Happy reading🤍 maaf malem, soalnya siang thor kerja ya hihi
“Neng Laila, ada apa?” Mendengar suara ponsel yang jatuh, Bik Nur langsung tergopoh-gopoh menghampiri Laila.Laila panik saat baru sàdar ponsel kesayangannya jatuh.“Ya … ponselku rusak,” gerutu Laila, membungkukkan tubuhnya dan merogoh ponselnya. Kaca ponsel pintar itu sudah pecah dan terlihat gelap.Beberapa kali Laila mencoba menyalakannya namun berakhir sia-sia. “Neng Laila, ada apa?”Bik Nur bertanya kembali dengan lembut. Ia menatap Laila dengan tatapan yang hangat. Melihat Laila mengingatkannya pada almarhum ibunya.Di dalam rumah Laila tidak menggunakan cadarnya. Oleh karena itu wajahnya terlihat oleh Bik Nur.Laila menatap Bik Nur dan mendesah pelan. “Gak ada apa-apa, Bik. Tadi ada orang gila iseng telepon.”Laila mendengus pelan saat mengingat siapa yang menelponnya. Seseorang mencoba menerornya. Sial, sebelumnya Laila sudah sering mendapat telepon dari nomor yang tak dikenal.Gadis bermanik hitam itu tidak mengira jika Serina bisa melakukan hal senekad itu. Gadis itu benar
Laila mendesah pelan mendengar perkataan Dania. Sesuai dugaannya kakaknya tidak berniat berbagi barang miliknya. Laila memilih kembali masuk ke dalam rumah dan menyendiri di kamarnya. Mungkin ia akan menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Ia tidak berani jika harus datang ke kantor Basalamah langsung. Ia masih menunggu kabar dari Alby.Meskipun waktu itu Beryl mengatakan padanya soal bahwa dirinya masih bisa bekerja di sana. Namun ia merasa khawatir setelah mengingat pengusiran yang dilakukan oleh Beryl pada Serina.Tak bisa dipungkiri jika Laila merasa ketakutan. Andai ia berbuat kesalahan sedikit saja, ia juga pasti akan mengalami kejadian yang serupa. Entahlah, pikiran Laila menjadi carut marut. Ia pun dengan sabar akan menunggu ayahnya pulang. Yuda berjanji akan membelikannya ponsel baru. Setelah mendapatkan ponsel baru, Laila akan menghubungi Alby. Ia percaya pada pemuda itu karena ia sudah berjanji akan mengurus soal kesalahpahaman waktu itu.“Laila,” seru Yuda membuka pint
Sepanjang hari Jeena berwajah masam. Rosa menjadi bingung sebenarnya apa yang terjadi pada majikannya.Jeena diam dan tidak melakukan apapun sepulang kuliah. Biasanya ia akan berada di ruang musik atau di dapur memasak.Menaruh ponselnya, Rosa menghampiri Jeena yang diam dengan menatap ponselnya.“Lagi apa Non?” Jeena mengembuskan nafas perlahan, menoleh ke arah Rosa dan tanpa sàdar memperhatikan penampilannya yang terlihat berbeda.Rosa merias wajahnya namun terlihat aneh di mata Jeena.Menyadari tatapan mata Jeena yang intens, Rosa menggerakan bibirnya. “Ada apa Non?”Jeena yang sedang bad mood menjadi tertawa seketika melihat penampilan Rosa.“Kamu make up?” Jeena bertanya tanpa ragu. Melihat penampilannya seperti itu, Jeena pikir mungkin Rosa akan pergi keluar.Rosa tersenyum menahan malu. Rona wajahnya tidak bisa berdusta. Rosa seringkali berpenampilan tomboi dan kasual. Biasanya ia akan mengenakan setelan kemeja dan celana bahan atau rok span selutut saat menemani Ana. Namun i
Laila yang polos hanya melirik sekilas paper bag itu bahkan tidak berniat mengambilnya. “Mas Alby, maaf aku gak bisa terima hapenya,” imbuh Laila dengan tak enak hati.“Aku kira kamu bakal nerima hape ini. Tadi kamu bilang hapenya rusak. Makanya daripada dikasih ke orang lain mending ke orang terdekat. Hum, begini, bagaimana kalau anggap hape ini dari perusahaan. Kalau gak ada hp susah ngehubungi lo. Pak Lingga akan mengajakmu meeting dengan klien.”Alby menjelaskan dengan begitu tenang. Laila tidak pernah menyangka Alby bisa sepengertian itu dan perhatian pada karyawan perusahaan milik keluarganya.Laila yang merasa tak enakan pun langsung menjawab, “Ya udah aku terima. Makasih. Nanti aku bayar deh, cicil ya tiap gajian,” jawab Laila tak ingin melihat Alby kecewa.“Begini saja, urusan HP biar Pak Lingga yang urus. Kamu gak usah bayar. Anggap fasilitas dari perusahaan,” imbuh Alby tak menyerah.Pemuda itu mencari seribu alasan. Mana ada ibunya menyuruhnya membeli ponsel baru. Ia memb
Sulis berkacak pinggang melihat ruang kerja putranya yang berantakan. Tak biasanya Beryl membawa pekerjaan dari kantor ke rumah. Sebelumnya, karena Beryl orang yang tidak sabaran, ia selalu menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Namun hari itu ia membawanya ke rumah. Ia bahkan tidak berniat menyuruh asistennya untuk membantunya.Kertas-kertas berhamburan di atas lantai. Begitupula peralatan menulis lainnya. Jangan sampai laptopnya ikut hancur. Dulu, saking tidak bisa mengendalikan dirinya, laptop pun hancur dibanting olehnya.Berusaha tenang, Sulis menguak daun pintu ruangan bernuansa serba putih itu dengan perlahan.“Beryl, apa di kantor ada masalah?”Sulis memungut helai demi helai kertas yang tercecer di lantai dengan lenguhan pelan.Beryl melirik ke arah sang ibu. Ia tahu ibunya masih sakit. Sekalipun ia sedang emosi, ia pun buru-buru menghampiri ibunya.“Gak usah diberesin, Mom.”Beryl meraih lengan ibunya lalu memapahnya untuk duduk.Sulis menatap putranya yang terlihat kusut masa
Laila tersenyum saat melihat ponsel barunya yang tergolek di atas meja. Ia baru menyadari jika ponselnya itu berharga mahal. Awalnya, ia merasa tak enak hati saat menerima ponsel itu. Namun karena Alby sudah mengatakan bahwa ponsel itu dari perusahaan, maka ia bersedia menerimanya. Namun ia menjadi penasaran. Apakah posisinya kini di perusahaan? Gadis bercadar itu berandai-andai jika kini ia bisa mendapatkan posisi jabatan seperti sebelumnya. Jika demikian, ia bisa mendapatkan gaji yang lumayan besar sehingga bisa membantu melunasi hutang ayahnya.Kendati hubungan dirinya dan ayahnya menjadi renggang, Laila akan tetap berbakti padanya bahkan ingin membalas budi pada kebaikan Yuda—yang sudah menganggapnya sebagai putri kandungnya sendiri.“Kamu masih kerja di kantor?”Yuda melontarkan pertanyaan dengan ambigu. Dania mengatakan pada Yuda bahwa Laila tidak betah bekerja di perusahaan Basalamah. Padahal nyatanya, sejak semalam Laila dan Dania bahkan tidak mengobrol.“Masih, A-Ayah,” jawa
Jeena terbangun di sebuah kamar yang kosong. Kepalanya terasa berat hingga ia kesulitan dalam membelalakan matanya. Saat matanya benar-benar terbuka, ia seketika terkesiap melihat sekelilingnya.Dinding kamar itu didominasi oleh warna abu-abu dan hitam. Ada banyak lukisan abstrak di kamar tersebut. Ia menduga jika itu adalah kamar seorang pria!Nafas Jeena langsung memburu saat ia menyadari berada di sebuah tempat asing dan sialnya kamar seorang pria. Ia pun mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Seingatnya, tadi ia keluar apartemen karena berniat ingin berjalan-jalan dan pergi ke minimarket.“Wanita itu …” gumam Jeena merasa pusing luar biasa. Mendadak ia menjadi orang yang linglung.Jeena sàdar, telah terjadi sesuatu pada dirinya. Seseorang telah menghipnotisnya hingga membuatnya tidak sadar. Gadis bermanik almond buru-buru mengecek kondisi tubuhnya. Ia takut seseorang telah melecehkannya saat ia tak sadarkan.Menurunkan kakinya, Jeena akan berusaha melarikan diri dari kamar itu.
Manggala marah besar saat mendapat kabar dari Rosa bahwa Jeena menghilang. Seseorang telah membawanya pergi. Rosa menyesal kenapa ia tidak bisa berdusta pada pria itu. Masalahnya, pria itu menelponnya karena mungkin nomor Jeena tidak bisa dihubungi. Alhasil, ia pun bicara dengan jujur soal Jeena yang tiba-tiba menghilang.[Pak Gala, aku sedang mencarinya. Jadi, jangan khawatir!]Rosa bersikap tenang setenang air yang tak bergelombang.Padahal dalam lubuk hati yang terdalam, rasanya ia begitu ketakutan. Sejak ia bekerja di keluarga Basalamah, tugas sebagai pengawal Jeena lah tugas yang paling berat ia lakukan. Ana sangat protektif pada putrinya. Wajar saja, mungkin karena Jeena pernah hilang dari bayi. Jika terjadi sesuatu pada Jeena, tamatlah riwayatnya![Dengar, jika kamu gak bisa temukan Jeena. Aku akan pergi ke sana sekarang.]Manggala merasa menyesal karena telah menarik para pengawalnya dari sana. Ia berpikir jika Rosa sudah cukup bisa menjaganya, mengingat latar belakang Rosa ya
Sulis menyesap teh hangatnya sambil melirik putranya yang duduk di sofa dengan wajah muram. Beryl menunduk, sesekali memainkan jemarinya di atas meja, pikirannya jelas sedang berkecamuk. Kali ini pria berhidung bangir itu mendapat teguran keras dari ibunya, akibat insiden semalam. Sulis memergoki Beryl mencumbu Laila. Namun sebagai seorang wanita yang berpengalaman, ia tahu akhir dari aktivitas untuk tadi pasti pergulatan panas di atas ranjang. Mungkin situasi akan normal, sebagai sepasang suami istri yang baru saja menikah, mereka akan menikmati momen malam pertama. Masalahnya, Laila masih sakit. Tubuhnya belum siap untuk semua itu. Seharusnya, Beryl bisa menahan diri dan sedikit bersabar hingga Laila benar-benar siap.Sulis menghela napas, lalu meletakkan cangkirnya. “Beryl, Mommy tahu kamu sayang sekali sama Laila. Tapi soal hak-hakmu sebagai suami, mungkin kamu harus bersabar dulu. Bukankah dokter juga sudah memberikan weyangan padamu? Jangan pura-pura amnesia! Ingat, pernikaha
Beryl menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Aku akan menghadapinya. Jangan khawatir. Laila bobo aja ya,”Laila menggeleng lemah. “Aku ikut. Kenapa mereka tiba-tiba datang? Pasti ada sesuatu yang penting,” katanya dengan nafas yang terengah.Namun Beryl bukan fokus pada perkataan Laila, tatapannya justru fokus pada bibir Laila yang merah dan bengkak. Rasanya, ia ingin meraup bibir manis itu lagi.“Tunggu sebentar ya, Sayang,” imbuh Beryl begitu lembut pada istrinya.Beryl mengecup keningnya dengan lembut sebelum beranjak menuju pintu. Dengan perasaan yang masih bergolak, ia membuka pintu kamar pengantin itu, menghadapi dua sosok yang berdiri dengan ekspresi penuh tanda tanya di ambang pintu.Di hadapannya berdiri dua pria—Rahes dan Yuda. Ayah kandung dan ayah tiri Laila.“Ada apa malam-malam begini?” tanya Beryl, suaranya rendah namun jelas menunjukkan ketidaksenangan.Rahes melangkah masuk tanpa dipersilakan, diikuti oleh Yuda. Mata pria paruh baya itu menatap tajam ke pin
Rosa menarik napas dalam-dalam, lalu membuka pintu perlahan. Saat wajahnya muncul di balik pintu, suara-suara langsung berhenti sejenak. Namun, tatapan penuh kebencian dan curiga segera menghujaninya. Arum melangkah maju dengan senyum penuh kemenangan di wajahnya.“Akhirnya kau berani keluar,” katanya dengan nada mengejek. “Sekarang, beri kami jawaban. Apa yang sebenarnya kau sembunyikan?”Malam itu, Rosa sadar bahwa hidupnya di tempat ini mungkin tak akan pernah sama lagi.“Aku tidak menyembunyikan apapun,” jawab Rosa dengan tegas.Rosa berdiri di tengah kerumunan warga yang berteriak penuh amarah. Mata mereka menyala dalam kebencian, jari-jari mereka menunjuk tajam ke arahnya. Hujan turun rintik-rintik, membasahi wajahnya yang telah lebih dulu dibasahi air mata.“Kamu wanita murahan! Pergi dari sini!” seru seorang lelaki tua, wajahnya memerah karena emosi. Ia juga terprovokasi oleh para wanita di sana.Seorang wanita lain, yang pernah bersikap baik pada Rosa sebelumnya, kini ikut ber
“Sayang, mau mandi? Ayo Kakak bantu,” ujar Beryl berniat membantu istrinya. “Jangan mikir macam-macam! Kamu pasti lengket badannya,”Beryl sudah berjanji pada dirinya sendiri, akan merawat istrinya sebaik mungkin.Laila terperangah. Beryl memang serius ingin merawatnya. Namun, ia menahan diri. Sebetulnya ia sudah bisa berjalan meskipun belum bisa seperti orang normal. Hanya saja, ia ingin memberikan kejutan padanya. “Bantu aku aja ke kamar mandi,” imbuh Laila dengan tersenyum lembut.Beryl berjongkok lalu mengangkat tubuh Laila ke kamar mandi. Bahkan membawakan pakaian untuknya. Seharian di pelaminan membuat mereka merasa gerah dan berkeringat. Mereka mandi bergantian. Laila keluar dari kamar mandi sudah berganti pakaian dengan piyama lengan panjang. Beryl menyambutnya dengan senyuman yang hangat. Saat Laila mendekat, Beryl menatapnya sejenak. Selain Laila, Beryl juga belum terbiasa melihat penampilannya tanpa hijabnya. Laila tampak seperti seorang gadis muda berusia tujuh belas tah
Langit Jakarta bertabur cahaya keemasan ketika malam mulai merayap perlahan. Gedung hotel mewah bintang lima itu berdiri megah di antara gedung-gedung pencakar langit lainnya, menjadi saksi sebuah pernikahan yang begitu dinanti. Di dalam aula yang luas, dekorasi bernuansa putih dan emas menyelimuti setiap sudut. Lampu kristal bergemerlapan di atas, sementara lantunan ayat suci Al-Qur’an mengalun syahdu, mengiringi kebahagiaan dua insan yang kini telah sah menjadi suami istri.Laila, dalam balutan gaun syar’i berwarna putih gading, tampak begitu anggun. Wajahnya yang selalu teduh kini berseri lebih dari biasanya. Sementara Beryl, dalam setelan khas pria Timur Tengah, tak bisa menyembunyikan binar bahagianya. Lelaki itu menatap istrinya dengan mata penuh takjub, seolah masih tak percaya bahwa gadis kecil yang dulu pernah ditolongnya kini telah menjadi pendamping hidupnya.Saat itu, keduanya duduk bersisian di pelaminan, menerima tamu yang datang silih berganti. Laila tersenyum lembut, s
Laila duduk di ruang tamu rumahnya yang luas. Seorang perancang kondang dari Paris, Madam Coett, tengah sibuk menata beberapa gaun pengantin mewah di hadapannya. Meski masih duduk di kursi roda, Laila kini sudah bisa berjalan meskipun beberapa langkah. Itulah sebabnya, ia sangat bersemangat mencoba satu per satu gaun yang akan dikenakannya saat pesta pernikahannya di Indonesia.“Mademoiselle Laila, saya rasa yang ini akan sangat cocok untuk Anda!” kata Madame Coett sambil mengangkat gaun berlapis renda dengan ekor panjang.Laila tersenyum dan menyentuh lembut kain sutra itu. “Sus, bantu aku berjalan,” perawat Febi, pintanya pada pengasuh setianya. Ia harus berjalan sedikit untuk menatap cermin di depannya. Perawat Febi dengan sigap membantu Laila berdiri. Meski masih harus berpegangan pada kursinya, ia merasa lebih kuat dari sebelumnya. Gaun itu segera dikenakan, dan begitu ia melihat bayangannya di cermin, matanya berbinar.“Cantik sekali,” gumam Laila penuh kagum. Ia memang bukan ga
Rosa menatap dua garis merah di test pack dan foto USG yang digenggamnya. Tangannya gemetar. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia merasa bisa mendengarnya sendiri. “Tidak mungkin,” bisiknya, suaranya bergetar. Tapi kenyataan sudah terpampang jelas di hadapannya. Dua garis itu nyata. Ia hamil. Rosa merosot ke lantai kamar mandi, punggungnya bersandar pada dinding dingin. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Ia menggigit bibir, menahan isakan yang hendak pecah. Ini semua gara-gara malam itu. Malam yang seharusnya tidak pernah terjadi. Rosa merutuki kebodohannya sendiri. Tapi yang sudah terjadi tak bisa diubah. Ia berpikir semuanya akan berlalu begitu saja. Rosa wanita yang cerdas. Ia bahkan meminum obat kontrasepsi setelah melakukan hubungan terlarang itu. Ia juga tidak mau hamil di luar nikah. Namun ternyata takdir berkata lain. Sekalipun, ia berusaha menolak, takdir memiliki cara sendiri untuk datang.Rosa menutup matanya rapat-rapat. Napasnya tersengal. “Apa y
Senyum Rahes perlahan muncul. Ia mengangguk dan kembali menatap Ali. “Jika ini yang terbaik untuk Laila, aku merestui.”Sulis yang sejak tadi menunggu momen ini, segera membuka kotak beludru yang dibawanya. Di dalamnya, terdapat cincin emas putih bertatahkan berlian kecil yang berkilau di bawah cahaya lampu. Dengan penuh kelembutan, Sulis mengambil cincin itu dan berlutut di depan Laila.“Laila, izinkan aku mewakili Beryl untuk menyematkan cincin ini di jarimu sebagai tanda bahwa kau telah menjadi calon menantuku,” kata Sulis dengan suara bergetar penuh haru.Laila menatap cincin itu dengan mata berbinar, lalu perlahan mengulurkan tangannya. Dengan hati-hati, Sulis menyematkan cincin itu di jari manisnya. Suasana dipenuhi rasa haru, terutama bagi Yuda yang tanpa sadar menitikkan air mata bahagia.Yuda merasa bermimpi jika gadis kecil yang dibesarkan olehnya ternyata sudah ada yang melamar. Namun ia merasa senang sekali. Ia berpikir jika Laila menikah dengan Beryl maka ia juga akan muda
Rosa menghela nafas, lalu melangkah mundur, membiarkan Pasha masuk ke dalam kamar sempitnya. Begitu pintu tertutup, keheningan menyelimuti mereka berdua. Pasha berdiri canggung di tengah ruangan, sementara Rosa berjalan ke meja kecil di sudut kamar, mengambil segelas air, lalu meneguknya tanpa tergesa-gesa.Kemudian ia pun membawakan air minum untuk Pasha.“Ada yang mau kamu omongin?” tanya Rosa akhirnya setelah menaruh nampan berisi segelas air minum.Pasha mengembuskan napas panjang menatap Rosa yang duduk di sebelahnya. “Rosa, aku... aku ingin minta maaf.”Rosa menoleh padanya, mata gelapnya menelisik. “Untuk apa?”Pasha mengatupkan rahangnya, merasa semakin bersalah. “Untuk tadi malam. Aku seharusnya... aku seharusnya lebih kuat menahan diri. Aku merasa bersalah. Aku ingin bertanggung jawab.”Rosa tersenyum kecil, tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. Ia meletakkan gelasnya kembali ke meja, lalu berjalan mendekat. “Kenapa kamu merasa bersalah?” tanyanya pelan. “Karena kamu pikir