Terima kasih sudah singgah and supportnya untuk novel ini. Moga rezeki kalian melimpah. Amin.
Hingga sore menjelang, Embun menghabiskan waktunya mengobrol dengan saudara kembarnya–Pasha di taman. Mereka begitu mudah membangun chemistry. Bahkan mereka sampai lupa waktu.Pasha menengok benda bulat dengan tali yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Ia pun bersuara, “Jeena, kita asik ngobrol.”Pasha menoleh pada Embun dan tersenyum. Kemudian tatapannya bergulir pada langit yang terlihat mendung.Pasha menjadi teringat telepon dari Manggala tadi pagi. “Jeena, tadi mantan suamimu mencarimu?”Embun tersentak mendengar pertanyaan Pasha. Dari manakah Pasha tahu soal Danar?Melihat mimik muka adiknya, Pasha pun melanjutkan kalimatnya.“Tadi aku sempat teleponan dengan Gala. Dia cerita katanya ada Danar Yudistira mencarimu hingga ke hotelnya. Dasar pria tidak tahu diri! Setelah kau pergi baru dia mencarimu!&
Setelah kepergian rombongan Ali beserta kuasa hukumnya, Diajeng panik bukan main. “Mas Danar, kau ini bagaimana? Kau mau pernikahan kontrakmu dengan gadis itu mencuat ke media? Argh, kau berhasil menghancurkan reputasi perusahaan dengan sikapmu yang gegabah!”“Ibu, jangan bikin aku bingung! Bukankah Ibu bilang jika tidak ingin berpisah dengan Sagara? Ini salah satu cara agar aku bisa mempertahankan Sagara bersama kita.”Danar menjadi serba salah. Ia merasa seperti seekor kerbau dicucuk hidungnya. Apapun langkah yang diambil keliru.“Maksud Ibu, kau harus bisa menyelesaikan masalah ini tanpa melibatkan masalah hukum! Jika wartawan mendengar secuil kasusmu ini, reputasi perusahaan hancur termasuk saham perusahaan pasti anjlok. Kau mau Eyangmu langsung terkena serangan jantung,” sergah Diajeng dengan raut kekhawatiran di wajahnya. Wajar saja, seorang ibu adalah sosok orang pertama—yang selalu mengkhawatirkan keluarganya.“Terus aku harus bagaimana Ibu? Aku sudah tidak peduli lagi dengan
Akhir-akhir ini Manggala tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia merasa gelisah karena terus dihantui bayangan sosok wanita bermanik almond. Padahal baru hitungan hari ia tidak bertemu dengannya. Namun ia merasa tidak bertemu dengannya selama sewindu.Untuk mengobati rasa rindunya, ia kadang menatap saudara kembarnya agak lama saat mereka melakukan teleconference berempat, geng The Great Duke. Geng itu terdiri dari si kembar Beryl, Alby, Pasha dan dirinya. Sementara itu, orang yang menamai geng tersebut ialah Beryl–si cowok narsistik dan agak tengil. Terdengar absurd memang. Begitulah cinta kadangkala bikin orang buta. Manggala memang tidak dekat dengan teman perempuan. Selama sekolah ia juga tinggal di asrama lelaki. Ke dua orang tuanya baru melepasnya tinggal jauh saat kuliah dan mulai mengurus perusahaan. Ke dua orang tuanya tinggal di Salatiga mengurus perusahaan induk PT Cahaya Waluyo Group. Sementara itu, Manggala tinggal di bawah asuhan eyangnya—budenya ayahnya bernama Bude Ratna
Sepanjang jalan menuju pulang ke kediaman mewah milik ibunya, Embun terdiam namun kepalanya mirip terkena angin puting beliung. Berisik sekali. Diam-diam ia menghitung sejumlah pengeluaran ibunya dimulai belanja pakaian di mall hingga melakukan perawatan wajah. Bergidik ngeri Embun menghitung total pengeluaran ibunya untuk mewujudkan apa yang ia mau. Intinya, ibunya seorang konglomerat! Mereka pulang saat menjelang malam hari. Driver langsung membantu Ana mengeluarkan barang-barang hasil perburuan mereka dan membawanya masuk ke dalam rumah mewah tersebut.Barulah keesokan harinya, Embun berencana menata berbagai jenis pakaian yang dibelikan ibunya ke dalam lemari. Ia akan memakai pakaian baru itu setelah bagian binatu mencucinya.Pagi itu, Ana terbangun dari tidurnya. Ia melihat di sebelah kanan ranjangnya kosong. Putrinya bangun terlalu pagi. Setiap malam Ana masih tidur dengan putrinya—untuk mengobati rasa rindu yang menyiksanya selama nyaris lebih dari dua puluh tahun lamanya.Wa
Ketika mendapat nomor telepon Embun dari Yasmin, Danar tak bisa menyembunyikan raut bahagianya. Akhirnya, ia bisa menghubungi mantan istrinya secara langsung. Sebetulnya tidak benar-benar langsung, karena ia sadar seratus persen. Embun bahkan mungkin tidak akan mengangkat telepon dari nomor sembarangan.Alhasil, tercetuslah sebuah ide spontan. Ia meminta sang ibu untuk menghubungi Embun.“Makasih, Ibu. Semoga usaha Ibu membuahkan hasil.”Danar memeluk ibunya dengan penuh haru sesaat ibunya telah menghubungi Embun demi dirinya. Namun Diajeng hanya mendecak sebal pada putranya. Rasanya, ia sudah menjatuhkan harga dirinya demi wanita rendahan itu. Diajeng belum tahu soal hubungan Embun Ganita dan keluarga Basalamah. Ia berpikir jika Embun meminta pertolongan pada salah satu keluarga itu—keluarga yang berkuasa. Ana juga belum melakukan press conference resmi di depan awak media soal putri kembarnya yang ditemukan. Untuk saat ini, ia hanya menikmati kebersamaan dengan putrinya yang sempat
Embun tertegun lama setelah mendengar cerita Danar dan ungkapan perasaan hatinya. Jauh dalam lubuk hati terdalam, andaikata Danar bersikap seperti itu dulu padanya. Barangkali dengan senang hati dan penuh keikhlasan, ia akan menerimanya tanpa pertimbangan. Embun bukan seorang perempuan yang keras hati. Ia wanita berhati lembut. Bahkan ketika beberapa kali orang melukai dan menyakiti hatinya, berulang kali ia memaafkan mereka. Mungkin sebagian orang menganggap sikap Embun dungu dan tolol. Namun Embun hanya tak ingin ada permusuhan. Ia ingin hidup damai.Naasnya, sikap Danar dan keluarganya sudah melewati ambang batas kewajaran. Hal tersebut memicu sebuah pemberontakan dari dalam diri Embun Ganita. Sudah cukup mereka telah memperdaya dirinya yang begitu lugu. Mereka telah berhasil membangkitkan sisi gelap wanita itu hingga menyebabkannya mengalami trauma dan tak mudah percaya pada siapapun.“Bagaimana, Embun? Bersediakah kau kembali padaku?”Tangan Danar terulur hendak menyentuh ke dua
“Antar aku ke BUMI PUTRA Regency!”Embun berkata dengan suara yang gemetar pada seorang pemuda–yang ia kira driver taxi. Ia berbicara bahkan tanpa melihat ke depan. Ia fokus dengan dirinya dan bergelut dengan perasaannya yang kacau balau saat ini. Pertemuan dengan Danar dan Mita membuatnya merasa muak. Embun menundukan wajahnya dan terisak pelan. Sang pengemudi bisa mendengar rintihannya. Tak ingin protes, pengemudi itu melajukan kendaraannya dengan tempo yang pelan. Sejujurnya, pemuda tampan itu bingung. Tadi ia menghentikan mobilnya tepat di depan resto Bunga Rampai karena ingin makan. Ia sudah melewatkan jam makan siangnya sehingga ia berniat akan makan di sana.Sisi lain, Embun menatap arloji yang melingkari tangannya. Saat ke sana, ia datang sebelum azan ashar. Oleh karena itu, ia pun ingin mencari masjid untuk menunaikan sholat ashar yang sudah terlambat. Ia panik sendiri kemudian ia mendongak dan menatap kursi yang diduduki pengemudi.“Mas, turun di masjid terdekat!” titah Emb
“Cukup, Mita!” salak Danar saat menghadapi Mita yang tengah mengamuk. Setelah bertahun-tahun berumah tangga dengannya, Danar baru sàdar jika istrinya itu temperamen akut. Mungkin selama ini Mita pandai menyembunyikan perangai aslinya.Yang paling mengejutkan ialah, Mita sering melakukan kekerasan. Tamparan dan pukulan itu seperti hal yang biasa ia lakukan di belakangnya. Belakangan, salah satu art di rumah mengundurkan diri kerja di rumah Danar, karena mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari Mita. Hanya gara-gara sepele, ART yang masih sangat muda itu dilempari dengan remote TV hingga keningnya berdarah.Mungkin, itu hanya sebagian kecil perbuatan Mita yang terungkap. Ia menjadi khawatir andai Mita benar-benar mengasuh Sagara, bisa tidak menutup kemungkinan ia bisa melakukan KDRT pada anaknya.“Kau berani membentakku? Dasar pria tidak tahu diri!”Mita tidak terima dibentak oleh suaminya. Ia merasa direndahkan. “Kau pikir siapa dirimu? Jika aku tidak membantumu, kau tidak akan
“Sayang, mau mandi? Ayo Kakak bantu,” ujar Beryl berniat membantu istrinya. “Jangan mikir macam-macam! Kamu pasti lengket badannya,”Beryl sudah berjanji pada dirinya sendiri, akan merawat istrinya sebaik mungkin.Laila terperangah. Beryl memang serius ingin merawatnya. Namun, ia menahan diri. Sebetulnya ia sudah bisa berjalan meskipun belum bisa seperti orang normal. Hanya saja, ia ingin memberikan kejutan padanya. “Bantu aku aja ke kamar mandi,” imbuh Laila dengan tersenyum lembut.Beryl berjongkok lalu mengangkat tubuh Laila ke kamar mandi. Bahkan membawakan pakaian untuknya. Seharian di pelaminan membuat mereka merasa gerah dan berkeringat. Mereka mandi bergantian. Laila keluar dari kamar mandi sudah berganti pakaian dengan piyama lengan panjang. Beryl menyambutnya dengan senyuman yang hangat. Saat Laila mendekat, Beryl menatapnya sejenak. Selain Laila, Beryl juga belum terbiasa melihat penampilannya tanpa hijabnya. Laila tampak seperti seorang gadis muda berusia tujuh belas ta
Langit Jakarta bertabur cahaya keemasan ketika malam mulai merayap perlahan. Gedung hotel mewah bintang lima itu berdiri megah di antara gedung-gedung pencakar langit lainnya, menjadi saksi sebuah pernikahan yang begitu dinanti. Di dalam aula yang luas, dekorasi bernuansa putih dan emas menyelimuti setiap sudut. Lampu kristal bergemerlapan di atas, sementara lantunan ayat suci Al-Qur’an mengalun syahdu, mengiringi kebahagiaan dua insan yang kini telah sah menjadi suami istri.Laila, dalam balutan gaun syar’i berwarna putih gading, tampak begitu anggun. Wajahnya yang selalu teduh kini berseri lebih dari biasanya. Sementara Beryl, dalam setelan khas pria Timur Tengah, tak bisa menyembunyikan binar bahagianya. Lelaki itu menatap istrinya dengan mata penuh takjub, seolah masih tak percaya bahwa gadis kecil yang dulu pernah ditolongnya kini telah menjadi pendamping hidupnya.Saat itu, keduanya duduk bersisian di pelaminan, menerima tamu yang datang silih berganti. Laila tersenyum lembut,
Laila duduk di ruang tamu rumahnya yang luas. Seorang perancang kondang dari Paris, Madam Coett, tengah sibuk menata beberapa gaun pengantin mewah di hadapannya. Meski masih duduk di kursi roda, Laila kini sudah bisa berjalan meskipun beberapa langkah. Itulah sebabnya, ia sangat bersemangat mencoba satu per satu gaun yang akan dikenakannya saat pesta pernikahannya di Indonesia.“Mademoiselle Laila, saya rasa yang ini akan sangat cocok untuk Anda!” kata Madame Coett sambil mengangkat gaun berlapis renda dengan ekor panjang.Laila tersenyum dan menyentuh lembut kain sutra itu. “Sus, bantu aku berjalan,” perawat Febi, pintanya pada pengasuh setianya. Ia harus berjalan sedikit untuk menatap cermin di depannya. Perawat Febi dengan sigap membantu Laila berdiri. Meski masih harus berpegangan pada kursinya, ia merasa lebih kuat dari sebelumnya. Gaun itu segera dikenakan, dan begitu ia melihat bayangannya di cermin, matanya berbinar.“Cantik sekali,” gumam Laila penuh kagum. Ia memang bukan g
Rosa menatap dua garis merah di test pack dan foto USG yang digenggamnya. Tangannya gemetar. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia merasa bisa mendengarnya sendiri. “Tidak mungkin,” bisiknya, suaranya bergetar. Tapi kenyataan sudah terpampang jelas di hadapannya. Dua garis itu nyata. Ia hamil. Rosa merosot ke lantai kamar mandi, punggungnya bersandar pada dinding dingin. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Ia menggigit bibir, menahan isakan yang hendak pecah. Ini semua gara-gara malam itu. Malam yang seharusnya tidak pernah terjadi. Rosa merutuki kebodohannya sendiri. Tapi yang sudah terjadi tak bisa diubah. Ia berpikir semuanya akan berlalu begitu saja. Rosa wanita yang cerdas. Ia bahkan meminum obat kontrasepsi setelah melakukan hubungan terlarang itu. Ia juga tidak mau hamil di luar nikah. Namun ternyata takdir berkata lain. Sekalipun, ia berusaha menolak, takdir memiliki cara sendiri untuk datang.Rosa menutup matanya rapat-rapat. Napasnya tersengal. “Apa
Senyum Rahes perlahan muncul. Ia mengangguk dan kembali menatap Ali. “Jika ini yang terbaik untuk Laila, aku merestui.”Sulis yang sejak tadi menunggu momen ini, segera membuka kotak beludru yang dibawanya. Di dalamnya, terdapat cincin emas putih bertatahkan berlian kecil yang berkilau di bawah cahaya lampu. Dengan penuh kelembutan, Sulis mengambil cincin itu dan berlutut di depan Laila.“Laila, izinkan aku mewakili Beryl untuk menyematkan cincin ini di jarimu sebagai tanda bahwa kau telah menjadi calon menantuku,” kata Sulis dengan suara bergetar penuh haru.Laila menatap cincin itu dengan mata berbinar, lalu perlahan mengulurkan tangannya. Dengan hati-hati, Sulis menyematkan cincin itu di jari manisnya. Suasana dipenuhi rasa haru, terutama bagi Yuda yang tanpa sadar menitikkan air mata bahagia.Yuda merasa bermimpi jika gadis kecil yang dibesarkan olehnya ternyata sudah ada yang melamar. Namun ia merasa senang sekali. Ia berpikir jika Laila menikah dengan Beryl maka ia juga akan mud
Rosa menghela nafas, lalu melangkah mundur, membiarkan Pasha masuk ke dalam kamar sempitnya. Begitu pintu tertutup, keheningan menyelimuti mereka berdua. Pasha berdiri canggung di tengah ruangan, sementara Rosa berjalan ke meja kecil di sudut kamar, mengambil segelas air, lalu meneguknya tanpa tergesa-gesa.Kemudian ia pun membawakan air minum untuk Pasha.“Ada yang mau kamu omongin?” tanya Rosa akhirnya setelah menaruh nampan berisi segelas air minum.Pasha mengembuskan napas panjang menatap Rosa yang duduk di sebelahnya. “Rosa, aku... aku ingin minta maaf.”Rosa menoleh padanya, mata gelapnya menelisik. “Untuk apa?”Pasha mengatupkan rahangnya, merasa semakin bersalah. “Untuk tadi malam. Aku seharusnya... aku seharusnya lebih kuat menahan diri. Aku merasa bersalah. Aku ingin bertanggung jawab.”Rosa tersenyum kecil, tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. Ia meletakkan gelasnya kembali ke meja, lalu berjalan mendekat. “Kenapa kamu merasa bersalah?” tanyanya pelan. “Karena kamu pikir
Pasha terbangun dengan kepala berat. Pandangannya masih kabur, tubuhnya terasa lelah. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Tapi ingatannya seperti kepingan puzzle yang tidak bisa tersusun dengan benar. Ia menoleh ke samping. Kosong.Pasha mengangkat tubuhnya perlahan, menyandarkan kepala ke sandaran tempat tidur. Kamar ini bukan kamarnya. Ia menatap langit-langit, mencoba mengingat sesuatu. Samar-samar, ia mengingat seseorang bersamanya tadi malam. Sosok seorang wanita. Tapi siapa?Tangannya meraba ke meja di samping tempat tidur, mengambil ponselnya. Saat ia membuka layar, sebuah pesan masuk dari salah satu temannya.[Pasha, lo aman? Semalam gue lihat Rosa yang anter lo ke hotel. Lo mabuk berat.]Jantungnya berdetak lebih cepat. Rosa? Pasha buru-buru membuka riwayat panggilannya. Ada beberapa panggilan tidak terjawab dan satu panggilan dari Rosa sekitar tengah malam. Ia menelan ludah.“Tidak mungkin…” gumamnya dengan perasaan yang gelisah.
Beryl duduk dengan gelisah di ruang tamu, menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin sejak tadi. Berhadapan dengannya, Rahes duduk dengan sikap yang sedikit terlalu santai untuk seorang pria yang sedang diuji kesabarannya. Rahes baru saja tiba di rumah. Ia langsung menemani pemuda itu di sana. Sementara itu, Laila duduk di sebelah sang ayah dengan perasaan yang tak kalah gugup. “Pak Rahes, aku ingin melamar Laila,” imbuh Beryl akhirnya, dengan nada penuh keyakinan dan percaya diri. Ia sangat yakin jika Laila akan menerima cintanya. Jika tidak, ia akan sedikit memaksa. Lama kelamaan Laila akan jatuh cinta padanya. Begitulah isi kepala pria berhidung bangir itu.Rahes menaikkan sebelah alis, menatap Beryl dengan ekspresi setengah geli, setengah skeptis. “Oh? Langsung ke inti, ya? Aku suka anak muda yang to the point. Sayangnya, aku gak suka anak muda yang gak bisa membaca situasi.”Beryl mengerutkan dahi. “Maksudnya?”Rahes meletakkan cangkirnya dengan bunyi kecil di meja. “Aku baru s
Pukul lima pagi keesokan harinya, Serina dibangunkan oleh suara gong. Bukan alarm lembut di ponselnya, tetapi gong sungguhan yang dipukul oleh salah satu pelayan rumah. GONG! GONG! GONG!Serina terlonjak dari tempat tidur. “APAAN NIH? GEMPA?!”Nadia, sepupunya yang tinggal di rumah itu, menyeringai dari ambang pintu. “Bukan gempa, Sayang. Itu tanda bahwa kita harus bangun dan bersiap.”Serina mengusap wajahnya yang masih mengantuk. “Ini masih subuh! Aku butuh lima jam tidur lagi!”Nadia tertawa. “Selamat datang di rumah Tante Rosalinda!” Serina menggerutu sepanjang jalan menuju halaman belakang, tempat olahraga pagi dilakukan. Di sana, Rosalinda sudah menunggu dengan setelan olahraga yang sangat rapi. Beberapa pelayan rumah tangga juga ikut serta. “Baiklah, kita mulai dengan lari keliling halaman sepuluh putaran,” perintah Rosalinda. Serina terkejut. “Sepuluh?!” “Kalau protes, aku tambah jadi lima belas.”Serina langsung tutup mulut dan mulai berlari, meskipun rasanya seperti