Maaf baru update🙏 karena ada sesuatu hal dengan duta. Happy reading💌
Ruangan kantor tiba-tiba terasa hening. Ayah dan anak terlihat tengah berbincang serius. Percakapan sengit itu diawali oleh keterkejutan sang ayah saat mendengar kabar tentang kondisi perusahaan putranya. “Apa yang kamu lakukan Gala? PT Yudistira Group?”Aldino membentak putranya saat baru tahu langkah yang diambil oleh putranya. Tanpa sepengetahuannya, Manggala mengakuisisi perusahaan Yudistira. Aldino mengira jika putranya itu mengakuisisi perusahaan lain. Manggala mengerjapkan matanya sekali. Ia cukup tersentak kaget melihat reaksi sang ayah. Ia menghela nafas berat. Ia sudah mempersiapkan mentalnya mendapat amukan dari sang ayah.“Papa, sebetulnya,” ujar Manggala namun langsung disambar oleh sang ayah. Membuat pemuda tampan itu menelan salivanya terasa kecut.“Maksud kamu apa? Kamu membeli perusahaan yang sudah bangkrut? Pihak bank mana yang sudah tidak bersedia dipinjami? Investor mana juga yang bersedia mengucurkan dana ke perusahaan itu? Kamu mau jadi hero, Dewa penolong begit
Sepanjang jalan, Laila beristighfar. Ia menyeru nama sang pencipta. Ia takut jika Beryl akan bersikap yang aneh-aneh padanya, misalnya mempermalukannya atau mempersulit pekerjaannya agar ia diusir dari sana. Pikirannya dipenuhi oleh prasangka buruk.“Ingat, Laila! Kamu tidak boleh terpancing emosi saat bekerja! Ini hari pertamamu bekerja. Benar apa kata Ayah. Perusahaan mana yang mau bersedia menerimaku—yang nihil dengan pengalaman kerja.”Laila menyemangati dirinya sendiri. Ke dua tangannya mengepal ke udara. Setelah mengikuti briefing dengan karyawan baru lainnya, hanya Laila yang langsung dipanggil oleh sang atasan.Dengan langkah ragu, gadis itu mengetuk pintu ruangan presdir. Konon menurut rumor yang beranak pinak, CEO perusahaan itu dipegang oleh ayahnya Beryl, Mustafa Ali Basalamah. Beryl– bertugas sebagai wakilnya dan digadang-gadang akan menggantikan posisi ayahnya pada kepemimpinan perusahaan beberapa bulan lagi.Saat Laila berjalan menuju ruangan presdir, seorang pria lang
Jeena menggeram pelan saat Alice mengabaikan permintaannya. Ketika Alice menghentikan laju mobilnya di depan gerbang raksasa sebuah mansion, Jeena turun lebih dulu dari dalam mobil itu lalu pergi meninggalkan Alice dengan terburu-buru. Ia akan menelepon Rosa. Semoga saja Rosa segera mengangkat sambungan telepon darinya. Ia tidak tahu lokasi keberadaannya saat ini. Jeena tidak pernah bepergian sendiri.Namun Alice mencengkram pergelangan tangan Jeena lalu berkata dengan setengah memelas padanya. “Jeena, maafkan aku! Tapi, please masuklah! Aku mohon sebentar saja,”Jeena menoleh dengan tatapan penuh kemarahan. “Aku tidak suka caramu! Aku akan pulang,” jawab Jeena sembari menepis tangan Alice dengan kasar. Wanita bermanik almond itu keberatan dengan cara undangan Alice yang setengah memaksanya.Namun Alice tidak menyerah begitu saja. “Jeena, kumohon! Aku ingin kamu masuk. Hari ini ulang tahun kakakku,” katanya terlihat jujur.Jeena mendengus pelan. “Apa hubungannya denganku? Maksudmu, kam
“Dion, maaf aku tidak tahu kamu berhenti kuliah,” imbuh Jeena saat merasa simpatik pada pemuda berambut pirang yang dulu pertama kali ia temui pada saat awal kuliah. Mereka tidak dekat namun Jeena pernah melihat performa Dion saat menyambut mahasiswa baru. Dion adalah salah satu anak mahasiswa seni tingkat dua.“Tidak apa-apa, Jeena,” jawab pria itu dengan tersenyum tipis. Meskipun ia tersenyum namun siapapun akan menangkap kesedihan yang tersirat dari wajahnya. “Maaf, kenapa kamu tidak melanjutkan studymu? Kamu masih bisa bermain piano,” ujar Jeena terlihat mulai santai. “Sorry, I mean, kamu masih bisa ikut kelas.”Dion terlihat murung saat mendengar komentar Jeena. Jeena menjadi merasa bersalah karena telah salah kata. Jeena hanya berpikir jika seorang difabel sekalipun bisa melakukan aktifitas normal pada umumnya.“Dion, maafkan aku! Aku tidak bermaksud bagaimana. Aku hanya–” imbuh Jeena merasa bersalah. “It’s okay, Jeena,” jawab Dion tidak mempermasalahkannya. Namun, sungguh, ia
Laila merasa risih melihat Serina menggelendot manja pada lengan Beryl. Gadis itu menempel padanya mirip perangko. Ia pun buru-buru memalingkan wajahnya saat mendapat tatapan tak sengaja dari atasannya. Kini mereka sedang berada di dalam kabin pesawat yang membawa mereka menuju Amerika dalam rangka perjalanan bisnis. Mereka akan menghabiskan waktu selama dua minggu di sana.“Mas, maaf ya! Aku pusing. Biasanya aku naik pesawat gak pusing. Tapi sekarang lama banget soalnya jadi pusing,” imbuh Serina merengek pada pria di sampingnya.“Sabar ya! Nanti kita akan istirahat di hotel,” jawab Beryl menahan diri untuk sabar menghadapi Serina yang terlihat manja padanya. Jika tidak mengingat kebaikan Serina yang telah menolong nenek kesayangannya, mungkin Beryl sudah menjauh dari gadis itu. Gadis itu hanya cantik dan berhati besar. Itulah yang membuat Beryl bertahan padanya.“Laila, kamu liatin siapa? Bos ya? Kamu pasti ngiri pada Mbak Serina ya?” Tak ada angin dan tak ada hujan, pria yang tenga
Laila merasa canggung saat ia berada berdua dengan Beryl di resto tempat di mana mereka melakukan dinner.“Ada apa Pak Beryl?” tanya Laila hati-hati. Bahkan ia tidak berani memandang wajahnya. Beryl menarik nafas pelan kemudian mengembuskannya perlahan. “Rabu, kita akan pergi mengunjungi Jeena.”“Serius?”Laila mendongak dengan mata yang berbinar terang. Bulu matanya yang lebat bergerak-gerak dan terlihat sangat indah.Beryl tertegun beberapa detik melihat reaksi Laila.“Kamu boleh pergi,” katanya dengan sedikit tergeragap.Laila menganggukkan kepalanya pelan kemudian pergi meninggalkan Beryl.Keesokan harinya rombongan Beryl menghadiri acara meeting dengan Mr Bernard dengan lancar. Pada malam hari, Beryl dikejutkan oleh kedatangan Pasha dan Manggala yang datang ke hotel di mana ia menginap.“Gue kira lo gak bakalan datang sekarang!” kata Beryl menyambut pelukan Pasha dan Manggala padanya. “Kalian tau? Gue mau kasih kejutan sama Jeena. Rencana pulang event gue mau datang ke apartemen
“Serina, tolong jaga kata-katamu! Kata-katamu bisa bikin orang salah paham,” tegur Laila pada Serina. Sedari tadi Laila merasa geram dan kesal melihat sikap Serina. Mereka berdua tengah berdiri tak jauh dari area taman sembari menunggu Manggala—yang tengah menyusul Jeena.Serina menatap tajam Laila. “Laila, apa maksudmu? Aku hanya bicara spontan. Lagian emang bener kan Mbak Jeena lagi ngobrol dengan pemuda itu? Kita kan gak tahu, selama di sini mungkin dia punya kekasih,” jawab Serina dengan asumsinya. Ia mengusap dagunya lalu melanjutkan kalimatnya. “Kamu tahu, saat ini, tidak ada yang tidak mungkin! Bisa jadi pemuda itu selingkuhan Mbak Jeena. Wajar aja sih, Mbak Jeena itu kan janda! Hum, kamu tau janda seperti apa?”Laila mendesah pelan melihat sifat asli Serina. Selama ini ia salah menilai gadis itu. Ternyata gadis itu manipulatif. Saat ia berada di depan Beryl dan yang lain, ia hanya menampakkan sisi baiknya. Namun di luar dugaan, ternyata di depannya gadis itu terlihat aslinya.
Laila tertegun menatap Beryl yang tiba-tiba menghampirinya. Saat itu ia baru sàdar, mengapa Serina menangis. Ternyata Beryl berada di belakangnya. Tentu saja, telah terjadi kesalahpahaman sebab Beryl hanya mendengar percakapan terakhir di antara Laila dan Serina.Serina tersenyum samar menatap Laila yang terlihat diam dan kaget karena Beryl baru saja bicara dengan nada yang menyentaknya.“Dengar, Laila, kamu juga jangan terlalu percaya diri. Kamu bekerja masih dalam tahap probation. Jadi, jaga sikapmu!” peringat Beryl dengan nada tegas. Ia menatap Laila dengan tajam lalu menoleh ke arah Serina dengan tatapan lembut.“Sudah, kamu juga jangan cengeng! Kamu memang bukan lulusan sarjana. Tapi kamu baik hati. Aku gak lihat siapa kamu. Kamu udah rela ngorbanin diri kamu buat nyelamatin Nena. Bagiku, kamu wanita hebat!”Beryl berkata dengan nada lembut di telinga Serina. Ke dua ibu jarinya menyeka air mata gadis itu dengan perhatian. Seketika ia terperangah saat menyentuh keningnya yang panas
“Sayang, mau mandi? Ayo Kakak bantu,” ujar Beryl berniat membantu istrinya. “Jangan mikir macam-macam! Kamu pasti lengket badannya,”Beryl sudah berjanji pada dirinya sendiri, akan merawat istrinya sebaik mungkin.Laila terperangah. Beryl memang serius ingin merawatnya. Namun, ia menahan diri. Sebetulnya ia sudah bisa berjalan meskipun belum bisa seperti orang normal. Hanya saja, ia ingin memberikan kejutan padanya. “Bantu aku aja ke kamar mandi,” imbuh Laila dengan tersenyum lembut.Beryl berjongkok lalu mengangkat tubuh Laila ke kamar mandi. Bahkan membawakan pakaian untuknya. Seharian di pelaminan membuat mereka merasa gerah dan berkeringat. Mereka mandi bergantian. Laila keluar dari kamar mandi sudah berganti pakaian dengan piyama lengan panjang. Beryl menyambutnya dengan senyuman yang hangat. Saat Laila mendekat, Beryl menatapnya sejenak. Selain Laila, Beryl juga belum terbiasa melihat penampilannya tanpa hijabnya. Laila tampak seperti seorang gadis muda berusia tujuh belas ta
Langit Jakarta bertabur cahaya keemasan ketika malam mulai merayap perlahan. Gedung hotel mewah bintang lima itu berdiri megah di antara gedung-gedung pencakar langit lainnya, menjadi saksi sebuah pernikahan yang begitu dinanti. Di dalam aula yang luas, dekorasi bernuansa putih dan emas menyelimuti setiap sudut. Lampu kristal bergemerlapan di atas, sementara lantunan ayat suci Al-Qur’an mengalun syahdu, mengiringi kebahagiaan dua insan yang kini telah sah menjadi suami istri.Laila, dalam balutan gaun syar’i berwarna putih gading, tampak begitu anggun. Wajahnya yang selalu teduh kini berseri lebih dari biasanya. Sementara Beryl, dalam setelan khas pria Timur Tengah, tak bisa menyembunyikan binar bahagianya. Lelaki itu menatap istrinya dengan mata penuh takjub, seolah masih tak percaya bahwa gadis kecil yang dulu pernah ditolongnya kini telah menjadi pendamping hidupnya.Saat itu, keduanya duduk bersisian di pelaminan, menerima tamu yang datang silih berganti. Laila tersenyum lembut,
Laila duduk di ruang tamu rumahnya yang luas. Seorang perancang kondang dari Paris, Madam Coett, tengah sibuk menata beberapa gaun pengantin mewah di hadapannya. Meski masih duduk di kursi roda, Laila kini sudah bisa berjalan meskipun beberapa langkah. Itulah sebabnya, ia sangat bersemangat mencoba satu per satu gaun yang akan dikenakannya saat pesta pernikahannya di Indonesia.“Mademoiselle Laila, saya rasa yang ini akan sangat cocok untuk Anda!” kata Madame Coett sambil mengangkat gaun berlapis renda dengan ekor panjang.Laila tersenyum dan menyentuh lembut kain sutra itu. “Sus, bantu aku berjalan,” perawat Febi, pintanya pada pengasuh setianya. Ia harus berjalan sedikit untuk menatap cermin di depannya. Perawat Febi dengan sigap membantu Laila berdiri. Meski masih harus berpegangan pada kursinya, ia merasa lebih kuat dari sebelumnya. Gaun itu segera dikenakan, dan begitu ia melihat bayangannya di cermin, matanya berbinar.“Cantik sekali,” gumam Laila penuh kagum. Ia memang bukan g
Rosa menatap dua garis merah di test pack dan foto USG yang digenggamnya. Tangannya gemetar. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia merasa bisa mendengarnya sendiri. “Tidak mungkin,” bisiknya, suaranya bergetar. Tapi kenyataan sudah terpampang jelas di hadapannya. Dua garis itu nyata. Ia hamil. Rosa merosot ke lantai kamar mandi, punggungnya bersandar pada dinding dingin. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Ia menggigit bibir, menahan isakan yang hendak pecah. Ini semua gara-gara malam itu. Malam yang seharusnya tidak pernah terjadi. Rosa merutuki kebodohannya sendiri. Tapi yang sudah terjadi tak bisa diubah. Ia berpikir semuanya akan berlalu begitu saja. Rosa wanita yang cerdas. Ia bahkan meminum obat kontrasepsi setelah melakukan hubungan terlarang itu. Ia juga tidak mau hamil di luar nikah. Namun ternyata takdir berkata lain. Sekalipun, ia berusaha menolak, takdir memiliki cara sendiri untuk datang.Rosa menutup matanya rapat-rapat. Napasnya tersengal. “Apa
Senyum Rahes perlahan muncul. Ia mengangguk dan kembali menatap Ali. “Jika ini yang terbaik untuk Laila, aku merestui.”Sulis yang sejak tadi menunggu momen ini, segera membuka kotak beludru yang dibawanya. Di dalamnya, terdapat cincin emas putih bertatahkan berlian kecil yang berkilau di bawah cahaya lampu. Dengan penuh kelembutan, Sulis mengambil cincin itu dan berlutut di depan Laila.“Laila, izinkan aku mewakili Beryl untuk menyematkan cincin ini di jarimu sebagai tanda bahwa kau telah menjadi calon menantuku,” kata Sulis dengan suara bergetar penuh haru.Laila menatap cincin itu dengan mata berbinar, lalu perlahan mengulurkan tangannya. Dengan hati-hati, Sulis menyematkan cincin itu di jari manisnya. Suasana dipenuhi rasa haru, terutama bagi Yuda yang tanpa sadar menitikkan air mata bahagia.Yuda merasa bermimpi jika gadis kecil yang dibesarkan olehnya ternyata sudah ada yang melamar. Namun ia merasa senang sekali. Ia berpikir jika Laila menikah dengan Beryl maka ia juga akan mud
Rosa menghela nafas, lalu melangkah mundur, membiarkan Pasha masuk ke dalam kamar sempitnya. Begitu pintu tertutup, keheningan menyelimuti mereka berdua. Pasha berdiri canggung di tengah ruangan, sementara Rosa berjalan ke meja kecil di sudut kamar, mengambil segelas air, lalu meneguknya tanpa tergesa-gesa.Kemudian ia pun membawakan air minum untuk Pasha.“Ada yang mau kamu omongin?” tanya Rosa akhirnya setelah menaruh nampan berisi segelas air minum.Pasha mengembuskan napas panjang menatap Rosa yang duduk di sebelahnya. “Rosa, aku... aku ingin minta maaf.”Rosa menoleh padanya, mata gelapnya menelisik. “Untuk apa?”Pasha mengatupkan rahangnya, merasa semakin bersalah. “Untuk tadi malam. Aku seharusnya... aku seharusnya lebih kuat menahan diri. Aku merasa bersalah. Aku ingin bertanggung jawab.”Rosa tersenyum kecil, tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. Ia meletakkan gelasnya kembali ke meja, lalu berjalan mendekat. “Kenapa kamu merasa bersalah?” tanyanya pelan. “Karena kamu pikir
Pasha terbangun dengan kepala berat. Pandangannya masih kabur, tubuhnya terasa lelah. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Tapi ingatannya seperti kepingan puzzle yang tidak bisa tersusun dengan benar. Ia menoleh ke samping. Kosong.Pasha mengangkat tubuhnya perlahan, menyandarkan kepala ke sandaran tempat tidur. Kamar ini bukan kamarnya. Ia menatap langit-langit, mencoba mengingat sesuatu. Samar-samar, ia mengingat seseorang bersamanya tadi malam. Sosok seorang wanita. Tapi siapa?Tangannya meraba ke meja di samping tempat tidur, mengambil ponselnya. Saat ia membuka layar, sebuah pesan masuk dari salah satu temannya.[Pasha, lo aman? Semalam gue lihat Rosa yang anter lo ke hotel. Lo mabuk berat.]Jantungnya berdetak lebih cepat. Rosa? Pasha buru-buru membuka riwayat panggilannya. Ada beberapa panggilan tidak terjawab dan satu panggilan dari Rosa sekitar tengah malam. Ia menelan ludah.“Tidak mungkin…” gumamnya dengan perasaan yang gelisah.
Beryl duduk dengan gelisah di ruang tamu, menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin sejak tadi. Berhadapan dengannya, Rahes duduk dengan sikap yang sedikit terlalu santai untuk seorang pria yang sedang diuji kesabarannya. Rahes baru saja tiba di rumah. Ia langsung menemani pemuda itu di sana. Sementara itu, Laila duduk di sebelah sang ayah dengan perasaan yang tak kalah gugup. “Pak Rahes, aku ingin melamar Laila,” imbuh Beryl akhirnya, dengan nada penuh keyakinan dan percaya diri. Ia sangat yakin jika Laila akan menerima cintanya. Jika tidak, ia akan sedikit memaksa. Lama kelamaan Laila akan jatuh cinta padanya. Begitulah isi kepala pria berhidung bangir itu.Rahes menaikkan sebelah alis, menatap Beryl dengan ekspresi setengah geli, setengah skeptis. “Oh? Langsung ke inti, ya? Aku suka anak muda yang to the point. Sayangnya, aku gak suka anak muda yang gak bisa membaca situasi.”Beryl mengerutkan dahi. “Maksudnya?”Rahes meletakkan cangkirnya dengan bunyi kecil di meja. “Aku baru s
Pukul lima pagi keesokan harinya, Serina dibangunkan oleh suara gong. Bukan alarm lembut di ponselnya, tetapi gong sungguhan yang dipukul oleh salah satu pelayan rumah. GONG! GONG! GONG!Serina terlonjak dari tempat tidur. “APAAN NIH? GEMPA?!”Nadia, sepupunya yang tinggal di rumah itu, menyeringai dari ambang pintu. “Bukan gempa, Sayang. Itu tanda bahwa kita harus bangun dan bersiap.”Serina mengusap wajahnya yang masih mengantuk. “Ini masih subuh! Aku butuh lima jam tidur lagi!”Nadia tertawa. “Selamat datang di rumah Tante Rosalinda!” Serina menggerutu sepanjang jalan menuju halaman belakang, tempat olahraga pagi dilakukan. Di sana, Rosalinda sudah menunggu dengan setelan olahraga yang sangat rapi. Beberapa pelayan rumah tangga juga ikut serta. “Baiklah, kita mulai dengan lari keliling halaman sepuluh putaran,” perintah Rosalinda. Serina terkejut. “Sepuluh?!” “Kalau protes, aku tambah jadi lima belas.”Serina langsung tutup mulut dan mulai berlari, meskipun rasanya seperti