Happy reading🤍🤍
Laila mendesah pelan mendengar perkataan Dania. Sesuai dugaannya kakaknya tidak berniat berbagi barang miliknya. Laila memilih kembali masuk ke dalam rumah dan menyendiri di kamarnya. Mungkin ia akan menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Ia tidak berani jika harus datang ke kantor Basalamah langsung. Ia masih menunggu kabar dari Alby.Meskipun waktu itu Beryl mengatakan padanya soal bahwa dirinya masih bisa bekerja di sana. Namun ia merasa khawatir setelah mengingat pengusiran yang dilakukan oleh Beryl pada Serina.Tak bisa dipungkiri jika Laila merasa ketakutan. Andai ia berbuat kesalahan sedikit saja, ia juga pasti akan mengalami kejadian yang serupa. Entahlah, pikiran Laila menjadi carut marut. Ia pun dengan sabar akan menunggu ayahnya pulang. Yuda berjanji akan membelikannya ponsel baru. Setelah mendapatkan ponsel baru, Laila akan menghubungi Alby. Ia percaya pada pemuda itu karena ia sudah berjanji akan mengurus soal kesalahpahaman waktu itu.“Laila,” seru Yuda membuka pint
Sepanjang hari Jeena berwajah masam. Rosa menjadi bingung sebenarnya apa yang terjadi pada majikannya.Jeena diam dan tidak melakukan apapun sepulang kuliah. Biasanya ia akan berada di ruang musik atau di dapur memasak.Menaruh ponselnya, Rosa menghampiri Jeena yang diam dengan menatap ponselnya.“Lagi apa Non?” Jeena mengembuskan nafas perlahan, menoleh ke arah Rosa dan tanpa sàdar memperhatikan penampilannya yang terlihat berbeda.Rosa merias wajahnya namun terlihat aneh di mata Jeena.Menyadari tatapan mata Jeena yang intens, Rosa menggerakan bibirnya. “Ada apa Non?”Jeena yang sedang bad mood menjadi tertawa seketika melihat penampilan Rosa.“Kamu make up?” Jeena bertanya tanpa ragu. Melihat penampilannya seperti itu, Jeena pikir mungkin Rosa akan pergi keluar.Rosa tersenyum menahan malu. Rona wajahnya tidak bisa berdusta. Rosa seringkali berpenampilan tomboi dan kasual. Biasanya ia akan mengenakan setelan kemeja dan celana bahan atau rok span selutut saat menemani Ana. Namun i
Laila yang polos hanya melirik sekilas paper bag itu bahkan tidak berniat mengambilnya. “Mas Alby, maaf aku gak bisa terima hapenya,” imbuh Laila dengan tak enak hati.“Aku kira kamu bakal nerima hape ini. Tadi kamu bilang hapenya rusak. Makanya daripada dikasih ke orang lain mending ke orang terdekat. Hum, begini, bagaimana kalau anggap hape ini dari perusahaan. Kalau gak ada hp susah ngehubungi lo. Pak Lingga akan mengajakmu meeting dengan klien.”Alby menjelaskan dengan begitu tenang. Laila tidak pernah menyangka Alby bisa sepengertian itu dan perhatian pada karyawan perusahaan milik keluarganya.Laila yang merasa tak enakan pun langsung menjawab, “Ya udah aku terima. Makasih. Nanti aku bayar deh, cicil ya tiap gajian,” jawab Laila tak ingin melihat Alby kecewa.“Begini saja, urusan HP biar Pak Lingga yang urus. Kamu gak usah bayar. Anggap fasilitas dari perusahaan,” imbuh Alby tak menyerah.Pemuda itu mencari seribu alasan. Mana ada ibunya menyuruhnya membeli ponsel baru. Ia memb
Sulis berkacak pinggang melihat ruang kerja putranya yang berantakan. Tak biasanya Beryl membawa pekerjaan dari kantor ke rumah. Sebelumnya, karena Beryl orang yang tidak sabaran, ia selalu menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Namun hari itu ia membawanya ke rumah. Ia bahkan tidak berniat menyuruh asistennya untuk membantunya.Kertas-kertas berhamburan di atas lantai. Begitupula peralatan menulis lainnya. Jangan sampai laptopnya ikut hancur. Dulu, saking tidak bisa mengendalikan dirinya, laptop pun hancur dibanting olehnya.Berusaha tenang, Sulis menguak daun pintu ruangan bernuansa serba putih itu dengan perlahan.“Beryl, apa di kantor ada masalah?”Sulis memungut helai demi helai kertas yang tercecer di lantai dengan lenguhan pelan.Beryl melirik ke arah sang ibu. Ia tahu ibunya masih sakit. Sekalipun ia sedang emosi, ia pun buru-buru menghampiri ibunya.“Gak usah diberesin, Mom.”Beryl meraih lengan ibunya lalu memapahnya untuk duduk.Sulis menatap putranya yang terlihat kusut masa
Laila tersenyum saat melihat ponsel barunya yang tergolek di atas meja. Ia baru menyadari jika ponselnya itu berharga mahal. Awalnya, ia merasa tak enak hati saat menerima ponsel itu. Namun karena Alby sudah mengatakan bahwa ponsel itu dari perusahaan, maka ia bersedia menerimanya. Namun ia menjadi penasaran. Apakah posisinya kini di perusahaan? Gadis bercadar itu berandai-andai jika kini ia bisa mendapatkan posisi jabatan seperti sebelumnya. Jika demikian, ia bisa mendapatkan gaji yang lumayan besar sehingga bisa membantu melunasi hutang ayahnya.Kendati hubungan dirinya dan ayahnya menjadi renggang, Laila akan tetap berbakti padanya bahkan ingin membalas budi pada kebaikan Yuda—yang sudah menganggapnya sebagai putri kandungnya sendiri.“Kamu masih kerja di kantor?”Yuda melontarkan pertanyaan dengan ambigu. Dania mengatakan pada Yuda bahwa Laila tidak betah bekerja di perusahaan Basalamah. Padahal nyatanya, sejak semalam Laila dan Dania bahkan tidak mengobrol.“Masih, A-Ayah,” jawa
Jeena terbangun di sebuah kamar yang kosong. Kepalanya terasa berat hingga ia kesulitan dalam membelalakan matanya. Saat matanya benar-benar terbuka, ia seketika terkesiap melihat sekelilingnya.Dinding kamar itu didominasi oleh warna abu-abu dan hitam. Ada banyak lukisan abstrak di kamar tersebut. Ia menduga jika itu adalah kamar seorang pria!Nafas Jeena langsung memburu saat ia menyadari berada di sebuah tempat asing dan sialnya kamar seorang pria. Ia pun mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Seingatnya, tadi ia keluar apartemen karena berniat ingin berjalan-jalan dan pergi ke minimarket.“Wanita itu …” gumam Jeena merasa pusing luar biasa. Mendadak ia menjadi orang yang linglung.Jeena sàdar, telah terjadi sesuatu pada dirinya. Seseorang telah menghipnotisnya hingga membuatnya tidak sadar. Gadis bermanik almond buru-buru mengecek kondisi tubuhnya. Ia takut seseorang telah melecehkannya saat ia tak sadarkan.Menurunkan kakinya, Jeena akan berusaha melarikan diri dari kamar itu.
Manggala marah besar saat mendapat kabar dari Rosa bahwa Jeena menghilang. Seseorang telah membawanya pergi. Rosa menyesal kenapa ia tidak bisa berdusta pada pria itu. Masalahnya, pria itu menelponnya karena mungkin nomor Jeena tidak bisa dihubungi. Alhasil, ia pun bicara dengan jujur soal Jeena yang tiba-tiba menghilang.[Pak Gala, aku sedang mencarinya. Jadi, jangan khawatir!]Rosa bersikap tenang setenang air yang tak bergelombang.Padahal dalam lubuk hati yang terdalam, rasanya ia begitu ketakutan. Sejak ia bekerja di keluarga Basalamah, tugas sebagai pengawal Jeena lah tugas yang paling berat ia lakukan. Ana sangat protektif pada putrinya. Wajar saja, mungkin karena Jeena pernah hilang dari bayi. Jika terjadi sesuatu pada Jeena, tamatlah riwayatnya![Dengar, jika kamu gak bisa temukan Jeena. Aku akan pergi ke sana sekarang.]Manggala merasa menyesal karena telah menarik para pengawalnya dari sana. Ia berpikir jika Rosa sudah cukup bisa menjaganya, mengingat latar belakang Rosa ya
Beryl merasa kecewa sekaligus kesal mengapa Alby tiba-tiba masuk kantor dan ingin bekerja dengannya. Padahal ia hanya datang sesekali untuk melihat kondisi perusahaan. Sudah asumsi pun muncul secara tiba-tiba. Pasti, Laila menjadi alasan Alby ingin bekerja di sana. Ia dilanda bingung sekali. Bukankah Alby hanya bisa bermain piano? Ia juga mengajar di sekolah musik milik Ana. Mengapa tak ada angin dan tak ada hujan, ia datang untuk mendapat posisi di perusahaan?Beryl mendengus kesal melihat gelagat Alby yang mengganggu Laila di matanya. Terlihat dari meja kebesarannya, Alby sedang menjelaskan banyak hal pada Laila. Mereka terlihat akrab sekali. Meskipun apa yang mereka bahas bukanlah soal pribadi namun seputar perusahaan. Laila yang lugu terlihat antusias mendengar penjelasan Alby. Pemandangan yang membuat Beryl merasa panas.Beryl menjadi penasaran tentang adiknya. Sejak kapan Alby menguasai seluk beluk perusahaan? Namun karena Beryl– memiliki pekerjaan yang menumpuk, ia tidak ing
Sepuluh Tahun KemudianLangit pagi itu cerah di kawasan perbukitan tempat kediaman keluarga Manggala berdiri megah. Rumah bergaya modern tropis dengan sentuhan klasik itu dikelilingi taman bunga dan pepohonan rindang, dibangun oleh Aldino, sang kakek yang visioner. Di halaman belakang, terdengar suara tawa anak-anak dan langkah kaki berlarian.Kini Manggala mengambil alih perusahaan sang ayah, sedangkan Jeena menjadi seorang pianis seperti ibunya. Ia juga bahagia menjadi seorang ibu dari empat orang anak. “Mas Sagara! Tunggu aku dong!” seru Bintang, bocah sepuluh tahun yang berusaha mengejar kakaknya.Sagara menoleh sambil tertawa. “Cepat dong, Bintang! Katanya mau lomba lari?”Dari balik pintu kaca, dua gadis kembar berambut panjang hitam–berusia tujuh tahun, Savana dan Aurora, berseru bersamaan, “Mamaaa! Mas Sagara gak mau ajak kita main!”Jeena, yang tengah menyiram bunga, menoleh sambil tersenyum. “Kalian gak usah ikut main lari-larian. Kalian bisa kan main yang lain,”Savana dan
Tiga minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu.Alby akhirnya pulang ke Jakarta. Ia masih lemah, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi kesadarannya sudah kembali. Dan itu saja sudah cukup membuat seluruh keluarga menghela napas lega.Di kamar yang tenang, Alby perlahan duduk di sisi ranjang. Levina sigap menopangnya.“Kamu yakin udah kuat buat berdiri?” tanyanya pelan, seolah takut suaranya akan membuat Alby goyah.Alby tersenyum tipis. “Aku nggak selemah itu, Lev… Tapi kalau kamu tetap mau di sini, aku nggak keberatan.”Senyum itu begitu lemah, tapi cukup untuk menggetarkan hati Levina. Ia membalas tatapan itu dengan lembut, menyembunyikan guncangan di dadanya. Sejak hari pertama Alby tak sadarkan diri, Levina tidak pernah meninggalkan sisinya.Ia bertahan, bahkan ketika dokter kehilangan harapan. Dan, keluarga Basalamah mengabaikannya. “Lev,” suara Alby pelan.Levina menoleh cepat. “Hmm?”“Makasih ya… sudah rawat aku.”Alby menatap Levina dengan senyum tipis.Levina diam kemudian m
RS Bali International Cahaya lampu rumah sakit memantul di lantai keramik yang licin, menciptakan suasana dingin dan sepi. Di balik pintu ICU yang tertutup rapat, Alby tengah berjuang mempertahankan hidupnya. Tubuhnya penuh luka, sebagian tulangnya retak, dan kepalanya mengalami trauma berat akibat benturan keras dalam kecelakaan.Di ruang tunggu ICU, suasana dipenuhi ketegangan.Dokter Bagas, ahli bedah saraf yang menangani Alby, keluar dengan wajah serius langsung mengabari kondisi Alby saat ini pada keluarga; Sulis-Ali, Beryl, Ana-dr Zain, dan Manggala-Jeena yang langsung terbang ke Bali setelah mendapat kabar buruk mengenai kecelakaan yang menimpa Alby.Dokter Bagas berkata. “Kami sudah melakukan tindakan penyelamatan secepat mungkin. Alby mengalami pendarahan hebat di otak serta beberapa patah tulang rusuk yang melukai paru-paru kirinya. Kami telah memasang ventilator dan melakukan dekompresi kranial untuk mengurangi tekanan pada otaknya.”Tak ada yang berbicara. Wajah Ali pucat,
“Hari ini mendadak sepi, ya?”Levina menoleh. Alby ada di sampingnya, berjalan santai di antara deretan pohon mahoni yang mulai meranggas. Cahaya senja memantulkan rona keemasan di wajah mereka, menciptakan siluet yang tenang namun menyimpan gelombang perasaan yang tak terucap.Alby menatap tunangannya dengan lembut. Banyak hal ingin ia katakan, tapi belum waktunya. Ia hanya meraih jemari Levina dan menggenggamnya erat. Namun, kali ini Levina tidak menolak. Ia tahu harus berpura-pura menjadi kekasih Alby dengan sebaik mungkin.“Besok kita menikah. Tapi hari ini… izinkan aku jujur.”Alby menatap Levina dari samping. Meskipun Levina selalu menampilkan wajah dengan minim ekspresi, di matanya gadis itu terlihat cantik. Mungkin wanita tercantik yang pernah ia sukai. Ia menyukai segala hal tentang dirinya. Entah sejak kapan, Ia mulai merasakannya. Alih-alih merespon perkataan Alby, Levina menatapnya dalam. “Aku dengar kau sudah melaporkan Bella dan Roger.”Alby mengangguk pelan. “Aku rekam
“Lihat nih! Komennya udah tembus sepuluh ribu. Gila, Bella, kamu viral!”Manager Bella, seorang wanita berkacamata bernama Fara, tertawa kecil sambil menyodorkan ponsel ke arah kliennya. Di layar, unggahan Bella sedang dibanjiri komentar dan likes. Foto-foto kontroversial dengan Alby—yang sengaja diposting ulang oleh akun fanbase-nya, membuat namanya melejit dalam semalam.Bella tersenyum tipis, membolak-balik notifikasi dengan santai.“Ya... kalau skandal bisa bikin aku trending, kenapa nggak?” ujarnya ringan.Fara menyikut lengannya. “Kamu jahat juga, ya.”Bella menjawab dengan anggukan percaya diri. “Dunia hiburan bukan tempat buat yang terlalu baik.”Namun sebelum mereka bisa tertawa lagi, pintu studio tempat mereka santai tiba-tiba terbuka keras.BRAK!Keduanya terlonjak kaget. Di ambang pintu, berdiri Alby dengan sorot mata yang tak pernah Bella lihat sebelumnya—dingin, tajam, dan penuh kemarahan yang ditekan.“Untuk apa kamu lakukan ini, Bella?”Nada suaranya rendah, tapi mengge
“Astaga, Bella, sialan!” gumam Alby saat melihat layar ponselnya. Foto-foto itu terpampang jelas. Ia dan Bella terlihat terlalu dekat. Mereka seperti sepasang kekasih.Skandal itu tersebar begitu cepat. Akun-akun gosip di X dan I*******m berebut menaikkannya, sementara bot-bot anonim memperkeruh suasana dengan komentar tajam dan spekulasi kejam. Nama Alby mendadak trending, bukan karena prestasi, tapi karena ciuman yang tak pernah benar-benar terjadi.Dengan geram, Alby melemparkan ponselnya ke meja. Ia ingin menyangkal semua ini, tapi bagaimana? Mata kamera tidak pernah peduli pada kebenaran—hanya pada apa yang terlihat.Ponselnya bergetar. Nama “Mommy” tertera di layar.Sulis tidak pernah menelepon tanpa alasan. Dan kali ini, Alby tahu persis apa yang membuat ibunya menelepon di tengah malam, saat hujan mengguyur kota seperti murka langit yang tak tertahan.Sulis duduk anggun di sofa ruang tamu. Ruangan itu sepi, tapi hawa di dalamnya menggigit seperti salju saat musim dingin. Alby
Di kediaman Mahesa“Levina…” suara Roger terdengar pelan dan penuh simpati saat ia masuk ke dalam ruang tamu di mana Levina sedang duduk, membaca buku.Levina menatapnya, keningnya berkerut. “Roger? Ada apa?”Hubungannya dengan Roger mulai membaik. Keluarga Roger datang dan meminta maaf pada Mahesa atas apa yang telah Roger lakukan.Roger tersenyum lalu duduk bergabung dengan Levina, seolah menimbang-nimbang kata-kata yang ingin ia ucapkan. “Aku mendengar kabar yang cukup mengejutkan.” Ia mencoba menatap Levina dengan ekspresi prihatin, namun dalam hatinya, ada kepuasan yang terselip. “Aku... aku dengar kalau Alby terlibat hubungan dengan seorang penyanyi pendatang baru. Mereka... kedapatan di beberapa tempat bersama. Selingkuh, mungkin.”Levina hanya mengangkat alis. “Oh,” jawabnya singkat, tanpa ekspresi lebih lanjut. “Kapan kamu mendengarnya?”Roger sedikit terkejut dengan respons Levina yang begitu datar. “Baru beberapa hari yang lalu. Sepertinya mereka terlihat sangat dekat. Aku h
Di sebuah lounge hotel mewah, Roger duduk menyilangkan kaki sambil menatap layar ponsel. Di sampingnya, seorang wanita berambut panjang duduk dengan senyum menggoda—Bella, penyanyi pendatang baru yang sedang naik daun.“Jadi... lo cuma mau gue foto bareng dia?” tanya Bella dengan alis terangkat. “That’s it? Gue pikir bakal lebih ekstrem.”Roger tertawa pelan, suaranya tenang namun licik. “Nggak perlu ekstrem. Cukup satu foto. Waktu yang pas, tempat yang pas. Publik akan percaya kalau Alby ternyata sama aja kayak pria lainnya. Dan Levina... perempuan dengan prinsip seperti dia? Dia akan mundur sendiri.”Bella mengangkat bahu. “Easy. Asal bayarannya sepadan.”Roger menyerahkan sebuah cek yang sudah ditandatangani olehnya. “Lihat sendiri.”Bella tersenyum licik. “Deal.”Roger bersandar, lalu menyesap kopinya. Matanya menatap kosong ke depan. “Sorry, Alby... Aku lebih dulu kenal Levina. Dan aku nggak akan biarin kamu ambil Levina,” Roger sudah mendengar kabar tentang Levina yang sudah di
Rumah besar keluarga Ana Basalamah sore itu lebih sunyi dari biasanya. Dedaunan bergerak pelan ditiup angin, dan cahaya matahari yang menembus kaca jendela membuat ruangan terlihat hangat—meski hati sebagian penghuninya masih membeku.Di ruang keluarga, Sagara duduk di atas karpet bulu berwarna krem. Bocah empat tahun itu memeluk boneka dinosaurus hijau miliknya. Matanya masih sembab, dan tak ada satu pun senyum terukir di wajah kecilnya.Pasha duduk tak jauh darinya, memangku salah satu putra kembarnya—Rayyan—yang tengah bermain mobil-mobilan sambil tertawa sendiri. Di sisi lain, Rosa menggendong Rafael yang baru saja tertidur di pangkuannya. “Gara,” panggil Pasha dengan suara pelan.Sagara menoleh perlahan. Ia belum sepenuhnya nyaman, belum juga paham sepenuhnya apa yang terjadi dengan ayahnya.Pasha mencoba tersenyum. “Papa Pasha bawa mainan, mau lihat?”Bocah itu hanya mengangguk kecil. Pasha mengeluarkan satu set puzzle binatang dari dalam tasnya.“Coba tebak ini apa?” Ia mengang