“Mau ke mana kau pagi-pagi begini?!” Suara Liam menahan aktivitas Victoria yang tengah mengisi ponsel di dalam tas selempang hitam – hadiah ulang tahun pemberian Liam 3 tahun yang lalu.
Victoria tersenyum sinis. “Untuk apa kau bertanya? Masih peduli padaku? Khawatir padaku? Atau mulutmu hanya refleks mengucapkan kalimat itu?!”Liam melipat kedua tangan sembari bersandar di ambang pintu kamar Victoria. Sebenarnya, Liam tidak berniat untuk bertanya. Namun, ketika hendak ke dapur untuk sarapan, dia tidak mendapati apapun di sana. Liam pun bermaksud memarahi Victoria.“Kau tidak menyiapkan sarapan apapun, lantas kau mau pergi begitu saja! Apa kau lupa jika kau masih berstatus sebagai istri?! Seharusnya kau masih menjalankan kewajibanmu! Atau, kau sengaja membuatku dan Annabele kelaparan di pagi hari?!” Suara Liam mulai meninggi dalam sekejap.Victoria menengadahkan kepala untuk menarik napas sesaat. Dia tahu pertengkaran ini bisa saja memakan waktu, dan membuat perasaannya memburuk. Lebih baik dia pergi dari hadapan Liam.“Istri? Kewajiban?!” tanya Victoria dengan nada suara mengejek. “Kau menyuruhku berlaku selayaknya istri, dengan menjalankan segala kewajibanku? Sedangkan, dirimu tidak berlaku selayaknya seorang suami!”Wajah Liam memerah. Giginya bergeretak karena menahan amarah.“Lalu, apa kau bilang? Menyiapkan sarapan untukmu dan perempuan jalang itu?!” Victoria tertawa sumbang. “Kau sungguh tak tahu malu, serta tak punya perasaan! Kau hanya memikirkan perempuan licik itu!”Victoria segera melangkahkan kaki melewati Liam. Tapi, tangannya dengan kuat dicekal oleh pria itu.“KAU TIDAK AKAN KE MANA-MANA SEBELUM MEMBUATKAN SARAPAN UNTUK KAMI!” bentak Liam dengan kedua mata melotot. Bahkan, urat-urat matanya tampak jelas.Victoria menepis kuat tangan Liam. Dia membalas tatapan sang suami. “Aku pergi ke manapun, itu bukan urusanmu! Dan jika kau begitu laparnya, suruh saja jalangmu itu untuk memasak bagimu! Apa kau lupa, jika uangmu sudah kau berikan padanya?! Ajari dia berlaku menjadi peliharaan yang baik!”Liam mengangkat tangannya tinggi-tinggi, hendak menampar Victoria yang menantangnya. Amarahnya sudah tak terbendung lagi. Tapi, tiba-tiba saja Annabele muncul dan segera memeluk Liam, membuat pria itu menahan niatnya, meski napasnya memburu.“Sayang, tenanglah! Kau tidak boleh gegabah! Jangan melakukan hal yang akan merugikanmu! Kau tahu kan jika dia pasti akan melaporkanmu sebagai tindakan KDRT, apabila kau menamparnya!” ucap Annabele sambil menatap wajah Liam.Victoria ingin muntah melihat kelakuan Annabele saat ini. Bahkan, dia berharap dalam hati agar malaikat maut segera datang untuk mencabut nyawa wanita jalang itu.Liam menurunkan tangannya, lantas memijit keningnya. “Kau benar, sayang! Harusnya aku bisa menahan diri. Tapi, wanita ini benar-benar senang mencobaiku!”“Sungguh drama yang memuakkan!” sinis Victoria dan berbalik, hendak melangkah. Namun, lagi-lagi langkahnya tertahan karena Annebele segera menghadangnya.“Kau! Dasar wanita tidak tahu malu! Beraninya kau menghinaku!” Annabele mengangkat dagunya tinggi-tinggi, sembari berkacak pinggang.Melipat tangan, Victoria menatap Annabele dengan sebelah alis terangkat. “Lantas, harus kusebut apa, wanita yang merusak rumah tangga orang lain?! Wanita berbudi? Wanita terhormat?”“Kau tidak tahu siapa aku! Harusnya, kau tidak menghinaku seperti itu, atau kau akan menyesal!” ancam Annabele.Victoria memutar bola matanya. “Apa kau anak Ratu Elizabeth? Sekalipun iya, bagiku kau tetap sampah!”Dada Annabele kembang kempis. Dia baru tahu jika Victoria memiliki mulut yang tajam, tidak seperti tampangnya yang kalem. Dia pikir, karena itulah Liam selalu ingin menampar wanita itu.“Sudah, sayang! Jangan dengarkan dia! Dia hanya cemburu padamu!” Liam mendekati Annebele dan merangkul pundak gadis itu.Annabele pun tersenyum licik, lantas membalas rangkulan Liam di pinggang dan mengecup pipi pria itu. “Benar, sayang! Aku juga tahu jika dia hanya iri padaku, karena kau lebih mencintaiku daripada dirinya!”Victoria mengepalkan tangan. Segera dia melangkah cepat melewati Liam dan Annabele. Victoria muak! Dia tidak ingin lagi melihat pemandangan menjijikkan itu.“Aku pikir, mungkin saja dia mau mencari lelaki lain. Apa kau tidak cemburu, honey?” Victoria berhenti saat mendengar sindiran Annabele padanya.Liam tertawa keras mendengar ucapan Annabele. Cemburu? Liam sudah tidak punya rasa pada Victoria. “Sayang, kau pandai sekali melucu! Mana mungkin aku cemburu dengan wanita yang terlihat seperti ibuku itu?! Aku hanya cemburu jika ada pria lain yang melirikmu! Aku berani bertaruh jika tak ada pria yang akan meliriknya, apalagi jatuh hati padanya!”Victoria memilih tak menggubris perkataan Liam maupun Annabele. Daripada pertengkaran ini tidak akan berhenti, Victoria memilih pergi.Hari ini, Victoria harus melakukan kontrol pada dokter kandungan di rumah sakit tempat Liam bekerja. Victoria bersyukur karena Liam sedang libur hari ini, jadi dia tidak harus mengumbar senyum palsu ketika datang ke rumah sakit bersama suami tak tahu diri itu.Tiba di rumah sakit, Victoria segera menunggu giliran untuk diperiksa. Dia sudah lebih dahulu melakukan pendaftaran pada hari sebelumnya.Ketika tiba gilirannya, Victoria bergegas masuk ke ruang pemeriksaan. Di dalam sana, dokter Christall telah menantinya dengan senyum terkembang di bibir."Di mana Liam? Tidak ikut?" tanya dokter Christall dengan ramah.Victoria memaksakan senyum. "Dia masih beristirahat. Mungkin lelah. Jadi, saya tidak ingin mengganggunya.""Kamu istri yang sangat pengertian," puji dokter Christall membuat dada Victoria sesak.Setelah beberapa pertanyaan pembuka, dokter Christall meminta Victoria untuk naik ke tempat tidur agar dapat diperiksa. Dengan dibantu oleh salah seorang perawat wanita, kandungan Victoria kembali diperiksa."Sel telurnya masih kecil, ya," ucap dokter Christall. "Kenapa tidak mau suntik saja?""Liam tidak mau, dok. Katanya, dia mau secara alami," jawab Victoria berbohong.Dokter Christall mengakhiri pemeriksaan dan segera meresepkan obat untuk Victoria. "Jaga pola makan, dan pola tidur, ya! Serta, jangan stress.""Baik, dok!""Semangat, ya, Vic! Saya berharap secepatnya kalian memiliki momongan!" Dokter Christall memegang tangan Victoria dengan erat, berusaha menguatkan hati Victoria.Victoria hanya membalas dengan senyuman. Dia pun berpamitan dan segera melangkah lebar keluar dari ruang pemeriksaan. Hatinya kacau. Dia kembali dirundung kesedihan.Bergegas Victoria memasuki area tangga darurat. Dia terduduk di sana dalam kesepian. Dan menangis."Apakah usahaku akan sia-sia, Tuhan?" lirih Victoria. "Apakah semua akan berakhir begitu saja?"Victoria larut dalam kesedihannya, hingga dia tak menyadari ada seorang pria yang juga masuk ke ruangan itu. Pria itu terkejut mendapati Victoria yang sedang duduk dan menangis tersedu-sedu. Dia hendak membalikkan tubuh, bermaksud keluar dari ruangan, tapi dia mengurungkan niat ketika mendengar ucapan Victoria."Liam Harrison! Apakah kau benar-benar akan menceraikanku demi wanita penggoda itu, hanya karena aku tidak menarik dan belum mampu memberimu anak?!"Victoria menyandarkan kepala pada tembok. Air matanya terus mengalir, tanpa dia menghapusnya. Hingga, sebuah tangan yang memegang sapu tangan membuatnya menghentikan tangisannya."Nyonya, pakailah ini," ucap pria yang mengenakan hoodie hitam menutupi kepalanya. Namun, Victoria masih bisa menatap wajah pria itu dengan jelas.Mengambil tempat di samping Victoria, pria itu memilih mengusap air mata Victoria karena Victoria tak juga menerima sapu tangan pemberiannya."Jangan sia-siakan air matamu untuk sesuatu yang tak layak ditangisi," ucap sang pria bermata cokelat.Wajahnya tampan dan maskulin, dengan janggut yang tercukur rapi pada rahang tegasnya. Meski mengenakan hoodie, tapi aura kharismatik dan elegan terasa melekat kuat dalam diri pria itu.Victoria tersadar dari penilaiannya pada sang pria di sampingnya. Segera Victoria bangkit berdiri, begitu juga pria asing itu."Te - terima kasih untuk pertolongan Anda, Tuan ...." ucap Victoria dengan pandangan mata tertuju pada sang pria."George," jawab pria itu melanjutkan kalimat Victoria yang terkesan mengambang.Victoria memaksakan senyuman. "Terima kasih, Tuan George."Segera Victoria menaiki anak tangga dan keluar dari ruangan itu, meninggalkan George - pria asing yang baru dikenalnya."Jadi, dia adalah wanita itu .... " gumam George.***"Bodohnya kau, Victoria! Bisa-bisanya tangisanmu malah dilihat pria lain yang tidak kau kenal!" umpat Victoria dalam hati. Dia berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit. "Huh! Semoga saja dia hanya pasien yang jarang berobat ke rumah sakit ini! Dan tidak mengetahui bahwa aku adalah istri salah satu dokter di sini! Dan semoga dia bukan pasiennya Liam!" ucap Victoria pelan dengan gigi saling merapat.Victoria menuju ke apotik untuk menebus resep yang diberikan dokter Christall. Dengan cepat dia mengambil tempat di sebelah seorang wanita tua untuk menunggu. Sembari menanti namanya dipanggil, Victoria menyelonjorkan kakinya, dan memberi pijatan ringan pada pundaknya. Ketika mengantri gilirannya, Victoria melihat direktur rumah sakit yang sangat dikenalnya. Tuan Hamish. Terlihat pria berumur itu tengah buru-buru menuju ke lift bersama beberapa dokter yang juga dikenal Victoria. Maklum saja, mereka adalah pimpinan dan teman dari sang suami. "Apa ada sesuatu, sehingga mereka terlihat bu
"Ada apa ini?!" Dokter Hamish atau Tuan Hamish - berdiri di ambang pintu ruangan Liam, dengan kening berkerut. Pandangan matanya tertuju pada pergelangan tangan Victoria yang sedang dicengkeram Liam. "Dokter Liam! Apa yang Anda lakukan pada istri Anda?!" tanya Tuan Hamish. Segera Liam melepaskan tangannya, dan tersenyum dengan gelagapan. "Tidak, Dok! Saya dan istri sedang bercanda tadi." Liam melirik pada Victoria, seolah meminta pertolongan sang istri. "Wah, lihat ini! Bukankah tadi kau sesumbar bahwa kau bisa memutarbalikkan fakta? Lantas, kenapa sekarang nyalimu menciut, dan seakan memohon bantuan dariku, Liam Harrison?!" batin Victoria. "Apa benar, Nyonya?" tanya Dokter Hamish dengan tatapan penuh kecurigaan. Victoria memamerkan senyum penuh kepalsuan. "Tentu saja, Dok! Kami hanya sedang bercanda saja! Lagipula, tidak mungkin kan suami saya ingin menyakiti saya." Liam tahu jika apa yang dikatakan Victoria adalah sindiran untuk dirinya. Tapi, dia terpaksa menahan kesabarannya
"AKU ADALAH KATHERINE! SAHABAT VICTORIA! WANITA YANG KAU REBUT SUAMINYA! DASAR JALANG KECIL TAK TAHU MALU!" teriak wanita cantik bertubuh seksi, yang kini berada di hadapan Annabele.Annabele merapikan rambutnya yang acak-acakan karena ditarik Katherine tadi. Pandangan matanya nyalang! Napasnya memburu karena amarah."Oh, wanita tua itu memanggil temannya, karena dia tak bisa menghadapi diriku sendiri?!" Senyum sinis tersungging di bibir Annabele."Kau benar-benar meminta mulutmu dirobek saat ini juga, ya!" balas Katherine sambil berusaha menjambak rambut Annabele lagi. Namun, dengan sigap Annabele menghadang tangan Katherine.Kini, keduanya malah terlibat jambak-jambakan.Victoria yang baru saja tiba, terkejut mendapati perkelahian antara Anabelle dan Katherine. Bergegas Victoria memisahkan kedua wanita yang sedang terbakar api amarah itu."Katherine! Apa yang kau lakukan di sini?!" tanya Victoria dengan wajah penuh kekhawatiran.Pandangan Katherine tak beralih sedikitpun dari wajah
“Peter?” Kening Victoria berkerut diikuti bola mata yang mengarah ke atas. Victoria tengah berusaha mengingat nama yang diucapkan Katherine beberapa detik lalu. Keningnya berkerut selaras telunjuknya menepuk-nepuk dagu. Netra Katherine membola seiring napasnya yang terbuang kasar. Kedua tangan terlipat di dada, menunjukkan jika Katherine merajuk karena Victoria bisa-bisanya melupakan sosok Peter. Peter yang sangat berharga di hati Katherine."Jangan bilang, kau lupa siapa itu Peter?! Huh! Padahal, sebentar lagi dia akan menjadi bos-mu!" Katherine memainkan rambut ikalnya dengan lirikan tajam pada Victoria. “ Sebentar ... sebentar ... Aku berusaha mengingat yang mana si Peter itu. Kau tahu kan, banyak sekali mantan yang kau kenalkan padaku," ledek Victoria membuat Katherine semakin cemberut."Ah, si bola mata biru!” seru Victoria dengan telunjuk terangkat, dan ujung bibir naik ke atas. Dia sudah ingat siapa yang dimaksud Katherine. “Tunggu! Maksudmu, kau akan meminta bantuan Peter?
“Wah, wah, lihat ini!” Suara Annabelle terdengar nyaring ketika Victoria dan Katherine melewati ruang tamu. Tatapan Annabelle sinis dari atas rambut hingga ujung sepatu Victoria. Berlipat tangan dengan bersandar di pinggiran sofa, Annabelle berlagak seperti nyonya rumah yang siap menghakimi pembantunya. “Setelah tadi teman sampahmu ini bertindak barbar padaku, lantas sekarang kalian mau pergi begitu saja, hah?!” Annabelle melirik sekilas pada Katherine dengan tatapan merendahkan. Kedua ujung bibir berlipstik merah menyala milik Katherine terangkat. Melepas gandengannya dari lengan Victoria, Katherine maju selangkah di depan Annabelle yang mulai bersiaga. Khawatir kalau-kalau Katherine akan menyerangnya lagi. “Wah, wah, lihat ini!” Katherine mengulangi perkataan Annabelle tadi. “Seorang sampah berlagak seperti nyonya rumah?! Wah, dunia benar-benar sudah gila!” Rahang Annabelle mengetat. Terlebih, tatapan berkali-kali lipat yang Katherine lemparkan dari ujung rambutnya hingga kaki.
“Tuan Williams!” Suara dokter Hamish membuat pria tinggi dengan bentuk tubuh atletis itu mengangkat wajahnya. Wajah yang terkesan maskulin dengan jambang tercukur rapi, dan tatapan bak elang, selalu mampu menghipnotis wanita-wanita di sekelilingnya. George Williams – pemilik rumah sakit Williams. Menyandang status sebagai satu-satunya putra keluarga Williams yang memiliki banyak usaha di mana-mana – rumah sakit, restoran dan travel – membuat George sering menjadi incaran banyak pengusaha. Niat mereka hanya satu, yakni menjadikan pria muda kaya raya ini menantunya. George bukan pria yang mudah didekati. Bagi George, lebih baik mencari partner bisnis daripada partner hidup. Dia lebih senang menghabiskan waktu untuk mengurusi bisnisnya, ketimbang mengurusi wanita. Hingga beberapa waktu lalu, rasanya belum ada yang mampu menarik perhatian George. Hingga, pertemuannya dengan Victoria di tangga darurat, cukup mengganggu pikiran George selama seharian ini. “Tuan Williams?” Kembali Tuan
"Bagaimana perawatan di klinik ini? Enak, kan?" Katherine mengibaskan rambutnya, ketika dia dan Victoria sedang menikmati minuman segar yang mereka pesan setelah melakukan perawatan wajah."Ya, kau benar!" sahut Victoria sembari menikmati teh hijau pesanannya. "Tubuhku terasa rileks sekali. Sepertinya, memang benar aku harus menyisipkan uang untuk memanjakan tubuh.""Oh, Tuhan terima kasih akhirnya kau menyadarkan sahabatku, karena aku pikir otaknya sudah dipenuhi lumut bernama Liam Harrison!" Katherine mengatup kedua tangan di dada, dan mata terpejam seolah sedang berdoa.Victoria tertawa lepas melihat tingkah Katherine, dan hal itu membuat Katherine bahagia. Dia bisa melihat tawa Victoria lagi. Bukan tawa keterpaksaan, melainkan tawa lepas seakan untuk sesaat beban hidup Victoria terangkat.Kedua tangan Katherine menopang dagunya. Dia menatap Victoria dalam. "Aku senang sekali melihatmu bahagia seperti ini, Vic! Inilah Victoria yang aku kenal dulu! Victoria yang ceria dan selalu ter
“Apa maksudmu, Liam!” Suara Victoria terdengar mulai meninggi. Bagaimana tidak? Liam Harrison – sang suami yang dia cintai dan percayai selama 3 tahun ini, tiba-tiba saja membawa seorang wanita muda bernama Annabele. “Apakah istrimu menderita gangguan pendengaran?” cibir Annabele dengan seringai di bibir. Dia menatap Victoria dengan tatapan merendahkan, seakan-akan dialah istri sah dari Liam. “Tutup mulutmu wanita penggoda! Saya tidak sedang bicara dengan Anda!” bentak Victoria dengan tatapan sengit pada Annabele. Tidak terima dibentak oleh Victoria, Annabele mengambil langkah panjang mendekati Victoria. Dia hendak melayangkan tamparan pada Victoria, tapi berhasil ditangkap oleh Liam. Baik Victoria maupun Annabele terkejut melihat respons Liam. “Jangan kotori tanganmu,” ucap Liam sembari menurunkan tangan Annabele dan menenangkan wanita muda itu. “Tidak usah menggubris dia. Biar aku yang bicara dengannya. Kau tunggu di sini saja.” Hati Victoria bak tertusuk panah bertubi-tubi, m
"Bagaimana perawatan di klinik ini? Enak, kan?" Katherine mengibaskan rambutnya, ketika dia dan Victoria sedang menikmati minuman segar yang mereka pesan setelah melakukan perawatan wajah."Ya, kau benar!" sahut Victoria sembari menikmati teh hijau pesanannya. "Tubuhku terasa rileks sekali. Sepertinya, memang benar aku harus menyisipkan uang untuk memanjakan tubuh.""Oh, Tuhan terima kasih akhirnya kau menyadarkan sahabatku, karena aku pikir otaknya sudah dipenuhi lumut bernama Liam Harrison!" Katherine mengatup kedua tangan di dada, dan mata terpejam seolah sedang berdoa.Victoria tertawa lepas melihat tingkah Katherine, dan hal itu membuat Katherine bahagia. Dia bisa melihat tawa Victoria lagi. Bukan tawa keterpaksaan, melainkan tawa lepas seakan untuk sesaat beban hidup Victoria terangkat.Kedua tangan Katherine menopang dagunya. Dia menatap Victoria dalam. "Aku senang sekali melihatmu bahagia seperti ini, Vic! Inilah Victoria yang aku kenal dulu! Victoria yang ceria dan selalu ter
“Tuan Williams!” Suara dokter Hamish membuat pria tinggi dengan bentuk tubuh atletis itu mengangkat wajahnya. Wajah yang terkesan maskulin dengan jambang tercukur rapi, dan tatapan bak elang, selalu mampu menghipnotis wanita-wanita di sekelilingnya. George Williams – pemilik rumah sakit Williams. Menyandang status sebagai satu-satunya putra keluarga Williams yang memiliki banyak usaha di mana-mana – rumah sakit, restoran dan travel – membuat George sering menjadi incaran banyak pengusaha. Niat mereka hanya satu, yakni menjadikan pria muda kaya raya ini menantunya. George bukan pria yang mudah didekati. Bagi George, lebih baik mencari partner bisnis daripada partner hidup. Dia lebih senang menghabiskan waktu untuk mengurusi bisnisnya, ketimbang mengurusi wanita. Hingga beberapa waktu lalu, rasanya belum ada yang mampu menarik perhatian George. Hingga, pertemuannya dengan Victoria di tangga darurat, cukup mengganggu pikiran George selama seharian ini. “Tuan Williams?” Kembali Tuan
“Wah, wah, lihat ini!” Suara Annabelle terdengar nyaring ketika Victoria dan Katherine melewati ruang tamu. Tatapan Annabelle sinis dari atas rambut hingga ujung sepatu Victoria. Berlipat tangan dengan bersandar di pinggiran sofa, Annabelle berlagak seperti nyonya rumah yang siap menghakimi pembantunya. “Setelah tadi teman sampahmu ini bertindak barbar padaku, lantas sekarang kalian mau pergi begitu saja, hah?!” Annabelle melirik sekilas pada Katherine dengan tatapan merendahkan. Kedua ujung bibir berlipstik merah menyala milik Katherine terangkat. Melepas gandengannya dari lengan Victoria, Katherine maju selangkah di depan Annabelle yang mulai bersiaga. Khawatir kalau-kalau Katherine akan menyerangnya lagi. “Wah, wah, lihat ini!” Katherine mengulangi perkataan Annabelle tadi. “Seorang sampah berlagak seperti nyonya rumah?! Wah, dunia benar-benar sudah gila!” Rahang Annabelle mengetat. Terlebih, tatapan berkali-kali lipat yang Katherine lemparkan dari ujung rambutnya hingga kaki.
“Peter?” Kening Victoria berkerut diikuti bola mata yang mengarah ke atas. Victoria tengah berusaha mengingat nama yang diucapkan Katherine beberapa detik lalu. Keningnya berkerut selaras telunjuknya menepuk-nepuk dagu. Netra Katherine membola seiring napasnya yang terbuang kasar. Kedua tangan terlipat di dada, menunjukkan jika Katherine merajuk karena Victoria bisa-bisanya melupakan sosok Peter. Peter yang sangat berharga di hati Katherine."Jangan bilang, kau lupa siapa itu Peter?! Huh! Padahal, sebentar lagi dia akan menjadi bos-mu!" Katherine memainkan rambut ikalnya dengan lirikan tajam pada Victoria. “ Sebentar ... sebentar ... Aku berusaha mengingat yang mana si Peter itu. Kau tahu kan, banyak sekali mantan yang kau kenalkan padaku," ledek Victoria membuat Katherine semakin cemberut."Ah, si bola mata biru!” seru Victoria dengan telunjuk terangkat, dan ujung bibir naik ke atas. Dia sudah ingat siapa yang dimaksud Katherine. “Tunggu! Maksudmu, kau akan meminta bantuan Peter?
"AKU ADALAH KATHERINE! SAHABAT VICTORIA! WANITA YANG KAU REBUT SUAMINYA! DASAR JALANG KECIL TAK TAHU MALU!" teriak wanita cantik bertubuh seksi, yang kini berada di hadapan Annabele.Annabele merapikan rambutnya yang acak-acakan karena ditarik Katherine tadi. Pandangan matanya nyalang! Napasnya memburu karena amarah."Oh, wanita tua itu memanggil temannya, karena dia tak bisa menghadapi diriku sendiri?!" Senyum sinis tersungging di bibir Annabele."Kau benar-benar meminta mulutmu dirobek saat ini juga, ya!" balas Katherine sambil berusaha menjambak rambut Annabele lagi. Namun, dengan sigap Annabele menghadang tangan Katherine.Kini, keduanya malah terlibat jambak-jambakan.Victoria yang baru saja tiba, terkejut mendapati perkelahian antara Anabelle dan Katherine. Bergegas Victoria memisahkan kedua wanita yang sedang terbakar api amarah itu."Katherine! Apa yang kau lakukan di sini?!" tanya Victoria dengan wajah penuh kekhawatiran.Pandangan Katherine tak beralih sedikitpun dari wajah
"Ada apa ini?!" Dokter Hamish atau Tuan Hamish - berdiri di ambang pintu ruangan Liam, dengan kening berkerut. Pandangan matanya tertuju pada pergelangan tangan Victoria yang sedang dicengkeram Liam. "Dokter Liam! Apa yang Anda lakukan pada istri Anda?!" tanya Tuan Hamish. Segera Liam melepaskan tangannya, dan tersenyum dengan gelagapan. "Tidak, Dok! Saya dan istri sedang bercanda tadi." Liam melirik pada Victoria, seolah meminta pertolongan sang istri. "Wah, lihat ini! Bukankah tadi kau sesumbar bahwa kau bisa memutarbalikkan fakta? Lantas, kenapa sekarang nyalimu menciut, dan seakan memohon bantuan dariku, Liam Harrison?!" batin Victoria. "Apa benar, Nyonya?" tanya Dokter Hamish dengan tatapan penuh kecurigaan. Victoria memamerkan senyum penuh kepalsuan. "Tentu saja, Dok! Kami hanya sedang bercanda saja! Lagipula, tidak mungkin kan suami saya ingin menyakiti saya." Liam tahu jika apa yang dikatakan Victoria adalah sindiran untuk dirinya. Tapi, dia terpaksa menahan kesabarannya
"Bodohnya kau, Victoria! Bisa-bisanya tangisanmu malah dilihat pria lain yang tidak kau kenal!" umpat Victoria dalam hati. Dia berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit. "Huh! Semoga saja dia hanya pasien yang jarang berobat ke rumah sakit ini! Dan tidak mengetahui bahwa aku adalah istri salah satu dokter di sini! Dan semoga dia bukan pasiennya Liam!" ucap Victoria pelan dengan gigi saling merapat.Victoria menuju ke apotik untuk menebus resep yang diberikan dokter Christall. Dengan cepat dia mengambil tempat di sebelah seorang wanita tua untuk menunggu. Sembari menanti namanya dipanggil, Victoria menyelonjorkan kakinya, dan memberi pijatan ringan pada pundaknya. Ketika mengantri gilirannya, Victoria melihat direktur rumah sakit yang sangat dikenalnya. Tuan Hamish. Terlihat pria berumur itu tengah buru-buru menuju ke lift bersama beberapa dokter yang juga dikenal Victoria. Maklum saja, mereka adalah pimpinan dan teman dari sang suami. "Apa ada sesuatu, sehingga mereka terlihat bu
“Mau ke mana kau pagi-pagi begini?!” Suara Liam menahan aktivitas Victoria yang tengah mengisi ponsel di dalam tas selempang hitam – hadiah ulang tahun pemberian Liam 3 tahun yang lalu. Victoria tersenyum sinis. “Untuk apa kau bertanya? Masih peduli padaku? Khawatir padaku? Atau mulutmu hanya refleks mengucapkan kalimat itu?!” Liam melipat kedua tangan sembari bersandar di ambang pintu kamar Victoria. Sebenarnya, Liam tidak berniat untuk bertanya. Namun, ketika hendak ke dapur untuk sarapan, dia tidak mendapati apapun di sana. Liam pun bermaksud memarahi Victoria. “Kau tidak menyiapkan sarapan apapun, lantas kau mau pergi begitu saja! Apa kau lupa jika kau masih berstatus sebagai istri?! Seharusnya kau masih menjalankan kewajibanmu! Atau, kau sengaja membuatku dan Annabele kelaparan di pagi hari?!” Suara Liam mulai meninggi dalam sekejap. Victoria menengadahkan kepala untuk menarik napas sesaat. Dia tahu pertengkaran ini bisa saja memakan waktu, dan membuat perasaannya memburuk. L
“Apa maksudmu, Liam!” Suara Victoria terdengar mulai meninggi. Bagaimana tidak? Liam Harrison – sang suami yang dia cintai dan percayai selama 3 tahun ini, tiba-tiba saja membawa seorang wanita muda bernama Annabele. “Apakah istrimu menderita gangguan pendengaran?” cibir Annabele dengan seringai di bibir. Dia menatap Victoria dengan tatapan merendahkan, seakan-akan dialah istri sah dari Liam. “Tutup mulutmu wanita penggoda! Saya tidak sedang bicara dengan Anda!” bentak Victoria dengan tatapan sengit pada Annabele. Tidak terima dibentak oleh Victoria, Annabele mengambil langkah panjang mendekati Victoria. Dia hendak melayangkan tamparan pada Victoria, tapi berhasil ditangkap oleh Liam. Baik Victoria maupun Annabele terkejut melihat respons Liam. “Jangan kotori tanganmu,” ucap Liam sembari menurunkan tangan Annabele dan menenangkan wanita muda itu. “Tidak usah menggubris dia. Biar aku yang bicara dengannya. Kau tunggu di sini saja.” Hati Victoria bak tertusuk panah bertubi-tubi, m