"Kau tidak apa-apa, kan?" tanya Wihaldy yang masih memeluk Danisha sama seperti sebelumnya. Bian sudah dibawa pergi oleh petugas keamanan, sekarang di tempat itu hanya ada Danisha berdua dengan Wihaldy. "Terima kasih!" lirih Danisha dengan pelan. Tanpa sadar ia memeluk tubuh kekar pria itu, membenamkan wajahnya di dada Wihaldy dengan perasaan yang sangat tidak karuan. Entah mengapa, pria itu selalu ada untuknya di situasi terburuk sekalipun. Padahal sebelumnya mereka tidak saling mengenal, bertemu pun bukan disengaja. Tapi pria itu, selalu menolong dan menyelamatkan Danisha. "Tidak apa-apa! Sudah seharusnya ini kulakukan. Lain kali, kalau dia mengganggumu lagi, jangan segan untuk segera menghubungiku!" "Oh, iya!" Tiba-tiba Wihaldy berbicara serius. "Anggap saja ini sebagai balasan karena dulu, lima tahun yang lalu kau pernah menyelamatkan aku!" "Hah?" Yang tadinya sedih, sekarang Danisha malah terkejut. Ia penasaran dan segera mendongak menatap Wihaldy yang tampan, yang
Sepertinya itu bukan ide yang buruk. Selain kepindahannya bisa menguntungkan untuk Stefia, itu juga akan menguntungkan untuk Danisha sendiri. DING! Pintu lift pun sudah terbuka. Danisha dan Stefia berjalan menuju ruangannya sambil berbincang. "Bagaimana?" tanya Danisha yang masih penasaran dengan jawaban Stefia. Walau semalam Bian bilang dia akan membayar semua cicilan apartemen dan akan memberi Danisha uang untuk biaya hidupnya, tapi Danisha tidak tertarik dengan itu. Ia masih dengan keputusannya, menolak ajakan Bian untuk kembali bersama. Lebih baik dirinya pusing sendiri untuk mengatur uang tabungannya yang tinggal sedikit itu daripada harus kembali pada pria yang telah memberikan trauma yang mendalam di sepanjang hidupnya. Tring! Belum sempat Stefia menjawab, tiba-tiba terdengar nada dering dari panggilan masuk di ponsel Danisha. Mau diabaikan pun, rasanya tidak bisa. Yang memanggilnya sekarang adalah ayahnya yang sudah dua bulan tidak bertemu. Ayahnya pun tidak tah
PLAK!!! "Ah ...." Danisha hampir tersungkur ke lantai karena ditampar oleh suami yang baru menikahinya. "Brengsek!" Bian memaki. Dia berkacak pinggang sambil berteriak, "Setelah kita resmi menikah, kenapa baru sekarang kebusukanmu terbongkar, hah? Kenapa?" Ya, hari ini adalah hari pernikahan Danisha Manuela dengan seorang pria yang bernama Bian Moiss setelah tiga tahun berpacaran. Tapi malam ini, setelah mereka kembali dari hotel tempat acara, Bian malah menampar Danisha sambil melempar 10 lembar foto yang memperlihatkan kegilaan Danisha bersama seorang pria di sebuah tempat tidur. Foto-foto itu dia dapat dari seorang tamu yang hadir. Itu membuat Bian sangat marah dan rasanya ingin membunuh Danisha dengan tangannya sendiri. BRUK!!! Kali ini Bian mendorong Danisha sampai tubuh ramping itu menghantam meja kopi yang ada di pojok ruangan. Seketika kening Danisha berdarah, darahnya mengalir mengenai wajah dan gaun pengantinnya yang berwarna putih. "Coba kau lihat sendiri!
Jam 11 malam, di kamar gelap yang hanya ada sedikit cahaya dari lampu luar, Danisha menggigil di pojok ruangan dengan lebam dan panas di sekujur tubuhnya. Kepalanya terasa sakit, luka di keningnya pun infeksi karena terlalu lama dibiarkan, dan jari di tangan kirinya sudah bengkak karena tadi diinjak oleh Bian. Bahkan sekarang cincin pernikahannya pun tidak bisa dilepas karena jarinya ikut membesar. "Ah! Bagaimana ini? Sakit sekali!" Danisha sudah tidak tahan lagi. Kalau terus berada di sana, bisa-bisa dirinya mati konyol. "Aku harus keluar!" ucap Danisha sambil menatap seisi kamar yang nampak gelap. Dari jendela minimalis berukuran lebar 60x150 cm, terlihat ada cahaya dari lampu luar di balik tirai yang tertutup. Sekuat tenaga Danisha bangkit berdiri, menghampiri jendela itu dengan harapan dirinya bisa memanfaatkan itu untuk kabur. "Aishhh!" Danisha mendesis sambil menahan lututnya yang tidak bertenaga saat berdiri. Gaun pengantinnya yang panjang lumayan berat, Danisha semaki
Di sebuah kamar mewah dengan dekorasi modern yang indah, Danisha terbangun karena suara seseorang membuka pintu. Saat bangun, Danisha merasakan tubuhnya panas, dan tulang belulangnya terasa sakit. Rambutnya pun basah, entah karena keringat atau karena air hujan. Selain itu, dadanya terasa sesak dan sakit, seperti ada pisau yang mencabik-cabik isi di dalamnya. "Eh, ini di mana?" Ia pun menatap seisi kamar yang nampak asing, lalu melihat cairan infusan menggantung di samping tempat tidurnya. "Awhhh!" Ketika tangannya diraba, ternyata ada selang yang menempel. "Oh ...." Pantas saja punggung tangannya terasa gatal, ternyata karena perekat yang menahan selang infus agar tidak bergeser. "Nona! Syukurlah Anda sudah bangun!" ucap seseorang dari depan pintu. Danisha pun seketika terkesiap. Ia menoleh ke samping, melihat seorang wanita paruh baya sedang berjalan ke arahnya sambil tersenyum. "Sudah lebih dari 5 jam Anda tidak sadarkan diri, Nona! Anda pun mengalami demam tinggi. Semalam
Di sore hari, kondisi Danisha sudah membaik, demamnya pun sudah turun dan kepalanya tidak pusing. Ia tidak diinfus lagi karena kondisinya benar-benar sudah baik. Hanya memar di tubuh dan sedikit bengkak di tangan, itu tidak masalah. Danisha masih bisa beraktifitas seperti biasa. "Nona! Ini pakaian untuk Anda! Mandi dan pakailah! Pak Lucas menunggu Anda di bawah!" ucap kepala pelayan yang bernama Lunie. Tadi, setelah tuannya pulang kerja, Lunie menceritakan kondisi dan keadaan Danisha pada pria single yang sudah berusia tiga puluh lima tahun—namun belum menikah. Tuannya yang sangat kaya itu langsung memberikan pakaian yang dibawanya dari luar, lalu meminta Lunie untuk memberikannya pada Danisha dan memanggil wanita yang terpaut usia 9 tahun lebih muda darinya itu untuk turun ke bawah. Tapi bukan untuk menemui sang pemilik rumah, melainkan Lucas—asisten pribadinya—mewakilinya untuk berbicara dengan Danisha. "Oh, ya! Terima kasih!" balas Danish sambil mengambil pakaian itu dari tang
Jam 6 sore, langit sudah mulai gelap. Bian datang ke rumah itu dan memarkirkan mobilnya di halaman yang sangat indah dan luas. Dari pintu utama yang tinggi dan besar, Danisha berjalan ditemani kepala pelayan menghampiri Bian. Ketika mereka bertatap muka, Bian terdiam, melihat di kening dan tangan Danisha ada plester besar yang menutupi luka-lukanya. Pakaian dan sepatu yang dipakai Danisha pun nampak mahal, padahal semalam istirnya kabur tanpa mengganti pakaian. "Dari mana saja kau, semalaman tidak pulang? Bahkan kau merusak semua tanaman yang ada di belakang rumah!" Bukannya disambut dengan baik oleh orang yang menjemputnya, Danisha malah dipelototi. Kepala pelayan yang mengantarnya pun sampai terheran-heran dengan sikap kasar Bian. "Terima kasih, Bu! Saya tidak akan melupakan semua kebaikan kalian!" Danisha tidak langsung menjawab pertanyaan Bian. Ia malah berpamitan pada kepala pelayan, lalu berterima kasih lagi untuk kesekian kalinya sebelum dirinya benar-benar pergi. "Iya
Pria di depannya ini benar-benar sudah gila. Tadi, Bian menjemput Danisha di rumah orang lain layaknya suami yang baik. Tapi sekarang, dia menurunkannya seperti akan menurunkan seekor domba dari mobilnya, sangat kasar dan arogan. Tanpa membuang waktunya lagi, Danisha pun segera membuka sabuk pengamannya, keluar dari mobil, lalu membuka bagasi belakang sesuai arahan dari Bian. Melihat ada koper hitam yang memang miliknya, Danisha langsung mengangkatnya, lalu menurunkannya ke tanah. Setelah itu, Bian benar-benar pergi. Dia mengunjak gasnya dengan kuat seperti akan menerbangkan mobil dua baris itu ke langit. Melihat mobil dan orangnya sudah pergi, Danisha pun terdiam. Ia membeku di pinggir jalan yang gelap dengan tinju yang terkepal erat di dalam pakaian. Ia pun tidak menyadari, orang yang menolongnya semalam mengikutinya dari belakang. Dan sekarang dia sedang memperhatikannya dari jarak yang tidak terlalu jauh. "Ah, sudahlah! Lebih baik seperti ini. Dia pergi aku pun pergi
Sepertinya itu bukan ide yang buruk. Selain kepindahannya bisa menguntungkan untuk Stefia, itu juga akan menguntungkan untuk Danisha sendiri. DING! Pintu lift pun sudah terbuka. Danisha dan Stefia berjalan menuju ruangannya sambil berbincang. "Bagaimana?" tanya Danisha yang masih penasaran dengan jawaban Stefia. Walau semalam Bian bilang dia akan membayar semua cicilan apartemen dan akan memberi Danisha uang untuk biaya hidupnya, tapi Danisha tidak tertarik dengan itu. Ia masih dengan keputusannya, menolak ajakan Bian untuk kembali bersama. Lebih baik dirinya pusing sendiri untuk mengatur uang tabungannya yang tinggal sedikit itu daripada harus kembali pada pria yang telah memberikan trauma yang mendalam di sepanjang hidupnya. Tring! Belum sempat Stefia menjawab, tiba-tiba terdengar nada dering dari panggilan masuk di ponsel Danisha. Mau diabaikan pun, rasanya tidak bisa. Yang memanggilnya sekarang adalah ayahnya yang sudah dua bulan tidak bertemu. Ayahnya pun tidak tah
"Kau tidak apa-apa, kan?" tanya Wihaldy yang masih memeluk Danisha sama seperti sebelumnya. Bian sudah dibawa pergi oleh petugas keamanan, sekarang di tempat itu hanya ada Danisha berdua dengan Wihaldy. "Terima kasih!" lirih Danisha dengan pelan. Tanpa sadar ia memeluk tubuh kekar pria itu, membenamkan wajahnya di dada Wihaldy dengan perasaan yang sangat tidak karuan. Entah mengapa, pria itu selalu ada untuknya di situasi terburuk sekalipun. Padahal sebelumnya mereka tidak saling mengenal, bertemu pun bukan disengaja. Tapi pria itu, selalu menolong dan menyelamatkan Danisha. "Tidak apa-apa! Sudah seharusnya ini kulakukan. Lain kali, kalau dia mengganggumu lagi, jangan segan untuk segera menghubungiku!" "Oh, iya!" Tiba-tiba Wihaldy berbicara serius. "Anggap saja ini sebagai balasan karena dulu, lima tahun yang lalu kau pernah menyelamatkan aku!" "Hah?" Yang tadinya sedih, sekarang Danisha malah terkejut. Ia penasaran dan segera mendongak menatap Wihaldy yang tampan, yang
Di ruangan yang hening dan sepi, Danisha berbaring di sofa sambil mencengkram bantal yang ada di sampingnya. Saat ini jiwanya sedang terancam, namun ia tidak bisa melakukan apapun selain terdiam karena situasinya sangat sulit. Mantan suami yang sebelumnya sudah menghina, menyiksa, dan bahkan menceraikannya, sekarang malah mendekatinya dan mengeluarkan sinyal-sinyal berbahaya. Bian sudah membuka kemeja di tubuhnya, lalu mendekati Danisha dan menekannya di atas sofa. Bian mencium Danisha tanpa aba-aba, padahal saat ini status mereka bukan lagi suami istri. "Sayang! Ini memang agak terlambat! Seharusnya kita melakukannya 2 bulan yang lalu! Tapi tidak apa-apa. Sekarang pun tidak masalah. Kita masih bisa melakukannya di sini, di tempat tinggal yang sudah kita siapkan satu tahun yang lalu!" ucap Bian dengan pelan. Dia pun mengecup telinga Danisha, lalu menekan kedua tangan Danisha ke atas agar wanita itu tidak bisa memberontak. "Bi-Bian! Kita bukan lagi suami istri, tidak seharusnya
Waktu seolah berhenti beberapa detik. Danisha terdiam sambil mencerna apa yang baru saja didengarnya. Antara terkejut, tapi juga sakit di hatinya, Danisha menunduk sambil melihat Bian yang masih memeluk kakinya sambil memohon ampun. "A-apa yang kau katakan?" tanya Danisha dengan terbata. Bagaimana dirinya tidak sakit mendengar semua penyesalan Bian tentang kekeliruannya di malam pertama setelah mereka menikah? Di malam pertama yang seharusnya menjadi malam yang indah setelah mereka menjalin kasih selama 3 tahun, Bian malah tega menuduh Danisha berselingkuh, Bian pun mencaci Danisha tiada henti seperti mencaci seorang pencuri setelah melihat foto palsu itu. Saking marahnya, tanpa mau mendengarkan penjelasan dari istrinya, Bian malah menampar wajah cantik Danisha dengan keras. Dia pun mendorongnya ke meja kopi sampai kening Danisha terluka dan dijahit. Tangan Danisha diinjaknya sampai jari-jarinya bengkak dan cincin pernikahannya digergaji karena tidak bisa dilepas. Bukan hanya itu
Baru saja Danisha bisa bernapas dengan lega setelah melihat seseorang di seberang jalan, tiba-tiba pintu apartemen—yang memiliki dua kamar tidur—itu ada yang menggedor dari luar. Detik berikutnya, seseorang menekan beberapa angka untuk membuka sandi, lalu pintunya terbuka dengan keras membuat Danisha yang duduk di sofa terkejut dan terperanjat. Brak! "Bagus ya, Danish! Tempat tinggal ini kau pakai bersama pria lain. Sedangkan aku ... aku yang membayar DP dan cicilan selama satu tahun malah tidak pernah sama sekali!" teriak Bian sambil masuk dan menatap seorang pria dengan penuh permusuhan. "Dan kau ..." tunjuk Bian pada Wihaldy yang sedang duduk di seberangnya, "tadi sudah kuperingatkan kau agar menjauhi Danish! Tapi kau malah semakin berani, bahkan masuk ke apartemenku tanpa izin! Tuan Wihaldy, aku baru tahu, kau ini orang yang tidak sopan, ya!" "Hah .... Tidak sopan?" gumam Wihaldy sambil mengerutkan kening. Padahal dia baru saja duduk di tempat itu, tidak tahu ini tempat t
Jam 7 malam, Danisha masih mengobrol dengan Wihaldy di dalam restoran. Awalnya Danisha tidak berniat mengenal pria itu lebih jauh. Tapi sekarang, setelah melihatnya terluka karena ulah mantan suami, Danisha pun menjadi tidak enak, juga merasa bersalah pada pria itu. Kalau bukan karena dirinya, Bian tidak mungkin menghajar Wihaldy sampai bibirnya terluka. Danisha pun terus menanyakan, selain bibir, sakitnya di bagian mana lagi?Dan, setelah mengobrol ternyata pria gagah dan tampan itu tidak seburuk yang dibayangkan. Wihaldy sangat nyaman dan asik saat diajak bicara."Aku tinggal di tower A. Biar kuambil dulu obat untuk luka di bibirmu, ya," ucap Danisha setelah selesai menghabiskan makanannya.Dilihatnya, sedari tadi Wihaldy tidak terlalu banyak makan. Mungkin karena di bibir dalamnya ada luka, jadi dia enggan untuk memasukkan makannya ke dalam mulut. Karena hal itulah Danisha berniat mengobati luka pria itu agar dirinya tidak merasa bersalah."Tidak perlu! Aku sungguh tidak apa-apa!"
Danisha tidak ingin ada utang pada Wihaldy, juga tidak ingin suatu saat nanti dia harus membayarnya dengan hal lain. "Untuk pembayaran makanan tadi yang tidak Anda makan, saya tetap akan mengembalikannya pada Anda! Tidak enak rasanya kalau saya membiarkan Anda membayar makanan kami, sedangkan yang memesan makanannya adalah mantan suami saya," ucap Danisha dengan serius. Sekarang pun, kalau bukan karena masalah uang, Danisha tidak akan menghubungi Wihaldy dan memintanya untuk bertemu. Ia terpaksa melakukannya agar ke depannya tidak ada alasan dirinya bertemu dengan pria itu lagi. "Oh, baiklah!" Wihaldy pun mengangguk. Ia tidak akan berdebat dengan wanita di depannya dan tidak ingin wanita itu merasa tidak enak sepanjang hidupnya. Wihaldy akan memakai cara lain untuk membuat Danisha menerima niat baiknya. "Kebetulan, bukti pembayarannya masih ada di dompet. Biar saya cek dulu, ya!" Wihaldy pun membuka dompet hitamnya, melihat kertas putih yang tadi dimasukkan ke dalam dompet
Jam 5 sore, di sebuah kafe yang ada di pusat kota, Wihaldy dan Bian duduk di salah satu meja yang ada di lantai dua sambil menikmati pemandangan sore yang sangat indah. Mereka terdiam beberapa saat dengan suasana yang terasa menegang. "Ah, ya! Seharusnya kau bisa memperlakukan istrimu dengan baik. Memanjakan dia layaknya seorang tuan putri. Kalau sudah begini, apa yang bisa kau lakukan? Kau menerima foto palsu, lalu menceraikan istrimu tanpa mendengarkan penjelasannya. Luka di hatinya pasti sudah sangat dalam. Walau kau melarangku untuk mendekatinya, tapi itu tidak akan membuatmu kembali ke sisinya!" ucap Wihaldy setelah diperingati oleh Bian. Awalnya Wihaldy hanya ingin menyelamatkan harga diri Danisha yang terus disudutkan oleh Bian tadi di restoran. Tapi Bian malah menuduh Wihaldy sebagai pria kesepian yang memanfaatkan situasi. "Dari mana kau tahu foto itu palsu, bahkan kau belum pernah melihatnya, kan? Asal kau tahu saja, Danish pura-pura polos untuk mendapatkan simpati d
"Hey, kau!" tunjuk Bian pada Wihaldy. "Nanti sore sepulang kerja, kita bertemu di kafe Fun! Aku tunggu!" ucap Bian sambil menahan amarahnya. Daripada ribut di restoran itu, lebih baik Bian mengajak Wihaldy bertemu dan berbicara empat mata di suatu tempat. Bian akan memperingatkan pria kaya itu untuk tidak mendekati Danisha lagi. "Oke!" jawab Wihaldy sambil melepaskan pelukannya. Setelah itu, Bian keluar dari restoran dengan langkah cepat. "Uhuk, uhuk, uhuk!" Danisha tersedak oleh air liurnya sendiri. Tadi yang memesan semua makanan di meja itu adalah Bian. Namun, sekarang dia pergi, sedangkan semua makanan yang ada di mejanya belum dia dibayar. "Ah, bagaimana ini?" 'Bagaimana aku membayarnya?' Jangankan untuk membayar makanan di restoran yang harganya sangat mahal, untuk biaya hidup sehari-hari pun Danisha sudah kesusahan. "Sha!" Dari arah pintu belakang, tiba-tiba seseorang memanggilnya. Ketika dilihat, ternyata itu adalah Stefia. Danisha pun segera melamba