Makasih supportnya ya my lovely readers đź’Ś
“Kamu membunuh sembarang orang! Kamu penjahat! Kamu memang iblis! Kamu membunuh orang hanya karena kesalahan kecil!” pekik Yasmin dengan suara yang bergetar hebat.Miguel tidak bisa terima perkataan Yasmin. Ia menggeram pelan lalu berkata dengan penuh penekanan padanya. “Kamu bilang kesalahan kecil? Dia mencoba mendekati wanitaku, kamu bilang kesalahan kecil?”Tangisan Yasmin tumpah ruah. Ia benar-benar ketakutan. Ia merasa syok karena melihat dengan mata kepala sendiri Miguel menembak salah satu anak buahnya karena berusaha mendekati Yasmin.Saat itu Yasmin hanya mengajak mengobrol pria itu, berusaha bernegosiasi dengannya, ingin melarikan diri dari situasi itu. Naasnya, pria itu tidak bersedia menolongnya. Alih-alih berniat membantunya keluar dari apartemen atasannya, ia justru mencoba menggoda Yasmin.Miguel yang melihat kedekatan mereka langsung murka. Ia menodongkan pistol dan langsung menghabisi nyawa bawahannya dengan begitu mudahnya.“Yasmin! Ayo!”Miguel berkata dengan nada g
Jeena terlihat senyum sendirian setelah mendapat panggilan teleconference. Ana penasaran mengapa putrinya terlihat ceria dan antusias. Dengan siapakah ia melakukan video teleconference tersebut?Mungkin dengan kekasihnya yang saat ini berada di tanah air.“Gara, Mama ngobrol dengan siapa? Kelihatan seru banget,” tanya Ana sembari menoel-noel lengan anak lelaki tampan itu–yang terlihat sedang menyusun mainan berbahan balok kayu.Sagara asik bermain di atas playmate ditemani oleh babysitter Linda. Anak itu terlihat senang menyusun mainan kemudian membongkarnya lagi. Seringkali mainan serupa kendaraan, mobil, motor dan truk rusak, tidak bertahan lama karena dibongkar olehnya. Oleh karena itu, Jeena berinisiatif memberikan mainan berupa puzzle, Lego dan apapun mainan edukasi yang bisa disusun kembali.Mendengar neneknya bertanya padanya Sagara hanya menoleh sesaat lalu mengedikkan pundaknya. Bahasa tubuhnya yang alami sungguh terlihat menggemaskan. Rupanya, anak itu tidak senang diganggu
Wanita bermanik almond itu terkesiap saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu.Satu buket bunga mawar putih yang besar tampak menyambutnya. Seorang pria memegang buket bunga di depannya hingga menutupi wajahnya.Jeena mengira jika dia adalah seorang pria yang salah alamat atau seorang kurir ekspedisi.Wanita satu anak itu berkata dalam bahasa asing. "Sorry, I didn't order a bouquet of flowers. Maybe you have the wrong address.""No! I don't have wrong address,” jawab pria itu lalu menyingkirkan buket bunga dari wajahnya.Ke dua bola mata Jeena membola tatkala melihat siapa yang datang malam itu."Mas Gala?"Perasaan Jeena campur aduk. Ia senang sekaligus terkejut akan kedatangan kekasih hatinya."I'm coming, Sweety," imbuh Manggala dengan kekehan pelan. Sungguh, ia sangat merindukan wanita muda di hadapannya. Ingin sekali memeluknya jika tidak tahu diri. Oleh karena itu ia berusaha menahan diri untuk tidak memperlihatkan perasaannya yang membuncah bahagia."Aku gak disuruh masuk
“Mami, menurutmu, tunik hijau atau putih?” Jeena memperlihatkan dua buah tunik di hadapan wajah ibunya. Ia terlihat kebingungan saat memilihnya. Pagi itu ia bersiap-siap akan pergi bersama sang kekasih hati untuk sarapan bersama seperti kesepakatan semalam.Ana mengulum senyum melihat gerak gerik putrinya. Ia teramat bersyukur melihat kini Jeena bisa menjemput bahagianya. Sebetulnya, ia sama sekali tidak keberatan jika Manggala mengajaknya menikah langsung. Toh, dengan asumsi jika Manggala bisa menjamin kebahagiaan putrinya mengingat dengan segala kekayaan yang dimilikinya. Namun, di luar dugaan, Jeena ternyata memiliki keyakinan yang teguh. Ia benar-benar ingin merengkuh mimpinya sebelum menjalin hubungan yang baru.“Menurut Mami, Jeena pakai tunik putih. Setahu Mami, Manggala suka pake hem putih. Coba perhatiin!” jawab Ana seraya mengambil tunik berwarna hijau yang dipegang oleh putrinya. Ia pun menaruh kembali tunik berwarna hijau itu ke dalam lemari.Jeena mengerutkan keningnya, m
Ana merasa penasaran melihat putrinya yang terlihat melamun setelah kepergian kekasih hatinya. Ia pun menerka-nerka jika Jeena memang tidak rela jika harus ditinggalkan oleh Manggala dengan begitu cepat. Pemuda tampan itu sangat sibuk sehingga ia tidak bisa berlama-lama tinggal di sana.Karena mulai dilanda rasa khawatir, Ana menghampiri Jeena yang sedang menatap kotak musik hadiah dari Manggala. Beberapa kali ia menyalakan kotak musik itu dengan perasaan yang tidak karuan.“Sayang,” imbuh Ana mencuri perhatian Jeena. Jeena segera mematikan kotak musik itu lalu menaruhnya dengan hati-hati di atas meja nakas samping tidur. Wanita muda bermanik almond itu merapikan rambutnya yang berantakan dengan jarinya kemudian ia duduk di samping ibunya.“Mami, ada apa?” tanya Jeena yang mengira ibunya membutuhkan sesuatu.Ana menggelengkan kepalanya pelan lalu menjawab. “Jeena, kamu lagi bete ya soalnya Gala cepat pulang,”Jeena terdiam sesaat. Ingin menyangkal namun benar adanya. Ia sedih jika har
"Tolong! Jambret!" Serina berteriak saat tasnya dijambret oleh pencopet yang berada di tepi jalan. Gadis muda itu turun dari sebuah taxi depan gedung perkantoran Basalamah.Gadis bermata biru itu memekik kaget karena tas mahal miliknya diambil oleh pencopet. Tak hanya itu, di dalam tas itu ada ponsel dan dompet berisi kartu ATM miliknya.Beberapa orang yang mendengar teriakannya langsung menoleh ke arahnya dengan terkesiap. Mereka langsung sigap meneriaki pencopet dan salah satu dari mereka mengejar pria itu.Serina meringis sedih atas insiden yang baru saja terjadi. Betapa malang nasibnya karena ia mengalami kesialan saat ia hendak memasuki area kantor Basalamah."Serin! Ada apa?"Laila bertanya pada gadis yang terlihat sedih itu. Gadis bercadar itu juga kebetulan turun di tempat yang sama di mana Serina berada."Ada copet! Tadi dia ambil tas aku!"Serina menjawab dengan kesal. Kemudian telunjuknya mengarah pada pria yang berlari cepat menuju utara."Sudah, sudah! Kita akan kejar kala
Laila menggelengkan kepalanya ribut saat ia mengingat jika nomor telepon yang dicantumkan pada salah satu surat lamaran kerja adalah nomor miliknya dan ayahnya. Mungkin pihak HRD menghubungi nomor ayahnya karena ponsel miliknya tidak aktif akibat baterainya habis.Namun beberapa saat kemudian, Laila mengerutkan keningnya saat mencoba mengingat-ingat perusahaan mana yang menerimanya. Gadis itu pun pulang dan langsung berhadapan dengan sang ayah yang sedang duduk di ruang tamu sembari membaca koran.“Laila sini!”Yuda memanggil putrinya dan menepuk kursi di sampingnya. Laila pun duduk di samping sang ayah setelah membuka cadarnya. Ia menatap sang ayah dengan tatapan penuh penasaran. Mendapat tatapan intens dari putrinya, Yuda tersenyum sumringah padanya. Mimik mukanya mirip seperti baru saja mendapat gaji bulanannya.Pria paruh baya itu menatap putrinya yang kini tak terasa sudah beranjak dewasa. Manik hitamnya mengingatkannya pada cinta pertamanya.“Wah, anak Ayah sekarang sudah mandir
Ruangan kantor tiba-tiba terasa hening. Ayah dan anak terlihat tengah berbincang serius. Percakapan sengit itu diawali oleh keterkejutan sang ayah saat mendengar kabar tentang kondisi perusahaan putranya. “Apa yang kamu lakukan Gala? PT Yudistira Group?”Aldino membentak putranya saat baru tahu langkah yang diambil oleh putranya. Tanpa sepengetahuannya, Manggala mengakuisisi perusahaan Yudistira. Aldino mengira jika putranya itu mengakuisisi perusahaan lain. Manggala mengerjapkan matanya sekali. Ia cukup tersentak kaget melihat reaksi sang ayah. Ia menghela nafas berat. Ia sudah mempersiapkan mentalnya mendapat amukan dari sang ayah.“Papa, sebetulnya,” ujar Manggala namun langsung disambar oleh sang ayah. Membuat pemuda tampan itu menelan salivanya terasa kecut.“Maksud kamu apa? Kamu membeli perusahaan yang sudah bangkrut? Pihak bank mana yang sudah tidak bersedia dipinjami? Investor mana juga yang bersedia mengucurkan dana ke perusahaan itu? Kamu mau jadi hero, Dewa penolong begit
“Sayang, mau mandi? Ayo Kakak bantu,” ujar Beryl berniat membantu istrinya. “Jangan mikir macam-macam! Kamu pasti lengket badannya,”Beryl sudah berjanji pada dirinya sendiri, akan merawat istrinya sebaik mungkin.Laila terperangah. Beryl memang serius ingin merawatnya. Namun, ia menahan diri. Sebetulnya ia sudah bisa berjalan meskipun belum bisa seperti orang normal. Hanya saja, ia ingin memberikan kejutan padanya. “Bantu aku aja ke kamar mandi,” imbuh Laila dengan tersenyum lembut.Beryl berjongkok lalu mengangkat tubuh Laila ke kamar mandi. Bahkan membawakan pakaian untuknya. Seharian di pelaminan membuat mereka merasa gerah dan berkeringat. Mereka mandi bergantian. Laila keluar dari kamar mandi sudah berganti pakaian dengan piyama lengan panjang. Beryl menyambutnya dengan senyuman yang hangat. Saat Laila mendekat, Beryl menatapnya sejenak. Selain Laila, Beryl juga belum terbiasa melihat penampilannya tanpa hijabnya. Laila tampak seperti seorang gadis muda berusia tujuh belas ta
Langit Jakarta bertabur cahaya keemasan ketika malam mulai merayap perlahan. Gedung hotel mewah bintang lima itu berdiri megah di antara gedung-gedung pencakar langit lainnya, menjadi saksi sebuah pernikahan yang begitu dinanti. Di dalam aula yang luas, dekorasi bernuansa putih dan emas menyelimuti setiap sudut. Lampu kristal bergemerlapan di atas, sementara lantunan ayat suci Al-Qur’an mengalun syahdu, mengiringi kebahagiaan dua insan yang kini telah sah menjadi suami istri.Laila, dalam balutan gaun syar’i berwarna putih gading, tampak begitu anggun. Wajahnya yang selalu teduh kini berseri lebih dari biasanya. Sementara Beryl, dalam setelan khas pria Timur Tengah, tak bisa menyembunyikan binar bahagianya. Lelaki itu menatap istrinya dengan mata penuh takjub, seolah masih tak percaya bahwa gadis kecil yang dulu pernah ditolongnya kini telah menjadi pendamping hidupnya.Saat itu, keduanya duduk bersisian di pelaminan, menerima tamu yang datang silih berganti. Laila tersenyum lembut,
Laila duduk di ruang tamu rumahnya yang luas. Seorang perancang kondang dari Paris, Madam Coett, tengah sibuk menata beberapa gaun pengantin mewah di hadapannya. Meski masih duduk di kursi roda, Laila kini sudah bisa berjalan meskipun beberapa langkah. Itulah sebabnya, ia sangat bersemangat mencoba satu per satu gaun yang akan dikenakannya saat pesta pernikahannya di Indonesia.“Mademoiselle Laila, saya rasa yang ini akan sangat cocok untuk Anda!” kata Madame Coett sambil mengangkat gaun berlapis renda dengan ekor panjang.Laila tersenyum dan menyentuh lembut kain sutra itu. “Sus, bantu aku berjalan,” perawat Febi, pintanya pada pengasuh setianya. Ia harus berjalan sedikit untuk menatap cermin di depannya. Perawat Febi dengan sigap membantu Laila berdiri. Meski masih harus berpegangan pada kursinya, ia merasa lebih kuat dari sebelumnya. Gaun itu segera dikenakan, dan begitu ia melihat bayangannya di cermin, matanya berbinar.“Cantik sekali,” gumam Laila penuh kagum. Ia memang bukan g
Rosa menatap dua garis merah di test pack dan foto USG yang digenggamnya. Tangannya gemetar. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia merasa bisa mendengarnya sendiri. “Tidak mungkin,” bisiknya, suaranya bergetar. Tapi kenyataan sudah terpampang jelas di hadapannya. Dua garis itu nyata. Ia hamil. Rosa merosot ke lantai kamar mandi, punggungnya bersandar pada dinding dingin. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Ia menggigit bibir, menahan isakan yang hendak pecah. Ini semua gara-gara malam itu. Malam yang seharusnya tidak pernah terjadi. Rosa merutuki kebodohannya sendiri. Tapi yang sudah terjadi tak bisa diubah. Ia berpikir semuanya akan berlalu begitu saja. Rosa wanita yang cerdas. Ia bahkan meminum obat kontrasepsi setelah melakukan hubungan terlarang itu. Ia juga tidak mau hamil di luar nikah. Namun ternyata takdir berkata lain. Sekalipun, ia berusaha menolak, takdir memiliki cara sendiri untuk datang.Rosa menutup matanya rapat-rapat. Napasnya tersengal. “Apa
Senyum Rahes perlahan muncul. Ia mengangguk dan kembali menatap Ali. “Jika ini yang terbaik untuk Laila, aku merestui.”Sulis yang sejak tadi menunggu momen ini, segera membuka kotak beludru yang dibawanya. Di dalamnya, terdapat cincin emas putih bertatahkan berlian kecil yang berkilau di bawah cahaya lampu. Dengan penuh kelembutan, Sulis mengambil cincin itu dan berlutut di depan Laila.“Laila, izinkan aku mewakili Beryl untuk menyematkan cincin ini di jarimu sebagai tanda bahwa kau telah menjadi calon menantuku,” kata Sulis dengan suara bergetar penuh haru.Laila menatap cincin itu dengan mata berbinar, lalu perlahan mengulurkan tangannya. Dengan hati-hati, Sulis menyematkan cincin itu di jari manisnya. Suasana dipenuhi rasa haru, terutama bagi Yuda yang tanpa sadar menitikkan air mata bahagia.Yuda merasa bermimpi jika gadis kecil yang dibesarkan olehnya ternyata sudah ada yang melamar. Namun ia merasa senang sekali. Ia berpikir jika Laila menikah dengan Beryl maka ia juga akan mud
Rosa menghela nafas, lalu melangkah mundur, membiarkan Pasha masuk ke dalam kamar sempitnya. Begitu pintu tertutup, keheningan menyelimuti mereka berdua. Pasha berdiri canggung di tengah ruangan, sementara Rosa berjalan ke meja kecil di sudut kamar, mengambil segelas air, lalu meneguknya tanpa tergesa-gesa.Kemudian ia pun membawakan air minum untuk Pasha.“Ada yang mau kamu omongin?” tanya Rosa akhirnya setelah menaruh nampan berisi segelas air minum.Pasha mengembuskan napas panjang menatap Rosa yang duduk di sebelahnya. “Rosa, aku... aku ingin minta maaf.”Rosa menoleh padanya, mata gelapnya menelisik. “Untuk apa?”Pasha mengatupkan rahangnya, merasa semakin bersalah. “Untuk tadi malam. Aku seharusnya... aku seharusnya lebih kuat menahan diri. Aku merasa bersalah. Aku ingin bertanggung jawab.”Rosa tersenyum kecil, tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. Ia meletakkan gelasnya kembali ke meja, lalu berjalan mendekat. “Kenapa kamu merasa bersalah?” tanyanya pelan. “Karena kamu pikir
Pasha terbangun dengan kepala berat. Pandangannya masih kabur, tubuhnya terasa lelah. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Tapi ingatannya seperti kepingan puzzle yang tidak bisa tersusun dengan benar. Ia menoleh ke samping. Kosong.Pasha mengangkat tubuhnya perlahan, menyandarkan kepala ke sandaran tempat tidur. Kamar ini bukan kamarnya. Ia menatap langit-langit, mencoba mengingat sesuatu. Samar-samar, ia mengingat seseorang bersamanya tadi malam. Sosok seorang wanita. Tapi siapa?Tangannya meraba ke meja di samping tempat tidur, mengambil ponselnya. Saat ia membuka layar, sebuah pesan masuk dari salah satu temannya.[Pasha, lo aman? Semalam gue lihat Rosa yang anter lo ke hotel. Lo mabuk berat.]Jantungnya berdetak lebih cepat. Rosa? Pasha buru-buru membuka riwayat panggilannya. Ada beberapa panggilan tidak terjawab dan satu panggilan dari Rosa sekitar tengah malam. Ia menelan ludah.“Tidak mungkin…” gumamnya dengan perasaan yang gelisah.
Beryl duduk dengan gelisah di ruang tamu, menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin sejak tadi. Berhadapan dengannya, Rahes duduk dengan sikap yang sedikit terlalu santai untuk seorang pria yang sedang diuji kesabarannya. Rahes baru saja tiba di rumah. Ia langsung menemani pemuda itu di sana. Sementara itu, Laila duduk di sebelah sang ayah dengan perasaan yang tak kalah gugup. “Pak Rahes, aku ingin melamar Laila,” imbuh Beryl akhirnya, dengan nada penuh keyakinan dan percaya diri. Ia sangat yakin jika Laila akan menerima cintanya. Jika tidak, ia akan sedikit memaksa. Lama kelamaan Laila akan jatuh cinta padanya. Begitulah isi kepala pria berhidung bangir itu.Rahes menaikkan sebelah alis, menatap Beryl dengan ekspresi setengah geli, setengah skeptis. “Oh? Langsung ke inti, ya? Aku suka anak muda yang to the point. Sayangnya, aku gak suka anak muda yang gak bisa membaca situasi.”Beryl mengerutkan dahi. “Maksudnya?”Rahes meletakkan cangkirnya dengan bunyi kecil di meja. “Aku baru s
Pukul lima pagi keesokan harinya, Serina dibangunkan oleh suara gong. Bukan alarm lembut di ponselnya, tetapi gong sungguhan yang dipukul oleh salah satu pelayan rumah. GONG! GONG! GONG!Serina terlonjak dari tempat tidur. “APAAN NIH? GEMPA?!”Nadia, sepupunya yang tinggal di rumah itu, menyeringai dari ambang pintu. “Bukan gempa, Sayang. Itu tanda bahwa kita harus bangun dan bersiap.”Serina mengusap wajahnya yang masih mengantuk. “Ini masih subuh! Aku butuh lima jam tidur lagi!”Nadia tertawa. “Selamat datang di rumah Tante Rosalinda!” Serina menggerutu sepanjang jalan menuju halaman belakang, tempat olahraga pagi dilakukan. Di sana, Rosalinda sudah menunggu dengan setelan olahraga yang sangat rapi. Beberapa pelayan rumah tangga juga ikut serta. “Baiklah, kita mulai dengan lari keliling halaman sepuluh putaran,” perintah Rosalinda. Serina terkejut. “Sepuluh?!” “Kalau protes, aku tambah jadi lima belas.”Serina langsung tutup mulut dan mulai berlari, meskipun rasanya seperti