, di sebuah kafe yang ada di pusat kota, Wihaldy dan Bian duduk di salah satu meja yang ada di lantai dua sambil menikmati pemandangan sore yang sangat indah. Mereka terdiam beberapa saat dengan suasana yang terasa menegang. "Ah, ya! Seharusnya kau bisa memperlakukan istrimu dengan baik. Memanjakan dia layaknya seorang tuan putri. Kalau sudah begini, apa yang bisa kau lakukan? Kau menerima foto palsu, lalu menceraikan istrimu tanpa mendengarkan penjelasannya. Luka di hatinya pasti sudah sangat dalam. Walau kau melarangku untuk mendekatinya, tapi itu tidak akan membuatmu kembali ke sisinya!" ucap Wihaldy setelah diperingati oleh Bian. Awalnya Wihaldy hanya ingin menyelamatkan harga diri Danisha yang terus disudutkan oleh Bian tadi di restoran. Tapi Bian malah menuduh Wihaldy sebagai pria kesepian yang memanfaatkan situasi. "Dari mana kau tahu foto itu palsu, bahkan kau belum pernah melihatnya, kan? Asal kau tahu saja, Danish pura-pura polos untuk mendapatkan simpati d
Hari ini masih hari Kamis, besok sepulang kerja Danisha akan langsung pulang ke Kota C ke rumah orang tuanya dan akan kembali hari Minggu siang karena besoknya harus bekerja lagi."Bagaimana, ya? Apa benar aku harus meminta bantuan Bian untuk menjelaskan semuanya pada Ayah?" gumam Danisha di ruangan kerjanya.Tangannya menekan beberapa huruf di keyboard, matanya menatap layar monitor yang ada di depannya, sedangkan pikirannya malah memikirkan hal lain.Danisha benar-benar mempertimbangkan ide dari Stefia. Padahal teman baiknya itu hanya bercanda dan tidak benar-benar menyarankan hal konyol itu. Tapi Danisha menganggapnya serius."Danish .... Apa yang sedang kau ketik?" tanya rekannya dari samping.Tulisan di layar monitor tidak lah jelas. Bukan sebuah kalimat, melainkan hanya tulisan asal yang dia ketik karena tidak disengaja."Eh ...." Mendengar hal itu, Danisha segera tersadar.Ia menghentikan gerakan tangannya, lalu menoleh ke samping dan melihat rekan kerjanya yang bernama Fandy b
Sepertinya itu bukan ide yang buruk. Selain kepindahannya bisa menguntungkan untuk Stefia, itu juga akan menguntungkan untuk Danisha sendiri. DING! Pintu lift pun sudah terbuka. Danisha dan Stefia berjalan menuju ruangannya sambil berbincang. "Bagaimana?" tanya Danisha yang masih penasaran dengan jawaban Stefia. Walau semalam Bian bilang dia akan membayar semua cicilan apartemen dan akan memberi Danisha uang untuk biaya hidupnya, tapi Danisha tidak tertarik dengan itu. Ia masih dengan keputusannya, menolak ajakan Bian untuk kembali bersama. Lebih baik dirinya pusing sendiri untuk mengatur uang tabungannya yang tinggal sedikit itu daripada harus kembali pada pria yang telah memberikan trauma yang mendalam di sepanjang hidupnya. Tring! Belum sempat Stefia menjawab, tiba-tiba terdengar nada dering dari panggilan masuk di ponsel Danisha. Mau diabaikan pun, rasanya tidak bisa. Yang memanggilnya sekarang adalah ayahnya yang sudah dua bulan tidak bertemu. Ayahnya pun tidak tah
"Kau tidak apa-apa, kan?" tanya Wihaldy yang masih memeluk Danisha sama seperti sebelumnya. Bian sudah dibawa pergi oleh petugas keamanan, sekarang di tempat itu hanya ada Danisha berdua dengan Wihaldy. "Terima kasih!" lirih Danisha dengan pelan. Tanpa sadar ia memeluk tubuh kekar pria itu, membenamkan wajahnya di dada Wihaldy dengan perasaan yang sangat tidak karuan. Entah mengapa, pria itu selalu ada untuknya di situasi terburuk sekalipun. Padahal sebelumnya mereka tidak saling mengenal, bertemu pun bukan disengaja. Tapi pria itu, selalu menolong dan menyelamatkan Danisha. "Tidak apa-apa! Sudah seharusnya ini kulakukan. Lain kali, kalau dia mengganggumu lagi, jangan segan untuk segera menghubungiku!" "Oh, iya!" Tiba-tiba Wihaldy berbicara serius. "Anggap saja ini sebagai balasan karena dulu, lima tahun yang lalu kau pernah menyelamatkan aku!" "Hah?" Yang tadinya sedih, sekarang Danisha malah terkejut. Ia penasaran dan segera mendongak menatap Wihaldy yang tampan, yang
Di ruangan yang hening dan sepi, Danisha berbaring di sofa sambil mencengkram bantal yang ada di sampingnya. Saat ini jiwanya sedang terancam, namun ia tidak bisa melakukan apapun selain terdiam karena situasinya sangat sulit. Mantan suami yang sebelumnya sudah menghina, menyiksa, dan bahkan menceraikannya, sekarang malah mendekatinya dan mengeluarkan sinyal-sinyal berbahaya. Bian sudah membuka kemeja di tubuhnya, lalu mendekati Danisha dan menekannya di atas sofa. Bian mencium Danisha tanpa aba-aba, padahal saat ini status mereka bukan lagi suami istri. "Sayang! Ini memang agak terlambat! Seharusnya kita melakukannya 2 bulan yang lalu! Tapi tidak apa-apa. Sekarang pun tidak masalah. Kita masih bisa melakukannya di sini, di tempat tinggal yang sudah kita siapkan satu tahun yang lalu!" ucap Bian dengan pelan. Dia pun mengecup telinga Danisha, lalu menekan kedua tangan Danisha ke atas agar wanita itu tidak bisa memberontak. "Bi-Bian! Kita bukan lagi suami istri, tidak seharusnya
Waktu seolah berhenti beberapa detik. Danisha terdiam sambil mencerna apa yang baru saja didengarnya. Antara terkejut, tapi juga sakit di hatinya, Danisha menunduk sambil melihat Bian yang masih memeluk kakinya sambil memohon ampun. "A-apa yang kau katakan?" tanya Danisha dengan terbata. Bagaimana dirinya tidak sakit mendengar semua penyesalan Bian tentang kekeliruannya di malam pertama setelah mereka menikah? Di malam pertama yang seharusnya menjadi malam yang indah setelah mereka menjalin kasih selama 3 tahun, Bian malah tega menuduh Danisha berselingkuh, Bian pun mencaci Danisha tiada henti seperti mencaci seorang pencuri setelah melihat foto palsu itu. Saking marahnya, tanpa mau mendengarkan penjelasan dari istrinya, Bian malah menampar wajah cantik Danisha dengan keras. Dia pun mendorongnya ke meja kopi sampai kening Danisha terluka dan dijahit. Tangan Danisha diinjaknya sampai jari-jarinya bengkak dan cincin pernikahannya digergaji karena tidak bisa dilepas. Bukan hanya itu
Baru saja Danisha bisa bernapas dengan lega setelah melihat seseorang di seberang jalan, tiba-tiba pintu apartemen—yang memiliki dua kamar tidur—itu ada yang menggedor dari luar. Detik berikutnya, seseorang menekan beberapa angka untuk membuka sandi, lalu pintunya terbuka dengan keras membuat Danisha yang duduk di sofa terkejut dan terperanjat. Brak! "Bagus ya, Danish! Tempat tinggal ini kau pakai bersama pria lain. Sedangkan aku ... aku yang membayar DP dan cicilan selama satu tahun malah tidak pernah sama sekali!" teriak Bian sambil masuk dan menatap seorang pria dengan penuh permusuhan. "Dan kau ..." tunjuk Bian pada Wihaldy yang sedang duduk di seberangnya, "tadi sudah kuperingatkan kau agar menjauhi Danish! Tapi kau malah semakin berani, bahkan masuk ke apartemenku tanpa izin! Tuan Wihaldy, aku baru tahu, kau ini orang yang tidak sopan, ya!" "Hah .... Tidak sopan?" gumam Wihaldy sambil mengerutkan kening. Padahal dia baru saja duduk di tempat itu, tidak tahu ini tempat t
Jam 7 malam, Danisha masih mengobrol dengan Wihaldy di dalam restoran. Awalnya Danisha tidak berniat mengenal pria itu lebih jauh. Tapi sekarang, setelah melihatnya terluka karena ulah mantan suami, Danisha pun menjadi tidak enak, juga merasa bersalah pada pria itu. Kalau bukan karena dirinya, Bian tidak mungkin menghajar Wihaldy sampai bibirnya terluka. Danisha pun terus menanyakan, selain bibir, sakitnya di bagian mana lagi?Dan, setelah mengobrol ternyata pria gagah dan tampan itu tidak seburuk yang dibayangkan. Wihaldy sangat nyaman dan asik saat diajak bicara."Aku tinggal di tower A. Biar kuambil dulu obat untuk luka di bibirmu, ya," ucap Danisha setelah selesai menghabiskan makanannya.Dilihatnya, sedari tadi Wihaldy tidak terlalu banyak makan. Mungkin karena di bibir dalamnya ada luka, jadi dia enggan untuk memasukkan makannya ke dalam mulut. Karena hal itulah Danisha berniat mengobati luka pria itu agar dirinya tidak merasa bersalah."Tidak perlu! Aku sungguh tidak apa-apa!"
Danisha tidak ingin ada utang pada Wihaldy, juga tidak ingin suatu saat nanti dia harus membayarnya dengan hal lain. "Untuk pembayaran makanan tadi yang tidak Anda makan, saya tetap akan mengembalikannya pada Anda! Tidak enak rasanya kalau saya membiarkan Anda membayar makanan kami, sedangkan yang memesan makanannya adalah mantan suami saya," ucap Danisha dengan serius. Sekarang pun, kalau bukan karena masalah uang, Danisha tidak akan menghubungi Wihaldy dan memintanya untuk bertemu. Ia terpaksa melakukannya agar ke depannya tidak ada alasan dirinya bertemu dengan pria itu lagi. "Oh, baiklah!" Wihaldy pun mengangguk. Ia tidak akan berdebat dengan wanita di depannya dan tidak ingin wanita itu merasa tidak enak sepanjang hidupnya. Wihaldy akan memakai cara lain untuk membuat Danisha menerima niat baiknya. "Kebetulan, bukti pembayarannya masih ada di dompet. Biar saya cek dulu, ya!" Wihaldy pun membuka dompet hitamnya, melihat kertas putih yang tadi dimasukkan ke dalam dompet
Jam 5 sore, di sebuah kafe yang ada di pusat kota, Wihaldy dan Bian duduk di salah satu meja yang ada di lantai dua sambil menikmati pemandangan sore yang sangat indah. Mereka terdiam beberapa saat dengan suasana yang terasa menegang. "Ah, ya! Seharusnya kau bisa memperlakukan istrimu dengan baik. Memanjakan dia layaknya seorang tuan putri. Kalau sudah begini, apa yang bisa kau lakukan? Kau menerima foto palsu, lalu menceraikan istrimu tanpa mendengarkan penjelasannya. Luka di hatinya pasti sudah sangat dalam. Walau kau melarangku untuk mendekatinya, tapi itu tidak akan membuatmu kembali ke sisinya!" ucap Wihaldy setelah diperingati oleh Bian. Awalnya Wihaldy hanya ingin menyelamatkan harga diri Danisha yang terus disudutkan oleh Bian tadi di restoran. Tapi Bian malah menuduh Wihaldy sebagai pria kesepian yang memanfaatkan situasi. "Dari mana kau tahu foto itu palsu, bahkan kau belum pernah melihatnya, kan? Asal kau tahu saja, Danish pura-pura polos untuk mendapatkan simpati d