"Hey, kau!" tunjuknya pada Wihaldy. "Nanti sore sepulang kerja, kita bertemu di kafe Fun! Aku tunggu!" ucap Bian sambil menahan amarahnya. Daripada ribut di restoran itu, lebih baik Bian mengajak Wihaldy bertemu dan berbicara empat mata di suatu tempat. Bian akan memperingatkan pria kaya itu untuk tidak mendekati Danisha. "Oke!" jawab Wihaldy sambil melepaskan pelukannya. Setelah itu, Bian keluar dari restoran dengan langkah cepat. "Uhuk, uhuk, uhuk!" Danisha tersedak oleh air liurnya sendiri. Tadi yang memesan semua makanan mahal di meja itu adalah Bian. Sekarang dia sudah pergi, sedangkan semua makanan yang ada di mejanya belum dia dibayar. "Ah, bagaimana ini?" 'Bagaimana aku membayarnya?' Jangankan untuk membayar makanan di restoran yang harganya sangat mahal, untuk biaya hidup sehari-hari pun Danisha sudah kesusahan. "Sha!" Dari arah pintu belakang, tiba-tiba seseorang memanggilnya. Ketika dilihat, ternyata itu adalah Stefia. Danisha pun segera melambaika
Jam 5 sore, di sebuah kafe yang ada di pusat kota, Wihaldy dan Bian duduk di salah satu meja yang ada di lantai dua sambil menikmati pemandangan sore yang sangat indah. Mereka terdiam beberapa saat dengan suasana yang terasa menegang. "Ah, ya! Seharusnya kau bisa memperlakukan istrimu dengan baik. Memanjakan dia layaknya seorang tuan putri. Kalau sudah begini, apa yang bisa kau lakukan? Kau menerima foto palsu, lalu menceraikan istrimu tanpa mendengarkan penjelasannya. Luka di hatinya pasti sudah sangat dalam. Walau kau melarangku untuk mendekatinya, tapi itu tidak akan membuatmu kembali ke sisinya!" ucap Wihaldy setelah diperingati oleh Bian. Awalnya Wihaldy hanya ingin menyelamatkan harga diri Danisha yang terus disudutkan oleh Bian tadi di restoran. Tapi Bian malah menyudutkan Wihaldy dan menuduhnya sebagai pria kesepian yang memanfaatkan situasi. Padahal tidak terbersit sedikitpun di benaknya untuk mendekati Danisha kalau wanita itu tidak mau. Karena Danisha tidak pernah menghu
"Namun, untuk pembayaran makanan tadi yang tidak Anda makan, saya tetap akan mengembalikannya pada Anda! Tidak enak rasanya kalau saya membiarkan Anda membayar makanan kami, sedangkan yang memesan makanannya adalah mantan suami saya," balas Danisha dengan jujur. Sekarang pun, kalau bukan karena masalah uang, Danisha tidak akan menghubungi Wihaldy. Ia terpaksa bertemu dengan pria itu sekarang agar ke depannya tidak ada lagi alasan dirinya bertemu dengan pria itu. "Oh, baiklah!" Wihaldy pun mengangguk. Ia tidak akan berdebat dengan wanita di depannya dan tidak ingin wanita itu merasa tidak enak sepanjang hidupnya. Wihaldy akan memakai cara lain untuk membuat Danisha menerima niat baiknya. "Kebetulan, bukti pembayarannya masih ada di dompet. Biar saya cek dulu, ya!" Wihaldy pun membuka dompet hitamnya, melihat kertas putih yang tadi dimasukkan ke dalam dompet bersama kartu bank. Setelah itu, diberikan pada Danisha. "Ini, Nona Sasha!" ucap Wihaldy sambil memberikan bukti pemb
PLAK!!! "Ah ...." Danisha hampir tersungkur ke lantai karena ditampar oleh suami yang baru menikahinya. "Brengsek!" Bian memaki. Dia berkacak pinggang sambil berteriak, "Setelah kita resmi menikah, kenapa baru sekarang kebusukanmu terbongkar, hah? Kenapa?" Ya, hari ini adalah hari pernikahan Danisha Manuela dengan seorang pria yang bernama Bian Moiss setelah tiga tahun berpacaran. Tapi malam ini, setelah mereka kembali dari hotel tempat acara, Bian malah menampar Danisha sambil melempar 10 lembar foto yang memperlihatkan kegilaan Danisha bersama seorang pria di sebuah tempat tidur. Foto-foto itu dia dapat dari seorang tamu yang hadir. Itu membuat Bian sangat marah dan rasanya ingin membunuh Danisha dengan tangannya sendiri. BRUK!!! Kali ini Bian mendorong Danisha sampai tubuh ramping itu menghantam meja kopi yang ada di pojok ruangan. Seketika kening Danisha berdarah, darahnya mengalir mengenai wajah dan gaun pengantinnya yang berwarna putih. "Coba kau lihat sendiri!
Jam 11 malam, di kamar gelap yang hanya ada sedikit cahaya dari lampu luar, Danisha menggigil di pojok ruangan dengan lebam dan panas di sekujur tubuhnya. Kepalanya terasa sakit, luka di keningnya pun infeksi karena terlalu lama dibiarkan, dan jari di tangan kirinya sudah bengkak karena tadi diinjak oleh Bian. Bahkan sekarang cincin pernikahannya pun tidak bisa dilepas karena jarinya ikut membesar. "Ah! Bagaimana ini? Sakit sekali!" Danisha sudah tidak tahan lagi. Kalau terus berada di sana, bisa-bisa dirinya mati konyol. "Aku harus keluar!" ucap Danisha sambil menatap seisi kamar yang nampak gelap. Dari jendela minimalis berukuran lebar 60x150 cm, terlihat ada cahaya dari lampu luar di balik tirai yang tertutup. Sekuat tenaga Danisha bangkit berdiri, menghampiri jendela itu dengan harapan dirinya bisa memanfaatkan itu untuk kabur. "Aishhh!" Danisha mendesis sambil menahan lututnya yang tidak bertenaga saat berdiri. Gaun pengantinnya yang panjang lumayan berat, Danisha semaki
Di sebuah kamar mewah dengan dekorasi modern yang indah, Danisha terbangun karena suara seseorang membuka pintu. Saat bangun, Danisha merasakan tubuhnya panas, dan tulang belulangnya terasa sakit. Rambutnya pun basah, entah karena keringat atau karena air hujan. Selain itu, dadanya terasa sesak dan sakit, seperti ada pisau yang mencabik-cabik isi di dalamnya. "Eh, ini di mana?" Ia pun menatap seisi kamar yang nampak asing, lalu melihat cairan infusan menggantung di samping tempat tidurnya. "Awhhh!" Ketika tangannya diraba, ternyata ada selang yang menempel. "Oh ...." Pantas saja punggung tangannya terasa gatal, ternyata karena perekat yang menahan selang infus agar tidak bergeser. "Nona! Syukurlah Anda sudah bangun!" ucap seseorang dari depan pintu. Danisha pun seketika terkesiap. Ia menoleh ke samping, melihat seorang wanita paruh baya sedang berjalan ke arahnya sambil tersenyum. "Sudah lebih dari 5 jam Anda tidak sadarkan diri, Nona! Anda pun mengalami demam tinggi. Semalam
Di sore hari, kondisi Danisha sudah membaik, demamnya pun sudah turun dan kepalanya tidak pusing. Ia tidak diinfus lagi karena kondisinya benar-benar sudah baik. Hanya memar di tubuh dan sedikit bengkak di tangan, itu tidak masalah. Danisha masih bisa beraktifitas seperti biasa. "Nona! Ini pakaian untuk Anda! Mandi dan pakailah! Pak Lucas menunggu Anda di bawah!" ucap kepala pelayan yang bernama Lunie. Tadi, setelah tuannya pulang kerja, Lunie menceritakan kondisi dan keadaan Danisha pada pria single yang sudah berusia tiga puluh lima tahun—namun belum menikah. Tuannya yang sangat kaya itu langsung memberikan pakaian yang dibawanya dari luar, lalu meminta Lunie untuk memberikannya pada Danisha dan memanggil wanita yang terpaut usia 9 tahun lebih muda darinya itu untuk turun ke bawah. Tapi bukan untuk menemui sang pemilik rumah, melainkan Lucas—asisten pribadinya—mewakilinya untuk berbicara dengan Danisha. "Oh, ya! Terima kasih!" balas Danish sambil mengambil pakaian itu dari tang
Jam 6 sore, langit sudah mulai gelap. Bian datang ke rumah itu dan memarkirkan mobilnya di halaman yang sangat indah dan luas. Dari pintu utama yang tinggi dan besar, Danisha berjalan ditemani kepala pelayan menghampiri Bian. Ketika mereka bertatap muka, Bian terdiam, melihat di kening dan tangan Danisha ada plester besar yang menutupi luka-lukanya. Pakaian dan sepatu yang dipakai Danisha pun nampak mahal, padahal semalam istirnya kabur tanpa mengganti pakaian. "Dari mana saja kau, semalaman tidak pulang? Bahkan kau merusak semua tanaman yang ada di belakang rumah!" Bukannya disambut dengan baik oleh orang yang menjemputnya, Danisha malah dipelototi. Kepala pelayan yang mengantarnya pun sampai terheran-heran dengan sikap kasar Bian. "Terima kasih, Bu! Saya tidak akan melupakan semua kebaikan kalian!" Danisha tidak langsung menjawab pertanyaan Bian. Ia malah berpamitan pada kepala pelayan, lalu berterima kasih lagi untuk kesekian kalinya sebelum dirinya benar-benar pergi. "Iya
"Namun, untuk pembayaran makanan tadi yang tidak Anda makan, saya tetap akan mengembalikannya pada Anda! Tidak enak rasanya kalau saya membiarkan Anda membayar makanan kami, sedangkan yang memesan makanannya adalah mantan suami saya," balas Danisha dengan jujur. Sekarang pun, kalau bukan karena masalah uang, Danisha tidak akan menghubungi Wihaldy. Ia terpaksa bertemu dengan pria itu sekarang agar ke depannya tidak ada lagi alasan dirinya bertemu dengan pria itu. "Oh, baiklah!" Wihaldy pun mengangguk. Ia tidak akan berdebat dengan wanita di depannya dan tidak ingin wanita itu merasa tidak enak sepanjang hidupnya. Wihaldy akan memakai cara lain untuk membuat Danisha menerima niat baiknya. "Kebetulan, bukti pembayarannya masih ada di dompet. Biar saya cek dulu, ya!" Wihaldy pun membuka dompet hitamnya, melihat kertas putih yang tadi dimasukkan ke dalam dompet bersama kartu bank. Setelah itu, diberikan pada Danisha. "Ini, Nona Sasha!" ucap Wihaldy sambil memberikan bukti pemb
Jam 5 sore, di sebuah kafe yang ada di pusat kota, Wihaldy dan Bian duduk di salah satu meja yang ada di lantai dua sambil menikmati pemandangan sore yang sangat indah. Mereka terdiam beberapa saat dengan suasana yang terasa menegang. "Ah, ya! Seharusnya kau bisa memperlakukan istrimu dengan baik. Memanjakan dia layaknya seorang tuan putri. Kalau sudah begini, apa yang bisa kau lakukan? Kau menerima foto palsu, lalu menceraikan istrimu tanpa mendengarkan penjelasannya. Luka di hatinya pasti sudah sangat dalam. Walau kau melarangku untuk mendekatinya, tapi itu tidak akan membuatmu kembali ke sisinya!" ucap Wihaldy setelah diperingati oleh Bian. Awalnya Wihaldy hanya ingin menyelamatkan harga diri Danisha yang terus disudutkan oleh Bian tadi di restoran. Tapi Bian malah menyudutkan Wihaldy dan menuduhnya sebagai pria kesepian yang memanfaatkan situasi. Padahal tidak terbersit sedikitpun di benaknya untuk mendekati Danisha kalau wanita itu tidak mau. Karena Danisha tidak pernah menghu
"Hey, kau!" tunjuknya pada Wihaldy. "Nanti sore sepulang kerja, kita bertemu di kafe Fun! Aku tunggu!" ucap Bian sambil menahan amarahnya. Daripada ribut di restoran itu, lebih baik Bian mengajak Wihaldy bertemu dan berbicara empat mata di suatu tempat. Bian akan memperingatkan pria kaya itu untuk tidak mendekati Danisha. "Oke!" jawab Wihaldy sambil melepaskan pelukannya. Setelah itu, Bian keluar dari restoran dengan langkah cepat. "Uhuk, uhuk, uhuk!" Danisha tersedak oleh air liurnya sendiri. Tadi yang memesan semua makanan mahal di meja itu adalah Bian. Sekarang dia sudah pergi, sedangkan semua makanan yang ada di mejanya belum dia dibayar. "Ah, bagaimana ini?" 'Bagaimana aku membayarnya?' Jangankan untuk membayar makanan di restoran yang harganya sangat mahal, untuk biaya hidup sehari-hari pun Danisha sudah kesusahan. "Sha!" Dari arah pintu belakang, tiba-tiba seseorang memanggilnya. Ketika dilihat, ternyata itu adalah Stefia. Danisha pun segera melambaika
"Apa? Kau me-melihatnya sendiri?" tanya Bian dengan heran. Kalau tadi Danisha bilang melihat Bian dan Rachel dengan mata dan kepalanya sendiri, itu artinya malam itu Danisha juga ada di bar Venus. "Danish! Apa kau juga pergi ke bar 2 hari setelah kita menikah?" tanya Bian dengan penasaran, namun dengan nada yang terdengar mengintrogasi. Bian menggunakan kata "Menikah" untuk menghakimi Danisha yang pergi ke tempat hiburan setelah mereka bertengkar di malam pertama. Padahal pertengkaran itu membuat hubungan mereka berakhir. Bian sudah mengucapkan kata perpisahan membuat Danisha menjadi janda di malam pertama. Namun di saat seperti ini, Bian malah tidak mau mengakuinya. "Dengan siapa kau pergi ke bar malam itu?" tanya Bian karena Danisha tidak menjawab pertanyaannya. Wanita di depannya malah asyik menyantap hidangan yang sudah tersaji di atas meja dengan ekspresi yang sangat baik. Seolah tidak mendengar apa yang Bian tanyakan. Waktu itu Danisha tahu dari Stefia. Teman baiknya
Di sebuah restoran yang tidak jauh dari tempat kerja Danisha, Bian duduk sendiri sambil menyesap minuman yang baru dipesannya. Danisha yang baru masuk terdiam sejenak, lalu menarik napas, menegakan punggung sebelum berjalan menghampiri meja itu. "Ehem...." Danisha berdehem. Lalu duduk di depan Bian dengan perasaan yang sudah tidak karuan. Sudah 2 bulan mereka tidak bertemu, tapi rasa sakit karena tuduhan dan perbuatan kasar Bian pada Danisha masih terasa. Perasaannya masih sangat hancur dan hatinya rasa teriris. Inginnya ia tidak bertemu dengan Bian seumur hidupnya, inginnya mereka berpura-pura tidak saling mengenal dan tidak saling berbicara. Namun sepertinya itu tidak mungkin. Akan selalu ada alasan yang membuat mereka saling berkomunikasi. "Duduklah!" ucap Bian acuh tak acuh. Danisha pun segera duduk di depannya. Setelah itu Bian memanggil pelayan untuk memesan makanan. Sambil menunggu makanan disajikan, terlebih dulu Bian berbicara. "Kuharap kau tidak lupa dengan apar
Di jam makan siang, Danisha yang saat ini masih diberi cuti selama satu minggu, duduk bersama Stefia—yang sedang istirahat—di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantor tempat kerja mereka. Sebelumnya, Danisha sudah menghubungi Stefia melalui telepon yang ada di kamar, meminta teman baiknya itu untuk datang ke kamar hotel sambil membawa sweater besar, juga tas dan dompetnya yang semalam tertinggal di bar. "Sebenarnya semalam kau pergi dengan siapa? Katanya ke toilet, tapi malah menghilang. Pria yang duduk di depan kita bilang, kau pergi bersama temannya. Semua tagihan kita dibayar oleh orang yang bersamamu. Sha, sebenarnya mereka itu siapa?" tanya Stefia dengan heran. Di depannya, Danisha yang masih mengenakan pakaian yang kemarin, namun sekarang sudah memakai sweater, terdiam sambil mengaduk minumannya menggunakan sedotan. Padahal dirinya ingin melupakan kejadian semalam, tapi teman baiknya ini malah membahasnya. "Serius, Sha! Yang duduk di depan kita itu benar temanmu atau buk
Di pinggir jalan yang sepi, hawa panas memenuhi seisi mobil dengan uap yang menutupi kaca. Danisha yang sudah tak berdaya di bawah tubuh seorang pria pun tiba-tiba menghentikan ciuman pria itu. "Sekarang kita ada di jalan! Aku tidak ingin seseorang melihatku seperti ini!" Danisha jadi trauma. Ia tidak ingin seseorang memotret dirinya, lalu fotonya disebar luaskan seperti yang Bian terima kemarin. "Apa kita pindah saja?" tanya Wihaldy yang di hatinya sangat enggan untuk berhenti. Sudah bermain sejauh ini, kalau tiba-tiba berhenti rasanya tidak enak. Tidak ada cara lain, permainan sudah sangat panas, pakaian bagian atas pun sudah sama-sama dilepas, mereka harus pindah tempat untuk melanjutkan, atau menyudahinya sekarang juga sebelum orang lain memergoki. "Enh" Danisha mengangguk dengan napas yang terengah. Padahal awalnya Danisha hanya ingin berterima kasih karena pria itu sangat baik padanya. Tapi respon dari Wihaldy di luar dugaan. Pria itu malah merespon dengan serius ke
"Hah?" Wihaldy mengerutkan kening. Wanita disampingnya bertanya, apa dia akan menculiknya? "Nona! Saya bukan penculik! Kalau diculik pun, Anda sudah saya ikat di belakang!" "Lalu ... kenapa kau membawaku dari bar? Di sana masih ada temanku, loh! Bukankah kita tidak saling mengenal?" tanya Danisha dengan mulut yang dikerucutkan ke depan. Matanya setengah menyipit, menatap pria di sampingnya sambil mencondongkan tubuhnya ke arah pengemudi. Sedikit lagi mereka akan bersentuhan. Orang mabuk memang sangat bodoh. Sudah tahu mereka tidak saling mengenal, tapi Danisha terus saja mendekatinya. "Nona!" panggil Wihaldy sambil menoleh ke samping. Seketika ia beradu pandang dengan mata indah nan cantik dengan wajah imut Danisha dari jarak yang sangat dekat. Detik berikutnya, Wihaldy segera menarik pandangannya kembali. Dengan pelan berkata, "Tadi ada mantan suami Anda di bar!" "Hah, mantan suami? Siapa? Bian maksdumu?" tanya Danisha dengan malas. Ia pun menarik tubuhnya kembali, duduk di k
Pria di depannya ini benar-benar sudah gila. Tadi, Bian menjemput Danisha di rumah orang lain layaknya suami yang baik. Tapi sekarang, dia menurunkannya seperti akan menurunkan seekor domba dari mobilnya, sangat kasar dan arogan. Tanpa membuang waktunya lagi, Danisha pun segera membuka sabuk pengamannya, keluar dari mobil, lalu membuka bagasi belakang sesuai arahan dari Bian. Melihat ada koper hitam yang memang miliknya, Danisha langsung mengangkatnya, lalu menurunkannya ke tanah. Setelah itu, Bian benar-benar pergi. Dia mengunjak gasnya dengan kuat seperti akan menerbangkan mobil dua baris itu ke langit. Melihat mobil dan orangnya sudah pergi, Danisha pun terdiam. Ia membeku di pinggir jalan yang gelap dengan tinju yang terkepal erat di dalam pakaian. Ia pun tidak menyadari, orang yang menolongnya semalam mengikutinya dari belakang. Dan sekarang dia sedang memperhatikannya dari jarak yang tidak terlalu jauh. "Ah, sudahlah! Lebih baik seperti ini. Dia pergi aku pun pergi