Night Everyone🤍🤍🔥🔥
Sulis menarik nafas dalam saat baru saja mendengar kabar dari Alby jika ia sedang berada di rumah sakit. Ia mengirim pesan singkat padanya. Beryl dilarikan ke rumah sakit akibat jatuh dari motor sport yang dikendarainya secara ugal-ugalan.Dengan tenang, wanita itu menggapai kimono tidur yang berada di lantai. Namun tangan suaminya begitu erat memeluknya hingga membuatnya kesulitan untuk menegakkan tubuhnya.Sulis tidak berani mengatakan kabar soal Beryl pada suaminya. Ia begitu takut jika Ali malah menghukumnya dan semakin membuatnya tertekan. Ia memiliki cara tersendiri dalam mendidik putranya yang satu itu.“Aa, Neng mau ke kamar mandi,” imbuh Sulis mengusap pelan pipi suaminya yang berkeringat.Ali tidak menjawab, ia hanya bergumam dan tersenyum. “Bentar, jangan pergi dulu!”Ali semakin mengeratkan pelukannya dan mendusel di ceruk leher istrinya, membangkitkan gairah yang sudah padam tadi. Tidak hanya pengàntin baru yang sedang menikmati indahnya malam panas, namun pengàntin lama
Semalam keadaan Laila semakin memburuk hingga dilarikan ke rumah sakit ibukota. Rumah sakit sebelumnya tidak bisa menangani Laila dan memberinya surat rujukan untuk pindah ke rumah sakit di ibukota yang lebih lengkap.Napas Laila tersengal, wajahnya pucat, dan tubuhnya semakin lemah. Ia sudah pasrah dengan kondisinya, tapi hari ini rasa sakitnya lebih hebat dari biasanya. Kakinya yang lumpuh terasa dingin dan nyeri luar biasa. Bik Nur, yang selalu merawatnya, panik melihat Laila berkeringat dingin. Wanita paruh baya itu pun segera menghubungi Yuda. Pagi itu Yuda memutuskan untuk pulang terlebih dahulu ke rumah, karena ingin mengabari orang rumah jika kondisi Laila memburuk. Ia menitipkan Laila pada perawat di sana dan Bik Nur yang setia menunggunya.Menempelkan ponsel ke telinganya, Bik Nur bicara dengan dada yang sesak.[Pak Yuda, Teh Laila keadaannya makin buruk!]Yuda masih berada di dalam kendaraannya sampai mengerem mendadak akibat mendengar kabar buruk Laila. Beruntung ia tidak
Laila terbaring di ranjang rumah sakit dengan tubuh yang semakin lemah. Selang infus terpasang di tangannya, sementara oksigen nasal tetap menempel di hidungnya, membantu pernapasannya yang semakin berat. Cahaya lampu rumah sakit yang putih redup membuat wajahnya tampak semakin pucat, matanya sayu, dan bibirnya kering. Rasa sakit yang mendera tubuhnya seperti tak ada habisnya. Setiap gerakan ringan membuatnya meringis. Kakinya yang lumpuh terasa semakin kaku dan dingin, sementara dadanya sesak setiap kali ia mencoba menarik napas lebih dalam. Kadang-kadang, tubuhnya menggigil tanpa alasan, seakan-akan ada sesuatu di dalam dirinya yang perlahan-lahan melemahkan seluruh sistem tubuhnya. Di sudut ruangan, Yuda baru saja selesai konsul dengan dokter, duduk dengan wajah cemas, menggenggam tangan Laila yang dingin. Ia berusaha tersenyum meskipun hatinya hancur melihat penderitaan anak angkatnya. “Laila, bertahanlah... Ayah di sini,” bisik Yuda dengan suara bergetar. Ia berusaha mati-mat
Rahes menatap laporan di tangannya dengan rahang mengeras. Tangannya yang kuat mengepal, menahan gejolak emosi yang meluap-luap di dalam dadanya. Kepalanya seakan meledak detik itu juga!“Putriku meninggal?” gumamnya, nyaris tak percaya. Ia melayangkan tatapan tajam pada detektif swasta yang disewanya.Detektif di hadapannya mengangguk dengan raut serius. "Ya, Pak Rahes. Berdasarkan data yang kami temukan, Nyonya Melani dan Putri satu-satunya mengalami kecelakaan mobil beberapa tahun silam. Tidak ada yang selamat. Mobil itu masuk ke jurang dan meledak."Rahes membanting laporan itu ke meja. “Omong kosong!” suaranya menggema di ruangan. “Aku tidak percaya begitu saja dengan laporan ini. Pasti ini keliru!”Rahes sosok pria yang cerdas, bukan pria yang mudah dibodohi. Ia selalu memegang prinsip bahwa kebenaran harus diuji dengan berbagai cara. Maka, tanpa membuang waktu, ia segera menghubungi detektif lain yang sebelumnya sudah ia pekerjakan secara diam-diam. “Aku ingin laporan terbaru
Jeena merasa dunianya berubah terlalu cepat dan ia sedikit risau, takut tidak bisa mengimbanginya. Ia sedikit menyesal mengapa tidak menikah lebih awal dengan suaminya. Manggala adalah suami yang perhatian. Ia sangat bersyukur.Awalnya, ia begitu takut jika setelah menikah Manggala akan berubah menjadi suami kebanyakan yang bersikap otoriter dan posesif pada istrinya. Namun nyatanya, perkataannya bisa dipegang sama seperti sebelum menikah. Pemuda itu benar-benar bersikap dewasa dan bijaksana.Manggala tidak membatasi kegiatan Jeena. Jeena masih bisa melanjutkan kuliahnya namun ia akan ikut di sana untuk beberapa bulan pertama. Ia masih ingin menikmati indahnya sebagai pengàntin baru. Pagi itu Jeena hanya duduk di ruang makan menunggu Manggala menyiapkan sarapan untuknya. Mereka kini tinggal di rumah Ana sebelum mereka memutuskan untuk pergi ke Manhattan. Semua orang sudah sarapan dan beraktifitas. Kecuali pengàntin baru yang baru saja keluar dari kamar mereka dalam kondisi yang cerah
Melati menatap suaminya dengan tajam. Baru saja ia menyimak curhatan suaminya di mana Yuda ingin meminjam uang padanya namun Aldino tidak memberikannya pinjaman hanya karena Yuda tidak mengatakan apa masalah yang dihadapinya.“Mas, kenapa kamu gak kasih pinjamannya? Pak Yuda sahabatmu. Kalau dia sampai meminjam uang, berarti dia benar-benar butuh! Dia tidak perlu menyebutkan alasannya. Mungkin dia memang sangat terdesak.”Putri Melati memperingati suaminya. Ia tak habis pikir dengan pemikiran suaminya yang tak bisa membaca situasi. Mungkin ada alasan tertentu Yuda merahasiakannya. Mentang-mentang Aldino tidak pernah merasakan kesulitan finansial dalam hidupnya karena ia terbiasa hidup enak.Aldino meletakkan cangkir tehnya dengan kasar di meja. “Sayang, bukannya nggak mau bantu. Tapi Yuda bukan tipe orang yang mudah meminta bantuan, apalagi soal uang. Ada sesuatu yang dia sembunyikan. Mas hanya ingin tahu dulu untuk apa uang itu. Tentu saja, Mas akan membantunya! Mas sedang menunggu di
Putri Melati berdiri di depan ruang rawat inap dengan perasaan campur aduk. Matanya menangkap sosok Yuda yang sedang berbicara dengan dokter, wajahnya penuh ketegangan. Ia juga mengikuti Yuda hingga pria itu berada di bagian administrasi pembayaran, menyerahkan sejumlah uang. Namun dari raut wajahnya, jelas terlihat bahwa uang itu tidak cukup. Tak lama kemudian, ia mendengar bagian keuangan itu menjelaskan rincian biaya rumah sakit yang harus dibayar olehnya. “Maaf, Pak, biaya perawatan di sini memang segini. Tidak bisa kurang. Ini termasuk yang paling murah. Coba, Bapak bandingkan dengan rumah sakit lain! Biaya rawat inap lebih mahal.”Bagian administrasi itu mencoba memberi pengertian pada Yuda. Yuda bermaksud meminta keringanan rumah sakit namun bagian administrasi tidak memiliki wewenang dalam menentukan kisaran biaya rumah sakit.Yuda terlihat menarik nafas dalam. Uang sepuluh juta yang diserahkan padanya itu adalah uang terakhir di dalam dompetnya untuk biaya rawat inap.“Pak Yu
Setelah pesta pernikahan yang megah dan meninggalkan Beryl yang sudah mulai membaik, Manggala dan Jeena akhirnya bisa bernapas lega. Mereka memutuskan melakukan honeymoon yang tertunda.Setelah menempuh perjalanan udara, akhirnya mereka tiba di pulau Dewata menjelang senja, saat langit berwarna jingga keemasan. Jeena tersenyum kagum saat melihat villa mewah yang berdiri congak di tepi pantai yang telah disiapkan Manggala untuk bulan madu mereka. Villa itu memiliki kolam renang pribadi dan pemandangan langsung ke arah laut dan tentunya bersifat private karena hanya ada mereka berdua yang akan menghuni villa tersebut selain seorang pegawai villa, wanita renta yang mengurus villa tersebut.Begitu masuk ke dalam vila, Jeena langsung melepas sepatunya dan berjalan dengan kaki telanjang ke balkon, membiarkan angin pantai menyapu wajahnya. “Indah sekali,” bisiknya tak bisa menyembunyikan perasaan kekagumannya pada landskap yang begitu indah di hadapannya. Manggala mendekat dan memeluknya
Langit sore berwarna jingga ketika Rosa melangkah keluar dari rumah Ana dengan langkah gontai. Di tangannya, sebuah amplop berisi gaji terakhirnya, sesuatu yang harusnya berarti, tapi terasa begitu hampa di genggamannya. “Saya tidak bisa lagi mempekerjakanmu untuk sementara waktu, Rosa," suara Ana masih terngiang di telinganya. “Jeena sudah menikah dan tidak butuh pengawal, dan saya pun sekarang hanya fokus mengasuh Sagara.”Rosa tahu Ana tidak bermaksud memecatnya. Tapi kenyataan itu tetap menyakitinya. Ia sangat membutuhkan pekerjaan ini. Ayahnya masih sakit, dan ia masih harus berjuang demi biaya pengobatannya. Namun, ia juga sadar, keberadaannya tidak lagi diperlukan saat ini. Dengan berat hati, Rosa mulai melangkah pergi. Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok yang familiar di beranda rumah—Pasha. Pasha, pria yang selama ini hanya bisa ia kagumi dalam diam. Rosa terdiam di balik pilar, tidak ingin mengganggu percakapan pria itu dengan seorang gadis yang
Sore itu sepulang kerja, Beryl duduk di ruang tamu, berhadapan dengan ibunya, Sulis. Di tangannya, ada sebuah cincin sederhana yang sudah ia siapkan untuk Laila. Ia menatap ibunya dengan sorot mata penuh tekad. Namun sebelum ia mengemukakan keinginannya, ia membahas masalah kantor.“Mom, apa yang Mommy lakukan pada Rahes Pramudya? Mommy gak menganiayanya ‘kan?”Beryl menatap ibunya dengan tatapan curiga. Bagaimana bisa, setelah ibunya menemui Rahes, satu per satu klien Basalamah Group menghubungi dan meminta maaf padanya. Bahkan mereka datang ke kantor sembari membawa hadiah.Sulis mendesah pelan. “Mommy belum menganiyanya tapi … hampir! Tapi, dia cukup kooperatif. Sedikit ancaman sudah berhasil membuatnya ketakutan.”Beryl menatap ibunya dengan penuh kagum. “Mom, makasih ya! Maaf akhir-akhir ini aku justru tidak fokus, karena aku masih kepikiran Laila–gadis kecilku.”Sulis mengulum senyum. Beryl sudah menceritakan tentang kisah pertemuannya dengan Laila pada ibunya.Beryl menatap seb
“HAHAHAHAHA!” Ana tertawa terbahak-bahak, membuat Jeena dan Manggala semakin bingung. “M-Mi?” Jeena mengerutkan kening. “Kenapa ketawa?”Bukankah seharusnya ibunya marah? Ana menutup mulutnya dengan sebelah tangannya. “Astaga, kalian berdua ini panik seperti anak SMA baru pertama kali jatuh cinta! Baru juga kemungkinan doang, sudah heboh kayak mau perang dunia ke tiga!” Jeena menggaruk kepalanya. “Jadi, Mami nggak marah?” Ana menggeleng pelan. “Kenapa harus marah? Mami malah senang kalau punya cucu lagi. Rumah makin rame dong. Siapa tahu kali ini kembar.” Jeena langsung mengerang. “Mami!” “Tapi tenang,” lanjut Ana sambil terkekeh. “Kalau memang kalian belum siap, ya tinggal hati-hati ke depannya. Tapi kalau ternyata sudah keburu hamil… ya sudah, rezeki itu namanya.” Ana menatap Manggala yang mengepalkan ke dua tangannya sebagai bentuk selebrasi tanpa sepengetahuan Jeena.Saat ibunya beranjak pergi, ia menepuk bahu Manggala dan berbisik pelan, “Siap-siap aja, Gala. Kalau J
Jeena dan Manggala baru saja kembali dari bulan madu mereka di Pulau Dewata saat larut malam. Penghuni rumah sudah tidur. Oleh karena itu, mereka tidak berniat membangunkannya. Padahal, Jeena sangat merindukan putranya dan ingin tidur bersama dengannya. Pasti, Sagara tidur bersama ibunya. Ia juga tidak berniat membangunkan ibunya.Dengan wajah cerah dan perasaan penuh cinta, keduanya memasuki rumah yang sudah gelap lampunya. “Kembali ke realitas,” Manggala menghela napas, meletakkan koper di sudut ruang tamu–yang langsung diambil oleh ART di sana. Bergegas, ART itu membawa koper itu ke dalam kamar Jeena.Jeena tersenyum menatap suaminya. “Kenapa memang dengan realitas?”Ke dua tangan mereka bertaut sembari berjalan menuju kamar. Manggala membukakan pintu untuk istrinya lalu menutupnya kembali setelah ART menaruh koper mereka di dalam.Manggala mendekat dan meraih pinggang istrinya dengan mesra. “Ya realitas. Mas harus kerja cari uang dan Jeena harus kuliah.”Sebetulnya, Manggala masih
Suasana tegang memenuhi ruangan. Beryl duduk di atas sofa dengan bersilang tangan di dada, sementara itu Yuda berjalan mondar-mandir dengan ekspresi frustrasi. Ia tidak suka kedatangannya menemui Laila.Dan, ia tidak menyangka jika Beryl nekad, datang ke sana demi Laila. Semoga saja ia bisa menyimpan rahasia tentang Laila. Jangan sampai orang Rahes mengetahuinya!Kini mereka bersitegang, membahas masalah pengobatan Laila. Beryl baru tahu, selain Laila mengidap autoimun yang cukup serius, ia pernah mengalami kecelakaan—yang menyebabkannya lumpuh. Kabar buruk itu mengguncang batinnya. “Aku tidak mengerti kenapa kamu tetap bersikeras, Pak Yuda,” kata Beryl tajam. “Laila harus mendapatkan pengobatan terbaik. Aku bisa membawanya ke luar negeri. Ada rumah sakit spesialis di Jerman, atau bahkan Amerika. Apa kamu tidak peduli?” Yuda menarik napas panjang sebelum menjawab. “Ini bukan soal aku peduli atau tidak. Ini soal kondisi Laila. Dokter sudah bilang, kemungkinan pemulihannya kecil. Meng
Angin sore berembus lembut di halaman rumah sederhana itu. Matahari mulai condong ke barat, memberikan cahaya keemasan yang menyelimuti pemandangan. Di bawah cahaya itu, Beryl duduk berlutut di depan Laila. Wajahnya tegar, namun matanya menyimpan duka yang dalam. Mendengar Laila memanggilnya dengan sebutan kakak, rasanya jantungnya diremas sembilu. Sial, ia baru sàdar ternyata gadis yang selama ini ia cari ternyata berada dekat dengannya. Mengapa ia baru sàdar akan hal itu?Beryl memang tidak bisa melihat wajah Laila di balik cadarnya sehingga pantas saja ia tidak bisa melihatnya. Namun saat ini, Laila tidak mengenakan cadarnya karena untuk bernafas saja ia kesulitan. Akan ada saatnya, ia mendadak sesak nafas dan membutuhkan oksigen agar bisa bernafas dengan lega.Beryl, CEO yang selama ini dikenal dingin dan tak berperasaan, kini bergetar. Hatinya mencelos saat melihat Laila yang dulu ceria kini tampak begitu rapuh. Selang oksigen yang terpasang di hidung gadis itu membuatnya semaki
Rahes menundukkan kepala. “Aku tidak akan membela diri. Aku akui, aku yang menyebabkan perusahaan Basalamah kehilangan tender. Aku ingin memberi pelajaran pada mereka karena… karena aku percaya Angel telah diperlakukan tidak adil. Tapi aku sadar sekarang, aku telah bertindak gegabah.”Sulis menatapnya penuh selidik. “Serina ya,"Rahes menghela nafas panjang. “Serina is Angel! Putriku yang hilang dari mantan istriku, Laura. Dia membuatku percaya bahwa keluarga Basalamah telah mengusirnya dan meremehkannya. Aku terbawa emosi. Aku ingin melindungi putriku.”Sulis mendengus, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Dan sekarang kau sadar bahwa semua itu bohong?”Sulis menggelengkan kepalanya beberapa kali. Namun ia terlihat lebih santai saat ini.Rahes tersenyum miris. “Aku tak tahu apakah semua yang dia katakan itu bohong… atau hanya setengah kebenaran. Yang aku tahu, aku telah berbuat kesalahan besar dalam dunia bisnis. Kau tahu, selama ini reputasiku dalam dunia bisnis baik,”Sulis menatap
“Tadi bilang siapa?” Rahes bertanya pada Serina. Ia tidak salah dengar. Barusaja Serina menyebut nama Laila.Serina langsung berpikir cepat. “Laila? Ayah kenapa si nyebut nama itu terus? Temanku namanya Lila! Bukan Laila!”Rahes diam. “Ayah mendengar nama Laila, kakakmu,”Rahes menghela nafas berat. Mengapa sulit sekali menemukan Laila? Seperti ada seseorang yang berusaha menyembunyikan putrinya itu darinya.Serina berkomentar dan berpura-pura simpatik. “Ayah, memang belum pernah bertemu Laila itu dari bayi sepertiku?”Rahes pun duduk di samping Serina, ia senang ketika Serina antusias ingin mendengar cerita tentang putrinya yang satu lagi.“Angel, Ayah dulu memang playboy, selalu bersenang-senang dengan wanita. Itu adalah kesalahan terbesar ayah! Terutama kesalahan fatal Ayah pada ibumu. Setelah menikah, Ayah masih belum bisa membuang kebiasaan Ayah untuk mempermainkan wanita. Sebetulnya, Ayah dan Ibu dijodohkan dulu sama keluarga. Kau tahu, Ayah memang tidak ada niatan untuk menikah
Hari demi hari berlalu, dan Laila semakin merasakan betapa beratnya perjuangan untuk kembali berjalan. Setiap pagi, ia memulai rutinitasnya dengan latihan fisik yang direkomendasikan oleh terapisnya. Namun, meskipun telah mengerahkan segala tenaga, kemajuannya terasa seperti langkah siput—lambat dan nyaris tak berarti. Rasa sakit menyengat di setiap sendi, kelelahan menggerogoti tubuhnya, tetapi yang lebih menyiksa adalah perasaan tidak berdaya yang mulai merayap ke dalam jiwanya.Setiap kali ia mencoba menggerakan kakinya dan gagal, rasa frustrasi semakin menguasai dirinya. Ia mulai meragukan kemampuannya sendiri, bertanya-tanya apakah semua ini sia-sia. Suatu sore yang dingin dan suram, setelah sesi terapi yang melelahkan, Laila duduk diam di kursi rodanya, menatap ke luar jendela. Hujan turun deras, menciptakan simfoni kesedihan yang seakan menggema dalam hatinya. Air mata menggenang di pelupuk matanya, lalu jatuh perlahan, bercampur dengan keputusasaan yang semakin dalam. Ia mera