"Bodohnya kau, Victoria! Bisa-bisanya tangisanmu malah dilihat pria lain yang tidak kau kenal!" umpat Victoria dalam hati. Dia berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit.
"Huh! Semoga saja dia hanya pasien yang jarang berobat ke rumah sakit ini! Dan tidak mengetahui bahwa aku adalah istri salah satu dokter di sini! Dan semoga dia bukan pasiennya Liam!" ucap Victoria pelan dengan gigi saling merapat.Victoria menuju ke apotik untuk menebus resep yang diberikan dokter Christall. Dengan cepat dia mengambil tempat di sebelah seorang wanita tua untuk menunggu. Sembari menanti namanya dipanggil, Victoria menyelonjorkan kakinya, dan memberi pijatan ringan pada pundaknya.Ketika mengantri gilirannya, Victoria melihat direktur rumah sakit yang sangat dikenalnya. Tuan Hamish. Terlihat pria berumur itu tengah buru-buru menuju ke lift bersama beberapa dokter yang juga dikenal Victoria. Maklum saja, mereka adalah pimpinan dan teman dari sang suami."Apa ada sesuatu, sehingga mereka terlihat buru-buru?" gumam Victoria."Katanya, pemilik rumah sakit sedang melakukan inspeksi dadakan," ucap sang wanita tua di sebelah Victoria, karena mendengar ucapan Victoria barusan.Victoria cukup terkejut mendengar jawaban sang wanita tua di sebelahnya. "Pemilik rumah sakit?"Wanita tua itu menganggukkan kepala. "Tadi, saya mendengar pembicaraan para perawat. Katanya, si pemilik menyamar sebagai pasien, dan melakukan pemeriksaan atas kinerja mereka semua. Karena itu, mereka melayani dengan penuh keramahan. Padahal, terkadang mereka tidak memberikan senyum pada kami!"Victoria menganggukkan kepala. Dia bertanya-tanya, seperti apa wajah si pemilik rumah sakit ini. Apakah masih muda, ataukah sudah berumur? Karena, saat pernikahannya dulu bersama Liam, si pemilik rumah sakit tidak hadir dengan alasan sedang berada di Indonesia untuk mengurusi bisnisnya yang lain."Tapi, sepertinya, saya tahu yang mana pria itu ...."Si wanita tua terkekeh dengan wajah penuh keyakinan.Victoria mengernyit. Dia juga sangat penasaran seperti apa wajah pemilik rumah sakit. Bahkan, Liam pun pernah mengatakan bahwa dia juga belum pernah bertemu si pemilik rumah sakit ini. Hanya Tuan Hamish dan jajaran pimpinan departemen saja yang telah bertemu dengan si pimpinan, ketika rapat bulanan atau tahunan."Tapi, bagaimana Anda mengetahuinya, Nyonya?" tanya Victoria.Wanita tua itu melirik Victoria sembari memamerkan senyum yang seakan mengatakan jika dia memiliki penilaian yang bagus tentang seseorang. "Karena dia tadi duduk di sebelah saya. Dia juga memegang sebuah buku kecil, dan sedang mengecek banyak hal. Saya tidak bisa melihat apa itu, tapi saya yakin itu adalah catatan penilaiannya."Victoria menganggukkan kepala. Meski dia sendiri tidak yakin dengan perkataan wanita tua ini. Karena, bisa saja orang itu hanya pasien biasa yang sedang melakukan pekerjaannya, atau mungkin mengisi TTS sembari menunggu obat."Dan dia juga tidak sedang menunggu obat," imbuh si wanita tua, membuat Victoria terkejut seakan si wanita tua mampu membaca pikirannya barusan. "Setelah menulis sangat panjang, dia lantas pergi ke area lain.""Berarti, bisa saja dia orangnya," balas Victoria agak setuju dengan pemikiran wanita di sampingnya ini."Ya, pasti!" ucap sang wanita tua mantap.Tak berapa lama, si wanita tua beranjak dari tempat duduk, karena namanya telah dipanggil oleh apoteker yang bertugas. Setelah selesai menebus resepnya, si wanita tua melambaikan tangan pada Victoria, yang dibalas oleh Victoria."Ah, aku lupa bertanya pada nyonya itu, bagaimana rupa orang yang diduga sebagai pemilik rumah sakit. Mungkin saja, ini bisa menjadi pembicaraan hangat untuk diriku dan Liam," gumam Victoria sedikit menyesal.Beberapa saat kemudian, nama Victoria dipanggil. Segera Victoria menerima obat untuk dirinya, dan berlalu meninggalkan rumah sakit. Dia berencana untuk tidak langsung pulang. Dia hendak mengambil waktu sesaat untuk menyegarkan pikiran dengan berjalan-jalan di pusat perbelanjaan. Namun, langkahnya terhenti ketika berpapasan dengan Liam. Keduanya sama-sama terkejut.Liam segera menarik lengan Victoria untuk masuk ke dalam ruangannya. Dia belum menerima pasien, karena jatah liburnya. Jadi, dia tidak perlu khawatir jika ada yang akan masuk ke ruangannya."Apa yang kau lakukan di sini?! Dasar kau wanita gila! Apa kau ingin membongkar hubunganku dengan Annabele pada teman-temanku?!" Cengkeraman tangan Liam membuat Victoria merasa nyeri pada lengannya. Victoria meringis kesakitan, tapi Liam seakan tidak peduli."Lepaskan aku, Liam Harrison atau aku akan berteriak!" ancam Victoria, membuat Liam terpaksa melepaskan cengkeraman tangannya dengan sangat kasar."Katakan Victoria! Apa tujuanmu ke sini?! Kau pasti punya niat buruk, kan!" Telunjuk Liam terangkat di depan wajah Victoria. Liam masih juga menuduh Victoria.Victoria menatap Liam dengan tatapan penuh rasa kasihan. Sebenarnya, dia kasihan pada dirinya dan juga Liam. "Apa sebegitunya kau tidak peduli padaku yang masih istrimu? Kau lebih peduli pada hubunganmu dengan wanita jalang itu, yang akan diketahui orang lain?! Apa kau takut nama baikmu tercoreng?!"Liam mengacak rambutnya. Dia cukup frustasi menghadapi Victoria, tapi dia tidak bisa membentak Victoria saat ini. Dia tidak ingin terjadi keributan di rumah sakit."Bukankah kau libur? Kenapa kau tiba-tiba datang ke rumah sakit?!" selidik Victoria."Bukan urusanmu! Dan, jangan mengalihkan pembicaraan, Vic! Aku yang sedang bertanya lebih dahulu, bukan kau!" Liam mengepalkan tangannya dengan kuat.Victoria tersenyum sinis. "Ah, apakah ini karena pemilik rumah sakit sedang melakukan inspeksi dadakan? Kau mungkin tiba-tiba datang, karena ingin memamerkan kinerjamu yang luar biasa padanya? Agar dia mempertimbangkanmu untuk menjadi pimpinan berikutnya?"Liam tahu bahwa Victoria sedang meremehkannya. Tapi, dia juga terkejut karena Victoria mengetahui perihal si pemilik rumah sakit. Liam bertanya-tanya, apakah salah satu temannya yang mengatakan pada Victoria tentang hal itu?!"Darimana kau tahu?! Siapa yang memberitahumu?!" tanya Liam dengan tatapan tajam pada Victoria.Victoria mengamati kuku-kuku jarinya, seolah tak menghargai sosok Liam di hadapannya dan hal itu membuat Liam semakin kesal."Bahkan, tembok pun memiliki telinga dan mulutnya sendiri," jawab Victoria enteng. "Menurutmu, darimana aku tahu, Liam Harrison?"Victoria membalas tatapan Liam tanpa takut sedikitpun. "Mengapa kau terlihat khawatir? Apakah kau takut reputasimu sebagai dokter dan suami idaman terbongkar?""Kau salah jika berpikir demikian! Aku tidak khawatir pada apapun! Ada atau tidak adanya pemilik rumah sakit itu, aku akan tetap naik jabatan!" jawab Liam penuh penekanan.Victoria bisa melihat jika Liam yakin dengan ucapannya. Yang tidak Victoria paham, darimana Liam bisa begitu percaya diri bahwa dia akan menjadi pimpinan rumah sakit nantinya? Apakah ada sesuatu yang disembunyikan atau direncanakan Liam untuk menggeser posisi Tuan Hamish?"Baguslah! Harusnya kau tidak perlu mempertanyakan kehadiranku di sini, jika kau begitu yakinnya bahwa aku bukanlah masalah!" ucap Victoria sembari mengangkat tumit, hendak melangkah ke arah pintu. Tapi, Liam segera mencekal pergelangan tangannya."Kau tidak akan pergi sebelum mengatakan tujuanmu ke sini!" geram Liam tak sabaran."Lepaskan aku, Liam Harrison! Atau aku akan -""Akan apa?! Berteriak?! Lakukanlah!" tantang Liam dengan wajah serius. "Kau harusnya sadar, jika aku bisa memutarbalikkan fakta, Vic! Ini area kerjaku!"Victoria menggemeretakkan gigi. Matanya tiba-tiba memanas karena nyatanya, Liam tidak mengingat jika hari ini adalah jadwal kontrolnya. Padahal, dahulu Liam yang selalu mengingatkan Victoria untuk melakukan kontrol ke rumah sakit."Harusnya kau malu pada profesimu!" desis Victoria."Katakan dengan jelas Victoria! Jangan bertele-tele! Apa tujuanmu ke sini?!" desak Liam, semakin mengeratkan cengkeramannya.Victoria merasa kesakitan. Dia berusaha melepaskan pergelangan tangannya dari cengkeraman Liam yang terasa kuat, hingga dorongan pintu yang terbuka membuat keduanya terkejut."Ada apa ini?!"***"Ada apa ini?!" Dokter Hamish atau Tuan Hamish - berdiri di ambang pintu ruangan Liam, dengan kening berkerut. Pandangan matanya tertuju pada pergelangan tangan Victoria yang sedang dicengkeram Liam. "Dokter Liam! Apa yang Anda lakukan pada istri Anda?!" tanya Tuan Hamish. Segera Liam melepaskan tangannya, dan tersenyum dengan gelagapan. "Tidak, Dok! Saya dan istri sedang bercanda tadi." Liam melirik pada Victoria, seolah meminta pertolongan sang istri. "Wah, lihat ini! Bukankah tadi kau sesumbar bahwa kau bisa memutarbalikkan fakta? Lantas, kenapa sekarang nyalimu menciut, dan seakan memohon bantuan dariku, Liam Harrison?!" batin Victoria. "Apa benar, Nyonya?" tanya Dokter Hamish dengan tatapan penuh kecurigaan. Victoria memamerkan senyum penuh kepalsuan. "Tentu saja, Dok! Kami hanya sedang bercanda saja! Lagipula, tidak mungkin kan suami saya ingin menyakiti saya." Liam tahu jika apa yang dikatakan Victoria adalah sindiran untuk dirinya. Tapi, dia terpaksa menahan kesabarannya
"AKU ADALAH KATHERINE! SAHABAT VICTORIA! WANITA YANG KAU REBUT SUAMINYA! DASAR JALANG KECIL TAK TAHU MALU!" teriak wanita cantik bertubuh seksi, yang kini berada di hadapan Annabele.Annabele merapikan rambutnya yang acak-acakan karena ditarik Katherine tadi. Pandangan matanya nyalang! Napasnya memburu karena amarah."Oh, wanita tua itu memanggil temannya, karena dia tak bisa menghadapi diriku sendiri?!" Senyum sinis tersungging di bibir Annabele."Kau benar-benar meminta mulutmu dirobek saat ini juga, ya!" balas Katherine sambil berusaha menjambak rambut Annabele lagi. Namun, dengan sigap Annabele menghadang tangan Katherine.Kini, keduanya malah terlibat jambak-jambakan.Victoria yang baru saja tiba, terkejut mendapati perkelahian antara Anabelle dan Katherine. Bergegas Victoria memisahkan kedua wanita yang sedang terbakar api amarah itu."Katherine! Apa yang kau lakukan di sini?!" tanya Victoria dengan wajah penuh kekhawatiran.Pandangan Katherine tak beralih sedikitpun dari wajah
“Peter?” Kening Victoria berkerut diikuti bola mata yang mengarah ke atas. Victoria tengah berusaha mengingat nama yang diucapkan Katherine beberapa detik lalu. Keningnya berkerut selaras telunjuknya menepuk-nepuk dagu. Netra Katherine membola seiring napasnya yang terbuang kasar. Kedua tangan terlipat di dada, menunjukkan jika Katherine merajuk karena Victoria bisa-bisanya melupakan sosok Peter. Peter yang sangat berharga di hati Katherine."Jangan bilang, kau lupa siapa itu Peter?! Huh! Padahal, sebentar lagi dia akan menjadi bos-mu!" Katherine memainkan rambut ikalnya dengan lirikan tajam pada Victoria. “ Sebentar ... sebentar ... Aku berusaha mengingat yang mana si Peter itu. Kau tahu kan, banyak sekali mantan yang kau kenalkan padaku," ledek Victoria membuat Katherine semakin cemberut."Ah, si bola mata biru!” seru Victoria dengan telunjuk terangkat, dan ujung bibir naik ke atas. Dia sudah ingat siapa yang dimaksud Katherine. “Tunggu! Maksudmu, kau akan meminta bantuan Peter?
“Wah, wah, lihat ini!” Suara Annabelle terdengar nyaring ketika Victoria dan Katherine melewati ruang tamu. Tatapan Annabelle sinis dari atas rambut hingga ujung sepatu Victoria. Berlipat tangan dengan bersandar di pinggiran sofa, Annabelle berlagak seperti nyonya rumah yang siap menghakimi pembantunya. “Setelah tadi teman sampahmu ini bertindak barbar padaku, lantas sekarang kalian mau pergi begitu saja, hah?!” Annabelle melirik sekilas pada Katherine dengan tatapan merendahkan. Kedua ujung bibir berlipstik merah menyala milik Katherine terangkat. Melepas gandengannya dari lengan Victoria, Katherine maju selangkah di depan Annabelle yang mulai bersiaga. Khawatir kalau-kalau Katherine akan menyerangnya lagi. “Wah, wah, lihat ini!” Katherine mengulangi perkataan Annabelle tadi. “Seorang sampah berlagak seperti nyonya rumah?! Wah, dunia benar-benar sudah gila!” Rahang Annabelle mengetat. Terlebih, tatapan berkali-kali lipat yang Katherine lemparkan dari ujung rambutnya hingga kaki.
“Tuan Williams!” Suara dokter Hamish membuat pria tinggi dengan bentuk tubuh atletis itu mengangkat wajahnya. Wajah yang terkesan maskulin dengan jambang tercukur rapi, dan tatapan bak elang, selalu mampu menghipnotis wanita-wanita di sekelilingnya. George Williams – pemilik rumah sakit Williams. Menyandang status sebagai satu-satunya putra keluarga Williams yang memiliki banyak usaha di mana-mana – rumah sakit, restoran dan travel – membuat George sering menjadi incaran banyak pengusaha. Niat mereka hanya satu, yakni menjadikan pria muda kaya raya ini menantunya. George bukan pria yang mudah didekati. Bagi George, lebih baik mencari partner bisnis daripada partner hidup. Dia lebih senang menghabiskan waktu untuk mengurusi bisnisnya, ketimbang mengurusi wanita. Hingga beberapa waktu lalu, rasanya belum ada yang mampu menarik perhatian George. Hingga, pertemuannya dengan Victoria di tangga darurat, cukup mengganggu pikiran George selama seharian ini. “Tuan Williams?” Kembali Tuan
"Bagaimana perawatan di klinik ini? Enak, kan?" Katherine mengibaskan rambutnya, ketika dia dan Victoria sedang menikmati minuman segar yang mereka pesan setelah melakukan perawatan wajah."Ya, kau benar!" sahut Victoria sembari menikmati teh hijau pesanannya. "Tubuhku terasa rileks sekali. Sepertinya, memang benar aku harus menyisipkan uang untuk memanjakan tubuh.""Oh, Tuhan terima kasih akhirnya kau menyadarkan sahabatku, karena aku pikir otaknya sudah dipenuhi lumut bernama Liam Harrison!" Katherine mengatup kedua tangan di dada, dan mata terpejam seolah sedang berdoa.Victoria tertawa lepas melihat tingkah Katherine, dan hal itu membuat Katherine bahagia. Dia bisa melihat tawa Victoria lagi. Bukan tawa keterpaksaan, melainkan tawa lepas seakan untuk sesaat beban hidup Victoria terangkat.Kedua tangan Katherine menopang dagunya. Dia menatap Victoria dalam. "Aku senang sekali melihatmu bahagia seperti ini, Vic! Inilah Victoria yang aku kenal dulu! Victoria yang ceria dan selalu ter
“Apa maksudmu, Liam!” Suara Victoria terdengar mulai meninggi. Bagaimana tidak? Liam Harrison – sang suami yang dia cintai dan percayai selama 3 tahun ini, tiba-tiba saja membawa seorang wanita muda bernama Annabele. “Apakah istrimu menderita gangguan pendengaran?” cibir Annabele dengan seringai di bibir. Dia menatap Victoria dengan tatapan merendahkan, seakan-akan dialah istri sah dari Liam. “Tutup mulutmu wanita penggoda! Saya tidak sedang bicara dengan Anda!” bentak Victoria dengan tatapan sengit pada Annabele. Tidak terima dibentak oleh Victoria, Annabele mengambil langkah panjang mendekati Victoria. Dia hendak melayangkan tamparan pada Victoria, tapi berhasil ditangkap oleh Liam. Baik Victoria maupun Annabele terkejut melihat respons Liam. “Jangan kotori tanganmu,” ucap Liam sembari menurunkan tangan Annabele dan menenangkan wanita muda itu. “Tidak usah menggubris dia. Biar aku yang bicara dengannya. Kau tunggu di sini saja.” Hati Victoria bak tertusuk panah bertubi-tubi, m
“Mau ke mana kau pagi-pagi begini?!” Suara Liam menahan aktivitas Victoria yang tengah mengisi ponsel di dalam tas selempang hitam – hadiah ulang tahun pemberian Liam 3 tahun yang lalu. Victoria tersenyum sinis. “Untuk apa kau bertanya? Masih peduli padaku? Khawatir padaku? Atau mulutmu hanya refleks mengucapkan kalimat itu?!” Liam melipat kedua tangan sembari bersandar di ambang pintu kamar Victoria. Sebenarnya, Liam tidak berniat untuk bertanya. Namun, ketika hendak ke dapur untuk sarapan, dia tidak mendapati apapun di sana. Liam pun bermaksud memarahi Victoria. “Kau tidak menyiapkan sarapan apapun, lantas kau mau pergi begitu saja! Apa kau lupa jika kau masih berstatus sebagai istri?! Seharusnya kau masih menjalankan kewajibanmu! Atau, kau sengaja membuatku dan Annabele kelaparan di pagi hari?!” Suara Liam mulai meninggi dalam sekejap. Victoria menengadahkan kepala untuk menarik napas sesaat. Dia tahu pertengkaran ini bisa saja memakan waktu, dan membuat perasaannya memburuk. L
"Bagaimana perawatan di klinik ini? Enak, kan?" Katherine mengibaskan rambutnya, ketika dia dan Victoria sedang menikmati minuman segar yang mereka pesan setelah melakukan perawatan wajah."Ya, kau benar!" sahut Victoria sembari menikmati teh hijau pesanannya. "Tubuhku terasa rileks sekali. Sepertinya, memang benar aku harus menyisipkan uang untuk memanjakan tubuh.""Oh, Tuhan terima kasih akhirnya kau menyadarkan sahabatku, karena aku pikir otaknya sudah dipenuhi lumut bernama Liam Harrison!" Katherine mengatup kedua tangan di dada, dan mata terpejam seolah sedang berdoa.Victoria tertawa lepas melihat tingkah Katherine, dan hal itu membuat Katherine bahagia. Dia bisa melihat tawa Victoria lagi. Bukan tawa keterpaksaan, melainkan tawa lepas seakan untuk sesaat beban hidup Victoria terangkat.Kedua tangan Katherine menopang dagunya. Dia menatap Victoria dalam. "Aku senang sekali melihatmu bahagia seperti ini, Vic! Inilah Victoria yang aku kenal dulu! Victoria yang ceria dan selalu ter
“Tuan Williams!” Suara dokter Hamish membuat pria tinggi dengan bentuk tubuh atletis itu mengangkat wajahnya. Wajah yang terkesan maskulin dengan jambang tercukur rapi, dan tatapan bak elang, selalu mampu menghipnotis wanita-wanita di sekelilingnya. George Williams – pemilik rumah sakit Williams. Menyandang status sebagai satu-satunya putra keluarga Williams yang memiliki banyak usaha di mana-mana – rumah sakit, restoran dan travel – membuat George sering menjadi incaran banyak pengusaha. Niat mereka hanya satu, yakni menjadikan pria muda kaya raya ini menantunya. George bukan pria yang mudah didekati. Bagi George, lebih baik mencari partner bisnis daripada partner hidup. Dia lebih senang menghabiskan waktu untuk mengurusi bisnisnya, ketimbang mengurusi wanita. Hingga beberapa waktu lalu, rasanya belum ada yang mampu menarik perhatian George. Hingga, pertemuannya dengan Victoria di tangga darurat, cukup mengganggu pikiran George selama seharian ini. “Tuan Williams?” Kembali Tuan
“Wah, wah, lihat ini!” Suara Annabelle terdengar nyaring ketika Victoria dan Katherine melewati ruang tamu. Tatapan Annabelle sinis dari atas rambut hingga ujung sepatu Victoria. Berlipat tangan dengan bersandar di pinggiran sofa, Annabelle berlagak seperti nyonya rumah yang siap menghakimi pembantunya. “Setelah tadi teman sampahmu ini bertindak barbar padaku, lantas sekarang kalian mau pergi begitu saja, hah?!” Annabelle melirik sekilas pada Katherine dengan tatapan merendahkan. Kedua ujung bibir berlipstik merah menyala milik Katherine terangkat. Melepas gandengannya dari lengan Victoria, Katherine maju selangkah di depan Annabelle yang mulai bersiaga. Khawatir kalau-kalau Katherine akan menyerangnya lagi. “Wah, wah, lihat ini!” Katherine mengulangi perkataan Annabelle tadi. “Seorang sampah berlagak seperti nyonya rumah?! Wah, dunia benar-benar sudah gila!” Rahang Annabelle mengetat. Terlebih, tatapan berkali-kali lipat yang Katherine lemparkan dari ujung rambutnya hingga kaki.
“Peter?” Kening Victoria berkerut diikuti bola mata yang mengarah ke atas. Victoria tengah berusaha mengingat nama yang diucapkan Katherine beberapa detik lalu. Keningnya berkerut selaras telunjuknya menepuk-nepuk dagu. Netra Katherine membola seiring napasnya yang terbuang kasar. Kedua tangan terlipat di dada, menunjukkan jika Katherine merajuk karena Victoria bisa-bisanya melupakan sosok Peter. Peter yang sangat berharga di hati Katherine."Jangan bilang, kau lupa siapa itu Peter?! Huh! Padahal, sebentar lagi dia akan menjadi bos-mu!" Katherine memainkan rambut ikalnya dengan lirikan tajam pada Victoria. “ Sebentar ... sebentar ... Aku berusaha mengingat yang mana si Peter itu. Kau tahu kan, banyak sekali mantan yang kau kenalkan padaku," ledek Victoria membuat Katherine semakin cemberut."Ah, si bola mata biru!” seru Victoria dengan telunjuk terangkat, dan ujung bibir naik ke atas. Dia sudah ingat siapa yang dimaksud Katherine. “Tunggu! Maksudmu, kau akan meminta bantuan Peter?
"AKU ADALAH KATHERINE! SAHABAT VICTORIA! WANITA YANG KAU REBUT SUAMINYA! DASAR JALANG KECIL TAK TAHU MALU!" teriak wanita cantik bertubuh seksi, yang kini berada di hadapan Annabele.Annabele merapikan rambutnya yang acak-acakan karena ditarik Katherine tadi. Pandangan matanya nyalang! Napasnya memburu karena amarah."Oh, wanita tua itu memanggil temannya, karena dia tak bisa menghadapi diriku sendiri?!" Senyum sinis tersungging di bibir Annabele."Kau benar-benar meminta mulutmu dirobek saat ini juga, ya!" balas Katherine sambil berusaha menjambak rambut Annabele lagi. Namun, dengan sigap Annabele menghadang tangan Katherine.Kini, keduanya malah terlibat jambak-jambakan.Victoria yang baru saja tiba, terkejut mendapati perkelahian antara Anabelle dan Katherine. Bergegas Victoria memisahkan kedua wanita yang sedang terbakar api amarah itu."Katherine! Apa yang kau lakukan di sini?!" tanya Victoria dengan wajah penuh kekhawatiran.Pandangan Katherine tak beralih sedikitpun dari wajah
"Ada apa ini?!" Dokter Hamish atau Tuan Hamish - berdiri di ambang pintu ruangan Liam, dengan kening berkerut. Pandangan matanya tertuju pada pergelangan tangan Victoria yang sedang dicengkeram Liam. "Dokter Liam! Apa yang Anda lakukan pada istri Anda?!" tanya Tuan Hamish. Segera Liam melepaskan tangannya, dan tersenyum dengan gelagapan. "Tidak, Dok! Saya dan istri sedang bercanda tadi." Liam melirik pada Victoria, seolah meminta pertolongan sang istri. "Wah, lihat ini! Bukankah tadi kau sesumbar bahwa kau bisa memutarbalikkan fakta? Lantas, kenapa sekarang nyalimu menciut, dan seakan memohon bantuan dariku, Liam Harrison?!" batin Victoria. "Apa benar, Nyonya?" tanya Dokter Hamish dengan tatapan penuh kecurigaan. Victoria memamerkan senyum penuh kepalsuan. "Tentu saja, Dok! Kami hanya sedang bercanda saja! Lagipula, tidak mungkin kan suami saya ingin menyakiti saya." Liam tahu jika apa yang dikatakan Victoria adalah sindiran untuk dirinya. Tapi, dia terpaksa menahan kesabarannya
"Bodohnya kau, Victoria! Bisa-bisanya tangisanmu malah dilihat pria lain yang tidak kau kenal!" umpat Victoria dalam hati. Dia berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit. "Huh! Semoga saja dia hanya pasien yang jarang berobat ke rumah sakit ini! Dan tidak mengetahui bahwa aku adalah istri salah satu dokter di sini! Dan semoga dia bukan pasiennya Liam!" ucap Victoria pelan dengan gigi saling merapat.Victoria menuju ke apotik untuk menebus resep yang diberikan dokter Christall. Dengan cepat dia mengambil tempat di sebelah seorang wanita tua untuk menunggu. Sembari menanti namanya dipanggil, Victoria menyelonjorkan kakinya, dan memberi pijatan ringan pada pundaknya. Ketika mengantri gilirannya, Victoria melihat direktur rumah sakit yang sangat dikenalnya. Tuan Hamish. Terlihat pria berumur itu tengah buru-buru menuju ke lift bersama beberapa dokter yang juga dikenal Victoria. Maklum saja, mereka adalah pimpinan dan teman dari sang suami. "Apa ada sesuatu, sehingga mereka terlihat bu
“Mau ke mana kau pagi-pagi begini?!” Suara Liam menahan aktivitas Victoria yang tengah mengisi ponsel di dalam tas selempang hitam – hadiah ulang tahun pemberian Liam 3 tahun yang lalu. Victoria tersenyum sinis. “Untuk apa kau bertanya? Masih peduli padaku? Khawatir padaku? Atau mulutmu hanya refleks mengucapkan kalimat itu?!” Liam melipat kedua tangan sembari bersandar di ambang pintu kamar Victoria. Sebenarnya, Liam tidak berniat untuk bertanya. Namun, ketika hendak ke dapur untuk sarapan, dia tidak mendapati apapun di sana. Liam pun bermaksud memarahi Victoria. “Kau tidak menyiapkan sarapan apapun, lantas kau mau pergi begitu saja! Apa kau lupa jika kau masih berstatus sebagai istri?! Seharusnya kau masih menjalankan kewajibanmu! Atau, kau sengaja membuatku dan Annabele kelaparan di pagi hari?!” Suara Liam mulai meninggi dalam sekejap. Victoria menengadahkan kepala untuk menarik napas sesaat. Dia tahu pertengkaran ini bisa saja memakan waktu, dan membuat perasaannya memburuk. L
“Apa maksudmu, Liam!” Suara Victoria terdengar mulai meninggi. Bagaimana tidak? Liam Harrison – sang suami yang dia cintai dan percayai selama 3 tahun ini, tiba-tiba saja membawa seorang wanita muda bernama Annabele. “Apakah istrimu menderita gangguan pendengaran?” cibir Annabele dengan seringai di bibir. Dia menatap Victoria dengan tatapan merendahkan, seakan-akan dialah istri sah dari Liam. “Tutup mulutmu wanita penggoda! Saya tidak sedang bicara dengan Anda!” bentak Victoria dengan tatapan sengit pada Annabele. Tidak terima dibentak oleh Victoria, Annabele mengambil langkah panjang mendekati Victoria. Dia hendak melayangkan tamparan pada Victoria, tapi berhasil ditangkap oleh Liam. Baik Victoria maupun Annabele terkejut melihat respons Liam. “Jangan kotori tanganmu,” ucap Liam sembari menurunkan tangan Annabele dan menenangkan wanita muda itu. “Tidak usah menggubris dia. Biar aku yang bicara dengannya. Kau tunggu di sini saja.” Hati Victoria bak tertusuk panah bertubi-tubi, m