Di sebuah kamar mewah dengan dekorasi modern yang indah, Danisha terbangun karena suara seseorang membuka pintu. Saat bangun, Danisha merasakan tubuhnya panas, dan tulang belulangnya terasa sakit. Rambutnya pun basah, entah karena keringat atau karena air hujan. Selain itu, dadanya terasa sesak dan sakit, seperti ada pisau yang mencabik-cabik isi di dalamnya.
"Eh, ini di mana?" Ia pun menatap seisi kamar yang nampak asing, lalu melihat cairan infusan menggantung di samping tempat tidurnya. "Awhhh!" Ketika tangannya diraba, ternyata ada selang yang menempel. "Oh ...." Pantas saja punggung tangannya terasa gatal, ternyata karena perekat yang menahan selang infus agar tidak bergeser. "Nona! Syukurlah Anda sudah bangun!" ucap seseorang dari depan pintu. Danisha pun seketika terkesiap. Ia menoleh ke samping, melihat seorang wanita paruh baya sedang berjalan ke arahnya sambil tersenyum. "Sudah lebih dari 5 jam Anda tidak sadarkan diri, Nona! Anda pun mengalami demam tinggi. Semalam dokter sudah memeriksa Anda, untungnya tidak ada hal yang serius. Anda hanya demam, juga luka di bagian luar. Untuk bagian dalam, dokter bilang tidak ada masalah! ” jelas wanita paruh baya itu dengan ramah. "I-ini di mana? Kenapa saya bisa ada di sini? Dan, Anda? Anda siapa?" tanya Danisha dengan bingung. Ia pun perlahan bangun, lalu duduk dan bersandar di kepala tempat tidur sambil melihat wanita di sampingnya. Diingat-ingat kembali, tadi malam dirinya kabur dari rumah suami, lalu berkeliaran di jalan sambil memakai gaun pengantin yang sudah dipotong sepaha. Tapi sekarang, Danisha sudah ada di rumah seseorang. Ia pun memakai pakaian tidur panjang yang lengkap dengan pakaian dalam. Dan luka di keningnya, sekarang sudah dijahit dan ditutup dengan perban. "Ini???" tunjuk Danisha pada baju tidur besar yang ada di tubuhnya. Wanita paruh baya itu menjawab sambil berdiri di samping tempat tidur Danisha. "Tadi malam, Tuan membawa Anda kemari. Katanya Anda pingsan di jalan. Saya dan para pelayan sudah mengelap tubuh Anda, lalu mengganti semua pakaian Anda. Oh iya, gaun yang Anda pakai semalam, maaf... kami sudah membuangnya! Selain kotor karena tanah dan darah, juga karena sudah kami gunting. Semalam tubuh Anda benar-benar lebam dan lecet. Kami langsung membukanya dengan cara digunting!" "Oh, ya! " Danisha pun mengerti. Ia tidak akan mempermasalahkan hal itu. "Lalu .... Tuan yang anda maksud?" tanya Danisha penasaran. Siapa orang yang membawanya dari jalan di saat semua orang tidak ada yang mau menolongnya? Dan, apa tujuan orang itu menolongnya? Selain itu, semalam Danisha samar melihat wajah tampan yang memakai pakaian rapi datang menghampirinya sambil membawa payung. Tubuhnya mengeluarkan wangi yang enak dan segar. Siapakah orang itu? "Hehe!" Wanita paruh baya itu malah tersenyum sambil menarik selimut Danisha. Mengisyaratkan dia agar kembali tidur. "Oh, ya, Nona! Tuan bilang, beliau minta maaf pada Anda. Tadi malam dokter dan Tuan memotong cincin Anda karena menghambat peredaran darah di jari Anda!" "Heh?" Mendengar ucapan wanita paruh baya itu tentang cincin di jarinya, Danisha jadi teringat, semalam tangannya memang bengkak karena diinjak oleh Bian, jari manisnya pun ikut membesar dan sakit. Cincinnya tidak bisa dilepas. Ya, mungkin dipotong adalah solusi yang terbaik untuk membuka cincinnya yang menghambat peredaran darah. Sekarang jarinya masih sedikit bengkak, namun tidak sesakit tadi malam. "Ah, ya! Terima kasih!" ucap Danisha dengan pelan. Ia berterimakasih karena tuannya benar-benar menolongnya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Bahkan ia dipinjami pakaian tidurnya yang kebesaran. "Baiklah, Nona! Ini masih jam 6 pagi. Anda bisa tidur sampai jam 8, nanti dokter akan datang untuk memeriksa Anda!" ucapnya sambil membantu Danisha berbaring. Danisha pun tidak membantah. Ia menuruti ucapan wanita paruh baya itu dan kembali berbaring di kasur yang sangat luas dan nyaman. "Eh, Nona! Tuan meminta saya untuk menghubungi keluarga Anda. Mungkin sekarang mereka sedang mencari Anda! Biar saya catat dulu nomornya," ucap wanita yang merupakan kepala pelayan di rumah mewah tersebut. Dia pun segera mengeluarkan buku kecil dari saku pakaian, lalu melihat Danisha dan bersiap untuk mencatat nomor telepon keluarganya. "Ah... keluarga?" gumam Danisha dengan hidung yang terasa masam. Saat ini, dirinya sedang kabur dari rumah suami. Sedangkan orang tua, orang tua Danisha sudah pulang ke Kota C setelah acara pernikahannya selesai. Ayah, ibu, dan juga kakak perempuan yang tinggal di kota ini tidak tahu kalau sekarang Danisha sudah diceraikan oleh Bian. Tidak mungkin Danisha menghubungi ayahnya dan mengadu kalau Bian menyiksanya semalam. Tapi, kalau memang ada yang harus dia hubungi, siapa orang yang bisa dihubungi? Apa mereka akan senang kalau tahu Danisha baik-baik saja? "Maaf, Bu! Saya tidak ada keluarga untuk dihubungi!" Akhirnya Danisha mengatakannya. Ia berkata dengan pelan dan dengan raut wajah yang berubah menjadi sedih. "Oh, tidak ada, aya? Kalau suami bagaimana? Semalam Anda memakai riasan wajah, juga gaun pengantin yang sudah robek. Saya pikir Anda pengantin baru yang menjadi korban tabrak lari," balas kepala pelayan sambil mengerutkan kening. "Hehe! Ya, itu memang benar. Tapi bukan korban tabrak lari. Saya hanya ...." Danisha tersenyum kecut. Merasa kasihan pada dirinya sendiri yang sudah dicerai di malam pertama, juga dihina dan disudutkan oleh keluarga suami. Namun ia tidak diizinkan untuk membela diri dan menjelaskan bahwa dirinya tidak bersalah. Perlahan air matanya mengalir keluar. Danisha pun segera memalingkan mukanya ke samping dan menyeka basah di pipi. Ia tidak ingin orang lain melihat kehancuran hatinya. "Owh! Ya, sudah ... ya, sudah! Anda bisa istirahat di sini sampai kondisi Anda membaik. Saya tidak akan menghubungi keluarga Anda! Sekarang, tidurlah!" ucap kepala pelayan yang sudah mengerti dengan perubahan emosi Danisha. Dia pun kembali memasukan buku kecilnya ke dalam saku, lalu keluar dari kamar itu.Di sore hari, kondisi Danisha sudah membaik, demamnya pun sudah turun dan kepalanya tidak pusing. Ia tidak diinfus lagi karena kondisinya benar-benar sudah baik. Hanya memar di tubuh dan sedikit bengkak di tangan, itu tidak masalah. Danisha masih bisa beraktifitas seperti biasa. "Nona! Ini pakaian untuk Anda! Mandi dan pakailah! Pak Lucas menunggu Anda di bawah!" ucap kepala pelayan yang bernama Lunie. Tadi, setelah tuannya pulang kerja, Lunie menceritakan kondisi dan keadaan Danisha pada pria single yang sudah berusia tiga puluh lima tahun—namun belum menikah. Tuannya yang sangat kaya itu langsung memberikan pakaian yang dibawanya dari luar, lalu meminta Lunie untuk memberikannya pada Danisha dan memanggil wanita yang terpaut usia 9 tahun lebih muda darinya itu untuk turun ke bawah. Tapi bukan untuk menemui sang pemilik rumah, melainkan Lucas—asisten pribadinya—mewakilinya untuk berbicara dengan Danisha. "Oh, ya! Terima kasih!" balas Danish sambil mengambil pakaian itu dari tang
Jam 6 sore, langit sudah mulai gelap. Bian datang ke rumah itu dan memarkirkan mobilnya di halaman yang sangat indah dan luas. Dari pintu utama yang tinggi dan besar, Danisha berjalan ditemani kepala pelayan menghampiri Bian. Ketika mereka bertatap muka, Bian terdiam, melihat di kening dan tangan Danisha ada plester besar yang menutupi luka-lukanya. Pakaian dan sepatu yang dipakai Danisha pun nampak mahal, padahal semalam istirnya kabur tanpa mengganti pakaian. "Dari mana saja kau, semalaman tidak pulang? Bahkan kau merusak semua tanaman yang ada di belakang rumah!" Bukannya disambut dengan baik oleh orang yang menjemputnya, Danisha malah dipelototi. Kepala pelayan yang mengantarnya pun sampai terheran-heran dengan sikap kasar Bian. "Terima kasih, Bu! Saya tidak akan melupakan semua kebaikan kalian!" Danisha tidak langsung menjawab pertanyaan Bian. Ia malah berpamitan pada kepala pelayan, lalu berterima kasih lagi untuk kesekian kalinya sebelum dirinya benar-benar pergi. "Iya
Pria di depannya ini benar-benar sudah gila. Tadi, Bian menjemput Danisha di rumah orang lain layaknya suami yang baik. Tapi sekarang, dia menurunkannya seperti akan menurunkan seekor domba dari mobilnya, sangat kasar dan arogan. Tanpa membuang waktunya lagi, Danisha pun segera membuka sabuk pengamannya, keluar dari mobil, lalu membuka bagasi belakang sesuai arahan dari Bian. Melihat ada koper hitam yang memang miliknya, Danisha langsung mengangkatnya, lalu menurunkannya ke tanah. Setelah itu, Bian benar-benar pergi. Dia mengunjak gasnya dengan kuat seperti akan menerbangkan mobil dua baris itu ke langit. Melihat mobil dan orangnya sudah pergi, Danisha pun terdiam. Ia membeku di pinggir jalan yang gelap dengan tinju yang terkepal erat di dalam pakaian. Ia pun tidak menyadari, orang yang menolongnya semalam mengikutinya dari belakang. Dan sekarang dia sedang memperhatikannya dari jarak yang tidak terlalu jauh. "Ah, sudahlah! Lebih baik seperti ini. Dia pergi aku pun pergi
"Hah?" Wihaldy mengerutkan kening. Wanita disampingnya bertanya, apa dia akan menculiknya? "Nona! Saya bukan penculik! Kalau diculik pun, Anda sudah saya ikat di belakang!" "Lalu ... kenapa kau membawaku dari bar? Di sana masih ada temanku, loh! Bukankah kita tidak saling mengenal?" tanya Danisha dengan mulut yang dikerucutkan ke depan. Matanya setengah menyipit, menatap pria di sampingnya sambil mencondongkan tubuhnya ke arah pengemudi. Sedikit lagi mereka akan bersentuhan. Orang mabuk memang sangat bodoh. Sudah tahu mereka tidak saling mengenal, tapi Danisha terus saja mendekatinya. "Nona!" panggil Wihaldy sambil menoleh ke samping. Seketika ia beradu pandang dengan mata indah nan cantik dengan wajah imut Danisha dari jarak yang sangat dekat. Detik berikutnya, Wihaldy segera menarik pandangannya kembali. Dengan pelan berkata, "Tadi ada mantan suami Anda di bar!" "Hah, mantan suami? Siapa? Bian maksdumu?" tanya Danisha dengan malas. Ia pun menarik tubuhnya kembali, duduk di k
Di pinggir jalan yang sepi, hawa panas memenuhi seisi mobil dengan uap yang menutupi kaca. Danisha yang sudah tak berdaya di bawah tubuh seorang pria pun tiba-tiba menghentikan ciuman pria itu. "Sekarang kita ada di jalan! Aku tidak ingin seseorang melihat kita!" Danisha masih trauma. Ia tidak ingin seseorang memotret dirinya, lalu fotonya disebar luaskan seperti yang Bian terima kemarin. "Apa kita pindah saja?" tanya Wihaldy yang di hatinya sangat enggan untuk berhenti. Permainan sudah sejauh ini, dan di bawah perutnya sudah sangat sesak, kalau tiba-tiba berhenti rasanya tidak enak. Tidak ada cara lain, permainan sudah sangat panas, pakaian bagian atas pun sudah sama-sama dilepas, mereka harus pindah tempat untuk melanjutkan, atau menyudahinya sekarang juga sebelum orang lain memergoki. "Enh" Danisha mengangguk dengan napas yang terengah. Padahal awalnya Danisha hanya ingin berterima kasih karena pria itu sangat baik padanya. Tapi respon dari Wihaldy di luar dugaan. Pria
Di jam makan siang, Danisha yang saat ini masih diberi cuti selama satu minggu, duduk bersama Stefia—yang sedang istirahat—di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantor tempat kerja mereka. Sebelumnya, Danisha sudah menghubungi Stefia melalui telepon yang ada di kamar, meminta teman baiknya itu untuk datang ke kamar hotel sambil membawa sweater besar, juga tas dan dompetnya yang semalam tertinggal di bar. "Sebenarnya semalam kau pergi dengan siapa? Katanya ke toilet, tapi malah menghilang. Pria yang duduk di depan kita bilang, kau pergi bersama temannya. Semua tagihan kita dibayar oleh orang yang bersamamu. Sha, sebenarnya mereka itu siapa?" tanya Stefia dengan heran. Di depannya, Danisha yang masih mengenakan pakaian yang kemarin, namun sekarang sudah memakai sweater, terdiam sambil mengaduk minumannya menggunakan sedotan. Padahal dirinya ingin melupakan kejadian semalam, tapi teman baiknya ini malah membahasnya. "Serius, Sha! Yang duduk di depan kita itu benar temanmu atau buk
Di sebuah restoran yang tidak jauh dari tempat kerja Danisha, Bian duduk sendiri sambil menyesap minuman yang baru dipesannya. Danisha yang baru masuk terdiam sejenak, lalu menarik napas, menegakan punggung sebelum berjalan menghampiri meja itu. "Ehem ...." Danisha berdehem sambil berdiri di depan Bian dengan perasaan yang sudah tidak karuan. Sudah 2 bulan mereka tidak bertemu, tapi rasa sakit karena tuduhan dan perbuatan kasar Bian pada Danisha masih terasa. Perasaannya masih sangat hancur dan hatinya rasa teriris. Inginnya ia tidak bertemu dengan Bian seumur hidupnya, inginnya mereka berpura-pura tidak saling mengenal dan tidak saling berbicara. Namun sepertinya itu tidak mungkin. Akan selalu ada alasan yang membuat mereka saling berkomunikasi. "Duduklah!" ucap Bian acuh tak acuh. Danisha pun segera duduk di depannya. Setelah itu Bian memanggil pelayan untuk memesan makanan. Sambil menunggu makanan disajikan, terlebih dulu Bian berbicara. "Kuharap kau tidak lupa dengan
"Apa? Kau me-melihatku di bar Venus?" tanya Bian dengan heran. Kalau Danisha bilang melihat Bian dan Rachel dengan mata dan kepalanya sendiri, itu artinya malam itu Danisha juga ada di bar Venus. "Danish! Apa kau juga pergi ke bar 2 hari setelah kita menikah?" tanya Bian dengan penasaran, namun dengan nada yang terdengar mengintrogasi. Bian menggunakan kata "Menikah" untuk menghakimi Danisha yang pergi ke tempat hiburan setelah mereka bertengkar di malam pertama. Padahal pertengkaran itu membuat hubungan mereka berakhir. Bian sudah mengucapkan kata perpisahan membuat Danisha menjadi janda di malam pertama. Namun di saat seperti ini, Bian malah tidak mau mengakuinya. "Dengan siapa kau pergi ke bar malam itu?" tanya Bian karena Danisha tidak menjawab pertanyaannya. Wanita di depannya malah asyik menyantap hidangan yang sudah tersaji di atas meja dengan ekspresi yang sangat baik. Seolah tidak mendengar apa yang Bian tanyakan. Waktu itu Danisha tahu dari Stefia. Teman baiknya i
Saat ini Danisha sedang berada di tempat karaoke dengan jadwal "karaoke keluarga" yang beroperasi dari jam 14:00 sampai jam 24:00. Walau ia tidak melakukan apapun dengan pria lain di tempat itu, tapi Danisha tetap ragu dan takut untuk berkata terus terang pada Wihaldy.Akhirnya Danisha menelepon balik.Baru satu detik memanggil, dari seberang telepon langsung terdengar suara. Dia menyapa dan bertanya pada Danisha."Halo! Sayang, kau di mana?""Eh ...." Danisha menjadi gugup. Ia balik bertanya pada Wihaldy. "Maaf tadi kau menelepon, ya?"Terdiam beberapa saat, selanjutnya Wihaldy mengiyakan. "Emh, ya! Sayang masih ada di kantor? Mau aku jemput?""Ah, ti-tidak usah! Aku pulang bareng Stefi," balas Danisha dengan pelan sambil menatap kiri dan kanan.Ia penuh waspada melihat sekitar—di samping pintu ruangannya.Di lorong yang terdapat banyak pintu, hawanya terasa hening dan sepi, perasaan Danisha pun sangat tidak enak. Entah karena dirinya sedang berbohong, atau karena Wihaldy ada di sebe
Hari berikutnya, tepatnya di hari Senin, Danisha berangkat ke kantor dengan cantik dan ceria. Ia merias sedikit wajahnya, rambut dibiarkan terurai panjang dengan gelombang besar yang dibuat menggunakan alat. Tubuh rampingnya dibalut dengan pakaian yang sangat bagus yang sebelumnya tidak pernah lagi dipakai setelah perpisahannya dengan Bian. Awalnya, hidup Danisha terasa sulit setelah perpisahannya dengan sang suami yang baru menikah beberapa jam. Menjalani hari-hari pun terasa berat dan rasanya ingin menyerah saja. Tapi sekarang, setelah ada orang baru yang masuk ke dalam hidupnya, dirinya kembali bersemangat. Ia sangat bahagia, rasanya ingin selalu tampil cantik dan membuat prianya kagum. "Hai Stef ..." sapa Danisha dengan riangannya. Ia terlihat ceria masuk dan menyapa Stefia yang sudah duduk di mejanya, namun dengan raut yang cemberut. "Ada apa denganmu? Apa kau sakit?" tanya Danisha yang langsung mengubah ekspresinya menjadi serius. Danisha pun mendekat, menghampiri rekan
"Hehe. ..." Wihaldy malah tersenyum sambil menarik tangan Danisha dari mulutnya. "Ya sudah, kau tidak bilang apapun! Aku saja yang terlalu percaya diri kalau kau sebenarnya sangat peduli terhadapku!" ucap Wihaldy dengan sedikit bercanda, namun dengan suara yang sangat pelan dan menggoda. Ia pun menunduk, menatap Danisha dari jarak yang sangat dekat. "Ah, ti-tidak! Siapa yang ped—" Tidak ingin mendengar pembelaan bohong dari Danisha, Wihaldy segera mengecup bibirnya. "Eh ...." Hal itu membuat Danisha terkejut. Ia langsung menutup mulutnya sendiri dengan tangan, seolah melarang Wihaldy untuk mendekatinya lagi. "Danish, aku ingin berbicara serius denganmu. Selama ini, kau sudah kuanggap sebagai orang terdekatku. Selain kau, tidak ada wanita yang dekat denganku. Tidak ada wanita lain yang kepedulian. Tidak ada juga wanita yang kuistimewakan. Jujur saja, aku menyukaimu. Bukan karena kita pernah tidur bersama, tapi ... jauh sebelum itu pun aku sudah tertarik kepadamu. Maukah kau menj
Di kamar yang sangat luas dengan dinding kaca dan tirai yang terbuka, menampakan pemandangan kota yang sangat indah, Danisha perlahan masuk ke dalam kamar mengikuti pria di depannya. "Duduklah! Akan kupesankan minuman hangat untukmu!" ucap Wihaldy sambil berjalan menuju meja kecil yang terdapat saluran telepon di pojok ruangan. Dia akan memesan sesuatu ke kamarnya sesuai dengan apa yang dibilangnya pada Danisha. "Enh, ya!" Danisha pun mengangguk. Ia duduk di sofa panjang, terdiam menikmati pemandangan kota di malam hari yang sangat indah dan memukau dari balik kaca besar di depannya. Entah mengapa, saat ini dirinya kebingungan. Beban di kepalanya sangat banyak sampai memenuhi semua ruang dan membuatnya lambat untuk berpikir jernih. Awalnya Danisha berjalan keluar dari rumahnya untuk mencari udara segar dan untuk mendinginkan emosinya. Tapi sekarang, dia malah mengikuti Wihaldy ke kamar hotel. "Apa yang aku lakukan?" gumamnya sambil membuka ponsel. Di dalam ponselnya, wa
Waktu sudah menunjukan pukul 11 malam. Di kawasan elit namun tidak terlalu mewah itu Danisha keluar dari rumah dan berjalan menuju gerbang utama perumahan. Awalnya, Danisha mengira bahwa kepulangannya kali ini akan sangat menyenangkan setelah beberapa bulan dirinya tidak pulang. Ia akan menjelaskan semuanya pada ayah, dan ayahnya akan memeluknya sambil berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi sekarang, yang terjadi malah sebaliknya. Semuanya kacau dan hati Danisha semakin hancur. "Aishhh! Sial!" makinya dengan sangat kesal. Danisha terus berjalan menyusuri trotoar jalan tanpa arah dan tujuan. "Ternyata dalang dari semua ini adalah Rachel! Dia yang membuat foto itu, lalu ... setelah semua orang percaya dia membuka kedua kakinya untuk Bian! Aishhh, sungguh menjijikan!" "Lalu ... Haldy! Dia—" Danisha terdiam. Memikirkan kembali pria baik yang selalu ada di situasi terburuknya itu ternyata bermuka dua, Danisha menjadi kesal. "Pantas saja rasanya sangat aneh! Kemarin
Seketika suasana menjadi hening. Dari arah depan, terdengar seseorang membuka pintu, lalu orang itu masuk ke dalam dan berdiri di ambang pintu ruang keluarga."Eh, Danish ... Bian, kalian juga ada di sini?" ucap pertama Rachel ketika dia baru sampai di rumah.Ini bukanlah sebuah kebetulan, di mana kedua anak perempuan di rumah itu pulang ke rumah. Rosi lah yang menyuruh putrinya pulang ke rumah ketika tadi siang Bian menga bari kalau Bian akan datang.Sebagai seorang ibu yang sangat mencintai putrinya, tentu Rosi tahu kalau dari dulu Rachel sudah menyukai Bian. Rachel berteman dengan Bian dan selalu mengajak pria itu ke rumah. Hingga pada suatu hari ketika Bian main ke rumah, dia melihat Danisha yang cantik dan polos ada di rumah. Saat itu juga Bian langsung jatuh cinta dan meminta Rachel untuk mengenalkan Danisha padanya. Saat itu, Rosi sangat tahu bagaimana perasaan putrinya yang patah hati karena pria yang dicintainya malah menyukai adik tirinya. Rosi pun ingin membantu, tapi Rache
Di ruang keluarga yang hening dan dingin, berkumpul lima orang dewasa yang terdiri Danisha, ayah dan ibunya, juga Bian dan Wihaldy. Mereka duduk dan menjelaskan apa yang terjadi sebelumnya."Okeh, sekarang semuanya sudah jelas, perceraian kemarin itu karena sebuah kesalahan. Bian pun sudah menyesal dan meminta maaf. Kalau mau kembali bersama pun, rasanya itu wajar-wajar saja. Apalagi menikahnya baru satu hari langsung berpisah karena emosi, sekarang dengan keadaan yang baik, semuanya bisa dimulai dari awal lagi. Dan, untuk Haldy, kau bisa melihatnya sendiri kan, Danish dan suaminya akan kembali bersama, kau pun bisa mencari wanita lain untuk dijadikan istri. Kau layak mendapatakan seorang gadis untuk menjadi istrimu!" jelas Doni panjang lebar pada Danisa dan Wihaldy.Doni tidak tahu latar belakang Wihaldy seperti apa. Tidak tahu juga kekerasan apa yang telah putrinya terima di malam pertama setelah menikah sampai dia terluka cukup parah. Yang Doni tahu saat ini ialah, menantunya yang
Perjalanan selama dua jam menuju Kota C terasa sangat lama ketika mood sedang tidak baik. Danisha pun sangat gelisah memikirkan apa yang mungkin Bian bicarakan pada ayah dan ibunya di rumah. Mungkin juga Bian bersikap baik agar ayahnya mendukung tindakannya yang ingin menikahi Danisha kembali. "Mantan suamimu ada di rumah, ya?" tanya Wihaldy yang tadi sempat mendengar pembicaraan Danisha dengan ayahnya di restoran. Wihaldy hampir mendengar semuanya, termasuk saat Danisha bilang akan pulang berama seorang pria ke rumah orang tuanya. "Tenanglah! Aku akan membantumu!" Tiba-tiba Wihaldy meraih tangan Danisha, lalu menggenggamnya dengan erat. "Eh ...." Danisha menoleh ke samping, melihat Wihaldy yang juga menatapnya. "Sebentar lagi kita akan sampai! Bersiaplah!" Wihaldy melepaskan genggaman tangannya. Lalu melihat peta yang ada di ponsel Danisha yang diletakkan di atas dashboard mobil. Tidak lama, mobil mewah yang dikendarai oleh Wihaldy pun memasuki sebuah komplek perumahan dan berhe
"Ka-kapan itu?" Danisha mulai mengingat-ingat. Lima tahun yang lalu, sebelum mengenal Bian dan sebelum dirinya lulus kuliah, Danisha masih ada di Kota C dan tinggal bersama ayahnya. Ketika sedang libur kuliah, Danisha pergi ke kota A dan menginap di tempat kakaknya yang sudah terlebih dulu tinggal di sana dan bekerja di tempat hiburan. Hingga di Sabtu malam ketika Danisha hendak pergi ke tempat kerja Rachel untuk mengantar barangnya yang tertinggal, Danisha melihat seseorang naik ke atas pembatas jembatan ketika dirinya ada di dalam taksi. Saat itu jalanan sangat macet, seorang pria dengan penampilan yang sangat kacau terlihat memaki dan mengutuk dirinya sendiri sambil menghadap ke arah sungai yang ada di bawah jembatan. Mungkin sebentar lagi pria itu akan loncat ke sungai. Danisha yang melihatnya pun menjadi panik. Ia meminta ijin pada sopir taksi untuk keluar, dan meminta sang sopir untuk tetap menunggunya. Danisha berlari menghampiri pria itu tanpa menghiraukan apapun. Pikirny