Met liburan ya🤍 jangan lupa vote, comment and gem ya. Makasih banyak🤍🤍 moga kalian sehat semua dan dilimpahi rezeki melimpah Amin.
Jeena terbangun di sebuah kamar yang kosong. Kepalanya terasa berat hingga ia kesulitan dalam membelalakan matanya. Saat matanya benar-benar terbuka, ia seketika terkesiap melihat sekelilingnya.Dinding kamar itu didominasi oleh warna abu-abu dan hitam. Ada banyak lukisan abstrak di kamar tersebut. Ia menduga jika itu adalah kamar seorang pria!Nafas Jeena langsung memburu saat ia menyadari berada di sebuah tempat asing dan sialnya kamar seorang pria. Ia pun mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Seingatnya, tadi ia keluar apartemen karena berniat ingin berjalan-jalan dan pergi ke minimarket.“Wanita itu …” gumam Jeena merasa pusing luar biasa. Mendadak ia menjadi orang yang linglung.Jeena sàdar, telah terjadi sesuatu pada dirinya. Seseorang telah menghipnotisnya hingga membuatnya tidak sadar. Gadis bermanik almond buru-buru mengecek kondisi tubuhnya. Ia takut seseorang telah melecehkannya saat ia tak sadarkan.Menurunkan kakinya, Jeena akan berusaha melarikan diri dari kamar itu.
Manggala marah besar saat mendapat kabar dari Rosa bahwa Jeena menghilang. Seseorang telah membawanya pergi. Rosa menyesal kenapa ia tidak bisa berdusta pada pria itu. Masalahnya, pria itu menelponnya karena mungkin nomor Jeena tidak bisa dihubungi. Alhasil, ia pun bicara dengan jujur soal Jeena yang tiba-tiba menghilang.[Pak Gala, aku sedang mencarinya. Jadi, jangan khawatir!]Rosa bersikap tenang setenang air yang tak bergelombang.Padahal dalam lubuk hati yang terdalam, rasanya ia begitu ketakutan. Sejak ia bekerja di keluarga Basalamah, tugas sebagai pengawal Jeena lah tugas yang paling berat ia lakukan. Ana sangat protektif pada putrinya. Wajar saja, mungkin karena Jeena pernah hilang dari bayi. Jika terjadi sesuatu pada Jeena, tamatlah riwayatnya![Dengar, jika kamu gak bisa temukan Jeena. Aku akan pergi ke sana sekarang.]Manggala merasa menyesal karena telah menarik para pengawalnya dari sana. Ia berpikir jika Rosa sudah cukup bisa menjaganya, mengingat latar belakang Rosa ya
Beryl merasa kecewa sekaligus kesal mengapa Alby tiba-tiba masuk kantor dan ingin bekerja dengannya. Padahal ia hanya datang sesekali untuk melihat kondisi perusahaan. Sudah asumsi pun muncul secara tiba-tiba. Pasti, Laila menjadi alasan Alby ingin bekerja di sana. Ia dilanda bingung sekali. Bukankah Alby hanya bisa bermain piano? Ia juga mengajar di sekolah musik milik Ana. Mengapa tak ada angin dan tak ada hujan, ia datang untuk mendapat posisi di perusahaan?Beryl mendengus kesal melihat gelagat Alby yang mengganggu Laila di matanya. Terlihat dari meja kebesarannya, Alby sedang menjelaskan banyak hal pada Laila. Mereka terlihat akrab sekali. Meskipun apa yang mereka bahas bukanlah soal pribadi namun seputar perusahaan. Laila yang lugu terlihat antusias mendengar penjelasan Alby. Pemandangan yang membuat Beryl merasa panas.Beryl menjadi penasaran tentang adiknya. Sejak kapan Alby menguasai seluk beluk perusahaan? Namun karena Beryl– memiliki pekerjaan yang menumpuk, ia tidak ing
Suasana di luar kantor sore itu panas, bukan hanya karena terik matahari yang belum sepenuhnya tenggelam, tetapi juga karena ketegangan yang memuncak antara Laila dan Serina. Mereka berdiri di dekat area parkir, cukup jauh dari pandangan karyawan lain, namun tak terhindar dari perhatian beberapa orang yang lewat. Serina masih bekerja di perusahaan Basalamah. Hanya saja, kini jabatan mereka sudah bertukar. Laila menjadi sekretaris Beryl sementara itu Serina menjabat sebagai staf admin. Roda kehidupan berputar begitu cepat. Para karyawan di sana sudah mafhum dengan situasi tersebut. Atasan mereka akan mudah mengatur jabatan para karyawannya sesuai kinerja mereka. Namun untuk gosip yang menyebar di antara Laila dan Serina ialah mereka bersaing untuk mendapatkan simpati atasan mereka. Saat Laila selesai dengan pekerjaannya, ia pun memutuskan untuk pulang setelah Beryl lebih dulu keluar ruangan. Rasanya memang ia tidak merasa nyaman saat berada di ruangan itu. Namun ia tidak punya pi
Meskipun di luar mobil hiruk pikuk kendaraan dan lautan manusia masih terlihat namun malam itu Manggala merasa hatinya kosong dan sepi. Ia merasa kecewa karena tidak berada di sisi Jeena saat ia membutuhkan pertolongan. Sial, bayangan Jeena yang ditolong oleh Dion terus menghantui pikirannya, membuat dadanya terasa sesak sekali.“Apa aku terlalu berlebihan? Tapi … aku gak suka kedekatan mereka.”Manggala menghela nafas panjang kemudian melirik ke arah ponsel yang berada di tangannya. Ia menatap ponselnya lama. Kemudian ia pun membuka aplikasi pesan dan mengetik sesuatu untuk Jeena. [Assalamua’laikum! Jeena, apa kabar? Aku dengar tentang kejadian kemarin. Kamu baik-baik saja, ‘kan?]Namun sebelum mengirim pesan itu, Manggala ragu. “Apakah Jeena akan berpikir aku terlalu posesif? Atau malah aku gak peduli karena aku cuman diam saja? Sial, aku sangat mengkhawatirkannya!”“Pak, kita sudah sampai!”Sekretaris baru Manggala mengusik lamunannya. Ia menoleh ke arah jendela lalu mengangguk pel
Laila terdiam sejenak setelah mendengar tawaran Beryl. Wajahnya memerah karena canggung, dan ia pun buru-buru menjawab, “Ah, tidak usah, Pak Beryl. Saya bisa pulang sendiri. Terima kasih.”Laila tidak mungkin pulang berdua dengan atasannya. Bukankah Beryl tadi juga sudah memperingatkannya soal menjaga reputasi perusahaan? Haruskah ia mengingatkannya? Dasar tidak konsisten!Namun, Beryl tetap bersikeras, “Tidak apa-apa, Laila. Lagipula, Dito juga ikut menemani kita. Kita gak berduaan.”Seperti biasa, Beryl tetap mempertahankan gengsinya. Bahkan ia memaksa Dito untuk ikut menumpang di mobilnya. Padahal Dito bawa kendaraan sendiri. Sisi lain, Alby sudah pulang lebih dulu.Laila ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk dengan suara pelan. “Kalau begitu... baiklah, kalau ada Pak Dito juga.”Tak lama, Beryl memanggil Dito, yang langsung setuju untuk ikut. Mereka bertiga pun masuk ke dalam mobil Porsche berwarna hitam milik Beryl. Laila duduk di kursi belakang sendirian, sementara itu Dito meng
Kabar soal Manggala sudah tersebar. Namun personel the Great Duke yakin dan percaya padanya. Manggala telah dijebak oleh rivalnya. Kabar buruk tersebut sengaja dirahasiakan di depan Hanum, mengingat ia pasti akan kepikiran jika terjadi sesuatu pada hubungan cucunya dengan Manggala. Ia pasti akan bersedih hati.Oleh karena itu, Sulis tetap mengatur makan malam yang diminta oleh Hanum untuk menyambut kedatangan Laila dan Serina. Naasnya, Ana tidak bersedia hadir. Ia sedang merasa kesal pada Manggala—karena telah dianggap mempermainkan putrinya.Sebelum Manggala menemukan bukti perselingkuhan itu palsu, Ana tidak akan memaafkan Manggala. Oleh karena itu acara makan malam hanya terdiri dari, Hanum, Sulaiman, Sulis, Ali, Beryl– dan Alby.Pasha tidak bisa ikut karena sedang berada di rumah dr Zain—ayah kandungnya. Malam itu, ketika makan malam dimulai, suasana terasa penuh ketegangan. Laila datang dengan senyumnya yang tulus, sementara Serina terlihat gelisah. Hanum menyambut keduanya denga
Malam sudah larut. Suasana kediaman Ana sudah terlihat sepi. Hanya terlihat Ana sedang berleha-leha di atas sofa di ruang keluarga. Di sampingnya, Pasha ikut duduk menceramahinya. Pasha tidak terima dengan kericuhan yang terjadi siang tadi. Semuanya menjadi serba salah hanya karena masing-masing tidak bisa menahan emosi.“Mami, seharusnya tidak usah teriak-teriak begitu. Mami juga tau, Gala gak mungkin lah mengkhianati Jeena. Gala sudah sayang sama Jeena saat dia jadi karyawan di hotelnya. Kalau dia mau, dia bisa dapat cewek perawan dan anak pengusaha juga.”Pasha duduk di samping Ana yang terlihat masam.Bagaimanapun, ia membela adiknya tetapi juga berusaha bersikap objektif. Jelas sekali, Manggala pasti dijebak oleh seseorang demi sebuah kepentingan. Apalagi selain agar perusahaannya hancur! Atau kuat dugaan motif balas dendam.Mendengar nasehat Pasha, Ana menoleh lalu menjawab. “Mami kesel aja. Habis lihat foto itu beneran. Apa kamu gak curiga kalau mereka udah ngelakuin hubungan su
Sepuluh Tahun KemudianLangit pagi itu cerah di kawasan perbukitan tempat kediaman keluarga Manggala berdiri megah. Rumah bergaya modern tropis dengan sentuhan klasik itu dikelilingi taman bunga dan pepohonan rindang, dibangun oleh Aldino, sang kakek yang visioner. Di halaman belakang, terdengar suara tawa anak-anak dan langkah kaki berlarian.Kini Manggala mengambil alih perusahaan sang ayah, sedangkan Jeena menjadi seorang pianis seperti ibunya. Ia juga bahagia menjadi seorang ibu dari empat orang anak. “Mas Sagara! Tunggu aku dong!” seru Bintang, bocah sepuluh tahun yang berusaha mengejar kakaknya.Sagara menoleh sambil tertawa. “Cepat dong, Bintang! Katanya mau lomba lari?”Dari balik pintu kaca, dua gadis kembar berambut panjang hitam–berusia tujuh tahun, Savana dan Aurora, berseru bersamaan, “Mamaaa! Mas Sagara gak mau ajak kita main!”Jeena, yang tengah menyiram bunga, menoleh sambil tersenyum. “Kalian gak usah ikut main lari-larian. Kalian bisa kan main yang lain,”Savana dan
Tiga minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu.Alby akhirnya pulang ke Jakarta. Ia masih lemah, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi kesadarannya sudah kembali. Dan itu saja sudah cukup membuat seluruh keluarga menghela napas lega.Di kamar yang tenang, Alby perlahan duduk di sisi ranjang. Levina sigap menopangnya.“Kamu yakin udah kuat buat berdiri?” tanyanya pelan, seolah takut suaranya akan membuat Alby goyah.Alby tersenyum tipis. “Aku nggak selemah itu, Lev… Tapi kalau kamu tetap mau di sini, aku nggak keberatan.”Senyum itu begitu lemah, tapi cukup untuk menggetarkan hati Levina. Ia membalas tatapan itu dengan lembut, menyembunyikan guncangan di dadanya. Sejak hari pertama Alby tak sadarkan diri, Levina tidak pernah meninggalkan sisinya.Ia bertahan, bahkan ketika dokter kehilangan harapan. Dan, keluarga Basalamah mengabaikannya. “Lev,” suara Alby pelan.Levina menoleh cepat. “Hmm?”“Makasih ya… sudah rawat aku.”Alby menatap Levina dengan senyum tipis.Levina diam kemudian m
RS Bali International Cahaya lampu rumah sakit memantul di lantai keramik yang licin, menciptakan suasana dingin dan sepi. Di balik pintu ICU yang tertutup rapat, Alby tengah berjuang mempertahankan hidupnya. Tubuhnya penuh luka, sebagian tulangnya retak, dan kepalanya mengalami trauma berat akibat benturan keras dalam kecelakaan.Di ruang tunggu ICU, suasana dipenuhi ketegangan.Dokter Bagas, ahli bedah saraf yang menangani Alby, keluar dengan wajah serius langsung mengabari kondisi Alby saat ini pada keluarga; Sulis-Ali, Beryl, Ana-dr Zain, dan Manggala-Jeena yang langsung terbang ke Bali setelah mendapat kabar buruk mengenai kecelakaan yang menimpa Alby.Dokter Bagas berkata. “Kami sudah melakukan tindakan penyelamatan secepat mungkin. Alby mengalami pendarahan hebat di otak serta beberapa patah tulang rusuk yang melukai paru-paru kirinya. Kami telah memasang ventilator dan melakukan dekompresi kranial untuk mengurangi tekanan pada otaknya.”Tak ada yang berbicara. Wajah Ali pucat,
“Hari ini mendadak sepi, ya?”Levina menoleh. Alby ada di sampingnya, berjalan santai di antara deretan pohon mahoni yang mulai meranggas. Cahaya senja memantulkan rona keemasan di wajah mereka, menciptakan siluet yang tenang namun menyimpan gelombang perasaan yang tak terucap.Alby menatap tunangannya dengan lembut. Banyak hal ingin ia katakan, tapi belum waktunya. Ia hanya meraih jemari Levina dan menggenggamnya erat. Namun, kali ini Levina tidak menolak. Ia tahu harus berpura-pura menjadi kekasih Alby dengan sebaik mungkin.“Besok kita menikah. Tapi hari ini… izinkan aku jujur.”Alby menatap Levina dari samping. Meskipun Levina selalu menampilkan wajah dengan minim ekspresi, di matanya gadis itu terlihat cantik. Mungkin wanita tercantik yang pernah ia sukai. Ia menyukai segala hal tentang dirinya. Entah sejak kapan, Ia mulai merasakannya. Alih-alih merespon perkataan Alby, Levina menatapnya dalam. “Aku dengar kau sudah melaporkan Bella dan Roger.”Alby mengangguk pelan. “Aku rekam
“Lihat nih! Komennya udah tembus sepuluh ribu. Gila, Bella, kamu viral!”Manager Bella, seorang wanita berkacamata bernama Fara, tertawa kecil sambil menyodorkan ponsel ke arah kliennya. Di layar, unggahan Bella sedang dibanjiri komentar dan likes. Foto-foto kontroversial dengan Alby—yang sengaja diposting ulang oleh akun fanbase-nya, membuat namanya melejit dalam semalam.Bella tersenyum tipis, membolak-balik notifikasi dengan santai.“Ya... kalau skandal bisa bikin aku trending, kenapa nggak?” ujarnya ringan.Fara menyikut lengannya. “Kamu jahat juga, ya.”Bella menjawab dengan anggukan percaya diri. “Dunia hiburan bukan tempat buat yang terlalu baik.”Namun sebelum mereka bisa tertawa lagi, pintu studio tempat mereka santai tiba-tiba terbuka keras.BRAK!Keduanya terlonjak kaget. Di ambang pintu, berdiri Alby dengan sorot mata yang tak pernah Bella lihat sebelumnya—dingin, tajam, dan penuh kemarahan yang ditekan.“Untuk apa kamu lakukan ini, Bella?”Nada suaranya rendah, tapi mengge
“Astaga, Bella, sialan!” gumam Alby saat melihat layar ponselnya. Foto-foto itu terpampang jelas. Ia dan Bella terlihat terlalu dekat. Mereka seperti sepasang kekasih.Skandal itu tersebar begitu cepat. Akun-akun gosip di X dan I*******m berebut menaikkannya, sementara bot-bot anonim memperkeruh suasana dengan komentar tajam dan spekulasi kejam. Nama Alby mendadak trending, bukan karena prestasi, tapi karena ciuman yang tak pernah benar-benar terjadi.Dengan geram, Alby melemparkan ponselnya ke meja. Ia ingin menyangkal semua ini, tapi bagaimana? Mata kamera tidak pernah peduli pada kebenaran—hanya pada apa yang terlihat.Ponselnya bergetar. Nama “Mommy” tertera di layar.Sulis tidak pernah menelepon tanpa alasan. Dan kali ini, Alby tahu persis apa yang membuat ibunya menelepon di tengah malam, saat hujan mengguyur kota seperti murka langit yang tak tertahan.Sulis duduk anggun di sofa ruang tamu. Ruangan itu sepi, tapi hawa di dalamnya menggigit seperti salju saat musim dingin. Alby
Di kediaman Mahesa“Levina…” suara Roger terdengar pelan dan penuh simpati saat ia masuk ke dalam ruang tamu di mana Levina sedang duduk, membaca buku.Levina menatapnya, keningnya berkerut. “Roger? Ada apa?”Hubungannya dengan Roger mulai membaik. Keluarga Roger datang dan meminta maaf pada Mahesa atas apa yang telah Roger lakukan.Roger tersenyum lalu duduk bergabung dengan Levina, seolah menimbang-nimbang kata-kata yang ingin ia ucapkan. “Aku mendengar kabar yang cukup mengejutkan.” Ia mencoba menatap Levina dengan ekspresi prihatin, namun dalam hatinya, ada kepuasan yang terselip. “Aku... aku dengar kalau Alby terlibat hubungan dengan seorang penyanyi pendatang baru. Mereka... kedapatan di beberapa tempat bersama. Selingkuh, mungkin.”Levina hanya mengangkat alis. “Oh,” jawabnya singkat, tanpa ekspresi lebih lanjut. “Kapan kamu mendengarnya?”Roger sedikit terkejut dengan respons Levina yang begitu datar. “Baru beberapa hari yang lalu. Sepertinya mereka terlihat sangat dekat. Aku h
Di sebuah lounge hotel mewah, Roger duduk menyilangkan kaki sambil menatap layar ponsel. Di sampingnya, seorang wanita berambut panjang duduk dengan senyum menggoda—Bella, penyanyi pendatang baru yang sedang naik daun.“Jadi... lo cuma mau gue foto bareng dia?” tanya Bella dengan alis terangkat. “That’s it? Gue pikir bakal lebih ekstrem.”Roger tertawa pelan, suaranya tenang namun licik. “Nggak perlu ekstrem. Cukup satu foto. Waktu yang pas, tempat yang pas. Publik akan percaya kalau Alby ternyata sama aja kayak pria lainnya. Dan Levina... perempuan dengan prinsip seperti dia? Dia akan mundur sendiri.”Bella mengangkat bahu. “Easy. Asal bayarannya sepadan.”Roger menyerahkan sebuah cek yang sudah ditandatangani olehnya. “Lihat sendiri.”Bella tersenyum licik. “Deal.”Roger bersandar, lalu menyesap kopinya. Matanya menatap kosong ke depan. “Sorry, Alby... Aku lebih dulu kenal Levina. Dan aku nggak akan biarin kamu ambil Levina,” Roger sudah mendengar kabar tentang Levina yang sudah di
Rumah besar keluarga Ana Basalamah sore itu lebih sunyi dari biasanya. Dedaunan bergerak pelan ditiup angin, dan cahaya matahari yang menembus kaca jendela membuat ruangan terlihat hangat—meski hati sebagian penghuninya masih membeku.Di ruang keluarga, Sagara duduk di atas karpet bulu berwarna krem. Bocah empat tahun itu memeluk boneka dinosaurus hijau miliknya. Matanya masih sembab, dan tak ada satu pun senyum terukir di wajah kecilnya.Pasha duduk tak jauh darinya, memangku salah satu putra kembarnya—Rayyan—yang tengah bermain mobil-mobilan sambil tertawa sendiri. Di sisi lain, Rosa menggendong Rafael yang baru saja tertidur di pangkuannya. “Gara,” panggil Pasha dengan suara pelan.Sagara menoleh perlahan. Ia belum sepenuhnya nyaman, belum juga paham sepenuhnya apa yang terjadi dengan ayahnya.Pasha mencoba tersenyum. “Papa Pasha bawa mainan, mau lihat?”Bocah itu hanya mengangguk kecil. Pasha mengeluarkan satu set puzzle binatang dari dalam tasnya.“Coba tebak ini apa?” Ia mengang