Moga suka ceritanya...
Laila tertegun menatap Beryl yang tiba-tiba menghampirinya. Saat itu ia baru sàdar, mengapa Serina menangis. Ternyata Beryl berada di belakangnya. Tentu saja, telah terjadi kesalahpahaman sebab Beryl hanya mendengar percakapan terakhir di antara Laila dan Serina.Serina tersenyum samar menatap Laila yang terlihat diam dan kaget karena Beryl baru saja bicara dengan nada yang menyentaknya.“Dengar, Laila, kamu juga jangan terlalu percaya diri. Kamu bekerja masih dalam tahap probation. Jadi, jaga sikapmu!” peringat Beryl dengan nada tegas. Ia menatap Laila dengan tajam lalu menoleh ke arah Serina dengan tatapan lembut.“Sudah, kamu juga jangan cengeng! Kamu memang bukan lulusan sarjana. Tapi kamu baik hati. Aku gak lihat siapa kamu. Kamu udah rela ngorbanin diri kamu buat nyelamatin Nena. Bagiku, kamu wanita hebat!”Beryl berkata dengan nada lembut di telinga Serina. Ke dua ibu jarinya menyeka air mata gadis itu dengan perhatian. Seketika ia terperangah saat menyentuh keningnya yang panas
Manggala menyusul Jeena dengan mobil sewaan yang dikemudikan olehnya bersama Beryl, Serina dan Laila. Mereka berkumpul di apartemen Jeena sore itu. Terpaksa Jeena menepis segala kegundahgulanaan dirinya karena ada tamu yang mengunjunginya.Manggala, Pasha, Beryl, Serina dan Laila ikut duduk di ruang tamu. Rosa membawakan beberapa kaleng soda dan air minum dingin dari lemari pendingin. “Silahkan minum seadanya!” ucap Jeena menatap Laila lalu Serina yang terlihat bermata sembab. “Maaf ya aku gak punya apa-apa buat nyambut kalian,”“It's okay Mbak Jeena. Aku juga datang ke sini tiba-tiba, gak ngabarin dulu,” jawab Laila tersenyum di balik cadarnya.“Betul apa kata Laila, Mbak Jeena. Kami memang sedang ikut perjalanan bisnis sekalian jenguk Mbak Jeena. Benar kan Laila?” Imbuh Serina menyematkan senyuman manisnya pada Laila.Laila mengabaikan Serina. Alih-alih menjawab pertanyaan Serina, Laila bertanya hal lain pada Jeena. “Mbak Jeena betah gak tinggal di sini?” “Betah gak betah! Masalah
Sepanjang perjalanan terasa hening. Beryl memilih mengunci bibirnya tidak menanggapi perkataan Serina yang berisik. Sementara itu Laila pun memilih diam karena marah pada mereka. Setiba di hotel, mereka segera berganti pakaian dengan pakaian semi resmi karena akan menghadiri undangan dari salah satu pengusaha ternama di sana. Kalingga dan Zuned pun ikut serta merta. Saat petang mereka pergi menuju tempat acara event tahunan tersebut hingga larut malam. Sekitar pukul sebelas malam barulah mereka kembali ke hotel di mana mereka menginap. Mereka pulang ke kamar masing-masing.Laila benar-benar malas jika harus sekamar dengan Serina. Melihat sikapnya yang menyebalkan membuatnya tak nyaman.Di dalam kamar hotel itu ada dua bed yang terpisah. Meskipun Laila dan Serina tidur sekamar namun mereka seperti orang asing. Serina sudah berganti pakaian dengan piyama satin berlengan pendek dan sedang mengaplikasikan skincare pada wajahnya. Sementara itu Laila sudah mengenakan gamis yang tertutup ba
Jeena tercengang saat melihat pemandangan di salah satu taman kota terbesar di Manhattan. Ia belum pernah datang ke sana sebelumnya. Bagaimana bisa Manggala tahu tempat yang indah di sana.“Mas, kamu kok bisa tau sih ada spot indah di sini?”Jeena turun dari mobil dengan mengedarkan pandangannya ke segala arah. Senyumannya melengkung indah mirip bulan sabit.Meskipun landskap di sekitarnya terlihat sangat indah, namun Manggala lebih memilih keindahan dari wajah wanita yang dicintainya. Tak ada yang lebih indah dari kekasih hatinya. Ia mengambil kamera dan langsung memotret Jeena secara candid. Sungguh, baginya Jeena adalah gadis tercantik yang pernah ia lihat. Mungkin cara pandangnya dipengaruhi oleh hatinya. Ia menganggap wanita paling cantik di dunia selain ibunya ialah calon istrinya. “Mas!”Jeena melambaikan tangannya ke arahnya. Manggala seketika tertawa pelan. “Apa Sweetie?”Mendengar panggilan manis, Jeena buru-buru menormalkan suasana hatinya yang seringkali cepat terhipnoti
“Bagaimana? Indah gak?” Pasha turun dari dalam mobil setengah meloncat. “Ini pilihan Gala,”“Indah, Tuan muda,” jawab Rosa kemudian ia pun ikut turun menyusul Pasha yang sudah lebih dulu tiba di salah satu taman kota di sana. Rosa pernah pergi ke sana hanya saja tidak sampai menjelajahi bagian dalamnya.“Ros, belum pernah ke sini?”Pasha memperhatikan wanita bertubuh tinggi di depannya yang terlihat mematung tidak semangat.Rosa mendengus pelan. “Mau ngepod ya?” tanya Pasha dengan kekehan pelan. “Emang bisa ngepod di depan Jeena?” (Ngepod: ngevape)Rosa mendengus kesal kemudian menampilkan wajah yang seperti orang menderita. “Gak lah,”“Berhentilah Rosa! Dulu, Tante Sulis juga perokok berat saat muda. Dia kena sakit paru-paru apa gitu. Saat dia sudah nikah berhenti soalnya Om Ali ngelarang,” jelas Pasha memperingati Rosa. “Iya, Pak Dokter. Enggak janji,” jawab Rosa dengan menendang batu kerikil ke sembarang arah. “Ini! Ganti permen,” seru Pasha mengeluarkan beberapa permen coklat d
Manggala yang mendengar ucapan Sagara langsung merenggut kesal. Ia tahu pasti Danar akan memanfaatkan Sagara agar bisa mendekati Jeena kembali. Ia mendengus kesal lalu berdehem pelan.[Gara, kamu sehat Nak? Kamu jaga kesehatan ya!]Jeena menatap putranya dengan mata yang berembun. Ia sangat merindukan putranya. Sudah sebulan ia tidak bertemu dengannya.Sagara lantas tersenyum dan melambaikan tangannya pada Jeena. [Dah, Mama! Aku main dulu sama Papa,]Jeena memberikan kecupan jarak jauh pada putranya. Saat Jeena hendak berpamitan pada putranya, Manggala menggeser duduknya hingga ia menatap Sagara di balik layar ponsel Jeena.[Halo, Gara!]Manggala menyapa Sagara dengan santai. Sementara itu Jeena hanya mengerutkan keningnya melihat sikap Manggala. Jeena akhirnya menggeser ponselnya agar Manggala juga bisa bertatap muka dengan putranya.[Papa Gala! Papa gak ajak Gara?] Suara anak lelaki tampan itu terdengar jernih. Ia senang bisa melihat Manggala namun merasa kesal karena Manggala tid
“Bagaimana Nona? Apakah hari ini menyenangkan?”Rosa bertanya pada Jeena yang terlihat sumringah setelah melakukan piknik bersama orang-orang tersayang. Kini mereka sudah tiba di apartemen dan bersiap-siap akan makan malam bersama. Jeena mengangkat mata dan menggerakan ke dua sudut bibirnya. “Aku happy banget hari ini. Meskipun awalnya aku kesal sama Mas Gala. Dia pria pencemburu ternyata,” Mendengar curhatan Jeena tentang calon suaminya, Rosa terkekeh pelan. Begitulah drama yang terjadi dalam hubungan sepasang kekasih.“Ada yang lucu?” tanya Jeena dengan dahi yang berkerut. Ia memperhatikan Rosa yang tertawa mendengar curhatannya.Wanita tomboy itu mengusai rambutnya yang bergaya bob beberapa kali lalu berkomentar.“Enggak, dia itu cemburuan. Berarti dia itu sayang banget dong sama Nona,” jelas Rosa dengan asumsinya. “Cemburunya juga masih tahap wajar kok,”“Aku tau kok. Tapi dia kelihatan berlebihan aja. Aku kan malu di depan Dion. Kesannya aku dan Dion selingkuh gitu,” jelas Jeena
Malam itu Jeena tidak bisa tidur. Ia juga tidak bisa mengobrol dengan putranya seperti biasanya. Sagara sedang menginap di rumah Danar. Danar meminta ijin pada Jeena agar Sagara menginap di rumahnya sehari. Karena tak ingin mengecewakan putranya, ia pun mengijinkan. Sesungguhnya, Jeena masih menaruh rasa benci pada pria itu. Namun dalam sudut hatinya, ia merasa simpatik padanya melihat kondisinya saat ini.Jeena sedang asik memainkan piano di dalam ruang musik yang kedap udara. Kemampuan pianonya semakin terasah. Selain itu, Jeena kini mulai menciptakan lagu-lagu sendiri dengan pianonya. Kemampuannya dalam membuat lagu dan bernyanyi semakin membuatnya lebih bersemangat dalam bermusik. Ia ingin seperti ibunya menjadi pianis terkenal dari ASIA.Pada acara Amal yang diadakan oleh pihak kampus, ia akan melakukan debut pertamanya bersama Dion. Itulah alasan mengapa ia marah pada Manggala karena perihal cemburu itu. Kapan lagi untuk seorang mahasiswa baru mendapat kesempatan pihak kampus un
Sepuluh Tahun KemudianLangit pagi itu cerah di kawasan perbukitan tempat kediaman keluarga Manggala berdiri megah. Rumah bergaya modern tropis dengan sentuhan klasik itu dikelilingi taman bunga dan pepohonan rindang, dibangun oleh Aldino, sang kakek yang visioner. Di halaman belakang, terdengar suara tawa anak-anak dan langkah kaki berlarian.Kini Manggala mengambil alih perusahaan sang ayah, sedangkan Jeena menjadi seorang pianis seperti ibunya. Ia juga bahagia menjadi seorang ibu dari empat orang anak. “Mas Sagara! Tunggu aku dong!” seru Bintang, bocah sepuluh tahun yang berusaha mengejar kakaknya.Sagara menoleh sambil tertawa. “Cepat dong, Bintang! Katanya mau lomba lari?”Dari balik pintu kaca, dua gadis kembar berambut panjang hitam–berusia tujuh tahun, Savana dan Aurora, berseru bersamaan, “Mamaaa! Mas Sagara gak mau ajak kita main!”Jeena, yang tengah menyiram bunga, menoleh sambil tersenyum. “Kalian gak usah ikut main lari-larian. Kalian bisa kan main yang lain,”Savana dan
Tiga minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu.Alby akhirnya pulang ke Jakarta. Ia masih lemah, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi kesadarannya sudah kembali. Dan itu saja sudah cukup membuat seluruh keluarga menghela napas lega.Di kamar yang tenang, Alby perlahan duduk di sisi ranjang. Levina sigap menopangnya.“Kamu yakin udah kuat buat berdiri?” tanyanya pelan, seolah takut suaranya akan membuat Alby goyah.Alby tersenyum tipis. “Aku nggak selemah itu, Lev… Tapi kalau kamu tetap mau di sini, aku nggak keberatan.”Senyum itu begitu lemah, tapi cukup untuk menggetarkan hati Levina. Ia membalas tatapan itu dengan lembut, menyembunyikan guncangan di dadanya. Sejak hari pertama Alby tak sadarkan diri, Levina tidak pernah meninggalkan sisinya.Ia bertahan, bahkan ketika dokter kehilangan harapan. Dan, keluarga Basalamah mengabaikannya. “Lev,” suara Alby pelan.Levina menoleh cepat. “Hmm?”“Makasih ya… sudah rawat aku.”Alby menatap Levina dengan senyum tipis.Levina diam kemudian m
RS Bali International Cahaya lampu rumah sakit memantul di lantai keramik yang licin, menciptakan suasana dingin dan sepi. Di balik pintu ICU yang tertutup rapat, Alby tengah berjuang mempertahankan hidupnya. Tubuhnya penuh luka, sebagian tulangnya retak, dan kepalanya mengalami trauma berat akibat benturan keras dalam kecelakaan.Di ruang tunggu ICU, suasana dipenuhi ketegangan.Dokter Bagas, ahli bedah saraf yang menangani Alby, keluar dengan wajah serius langsung mengabari kondisi Alby saat ini pada keluarga; Sulis-Ali, Beryl, Ana-dr Zain, dan Manggala-Jeena yang langsung terbang ke Bali setelah mendapat kabar buruk mengenai kecelakaan yang menimpa Alby.Dokter Bagas berkata. “Kami sudah melakukan tindakan penyelamatan secepat mungkin. Alby mengalami pendarahan hebat di otak serta beberapa patah tulang rusuk yang melukai paru-paru kirinya. Kami telah memasang ventilator dan melakukan dekompresi kranial untuk mengurangi tekanan pada otaknya.”Tak ada yang berbicara. Wajah Ali pucat,
“Hari ini mendadak sepi, ya?”Levina menoleh. Alby ada di sampingnya, berjalan santai di antara deretan pohon mahoni yang mulai meranggas. Cahaya senja memantulkan rona keemasan di wajah mereka, menciptakan siluet yang tenang namun menyimpan gelombang perasaan yang tak terucap.Alby menatap tunangannya dengan lembut. Banyak hal ingin ia katakan, tapi belum waktunya. Ia hanya meraih jemari Levina dan menggenggamnya erat. Namun, kali ini Levina tidak menolak. Ia tahu harus berpura-pura menjadi kekasih Alby dengan sebaik mungkin.“Besok kita menikah. Tapi hari ini… izinkan aku jujur.”Alby menatap Levina dari samping. Meskipun Levina selalu menampilkan wajah dengan minim ekspresi, di matanya gadis itu terlihat cantik. Mungkin wanita tercantik yang pernah ia sukai. Ia menyukai segala hal tentang dirinya. Entah sejak kapan, Ia mulai merasakannya. Alih-alih merespon perkataan Alby, Levina menatapnya dalam. “Aku dengar kau sudah melaporkan Bella dan Roger.”Alby mengangguk pelan. “Aku rekam
“Lihat nih! Komennya udah tembus sepuluh ribu. Gila, Bella, kamu viral!”Manager Bella, seorang wanita berkacamata bernama Fara, tertawa kecil sambil menyodorkan ponsel ke arah kliennya. Di layar, unggahan Bella sedang dibanjiri komentar dan likes. Foto-foto kontroversial dengan Alby—yang sengaja diposting ulang oleh akun fanbase-nya, membuat namanya melejit dalam semalam.Bella tersenyum tipis, membolak-balik notifikasi dengan santai.“Ya... kalau skandal bisa bikin aku trending, kenapa nggak?” ujarnya ringan.Fara menyikut lengannya. “Kamu jahat juga, ya.”Bella menjawab dengan anggukan percaya diri. “Dunia hiburan bukan tempat buat yang terlalu baik.”Namun sebelum mereka bisa tertawa lagi, pintu studio tempat mereka santai tiba-tiba terbuka keras.BRAK!Keduanya terlonjak kaget. Di ambang pintu, berdiri Alby dengan sorot mata yang tak pernah Bella lihat sebelumnya—dingin, tajam, dan penuh kemarahan yang ditekan.“Untuk apa kamu lakukan ini, Bella?”Nada suaranya rendah, tapi mengge
“Astaga, Bella, sialan!” gumam Alby saat melihat layar ponselnya. Foto-foto itu terpampang jelas. Ia dan Bella terlihat terlalu dekat. Mereka seperti sepasang kekasih.Skandal itu tersebar begitu cepat. Akun-akun gosip di X dan I*******m berebut menaikkannya, sementara bot-bot anonim memperkeruh suasana dengan komentar tajam dan spekulasi kejam. Nama Alby mendadak trending, bukan karena prestasi, tapi karena ciuman yang tak pernah benar-benar terjadi.Dengan geram, Alby melemparkan ponselnya ke meja. Ia ingin menyangkal semua ini, tapi bagaimana? Mata kamera tidak pernah peduli pada kebenaran—hanya pada apa yang terlihat.Ponselnya bergetar. Nama “Mommy” tertera di layar.Sulis tidak pernah menelepon tanpa alasan. Dan kali ini, Alby tahu persis apa yang membuat ibunya menelepon di tengah malam, saat hujan mengguyur kota seperti murka langit yang tak tertahan.Sulis duduk anggun di sofa ruang tamu. Ruangan itu sepi, tapi hawa di dalamnya menggigit seperti salju saat musim dingin. Alby
Di kediaman Mahesa“Levina…” suara Roger terdengar pelan dan penuh simpati saat ia masuk ke dalam ruang tamu di mana Levina sedang duduk, membaca buku.Levina menatapnya, keningnya berkerut. “Roger? Ada apa?”Hubungannya dengan Roger mulai membaik. Keluarga Roger datang dan meminta maaf pada Mahesa atas apa yang telah Roger lakukan.Roger tersenyum lalu duduk bergabung dengan Levina, seolah menimbang-nimbang kata-kata yang ingin ia ucapkan. “Aku mendengar kabar yang cukup mengejutkan.” Ia mencoba menatap Levina dengan ekspresi prihatin, namun dalam hatinya, ada kepuasan yang terselip. “Aku... aku dengar kalau Alby terlibat hubungan dengan seorang penyanyi pendatang baru. Mereka... kedapatan di beberapa tempat bersama. Selingkuh, mungkin.”Levina hanya mengangkat alis. “Oh,” jawabnya singkat, tanpa ekspresi lebih lanjut. “Kapan kamu mendengarnya?”Roger sedikit terkejut dengan respons Levina yang begitu datar. “Baru beberapa hari yang lalu. Sepertinya mereka terlihat sangat dekat. Aku h
Di sebuah lounge hotel mewah, Roger duduk menyilangkan kaki sambil menatap layar ponsel. Di sampingnya, seorang wanita berambut panjang duduk dengan senyum menggoda—Bella, penyanyi pendatang baru yang sedang naik daun.“Jadi... lo cuma mau gue foto bareng dia?” tanya Bella dengan alis terangkat. “That’s it? Gue pikir bakal lebih ekstrem.”Roger tertawa pelan, suaranya tenang namun licik. “Nggak perlu ekstrem. Cukup satu foto. Waktu yang pas, tempat yang pas. Publik akan percaya kalau Alby ternyata sama aja kayak pria lainnya. Dan Levina... perempuan dengan prinsip seperti dia? Dia akan mundur sendiri.”Bella mengangkat bahu. “Easy. Asal bayarannya sepadan.”Roger menyerahkan sebuah cek yang sudah ditandatangani olehnya. “Lihat sendiri.”Bella tersenyum licik. “Deal.”Roger bersandar, lalu menyesap kopinya. Matanya menatap kosong ke depan. “Sorry, Alby... Aku lebih dulu kenal Levina. Dan aku nggak akan biarin kamu ambil Levina,” Roger sudah mendengar kabar tentang Levina yang sudah di
Rumah besar keluarga Ana Basalamah sore itu lebih sunyi dari biasanya. Dedaunan bergerak pelan ditiup angin, dan cahaya matahari yang menembus kaca jendela membuat ruangan terlihat hangat—meski hati sebagian penghuninya masih membeku.Di ruang keluarga, Sagara duduk di atas karpet bulu berwarna krem. Bocah empat tahun itu memeluk boneka dinosaurus hijau miliknya. Matanya masih sembab, dan tak ada satu pun senyum terukir di wajah kecilnya.Pasha duduk tak jauh darinya, memangku salah satu putra kembarnya—Rayyan—yang tengah bermain mobil-mobilan sambil tertawa sendiri. Di sisi lain, Rosa menggendong Rafael yang baru saja tertidur di pangkuannya. “Gara,” panggil Pasha dengan suara pelan.Sagara menoleh perlahan. Ia belum sepenuhnya nyaman, belum juga paham sepenuhnya apa yang terjadi dengan ayahnya.Pasha mencoba tersenyum. “Papa Pasha bawa mainan, mau lihat?”Bocah itu hanya mengangguk kecil. Pasha mengeluarkan satu set puzzle binatang dari dalam tasnya.“Coba tebak ini apa?” Ia mengang