Di sebuah kamar mewah dengan dekorasi modern yang indah, Danisha terbangun karena suara seseorang membuka pintu. Saat bangun, Danisha merasakan tubuhnya panas, dan tulang belulangnya terasa sakit. Rambutnya pun basah, entah karena keringat atau karena air hujan. Selain itu, dadanya terasa sesak dan sakit, seperti ada pisau yang mencabik-cabik isi di dalamnya.
"Eh, ini di mana?" Ia pun menatap seisi kamar yang nampak asing, lalu melihat cairan infusan menggantung di samping tempat tidurnya. "Awhhh!" Ketika tangannya diraba, ternyata ada selang yang menempel. "Oh ...." Pantas saja punggung tangannya terasa gatal, ternyata karena perekat yang menahan selang infus agar tidak bergeser. "Nona! Syukurlah Anda sudah bangun!" ucap seseorang dari depan pintu. Danisha pun seketika terkesiap. Ia menoleh ke samping, melihat seorang wanita paruh baya sedang berjalan ke arahnya sambil tersenyum. "Sudah lebih dari 5 jam Anda tidak sadarkan diri, Nona! Anda pun mengalami demam tinggi. Semalam dokter sudah memeriksa Anda, untungnya tidak ada hal yang serius. Anda hanya demam, juga luka di bagian luar. Untuk bagian dalam, dokter bilang tidak ada masalah! ” jelas wanita paruh baya itu dengan ramah. "I-ini di mana? Kenapa saya bisa ada di sini? Dan, Anda? Anda siapa?" tanya Danisha dengan bingung. Ia pun perlahan bangun, lalu duduk dan bersandar di kepala tempat tidur sambil melihat wanita di sampingnya. Diingat-ingat kembali, tadi malam dirinya kabur dari rumah suami, lalu berkeliaran di jalan sambil memakai gaun pengantin yang sudah dipotong sepaha. Tapi sekarang, Danisha sudah ada di rumah seseorang. Ia pun memakai pakaian tidur panjang yang lengkap dengan pakaian dalam. Dan luka di keningnya, sekarang sudah dijahit dan ditutup dengan perban. "Ini???" tunjuk Danisha pada baju tidur besar yang ada di tubuhnya. Wanita paruh baya itu menjawab sambil berdiri di samping tempat tidur Danisha. "Tadi malam, Tuan membawa Anda kemari. Katanya Anda pingsan di jalan. Saya dan para pelayan sudah mengelap tubuh Anda, lalu mengganti semua pakaian Anda. Oh iya, gaun yang Anda pakai semalam, maaf... kami sudah membuangnya! Selain kotor karena tanah dan darah, juga karena sudah kami gunting. Semalam tubuh Anda benar-benar lebam dan lecet. Kami langsung membukanya dengan cara digunting!" "Oh, ya! " Danisha pun mengerti. Ia tidak akan mempermasalahkan hal itu. "Lalu .... Tuan yang anda maksud?" tanya Danisha penasaran. Siapa orang yang membawanya dari jalan di saat semua orang tidak ada yang mau menolongnya? Dan, apa tujuan orang itu menolongnya? Selain itu, semalam Danisha samar melihat wajah tampan yang memakai pakaian rapi datang menghampirinya sambil membawa payung. Tubuhnya mengeluarkan wangi yang enak dan segar. Siapakah orang itu? "Hehe!" Wanita paruh baya itu malah tersenyum sambil menarik selimut Danisha. Mengisyaratkan dia agar kembali tidur. "Oh, ya, Nona! Tuan bilang, beliau minta maaf pada Anda. Tadi malam dokter dan Tuan memotong cincin Anda karena menghambat peredaran darah di jari Anda!" "Heh?" Mendengar ucapan wanita paruh baya itu tentang cincin di jarinya, Danisha jadi teringat, semalam tangannya memang bengkak karena diinjak oleh Bian, jari manisnya pun ikut membesar dan sakit. Cincinnya tidak bisa dilepas. Ya, mungkin dipotong adalah solusi yang terbaik untuk membuka cincinnya yang menghambat peredaran darah. Sekarang jarinya masih sedikit bengkak, namun tidak sesakit tadi malam. "Ah, ya! Terima kasih!" ucap Danisha dengan pelan. Ia berterimakasih karena tuannya benar-benar menolongnya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Bahkan ia dipinjami pakaian tidurnya yang kebesaran. "Baiklah, Nona! Ini masih jam 6 pagi. Anda bisa tidur sampai jam 8, nanti dokter akan datang untuk memeriksa Anda!" ucapnya sambil membantu Danisha berbaring. Danisha pun tidak membantah. Ia menuruti ucapan wanita paruh baya itu dan kembali berbaring di kasur yang sangat luas dan nyaman. "Eh, Nona! Tuan meminta saya untuk menghubungi keluarga Anda. Mungkin sekarang mereka sedang mencari Anda! Biar saya catat dulu nomornya," ucap wanita yang merupakan kepala pelayan di rumah mewah tersebut. Dia pun segera mengeluarkan buku kecil dari saku pakaian, lalu melihat Danisha dan bersiap untuk mencatat nomor telepon keluarganya. "Ah... keluarga?" gumam Danisha dengan hidung yang terasa masam. Saat ini, dirinya sedang kabur dari rumah suami. Sedangkan orang tua, orang tua Danisha sudah pulang ke Kota C setelah acara pernikahannya selesai. Ayah, ibu, dan juga kakak perempuan yang tinggal di kota ini tidak tahu kalau sekarang Danisha sudah diceraikan oleh Bian. Tidak mungkin Danisha menghubungi ayahnya dan mengadu kalau Bian menyiksanya semalam. Tapi, kalau memang ada yang harus dia hubungi, siapa orang yang bisa dihubungi? Apa mereka akan senang kalau tahu Danisha baik-baik saja? "Maaf, Bu! Saya tidak ada keluarga untuk dihubungi!" Akhirnya Danisha mengatakannya. Ia berkata dengan pelan dan dengan raut wajah yang berubah menjadi sedih. "Oh, tidak ada, aya? Kalau suami bagaimana? Semalam Anda memakai riasan wajah, juga gaun pengantin yang sudah robek. Saya pikir Anda pengantin baru yang menjadi korban tabrak lari," balas kepala pelayan sambil mengerutkan kening. "Hehe! Ya, itu memang benar. Tapi bukan korban tabrak lari. Saya hanya ...." Danisha tersenyum kecut. Merasa kasihan pada dirinya sendiri yang sudah dicerai di malam pertama, juga dihina dan disudutkan oleh keluarga suami. Namun ia tidak diizinkan untuk membela diri dan menjelaskan bahwa dirinya tidak bersalah. Perlahan air matanya mengalir keluar. Danisha pun segera memalingkan mukanya ke samping dan menyeka basah di pipi. Ia tidak ingin orang lain melihat kehancuran hatinya. "Owh! Ya, sudah ... ya, sudah! Anda bisa istirahat di sini sampai kondisi Anda membaik. Saya tidak akan menghubungi keluarga Anda! Sekarang, tidurlah!" ucap kepala pelayan yang sudah mengerti dengan perubahan emosi Danisha. Dia pun kembali memasukan buku kecilnya ke dalam saku, lalu keluar dari kamar itu.Di sore hari, kondisi Danisha sudah membaik, demamnya pun sudah turun dan kepalanya tidak pusing. Ia tidak diinfus lagi karena kondisinya benar-benar sudah baik. Hanya memar di tubuh dan sedikit bengkak di tangan, itu tidak masalah. Danisha masih bisa beraktifitas seperti biasa. "Nona! Ini pakaian untuk Anda! Mandi dan pakailah! Pak Lucas menunggu Anda di bawah!" ucap kepala pelayan yang bernama Lunie. Tadi, setelah tuannya pulang kerja, Lunie menceritakan kondisi dan keadaan Danisha pada pria single yang sudah berusia tiga puluh lima tahun—namun belum menikah. Tuannya yang sangat kaya itu langsung memberikan pakaian yang dibawanya dari luar, lalu meminta Lunie untuk memberikannya pada Danisha dan memanggil wanita yang terpaut usia 9 tahun lebih muda darinya itu untuk turun ke bawah. Tapi bukan untuk menemui sang pemilik rumah, melainkan Lucas—asisten pribadinya—mewakilinya untuk berbicara dengan Danisha. "Oh, ya! Terima kasih!" balas Danish sambil mengambil pakaian itu dari tang
Jam 6 sore, langit sudah mulai gelap. Bian datang ke rumah itu dan memarkirkan mobilnya di halaman yang sangat indah dan luas. Dari pintu utama yang tinggi dan besar, Danisha berjalan ditemani kepala pelayan menghampiri Bian. Ketika mereka bertatap muka, Bian terdiam, melihat di kening dan tangan Danisha ada plester besar yang menutupi luka-lukanya. Pakaian dan sepatu yang dipakai Danisha pun nampak mahal, padahal semalam istirnya kabur tanpa mengganti pakaian. "Dari mana saja kau, semalaman tidak pulang? Bahkan kau merusak semua tanaman yang ada di belakang rumah!" Bukannya disambut dengan baik oleh orang yang menjemputnya, Danisha malah dipelototi. Kepala pelayan yang mengantarnya pun sampai terheran-heran dengan sikap kasar Bian. "Terima kasih, Bu! Saya tidak akan melupakan semua kebaikan kalian!" Danisha tidak langsung menjawab pertanyaan Bian. Ia malah berpamitan pada kepala pelayan, lalu berterima kasih lagi untuk kesekian kalinya sebelum dirinya benar-benar pergi. "Iya
Pria di depannya ini benar-benar sudah gila. Tadi, Bian menjemput Danisha di rumah orang lain layaknya suami yang baik. Tapi sekarang, dia menurunkannya seperti akan menurunkan seekor domba dari mobilnya, sangat kasar dan arogan. Tanpa membuang waktunya lagi, Danisha pun segera membuka sabuk pengamannya, keluar dari mobil, lalu membuka bagasi belakang sesuai arahan dari Bian. Melihat ada koper hitam yang memang miliknya, Danisha langsung mengangkatnya, lalu menurunkannya ke tanah. Setelah itu, Bian benar-benar pergi. Dia mengunjak gasnya dengan kuat seperti akan menerbangkan mobil dua baris itu ke langit. Melihat mobil dan orangnya sudah pergi, Danisha pun terdiam. Ia membeku di pinggir jalan yang gelap dengan tinju yang terkepal erat di dalam pakaian. Ia pun tidak menyadari, orang yang menolongnya semalam mengikutinya dari belakang. Dan sekarang dia sedang memperhatikannya dari jarak yang tidak terlalu jauh. "Ah, sudahlah! Lebih baik seperti ini. Dia pergi aku pun pergi
"Hah?" Wihaldy mengerutkan kening. Wanita disampingnya bertanya, apa dia akan menculiknya? "Nona! Saya bukan penculik! Kalau diculik pun, Anda sudah saya ikat di belakang!" "Lalu ... kenapa kau membawaku dari bar? Di sana masih ada temanku, loh! Bukankah kita tidak saling mengenal?" tanya Danisha dengan mulut yang dikerucutkan ke depan. Matanya setengah menyipit, menatap pria di sampingnya sambil mencondongkan tubuhnya ke arah pengemudi. Sedikit lagi mereka akan bersentuhan. Orang mabuk memang sangat bodoh. Sudah tahu mereka tidak saling mengenal, tapi Danisha terus saja mendekatinya. "Nona!" panggil Wihaldy sambil menoleh ke samping. Seketika ia beradu pandang dengan mata indah nan cantik dengan wajah imut Danisha dari jarak yang sangat dekat. Detik berikutnya, Wihaldy segera menarik pandangannya kembali. Dengan pelan berkata, "Tadi ada mantan suami Anda di bar!" "Hah, mantan suami? Siapa? Bian maksdumu?" tanya Danisha dengan malas. Ia pun menarik tubuhnya kembali, duduk di k
Di pinggir jalan yang sepi, hawa panas memenuhi seisi mobil dengan uap yang menutupi kaca. Danisha yang sudah tak berdaya di bawah tubuh seorang pria pun tiba-tiba menghentikan ciuman pria itu. "Sekarang kita ada di jalan! Aku tidak ingin seseorang melihatku seperti ini!" Danisha jadi trauma. Ia tidak ingin seseorang memotret dirinya, lalu fotonya disebar luaskan seperti yang Bian terima kemarin. "Apa kita pindah saja?" tanya Wihaldy yang di hatinya sangat enggan untuk berhenti. Sudah bermain sejauh ini, kalau tiba-tiba berhenti rasanya tidak enak. Tidak ada cara lain, permainan sudah sangat panas, pakaian bagian atas pun sudah sama-sama dilepas, mereka harus pindah tempat untuk melanjutkan, atau menyudahinya sekarang juga sebelum orang lain memergoki. "Enh" Danisha mengangguk dengan napas yang terengah. Padahal awalnya Danisha hanya ingin berterima kasih karena pria itu sangat baik padanya. Tapi respon dari Wihaldy di luar dugaan. Pria itu malah merespon dengan serius ke
Di jam makan siang, Danisha yang saat ini masih diberi cuti selama satu minggu, duduk bersama Stefia—yang sedang istirahat—di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantor tempat kerja mereka. Sebelumnya, Danisha sudah menghubungi Stefia melalui telepon yang ada di kamar, meminta teman baiknya itu untuk datang ke kamar hotel sambil membawa sweater besar, juga tas dan dompetnya yang semalam tertinggal di bar. "Sebenarnya semalam kau pergi dengan siapa? Katanya ke toilet, tapi malah menghilang. Pria yang duduk di depan kita bilang, kau pergi bersama temannya. Semua tagihan kita dibayar oleh orang yang bersamamu. Sha, sebenarnya mereka itu siapa?" tanya Stefia dengan heran. Di depannya, Danisha yang masih mengenakan pakaian yang kemarin, namun sekarang sudah memakai sweater, terdiam sambil mengaduk minumannya menggunakan sedotan. Padahal dirinya ingin melupakan kejadian semalam, tapi teman baiknya ini malah membahasnya. "Serius, Sha! Yang duduk di depan kita itu benar temanmu atau buk
Di sebuah restoran yang tidak jauh dari tempat kerja Danisha, Bian duduk sendiri sambil menyesap minuman yang baru dipesannya. Danisha yang baru masuk terdiam sejenak, lalu menarik napas, menegakan punggung sebelum berjalan menghampiri meja itu. "Ehem...." Danisha berdehem. Lalu duduk di depan Bian dengan perasaan yang sudah tidak karuan. Sudah 2 bulan mereka tidak bertemu, tapi rasa sakit karena tuduhan dan perbuatan kasar Bian pada Danisha masih terasa. Perasaannya masih sangat hancur dan hatinya rasa teriris. Inginnya ia tidak bertemu dengan Bian seumur hidupnya, inginnya mereka berpura-pura tidak saling mengenal dan tidak saling berbicara. Namun sepertinya itu tidak mungkin. Akan selalu ada alasan yang membuat mereka saling berkomunikasi. "Duduklah!" ucap Bian acuh tak acuh. Danisha pun segera duduk di depannya. Setelah itu Bian memanggil pelayan untuk memesan makanan. Sambil menunggu makanan disajikan, terlebih dulu Bian berbicara. "Kuharap kau tidak lupa dengan apar
"Apa? Kau me-melihatnya sendiri?" tanya Bian dengan heran. Kalau tadi Danisha bilang melihat Bian dan Rachel dengan mata dan kepalanya sendiri, itu artinya malam itu Danisha juga ada di bar Venus. "Danish! Apa kau juga pergi ke bar 2 hari setelah kita menikah?" tanya Bian dengan penasaran, namun dengan nada yang terdengar mengintrogasi. Bian menggunakan kata "Menikah" untuk menghakimi Danisha yang pergi ke tempat hiburan setelah mereka bertengkar di malam pertama. Padahal pertengkaran itu membuat hubungan mereka berakhir. Bian sudah mengucapkan kata perpisahan membuat Danisha menjadi janda di malam pertama. Namun di saat seperti ini, Bian malah tidak mau mengakuinya. "Dengan siapa kau pergi ke bar malam itu?" tanya Bian karena Danisha tidak menjawab pertanyaannya. Wanita di depannya malah asyik menyantap hidangan yang sudah tersaji di atas meja dengan ekspresi yang sangat baik. Seolah tidak mendengar apa yang Bian tanyakan. Waktu itu Danisha tahu dari Stefia. Teman baiknya
"Namun, untuk pembayaran makanan tadi yang tidak Anda makan, saya tetap akan mengembalikannya pada Anda! Tidak enak rasanya kalau saya membiarkan Anda membayar makanan kami, sedangkan yang memesan makanannya adalah mantan suami saya," balas Danisha dengan jujur. Sekarang pun, kalau bukan karena masalah uang, Danisha tidak akan menghubungi Wihaldy. Ia terpaksa bertemu dengan pria itu sekarang agar ke depannya tidak ada lagi alasan dirinya bertemu dengan pria itu. "Oh, baiklah!" Wihaldy pun mengangguk. Ia tidak akan berdebat dengan wanita di depannya dan tidak ingin wanita itu merasa tidak enak sepanjang hidupnya. Wihaldy akan memakai cara lain untuk membuat Danisha menerima niat baiknya. "Kebetulan, bukti pembayarannya masih ada di dompet. Biar saya cek dulu, ya!" Wihaldy pun membuka dompet hitamnya, melihat kertas putih yang tadi dimasukkan ke dalam dompet bersama kartu bank. Setelah itu, diberikan pada Danisha. "Ini, Nona Sasha!" ucap Wihaldy sambil memberikan bukti pemb
Jam 5 sore, di sebuah kafe yang ada di pusat kota, Wihaldy dan Bian duduk di salah satu meja yang ada di lantai dua sambil menikmati pemandangan sore yang sangat indah. Mereka terdiam beberapa saat dengan suasana yang terasa menegang. "Ah, ya! Seharusnya kau bisa memperlakukan istrimu dengan baik. Memanjakan dia layaknya seorang tuan putri. Kalau sudah begini, apa yang bisa kau lakukan? Kau menerima foto palsu, lalu menceraikan istrimu tanpa mendengarkan penjelasannya. Luka di hatinya pasti sudah sangat dalam. Walau kau melarangku untuk mendekatinya, tapi itu tidak akan membuatmu kembali ke sisinya!" ucap Wihaldy setelah diperingati oleh Bian. Awalnya Wihaldy hanya ingin menyelamatkan harga diri Danisha yang terus disudutkan oleh Bian tadi di restoran. Tapi Bian malah menyudutkan Wihaldy dan menuduhnya sebagai pria kesepian yang memanfaatkan situasi. Padahal tidak terbersit sedikitpun di benaknya untuk mendekati Danisha kalau wanita itu tidak mau. Karena Danisha tidak pernah menghu
"Hey, kau!" tunjuknya pada Wihaldy. "Nanti sore sepulang kerja, kita bertemu di kafe Fun! Aku tunggu!" ucap Bian sambil menahan amarahnya. Daripada ribut di restoran itu, lebih baik Bian mengajak Wihaldy bertemu dan berbicara empat mata di suatu tempat. Bian akan memperingatkan pria kaya itu untuk tidak mendekati Danisha. "Oke!" jawab Wihaldy sambil melepaskan pelukannya. Setelah itu, Bian keluar dari restoran dengan langkah cepat. "Uhuk, uhuk, uhuk!" Danisha tersedak oleh air liurnya sendiri. Tadi yang memesan semua makanan mahal di meja itu adalah Bian. Sekarang dia sudah pergi, sedangkan semua makanan yang ada di mejanya belum dia dibayar. "Ah, bagaimana ini?" 'Bagaimana aku membayarnya?' Jangankan untuk membayar makanan di restoran yang harganya sangat mahal, untuk biaya hidup sehari-hari pun Danisha sudah kesusahan. "Sha!" Dari arah pintu belakang, tiba-tiba seseorang memanggilnya. Ketika dilihat, ternyata itu adalah Stefia. Danisha pun segera melambaika
"Apa? Kau me-melihatnya sendiri?" tanya Bian dengan heran. Kalau tadi Danisha bilang melihat Bian dan Rachel dengan mata dan kepalanya sendiri, itu artinya malam itu Danisha juga ada di bar Venus. "Danish! Apa kau juga pergi ke bar 2 hari setelah kita menikah?" tanya Bian dengan penasaran, namun dengan nada yang terdengar mengintrogasi. Bian menggunakan kata "Menikah" untuk menghakimi Danisha yang pergi ke tempat hiburan setelah mereka bertengkar di malam pertama. Padahal pertengkaran itu membuat hubungan mereka berakhir. Bian sudah mengucapkan kata perpisahan membuat Danisha menjadi janda di malam pertama. Namun di saat seperti ini, Bian malah tidak mau mengakuinya. "Dengan siapa kau pergi ke bar malam itu?" tanya Bian karena Danisha tidak menjawab pertanyaannya. Wanita di depannya malah asyik menyantap hidangan yang sudah tersaji di atas meja dengan ekspresi yang sangat baik. Seolah tidak mendengar apa yang Bian tanyakan. Waktu itu Danisha tahu dari Stefia. Teman baiknya
Di sebuah restoran yang tidak jauh dari tempat kerja Danisha, Bian duduk sendiri sambil menyesap minuman yang baru dipesannya. Danisha yang baru masuk terdiam sejenak, lalu menarik napas, menegakan punggung sebelum berjalan menghampiri meja itu. "Ehem...." Danisha berdehem. Lalu duduk di depan Bian dengan perasaan yang sudah tidak karuan. Sudah 2 bulan mereka tidak bertemu, tapi rasa sakit karena tuduhan dan perbuatan kasar Bian pada Danisha masih terasa. Perasaannya masih sangat hancur dan hatinya rasa teriris. Inginnya ia tidak bertemu dengan Bian seumur hidupnya, inginnya mereka berpura-pura tidak saling mengenal dan tidak saling berbicara. Namun sepertinya itu tidak mungkin. Akan selalu ada alasan yang membuat mereka saling berkomunikasi. "Duduklah!" ucap Bian acuh tak acuh. Danisha pun segera duduk di depannya. Setelah itu Bian memanggil pelayan untuk memesan makanan. Sambil menunggu makanan disajikan, terlebih dulu Bian berbicara. "Kuharap kau tidak lupa dengan apar
Di jam makan siang, Danisha yang saat ini masih diberi cuti selama satu minggu, duduk bersama Stefia—yang sedang istirahat—di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantor tempat kerja mereka. Sebelumnya, Danisha sudah menghubungi Stefia melalui telepon yang ada di kamar, meminta teman baiknya itu untuk datang ke kamar hotel sambil membawa sweater besar, juga tas dan dompetnya yang semalam tertinggal di bar. "Sebenarnya semalam kau pergi dengan siapa? Katanya ke toilet, tapi malah menghilang. Pria yang duduk di depan kita bilang, kau pergi bersama temannya. Semua tagihan kita dibayar oleh orang yang bersamamu. Sha, sebenarnya mereka itu siapa?" tanya Stefia dengan heran. Di depannya, Danisha yang masih mengenakan pakaian yang kemarin, namun sekarang sudah memakai sweater, terdiam sambil mengaduk minumannya menggunakan sedotan. Padahal dirinya ingin melupakan kejadian semalam, tapi teman baiknya ini malah membahasnya. "Serius, Sha! Yang duduk di depan kita itu benar temanmu atau buk
Di pinggir jalan yang sepi, hawa panas memenuhi seisi mobil dengan uap yang menutupi kaca. Danisha yang sudah tak berdaya di bawah tubuh seorang pria pun tiba-tiba menghentikan ciuman pria itu. "Sekarang kita ada di jalan! Aku tidak ingin seseorang melihatku seperti ini!" Danisha jadi trauma. Ia tidak ingin seseorang memotret dirinya, lalu fotonya disebar luaskan seperti yang Bian terima kemarin. "Apa kita pindah saja?" tanya Wihaldy yang di hatinya sangat enggan untuk berhenti. Sudah bermain sejauh ini, kalau tiba-tiba berhenti rasanya tidak enak. Tidak ada cara lain, permainan sudah sangat panas, pakaian bagian atas pun sudah sama-sama dilepas, mereka harus pindah tempat untuk melanjutkan, atau menyudahinya sekarang juga sebelum orang lain memergoki. "Enh" Danisha mengangguk dengan napas yang terengah. Padahal awalnya Danisha hanya ingin berterima kasih karena pria itu sangat baik padanya. Tapi respon dari Wihaldy di luar dugaan. Pria itu malah merespon dengan serius ke
"Hah?" Wihaldy mengerutkan kening. Wanita disampingnya bertanya, apa dia akan menculiknya? "Nona! Saya bukan penculik! Kalau diculik pun, Anda sudah saya ikat di belakang!" "Lalu ... kenapa kau membawaku dari bar? Di sana masih ada temanku, loh! Bukankah kita tidak saling mengenal?" tanya Danisha dengan mulut yang dikerucutkan ke depan. Matanya setengah menyipit, menatap pria di sampingnya sambil mencondongkan tubuhnya ke arah pengemudi. Sedikit lagi mereka akan bersentuhan. Orang mabuk memang sangat bodoh. Sudah tahu mereka tidak saling mengenal, tapi Danisha terus saja mendekatinya. "Nona!" panggil Wihaldy sambil menoleh ke samping. Seketika ia beradu pandang dengan mata indah nan cantik dengan wajah imut Danisha dari jarak yang sangat dekat. Detik berikutnya, Wihaldy segera menarik pandangannya kembali. Dengan pelan berkata, "Tadi ada mantan suami Anda di bar!" "Hah, mantan suami? Siapa? Bian maksdumu?" tanya Danisha dengan malas. Ia pun menarik tubuhnya kembali, duduk di k
Pria di depannya ini benar-benar sudah gila. Tadi, Bian menjemput Danisha di rumah orang lain layaknya suami yang baik. Tapi sekarang, dia menurunkannya seperti akan menurunkan seekor domba dari mobilnya, sangat kasar dan arogan. Tanpa membuang waktunya lagi, Danisha pun segera membuka sabuk pengamannya, keluar dari mobil, lalu membuka bagasi belakang sesuai arahan dari Bian. Melihat ada koper hitam yang memang miliknya, Danisha langsung mengangkatnya, lalu menurunkannya ke tanah. Setelah itu, Bian benar-benar pergi. Dia mengunjak gasnya dengan kuat seperti akan menerbangkan mobil dua baris itu ke langit. Melihat mobil dan orangnya sudah pergi, Danisha pun terdiam. Ia membeku di pinggir jalan yang gelap dengan tinju yang terkepal erat di dalam pakaian. Ia pun tidak menyadari, orang yang menolongnya semalam mengikutinya dari belakang. Dan sekarang dia sedang memperhatikannya dari jarak yang tidak terlalu jauh. "Ah, sudahlah! Lebih baik seperti ini. Dia pergi aku pun pergi