"Ada apa ini?!" Dokter Hamish atau Tuan Hamish - berdiri di ambang pintu ruangan Liam, dengan kening berkerut. Pandangan matanya tertuju pada pergelangan tangan Victoria yang sedang dicengkeram Liam.
"Dokter Liam! Apa yang Anda lakukan pada istri Anda?!" tanya Tuan Hamish.Segera Liam melepaskan tangannya, dan tersenyum dengan gelagapan. "Tidak, Dok! Saya dan istri sedang bercanda tadi." Liam melirik pada Victoria, seolah meminta pertolongan sang istri."Wah, lihat ini! Bukankah tadi kau sesumbar bahwa kau bisa memutarbalikkan fakta? Lantas, kenapa sekarang nyalimu menciut, dan seakan memohon bantuan dariku, Liam Harrison?!" batin Victoria."Apa benar, Nyonya?" tanya Dokter Hamish dengan tatapan penuh kecurigaan.Victoria memamerkan senyum penuh kepalsuan. "Tentu saja, Dok! Kami hanya sedang bercanda saja! Lagipula, tidak mungkin kan suami saya ingin menyakiti saya."Liam tahu jika apa yang dikatakan Victoria adalah sindiran untuk dirinya. Tapi, dia terpaksa menahan kesabarannya."Baiklah, kalau begitu! Saya tidak ingin ada kekacauan di sini, apalagi saat ini Tuan Williams sedang berada di sini!" ucap Dokter Hamish."Lalu, bagaimana, Dok? Apakah inspeksi yang dilakukan beliau mendapat banyak temuan?" tanya Liam dengan wajah penasaran."Kita lihat saja nanti!" jawab Dokter Hamish. "Oh, iya! Saya ke sini karena ada keperluan denganmu! Tuan Williams meminta saya untuk memeanggilmu!"Liam tersenyum lebar, karena dia pikir ini adalah saatnya untuk naik jabatan. Dia percaya diri jika Tuan Williams telah melihat kinerja kerjanya selama ini, dan mempertimbangkan kenaikan jabatan untuknya. Karena, sungguh aneh jika hanya untuk memanggilnya, Tuan Williams sampai menyuruh Dokter Hamish."Segera ke ruang rapat!" lanjut Dokter Hamish. "Selesai pertemuan, Anda boleh kembali ke rumah dengan istri Anda dan melanjutkan candaan kalian."Dokter Hamish mengedipkan sebelah mata pada Victoria, membuat wanita itu tersenyum kikuk. Dia merasa bersalah, karena telah membohongi dokter Hamish yang sudah seperti orang tua baginya."Baik, Dok!" jawab Liam.Dokter Hamish berjalan lebih dahulu, sengaja memberi waktu bagi Liam dan Victoria. Karena, dokter Hamish pikir, hubungan suami istri itu baik-baik saja."Kau lihat sendiri, kan?!" Angkuh, Liam memandang Victoria. "Dengan sendirinya, Tuan Williams melihat kinerjaku dan akan mengangkatku sebagai pengganti Dokter Hamish!""Kau terlalu percaya diri!" ejek Victoria sambil membuang muka.Liam memangkas jarak dengan Victoria. Kini, wajah mereka benar-benar dekat, hingga napas mereka seakan menyatu."Dan, ketika waktu itu tiba, kau akan kutendang dari rumah itu! Kau dan penampilan lusuhmu yang membuatku muak!" desis Liam penuh penekanan dan ancaman."Jadi, selagi aku masih berbaik hati membiarkanmu tinggal di sana, lakukanlah tugasmu dengan benar! Mungkin, aku akan mempertimbangkanmu menjadi asisten rumah tangga kami! Dengan demikian, kau masih bisa melihatku - pria yang membuatmu tergila-gila dan tak bisa kau lepaskan!" Liam menatap Victoria dengan tatapan hina.Victoria menahan dirinya untuk tidak mengumpat Liam saat ini, karena dia sadar diri jika dia berada di rumah sakit. Bagaimanapun juga, Victoria bukan wanita serampangan yang tidak punya etikat baik."Oh, ya! Dan, kau jangan bermimpi untuk pulang bersamaku! Aku tidak sudi!" imbuh Liam.Tak mendapat jawaban apapun dari mulut Victoria, membuat Liam kesal dan memilih untuk meninggalkan Victoria seorang diri."Aku berharap hidupmu dipenuhi penderitaan, Liam! Dan kau akan menyesal atas semua perlakuanmu padaku!" Tatapan Victoria mulai buram karena bulir-bulir air mata kembali menggenang di sana.Victoria menatap meja kerja Liam, juga lemari yang terletak di belakang meja kerjanya. Tidak ada lagi foto dirinya, seperti yang terpajang tiga tahun yang lalu. Semua telah berubah. Liam telah berubah. Liam, sungguh-sungguh tidak mencintainya lagi."Apa kau begitu mencintai wanita jalang itu?" lirih Victoria sambil mengelilingi ruang kerja Liam.Sesaat kemudian, Victoria duduk di depan meja kerja Liam. Dia membuka laci meja kayu itu, sekadar melihat jika saja ada foto miliknya yang disimpan oleh Liam. Tapi, yang Victoria dapatkan justru hal yang dibencinya.Jemari Victoria gemetar saat meraih pigura berisi foto milik Liam dan Annabele yang tengah bermesraan di sebuah tempat wisata. Wajah keduanya terlihat bahagia, seakan dunia adalah milik mereka berdua."Tega kau, Liam! Sungguh tega!" lirih Victoria.Dengan kasar dia meletakkan kembali pigura itu dan menutup laci meja kerja Liam. Victoria menundukkan kepala di atas meja, dan kembali menangisi pernikahannya untuk beberapa saat.Setenga jam kemudian, setelah merasa dirinya mulai tenang, Victoria mengenakan kacamata yang dia bawa tadi, dan melangkah keluar ruangan. Dia berjalan cepat sembari menunduk, menyusuri lorong rumah sakit, menuju ke lift. Dia tidak lagi memperhatikan sekitarnya, hingga tak menyadari jika dia berada satu lift dengan George."Anda menangis lagi, Nyonya?" tanya George membuat Victoria terenyak. Ditatapnya George yang ada di sampingnya. Victoria juga baru menyadari jika hanya dia dan George di dalam lift."Ti - tidak! Saya tidak menangis!" jawab Victoria gugup."Meski Anda mengenakan kacamata, tapi wajah Anda menunjukkan kesedihan yang mendalam," ucap George."Bukan apa-apa. Terima kasih atas perhatian, Tuan," balas Victoria. Dia tidak mau berdialog lebih lanjut dengan George, karena dia tidak ingin terjadi kesalah-pahaman, jika ada teman-teman Liam yang melihatnya bersama pria lain.Tapi, tunggu dulu! Victoria berpikir sejenak. Bukankah tadi pagi Liam dan Annabele mengejeknya karena tidak mungkin dirinya akan dilirik pria lain? Dan, nyatanya ejekan mereka salah! Saat ini, ada seorang pria yang entah kenapa, menaruh perhatian pada Victoria."Toh, dia tidak akan cemburu," gumam Victoria pelan.Setelah lift terbuka, Victoria melesat keluar dari dalam lift, diikuti George dari belakangnya, hingga mereka tiba di area parkir di depan rumah sakit."Nyonya, apakah Anda mau saya antar pulang?" tanya Geroge menawarkan bantuan.Victoria menatap curiga pada pria di hadapannya ini. Dia bertanya-tanya, apakah mungkin George adalah seseorang yang pernah dikenalnya, sehingga pria ini terus saja menawarinya pertolongan."Terima kasih, Tuan! Tapi, saya bisa pulang sendiri naik taksi," jawab Victoria.George menatap Victoria. Dalam. "Saya tidak ingin sopir taksi melihat mata Anda yang bengkak, karena habis menangis."Victoria memalingkan wajahnya. "Saya menggunakan kaca mata.""Tapi, bahkan saya masih bisa melihat bahwa Anda baru saja selesai menangis," timpal George.Victoria terdiam. Dia sudah hendak melangkah, tapi lengan yang tadi dicengkeram oleh Liam ditahan oleh George. Meski George menyentuh lengannya dengan lembut, Victoria tetap merasa nyeri pada area yang disentuh."Aw!" jerit Victoria, membuat George refleks mengangkat tangannya."Maaf, Nyonya! Apakah saya menyakiti Anda?" tanya George dengan tatapan khawatir pada pergelangan tangan Victoria yang ditutupi tangan sebelahnya."Tidak! Saya tidak apa-apa! Saya permisi!" ucap Victoria sembari mengambil langkah panjang meninggalkan George. Victoria segera memberhentikan salah satu taksi, dan buru-buru pergi."Ada apa dengannya? Apa terjadi sesuatu padanya?" gumam George....Di rumah Liam dan Victoria, Annabele tengah duduk dengan santai sambil menonton drama televisi. Dia tertawa dengan keras, ketika adegan lucu ditampilkan. Namun, tawanya berhenti saat bel pintu berbunyi. Dengan kesal Annabele bangkit dari duduk dan menyeret langkah menuju ke pintu."Siapa yang mengganggu waktuku?!" gerutu Annabele, sembari membuka kenop pintu.Betapa terkejutnya Annabele, ketika pintu terbuka. Rambut panjangnya langsung ditarik dengan kasar. "Dasar kau wanita jalang! Beraninya kau menggoda suami orang!"Annabele berusaha melepaskan tarikan wanita barbar di hadapannya, hingga beberapa helai rambutnya ikut tercabut."KURANG AJAR KAU! SIAPA KAU, B*NGSAT?! BERANINYA KAU MELAKUKAN INI PADAKU!"Wanita itu menampar Annabele dengan keras, membuat Annebel syok seketika."KAU MAU TAHU SIAPA AKU?! AKU ADALAH ...."***"AKU ADALAH KATHERINE! SAHABAT VICTORIA! WANITA YANG KAU REBUT SUAMINYA! DASAR JALANG KECIL TAK TAHU MALU!" teriak wanita cantik bertubuh seksi, yang kini berada di hadapan Annabele.Annabele merapikan rambutnya yang acak-acakan karena ditarik Katherine tadi. Pandangan matanya nyalang! Napasnya memburu karena amarah."Oh, wanita tua itu memanggil temannya, karena dia tak bisa menghadapi diriku sendiri?!" Senyum sinis tersungging di bibir Annabele."Kau benar-benar meminta mulutmu dirobek saat ini juga, ya!" balas Katherine sambil berusaha menjambak rambut Annabele lagi. Namun, dengan sigap Annabele menghadang tangan Katherine.Kini, keduanya malah terlibat jambak-jambakan.Victoria yang baru saja tiba, terkejut mendapati perkelahian antara Anabelle dan Katherine. Bergegas Victoria memisahkan kedua wanita yang sedang terbakar api amarah itu."Katherine! Apa yang kau lakukan di sini?!" tanya Victoria dengan wajah penuh kekhawatiran.Pandangan Katherine tak beralih sedikitpun dari wajah
“Peter?” Kening Victoria berkerut diikuti bola mata yang mengarah ke atas. Victoria tengah berusaha mengingat nama yang diucapkan Katherine beberapa detik lalu. Keningnya berkerut selaras telunjuknya menepuk-nepuk dagu. Netra Katherine membola seiring napasnya yang terbuang kasar. Kedua tangan terlipat di dada, menunjukkan jika Katherine merajuk karena Victoria bisa-bisanya melupakan sosok Peter. Peter yang sangat berharga di hati Katherine."Jangan bilang, kau lupa siapa itu Peter?! Huh! Padahal, sebentar lagi dia akan menjadi bos-mu!" Katherine memainkan rambut ikalnya dengan lirikan tajam pada Victoria. “ Sebentar ... sebentar ... Aku berusaha mengingat yang mana si Peter itu. Kau tahu kan, banyak sekali mantan yang kau kenalkan padaku," ledek Victoria membuat Katherine semakin cemberut."Ah, si bola mata biru!” seru Victoria dengan telunjuk terangkat, dan ujung bibir naik ke atas. Dia sudah ingat siapa yang dimaksud Katherine. “Tunggu! Maksudmu, kau akan meminta bantuan Peter?
“Wah, wah, lihat ini!” Suara Annabelle terdengar nyaring ketika Victoria dan Katherine melewati ruang tamu. Tatapan Annabelle sinis dari atas rambut hingga ujung sepatu Victoria. Berlipat tangan dengan bersandar di pinggiran sofa, Annabelle berlagak seperti nyonya rumah yang siap menghakimi pembantunya. “Setelah tadi teman sampahmu ini bertindak barbar padaku, lantas sekarang kalian mau pergi begitu saja, hah?!” Annabelle melirik sekilas pada Katherine dengan tatapan merendahkan. Kedua ujung bibir berlipstik merah menyala milik Katherine terangkat. Melepas gandengannya dari lengan Victoria, Katherine maju selangkah di depan Annabelle yang mulai bersiaga. Khawatir kalau-kalau Katherine akan menyerangnya lagi. “Wah, wah, lihat ini!” Katherine mengulangi perkataan Annabelle tadi. “Seorang sampah berlagak seperti nyonya rumah?! Wah, dunia benar-benar sudah gila!” Rahang Annabelle mengetat. Terlebih, tatapan berkali-kali lipat yang Katherine lemparkan dari ujung rambutnya hingga kaki.
“Tuan Williams!” Suara dokter Hamish membuat pria tinggi dengan bentuk tubuh atletis itu mengangkat wajahnya. Wajah yang terkesan maskulin dengan jambang tercukur rapi, dan tatapan bak elang, selalu mampu menghipnotis wanita-wanita di sekelilingnya. George Williams – pemilik rumah sakit Williams. Menyandang status sebagai satu-satunya putra keluarga Williams yang memiliki banyak usaha di mana-mana – rumah sakit, restoran dan travel – membuat George sering menjadi incaran banyak pengusaha. Niat mereka hanya satu, yakni menjadikan pria muda kaya raya ini menantunya. George bukan pria yang mudah didekati. Bagi George, lebih baik mencari partner bisnis daripada partner hidup. Dia lebih senang menghabiskan waktu untuk mengurusi bisnisnya, ketimbang mengurusi wanita. Hingga beberapa waktu lalu, rasanya belum ada yang mampu menarik perhatian George. Hingga, pertemuannya dengan Victoria di tangga darurat, cukup mengganggu pikiran George selama seharian ini. “Tuan Williams?” Kembali Tuan
"Bagaimana perawatan di klinik ini? Enak, kan?" Katherine mengibaskan rambutnya, ketika dia dan Victoria sedang menikmati minuman segar yang mereka pesan setelah melakukan perawatan wajah."Ya, kau benar!" sahut Victoria sembari menikmati teh hijau pesanannya. "Tubuhku terasa rileks sekali. Sepertinya, memang benar aku harus menyisipkan uang untuk memanjakan tubuh.""Oh, Tuhan terima kasih akhirnya kau menyadarkan sahabatku, karena aku pikir otaknya sudah dipenuhi lumut bernama Liam Harrison!" Katherine mengatup kedua tangan di dada, dan mata terpejam seolah sedang berdoa.Victoria tertawa lepas melihat tingkah Katherine, dan hal itu membuat Katherine bahagia. Dia bisa melihat tawa Victoria lagi. Bukan tawa keterpaksaan, melainkan tawa lepas seakan untuk sesaat beban hidup Victoria terangkat.Kedua tangan Katherine menopang dagunya. Dia menatap Victoria dalam. "Aku senang sekali melihatmu bahagia seperti ini, Vic! Inilah Victoria yang aku kenal dulu! Victoria yang ceria dan selalu ter
“Apa maksudmu, Liam!” Suara Victoria terdengar mulai meninggi. Bagaimana tidak? Liam Harrison – sang suami yang dia cintai dan percayai selama 3 tahun ini, tiba-tiba saja membawa seorang wanita muda bernama Annabele. “Apakah istrimu menderita gangguan pendengaran?” cibir Annabele dengan seringai di bibir. Dia menatap Victoria dengan tatapan merendahkan, seakan-akan dialah istri sah dari Liam. “Tutup mulutmu wanita penggoda! Saya tidak sedang bicara dengan Anda!” bentak Victoria dengan tatapan sengit pada Annabele. Tidak terima dibentak oleh Victoria, Annabele mengambil langkah panjang mendekati Victoria. Dia hendak melayangkan tamparan pada Victoria, tapi berhasil ditangkap oleh Liam. Baik Victoria maupun Annabele terkejut melihat respons Liam. “Jangan kotori tanganmu,” ucap Liam sembari menurunkan tangan Annabele dan menenangkan wanita muda itu. “Tidak usah menggubris dia. Biar aku yang bicara dengannya. Kau tunggu di sini saja.” Hati Victoria bak tertusuk panah bertubi-tubi, m
“Mau ke mana kau pagi-pagi begini?!” Suara Liam menahan aktivitas Victoria yang tengah mengisi ponsel di dalam tas selempang hitam – hadiah ulang tahun pemberian Liam 3 tahun yang lalu. Victoria tersenyum sinis. “Untuk apa kau bertanya? Masih peduli padaku? Khawatir padaku? Atau mulutmu hanya refleks mengucapkan kalimat itu?!” Liam melipat kedua tangan sembari bersandar di ambang pintu kamar Victoria. Sebenarnya, Liam tidak berniat untuk bertanya. Namun, ketika hendak ke dapur untuk sarapan, dia tidak mendapati apapun di sana. Liam pun bermaksud memarahi Victoria. “Kau tidak menyiapkan sarapan apapun, lantas kau mau pergi begitu saja! Apa kau lupa jika kau masih berstatus sebagai istri?! Seharusnya kau masih menjalankan kewajibanmu! Atau, kau sengaja membuatku dan Annabele kelaparan di pagi hari?!” Suara Liam mulai meninggi dalam sekejap. Victoria menengadahkan kepala untuk menarik napas sesaat. Dia tahu pertengkaran ini bisa saja memakan waktu, dan membuat perasaannya memburuk. L
"Bodohnya kau, Victoria! Bisa-bisanya tangisanmu malah dilihat pria lain yang tidak kau kenal!" umpat Victoria dalam hati. Dia berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit. "Huh! Semoga saja dia hanya pasien yang jarang berobat ke rumah sakit ini! Dan tidak mengetahui bahwa aku adalah istri salah satu dokter di sini! Dan semoga dia bukan pasiennya Liam!" ucap Victoria pelan dengan gigi saling merapat.Victoria menuju ke apotik untuk menebus resep yang diberikan dokter Christall. Dengan cepat dia mengambil tempat di sebelah seorang wanita tua untuk menunggu. Sembari menanti namanya dipanggil, Victoria menyelonjorkan kakinya, dan memberi pijatan ringan pada pundaknya. Ketika mengantri gilirannya, Victoria melihat direktur rumah sakit yang sangat dikenalnya. Tuan Hamish. Terlihat pria berumur itu tengah buru-buru menuju ke lift bersama beberapa dokter yang juga dikenal Victoria. Maklum saja, mereka adalah pimpinan dan teman dari sang suami. "Apa ada sesuatu, sehingga mereka terlihat bu
"Bagaimana perawatan di klinik ini? Enak, kan?" Katherine mengibaskan rambutnya, ketika dia dan Victoria sedang menikmati minuman segar yang mereka pesan setelah melakukan perawatan wajah."Ya, kau benar!" sahut Victoria sembari menikmati teh hijau pesanannya. "Tubuhku terasa rileks sekali. Sepertinya, memang benar aku harus menyisipkan uang untuk memanjakan tubuh.""Oh, Tuhan terima kasih akhirnya kau menyadarkan sahabatku, karena aku pikir otaknya sudah dipenuhi lumut bernama Liam Harrison!" Katherine mengatup kedua tangan di dada, dan mata terpejam seolah sedang berdoa.Victoria tertawa lepas melihat tingkah Katherine, dan hal itu membuat Katherine bahagia. Dia bisa melihat tawa Victoria lagi. Bukan tawa keterpaksaan, melainkan tawa lepas seakan untuk sesaat beban hidup Victoria terangkat.Kedua tangan Katherine menopang dagunya. Dia menatap Victoria dalam. "Aku senang sekali melihatmu bahagia seperti ini, Vic! Inilah Victoria yang aku kenal dulu! Victoria yang ceria dan selalu ter
“Tuan Williams!” Suara dokter Hamish membuat pria tinggi dengan bentuk tubuh atletis itu mengangkat wajahnya. Wajah yang terkesan maskulin dengan jambang tercukur rapi, dan tatapan bak elang, selalu mampu menghipnotis wanita-wanita di sekelilingnya. George Williams – pemilik rumah sakit Williams. Menyandang status sebagai satu-satunya putra keluarga Williams yang memiliki banyak usaha di mana-mana – rumah sakit, restoran dan travel – membuat George sering menjadi incaran banyak pengusaha. Niat mereka hanya satu, yakni menjadikan pria muda kaya raya ini menantunya. George bukan pria yang mudah didekati. Bagi George, lebih baik mencari partner bisnis daripada partner hidup. Dia lebih senang menghabiskan waktu untuk mengurusi bisnisnya, ketimbang mengurusi wanita. Hingga beberapa waktu lalu, rasanya belum ada yang mampu menarik perhatian George. Hingga, pertemuannya dengan Victoria di tangga darurat, cukup mengganggu pikiran George selama seharian ini. “Tuan Williams?” Kembali Tuan
“Wah, wah, lihat ini!” Suara Annabelle terdengar nyaring ketika Victoria dan Katherine melewati ruang tamu. Tatapan Annabelle sinis dari atas rambut hingga ujung sepatu Victoria. Berlipat tangan dengan bersandar di pinggiran sofa, Annabelle berlagak seperti nyonya rumah yang siap menghakimi pembantunya. “Setelah tadi teman sampahmu ini bertindak barbar padaku, lantas sekarang kalian mau pergi begitu saja, hah?!” Annabelle melirik sekilas pada Katherine dengan tatapan merendahkan. Kedua ujung bibir berlipstik merah menyala milik Katherine terangkat. Melepas gandengannya dari lengan Victoria, Katherine maju selangkah di depan Annabelle yang mulai bersiaga. Khawatir kalau-kalau Katherine akan menyerangnya lagi. “Wah, wah, lihat ini!” Katherine mengulangi perkataan Annabelle tadi. “Seorang sampah berlagak seperti nyonya rumah?! Wah, dunia benar-benar sudah gila!” Rahang Annabelle mengetat. Terlebih, tatapan berkali-kali lipat yang Katherine lemparkan dari ujung rambutnya hingga kaki.
“Peter?” Kening Victoria berkerut diikuti bola mata yang mengarah ke atas. Victoria tengah berusaha mengingat nama yang diucapkan Katherine beberapa detik lalu. Keningnya berkerut selaras telunjuknya menepuk-nepuk dagu. Netra Katherine membola seiring napasnya yang terbuang kasar. Kedua tangan terlipat di dada, menunjukkan jika Katherine merajuk karena Victoria bisa-bisanya melupakan sosok Peter. Peter yang sangat berharga di hati Katherine."Jangan bilang, kau lupa siapa itu Peter?! Huh! Padahal, sebentar lagi dia akan menjadi bos-mu!" Katherine memainkan rambut ikalnya dengan lirikan tajam pada Victoria. “ Sebentar ... sebentar ... Aku berusaha mengingat yang mana si Peter itu. Kau tahu kan, banyak sekali mantan yang kau kenalkan padaku," ledek Victoria membuat Katherine semakin cemberut."Ah, si bola mata biru!” seru Victoria dengan telunjuk terangkat, dan ujung bibir naik ke atas. Dia sudah ingat siapa yang dimaksud Katherine. “Tunggu! Maksudmu, kau akan meminta bantuan Peter?
"AKU ADALAH KATHERINE! SAHABAT VICTORIA! WANITA YANG KAU REBUT SUAMINYA! DASAR JALANG KECIL TAK TAHU MALU!" teriak wanita cantik bertubuh seksi, yang kini berada di hadapan Annabele.Annabele merapikan rambutnya yang acak-acakan karena ditarik Katherine tadi. Pandangan matanya nyalang! Napasnya memburu karena amarah."Oh, wanita tua itu memanggil temannya, karena dia tak bisa menghadapi diriku sendiri?!" Senyum sinis tersungging di bibir Annabele."Kau benar-benar meminta mulutmu dirobek saat ini juga, ya!" balas Katherine sambil berusaha menjambak rambut Annabele lagi. Namun, dengan sigap Annabele menghadang tangan Katherine.Kini, keduanya malah terlibat jambak-jambakan.Victoria yang baru saja tiba, terkejut mendapati perkelahian antara Anabelle dan Katherine. Bergegas Victoria memisahkan kedua wanita yang sedang terbakar api amarah itu."Katherine! Apa yang kau lakukan di sini?!" tanya Victoria dengan wajah penuh kekhawatiran.Pandangan Katherine tak beralih sedikitpun dari wajah
"Ada apa ini?!" Dokter Hamish atau Tuan Hamish - berdiri di ambang pintu ruangan Liam, dengan kening berkerut. Pandangan matanya tertuju pada pergelangan tangan Victoria yang sedang dicengkeram Liam. "Dokter Liam! Apa yang Anda lakukan pada istri Anda?!" tanya Tuan Hamish. Segera Liam melepaskan tangannya, dan tersenyum dengan gelagapan. "Tidak, Dok! Saya dan istri sedang bercanda tadi." Liam melirik pada Victoria, seolah meminta pertolongan sang istri. "Wah, lihat ini! Bukankah tadi kau sesumbar bahwa kau bisa memutarbalikkan fakta? Lantas, kenapa sekarang nyalimu menciut, dan seakan memohon bantuan dariku, Liam Harrison?!" batin Victoria. "Apa benar, Nyonya?" tanya Dokter Hamish dengan tatapan penuh kecurigaan. Victoria memamerkan senyum penuh kepalsuan. "Tentu saja, Dok! Kami hanya sedang bercanda saja! Lagipula, tidak mungkin kan suami saya ingin menyakiti saya." Liam tahu jika apa yang dikatakan Victoria adalah sindiran untuk dirinya. Tapi, dia terpaksa menahan kesabarannya
"Bodohnya kau, Victoria! Bisa-bisanya tangisanmu malah dilihat pria lain yang tidak kau kenal!" umpat Victoria dalam hati. Dia berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit. "Huh! Semoga saja dia hanya pasien yang jarang berobat ke rumah sakit ini! Dan tidak mengetahui bahwa aku adalah istri salah satu dokter di sini! Dan semoga dia bukan pasiennya Liam!" ucap Victoria pelan dengan gigi saling merapat.Victoria menuju ke apotik untuk menebus resep yang diberikan dokter Christall. Dengan cepat dia mengambil tempat di sebelah seorang wanita tua untuk menunggu. Sembari menanti namanya dipanggil, Victoria menyelonjorkan kakinya, dan memberi pijatan ringan pada pundaknya. Ketika mengantri gilirannya, Victoria melihat direktur rumah sakit yang sangat dikenalnya. Tuan Hamish. Terlihat pria berumur itu tengah buru-buru menuju ke lift bersama beberapa dokter yang juga dikenal Victoria. Maklum saja, mereka adalah pimpinan dan teman dari sang suami. "Apa ada sesuatu, sehingga mereka terlihat bu
“Mau ke mana kau pagi-pagi begini?!” Suara Liam menahan aktivitas Victoria yang tengah mengisi ponsel di dalam tas selempang hitam – hadiah ulang tahun pemberian Liam 3 tahun yang lalu. Victoria tersenyum sinis. “Untuk apa kau bertanya? Masih peduli padaku? Khawatir padaku? Atau mulutmu hanya refleks mengucapkan kalimat itu?!” Liam melipat kedua tangan sembari bersandar di ambang pintu kamar Victoria. Sebenarnya, Liam tidak berniat untuk bertanya. Namun, ketika hendak ke dapur untuk sarapan, dia tidak mendapati apapun di sana. Liam pun bermaksud memarahi Victoria. “Kau tidak menyiapkan sarapan apapun, lantas kau mau pergi begitu saja! Apa kau lupa jika kau masih berstatus sebagai istri?! Seharusnya kau masih menjalankan kewajibanmu! Atau, kau sengaja membuatku dan Annabele kelaparan di pagi hari?!” Suara Liam mulai meninggi dalam sekejap. Victoria menengadahkan kepala untuk menarik napas sesaat. Dia tahu pertengkaran ini bisa saja memakan waktu, dan membuat perasaannya memburuk. L
“Apa maksudmu, Liam!” Suara Victoria terdengar mulai meninggi. Bagaimana tidak? Liam Harrison – sang suami yang dia cintai dan percayai selama 3 tahun ini, tiba-tiba saja membawa seorang wanita muda bernama Annabele. “Apakah istrimu menderita gangguan pendengaran?” cibir Annabele dengan seringai di bibir. Dia menatap Victoria dengan tatapan merendahkan, seakan-akan dialah istri sah dari Liam. “Tutup mulutmu wanita penggoda! Saya tidak sedang bicara dengan Anda!” bentak Victoria dengan tatapan sengit pada Annabele. Tidak terima dibentak oleh Victoria, Annabele mengambil langkah panjang mendekati Victoria. Dia hendak melayangkan tamparan pada Victoria, tapi berhasil ditangkap oleh Liam. Baik Victoria maupun Annabele terkejut melihat respons Liam. “Jangan kotori tanganmu,” ucap Liam sembari menurunkan tangan Annabele dan menenangkan wanita muda itu. “Tidak usah menggubris dia. Biar aku yang bicara dengannya. Kau tunggu di sini saja.” Hati Victoria bak tertusuk panah bertubi-tubi, m