Di jalan yang sepi dengan angin sepoy-sepoy yang berhembus menerbangkan beberapa helai rambut panjangnya, Danisha berdiri di pinggir jalan setelah turun dari mobil Fandy. Perlahan Danisha pun berjalan. Ia menuju sebuah rumah mewah 3 tingkat dengan gerbang rumah yang sangat tinggi dan besar. Setelah sampai di depan rumah itu, ia malah terdiam, menatap gerbang tinggi dan besar itu dengan perasaan haru. Padahal tadi dirinya hanya asal berbicara akan pulang ke Jalan Selatan. Ia melakukannya tidak lain hanya untuk menghindar dari Fandy yang terus mengajaknya pulang bersama. Dan sekarang, di pinggir jalan yang tidak asing di matanya, Danisha malah melihat rumah orang kaya yang waktu itu menolongnya. Hatinya benar-benar terharu dan rasanya ingin berterima kasih secara langsung karena waktu itu dia telah menolongnya. Dengan perasaan yang sudah tidak karuan, Danisha memberanikan diri mengangkat tangan, bersiap menekan bel dan bermaksud mengunjungi orang itu. Namun, belum sempat belnya ditek
Keesokan harinya, sepulang kerja Danisha bergegas ke luar gedung kantor dengan tergesa-gesa. Ia pun melihat ponselnya dan melihat tiket kereta yang sudah dia pesan perjalanan ke Kota C."Bagaimana, Sha? Apa kau benar akan pulang?" tanya Stefia di sampingnya.Teman baiknya itu menemani Danisha di pinggir jalan menunggu taksi pesanannya datang."Iya, Stef! Aku harus segera berangkat. Sebentar lagi keretaku berangkat," jawab Danisha dengan gelisah.Danisha pun berpesan, "Kalau kau mau pindah ke tempatku sekarang, pintunya terbuka lebar untukmu. Sandinya tanggal perpisahanku dengan Bian!""Heh?" Stefia pun mengerutkan kening. Ia mulai berpikir. "Tanggal perceraian kalian? Berarti ... kemarin-kemarin dong!""Aishhh .... Bukan tanggal perceraian, tapi perpisahan!" Danisha pun membenarkan.Namun teman baiknya itu masih belum mengerti."Kapan??? Apa itu sama dengan tanggal pernikahanmu? Hari menikah dan berpisah kan sama, hanya beda jam saja!" tebak Stefia.Belum sempat Danisha menjawab, tiba
Danisha benar-benar sangat malu. Entah pria itu bercanda, atau memang benar melihat dirinya tertidur di sofa, namun yang jelas, itu membuat Danisha sedikit lega. "Eh, itu ...." Tiba-tiba Wihaldy menunjuk ponselnya yang masih dipegang oleh Danisha. "Sepertinya itu ada seseorang di tempat tinggalmu!" Sesekali Wihaldy melirik ke layar ponsel, sedangkan kedua tangannya memegang roda kemudi dan mengendalikannya dengan sangat baik. "Apa?" Danisha pun penasaran. Ia menunduk. Di layar ponsel pria itu menampakan gambar CCTV dari rumah Danisha yang menunjukkan aktifitas saat ini. "Eh, itu ... Stefi?" gumam Danisha sambil melihat teman baiknya ada di ruang keluarga. 'Jadi, dia benar-benar datang ke apartemen dan berhasil membuka sandinya!' Danisha tidak terlalu terkejut, namun sedikit heran karena teman baiknya itu tidak mengabarinya terlebih dulu kalau dia akan ke apartemen. "Siapa? Stefi temanmu yang tadi?" tanya Wihaldy sambil menerima ponselnya dan dimasukan ke dalam saku jas. "Enh!
"Ka-kapan itu?" Danisha mulai mengingat-ingat. Lima tahun yang lalu, sebelum mengenal Bian dan sebelum dirinya lulus kuliah, Danisha masih ada di Kota C dan tinggal bersama ayahnya. Ketika sedang libur kuliah, Danisha pergi ke kota A dan menginap di tempat kakaknya yang sudah terlebih dulu tinggal di sana dan bekerja di tempat hiburan. Hingga di Sabtu malam ketika Danisha hendak pergi ke tempat kerja Rachel untuk mengantar barangnya yang tertinggal, Danisha melihat seseorang naik ke atas pembatas jembatan ketika dirinya ada di dalam taksi. Saat itu jalanan sangat macet, seorang pria dengan penampilan yang sangat kacau terlihat memaki dan mengutuk dirinya sendiri sambil menghadap ke arah sungai yang ada di bawah jembatan. Mungkin sebentar lagi pria itu akan loncat ke sungai. Danisha yang melihatnya pun menjadi panik. Ia meminta ijin pada sopir taksi untuk keluar, dan meminta sang sopir untuk tetap menunggunya. Danisha berlari menghampiri pria itu tanpa menghiraukan apapun. Pikirny
Perjalanan selama dua jam menuju Kota C terasa sangat lama ketika mood sedang tidak baik. Danisha pun sangat gelisah memikirkan apa yang mungkin Bian bicarakan pada ayah dan ibunya di rumah. Mungkin juga Bian bersikap baik agar ayahnya mendukung tindakannya yang ingin menikahi Danisha kembali. "Mantan suamimu ada di rumah, ya?" tanya Wihaldy yang tadi sempat mendengar pembicaraan Danisha dengan ayahnya di restoran. Wihaldy hampir mendengar semuanya, termasuk saat Danisha bilang akan pulang berama seorang pria ke rumah orang tuanya. "Tenanglah! Aku akan membantumu!" Tiba-tiba Wihaldy meraih tangan Danisha, lalu menggenggamnya dengan erat. "Eh ...." Danisha menoleh ke samping, melihat Wihaldy yang juga menatapnya. "Sebentar lagi kita akan sampai! Bersiaplah!" Wihaldy melepaskan genggaman tangannya. Lalu melihat peta yang ada di ponsel Danisha yang diletakkan di atas dashboard mobil. Tidak lama, mobil mewah yang dikendarai oleh Wihaldy pun memasuki sebuah komplek perumahan dan berhe
Di ruang keluarga yang hening dan dingin, berkumpul lima orang dewasa yang terdiri Danisha, ayah dan ibunya, juga Bian dan Wihaldy. Mereka duduk dan menjelaskan apa yang terjadi sebelumnya."Okeh, sekarang semuanya sudah jelas, perceraian kemarin itu karena sebuah kesalahan. Bian pun sudah menyesal dan meminta maaf. Kalau mau kembali bersama pun, rasanya itu wajar-wajar saja. Apalagi menikahnya baru satu hari langsung berpisah karena emosi, sekarang dengan keadaan yang baik, semuanya bisa dimulai dari awal lagi. Dan, untuk Haldy, kau bisa melihatnya sendiri kan, Danish dan suaminya akan kembali bersama, kau pun bisa mencari wanita lain untuk dijadikan istri. Kau layak mendapatakan seorang gadis untuk menjadi istrimu!" jelas Doni panjang lebar pada Danisa dan Wihaldy.Doni tidak tahu latar belakang Wihaldy seperti apa. Tidak tahu juga kekerasan apa yang telah putrinya terima di malam pertama setelah menikah sampai dia terluka cukup parah. Yang Doni tahu saat ini ialah, menantunya yang
Seketika suasana menjadi hening. Dari arah depan, terdengar seseorang membuka pintu, lalu orang itu masuk ke dalam dan berdiri di ambang pintu ruang keluarga."Eh, Danish ... Bian, kalian juga ada di sini?" ucap pertama Rachel ketika dia baru sampai di rumah.Ini bukanlah sebuah kebetulan, di mana kedua anak perempuan di rumah itu pulang ke rumah. Rosi lah yang menyuruh putrinya pulang ke rumah ketika tadi siang Bian menga bari kalau Bian akan datang.Sebagai seorang ibu yang sangat mencintai putrinya, tentu Rosi tahu kalau dari dulu Rachel sudah menyukai Bian. Rachel berteman dengan Bian dan selalu mengajak pria itu ke rumah. Hingga pada suatu hari ketika Bian main ke rumah, dia melihat Danisha yang cantik dan polos ada di rumah. Saat itu juga Bian langsung jatuh cinta dan meminta Rachel untuk mengenalkan Danisha padanya. Saat itu, Rosi sangat tahu bagaimana perasaan putrinya yang patah hati karena pria yang dicintainya malah menyukai adik tirinya. Rosi pun ingin membantu, tapi Rache
Waktu sudah menunjukan pukul 11 malam. Di kawasan elit namun tidak terlalu mewah itu Danisha keluar dari rumah dan berjalan menuju gerbang utama perumahan. Awalnya, Danisha mengira bahwa kepulangannya kali ini akan sangat menyenangkan setelah beberapa bulan dirinya tidak pulang. Ia akan menjelaskan semuanya pada ayah, dan ayahnya akan memeluknya sambil berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi sekarang, yang terjadi malah sebaliknya. Semuanya kacau dan hati Danisha semakin hancur. "Aishhh! Sial!" makinya dengan sangat kesal. Danisha terus berjalan menyusuri trotoar jalan tanpa arah dan tujuan. "Ternyata dalang dari semua ini adalah Rachel! Dia yang membuat foto itu, lalu ... setelah semua orang percaya dia membuka kedua kakinya untuk Bian! Aishhh, sungguh menjijikan!" "Lalu ... Haldy! Dia—" Danisha terdiam. Memikirkan kembali pria baik yang selalu ada di situasi terburuknya itu ternyata bermuka dua, Danisha menjadi kesal. "Pantas saja rasanya sangat aneh! Kemarin
Di pagi hari, Danisha terbangun karena kepalanya terus berdenyut. Lama kelamaan denyutan itu semakin kencang dan menyiksa. "Aishhh!" Danisha meringis di bawah selimut, mencengkram rambutnya dan menahan rasa sakit. Dirasa–rasa, suasana di kamar itu terasa berbeda, wanginya pun terasa asing, dan tekstur selimut dan bahannya sangat lembut dan berbeda dengan selimut miliknya yang ada di kamar. "Eh ... ini di mana?" Danisha segera tersadar. Ia membuka mata, lalu menatap sekeliling yang nampak gelap gulita karena semua lampu dimatikan dan gorden tebal masih tertutup rapat. "Apa semalam aku ikut dengan Stefi dan kedua pria itu?" Danisha terlentang di tempat tidur sambil mencengkram selimut di dada. Ia mengingat–ingat kembali kejadian semalam. Setelah keluar dari tempat hiburan, dirinya dan Stefia masuk ke dalam mobil pria itu, lalu ... lalu Danisha turun di apartemen. "Heh? Semalam aku masuk ke tempat tinggalku, bukan ke tempat tinggal pria itu ...." Danisha mulai ingat.
Wihaldy mulai curiga, Danisha tidak bisa menerima telepon, tapi dia masih bisa mengirim pesan. Kalau dia sedang tidur, harusnya dia mengabaikan teleponnya tanpa bisa mengirimnya pesan. ["Sayang! Apa kau sedang berada di luar?"] tanya Wihaldy lagi karena Danisha tidak menjawab. Sedangkan pesannya sudah dibaca. Cekrek! Danisha memfoto meja dengan piring dan gelas, juga dengan botol minuman, roko dan asbak. Lampu warna-warni terlihat di fotonya karena ruangan itu sangat gelap. Setelah itu Danisha mengirim dua foto sekaligus. Satu foto itu dan yang satunya lagi foto dirinya yang sedang memegang gelas anggur. Penampilannya yang glamour pun nampak terlihat dengan gaun seksi yang memperlihatkan leher, bahu polos dan belahan dada yang rendah. Terakhir Danisha mengirim sebuah pesan, ["Nanti kuhubungi lagi!"] ["Sayang, apa kau sudah gila? Apa yang kau lakukan?"] ["Kau di mana?"] ["Cepat beritahu aku!"] ["Apa kau bersama Fay?"] tanya Wihaldy dengan panik. Namun pesannya tidak
Di dalam apartemen, Danisha sudah merias wajahnya sangat cantik, rambutnya pun dikuncir kuda dengan rapi dan elegan, tubuhnya dibalut gaun seksi sepaha dengan belahan dada yang sangat rendah. Sedangkan teman baiknya sedari awal sudah memakai pakaian seksi dan riasan tebal untuk pergi bekerja di tempat karaoke. Tapi sekarang, mereka bersiap untuk pergi ke sebuah hotel bintang lima yang terletak di pusat Kota A. "Kau serius Sha, mau masuk ke dalam koper ini?" tanya Stefia dengan ragu. Pasalnya, Danisha sudah berdandan sangat cantik dengan gaun seksi yang indah, tapi akhirnya dia malah masuk ke dalam koper yang sangat besar. "Ini hanya sampai kita masuk ke dalam lift, Stef! Aku khawatir Fay akan mengikutiku kalau dia tahu aku keluar dari apartemen." Itulah yang Danisha pikirkan. Entah Fay atau Wihaldy yang sedang memantau CCTV di depan pintu apartemennya dan melihat gerak-geriknya, daripada ketahuan, lebih baik Danisha berjaga-jaga dengan bersembunyi di dalam koper saat keluar dar
Jam 8 malam, Stefia datang ke apartemen Danisha sebelum pergi ke tempat kerja. Dia melakukan hal itu atas permintaan Danisha yang sedang resah. "Aneh bagaimana maksudmu? Haldy hanya memberikan fasilitas terbaik untukmu. Walau hanya mobil dan sopir, tapi itu sudah sangat luar biasa, Sha! Kalau aku sih, sujud syukur, tidak akan mengeluh sepertimu!" ucap Stefia setelah mendengar curhatan kegalauan Danisha tentang pacarnya. Danisha pun mengerti dengan maksud Stefia. Namun, yang membuatnya galau bukanlah itu, melainkan sikap Wihaldy yang mendadak menjadi aneh dan misterius setelah mereka pulang kerja. Padahal dari siang, Wihaldy meneleponnya seperti biasa. Dia sendiri yang bilang kalau nanti akan menjemput Danisha ke kantornya. "Bukan itu! Aku mengeluh bukan karena sopirnya, tapi karena ... dia memberiku sopir pribadi secara mendadak. Seolah dia tidak ada waktu untukku lagi!" jelas Danisha dengan pelan. Walau saat ini mereka mengobrol di dalam kamar, namun Danisha masih khaw
"Emh, ya sudah, tidak apa-apa! Untungnya kau punya badan yang sehat dan kuat, kau mampu menanggung semua bebanmu dengan mudah! Aku yakin, kedepannya kau akan mendapatkan pria yang baik, yang bertanggung jawab, yang akan membahagiakanmu di sepanjang hidupmu!" hibur Danisha sambil memegang kedua tangan Stefia. Danisha memang tahu semua hal tentang Stefia. Bagaimana dia hidup dan bagaimana dia berjuang mati-matian untuk keluarga. Selain itu, dia pun selalu dimanfaatkan oleh pacarnya yang tidak bekerja. Untungnya sekarang mereka sudah putus, Stefia tidak perlu lagi mengeluarkan banyak uang untuk pria busuk itu. "Ya, Sha! Semoga saja aku punya pacar tampan, baik, kaya, dan bisa memanjakan aku seperti pacarmu!" "Eh, iya! Ngomong-ngomong, Fandy ke mana, ya? Sudah beberapa hari ini dia tidak masuk kerja! Apa dia sakit?" tanya Stefia, mengalihkan pembicaraan. Danisha pun mendengarnya. Namun ia tidak tahu apa yang terjadi pada rekan kerjanya itu. "Entahlah! Mungkin dia saki
"Berjanjilah, Sayang!" ucap Wihaldy lagi karena Danisha hanya menoleh ke belakang, mengecup bibirnya lalu tersenyum. Menurut Danisha, tindakannya itu mengartikan bahwa dirinya sudah berjanji, tidak akan meninggalkannya apapun yang terjadi. Namun, Wihaldy tidak mengerti dengan hal itu. Dia kembali meminta, dan akan terus meminta sampai Danisha menjawab "Ya". "Sayang, berjanjilah!" rengek Wihaldy, kali ini dengan manja. Dia memeluk Danisha di dalam kolam air manas, menyandarkan dagunya di pundak ramping wanita itu sambil terus menunggu jawaban. "Hehe! Kenapa merengek seperti itu? Apa kau melakukan kesalahan?" tanya Danisha sambil tersenyum. Melihat tingkah manjanya yang belum pernah dilihat sebelumya, Danisha malah sangat suka. Tuan Muda Wihaldy yang kaya, gagah, dan tampan, saat ini terlihat seperti anak kecil yang sedang merengek meminta permen. Sangat manis dan menggemaskan. "Tidak! Aku tidak melakukan kesalahan! Aku hanya ... khawatir, kau akan meninggalkan aku di kemudi
Di meja makan yang cukup luas dengan berbagai menu yang sudah tersaji cantik di piring, ditemani satu botol anggur mewah, juga lilin-lilin yang menghiasi, Wihaldy bersama Danisha duduk saling berhadapan. Dinner romantis ini disiapkan oleh Wihaldy khusus untuk kekasih tercintanya. "Sayang, ini pertama kalinya aku mengajakmu makan malam! Walau ini belum terlalu malam, tapi kuharap kau menyukainya!" ucap merdu Wihaldy sambil menegang tangan kanan Danisha. Dia tersenyum penuh dengan rasa cinta. "Ah, ya! Ini sungguh luar biasa. Aku tidak menyangka kau akan menyiapkan ini di sela kesibukanmu yang padat. Aku sangat menyukainya. Terima kasih!" Danisha tersipu saat mengatakan kata terima kasih. Pipinya pun sampai merah karena gugup. Sebelumnya Danisha menikah, suaminya menyiksa dan menceraikannya di malam pernikahan. Dan sekarang, Tuhan membalas rasa sakit dan air mata itu dengan kehadiran Wihaldy dan cinta pria itu yang besar. Danisha benar-benar bersyukur atas hal itu. "Ayo Sayang,
Di jam istirahat, Danisha yang sudah memaafkan Stefia pergi bersama ke tempat makan yang ada di seberang gedung kantor. Mereka membicarakan banyak hal, termasuk rencana untuk mengambil pekerjaan sampingan setelan pulang kerja. "Untuk apa uang tambahan, Stef? Gaji dari kantor sudah lebih dari cukup untuk biaya hidupmu. Tidak perlu lagi bekerja di tempat lain!" ucap Danisha sambil menyantap makanannya. "Aku?" Stefia makan sambil mendengar pertanyaan dari teman baiknya. "Ada sesuatu yang diinginkan keluargaku di kampung. Aku harus mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk itu!" jelasnya dengan serius. Stefia menunduk, menyantap makanannya dengan sedikit lesu. Entah mengapa, setiap kali membicarakan keluarganya, Stefia selalu tidak bersemangat. "Bagaimana denganmu?" tanya Stefia, mengalihkan pembicaraan. "Sekarang Bian tinggal di tempatmu. Dia tidak akan pindah sebelum kau membayar semuanya!" "Sha! Apa kau sanggup membayar semuanya sendiri? Tidak bisakah kau menerima tawar
Di pagi hari, Danisha terbangun di bawah selimut hangat dan di atas tempat tidur yang sangat empuk. Ia pun menggeliat, menikmati kualitas tidurnya yang sangat baik setelah tidur di kamar orang lain. "Ah, ya! Ini di rumah Haldy! Aku harus segera pulang," ucap Danisha sambil menyibak selimut, lalu turun dari tempat tidur. Di kamar itu tidak ada orang lain lagi selain Danisha. Kamar besar dengan dekorasi minimalis berwarna krem dan coklat itu nampak sepi karena sang pemilik kamar entah pergi ke mana. Padahal tadi malam Wihaldy masih tidur di samping Danisha, memeluknya dan terus mengecup kepalanya sambil memejamkan mata. Tapi sekarang, pria itu sudah tidak ada. "Taksi, aku harus segera memesan taksi! Kalau tidak, aku bisa terlambat," ucap Danisha dengan panik. Ia menatap kiri dan kanan, mencari sesuatu yang bisa dia gunakan. Di atas nakas samping tempat tidur, terlihat ada jam tangan dan ponsel yang masih menyala. Sepertinya Wihaldy baru keluar dari kamar setelah membuka