Selamat membaca gaess Kisah cinta segitiga di antara ke dua orang tua Manggala dan Jeena ada di Novel Sebelah, Istri Rahasia Kepala Sekolah Cerita romansa, penuh misteri, aksi dan emosional.
Di luar kediaman Jeena, dua orang gadis bersitatap dengan wajah kaget. Ke duanya dipertemukan di sana karena sebuah undangan. “Serina!” seru gadis bercadar saat tatapannya bertemu dengan sosok gadis dalam balutan pashmina berwarna merah muda. Gadis berjilbab merah muda pun sedikit terkesiap melihat temannya. “Laila!” Ke duanya tampak terkejut. Hanya saja, Laila terkejut bahagia karena bisa bertemu dengan Serina yang dianggap temannya. Sementara itu, Serina terkejut dan kesal karena Laila bisa datang ke acara Jeena. Apa hubungan Laila dengan Jeena atau keluarga Basalamah?“Kamu ngapain di sini?” tanya Serina spontan. Mana boleh Laila hadir ke acara itu. Pasti kebohongannya akan terungkap jika Laila menghadiri acara pertunangan Jeena dan Manggala.“Kamu juga?” tanya Laila dengan kekehan pelan. “Ya Allah, takdir ya! Kita ketemu terus. Padahal aku tidak menyimpan nomormu,”“Aku diundang oleh Mas Beryl,” jawab Serina dengan raut wajah yang cemas. Mendadak ia merasa gugup. Ia harus bisa m
“Makasih, Mbak,” imbuh Laila pada seorang wanita bertubuh jangkung yang mempersilakannya masuk. Kebetulan saat itu Rosa sedang mendapat giliran patroli, memantau tamu siapa saja yang masuk ke dalam kediaman majikannya.Bertepatan Rosa keluar, Laila berada di sana sehingga Laila akhirnya bisa dipersilakan masuk. Rosa sudah mengenal Laila sebelumnya, karena Jeena juga sudah menceritakan tentang gadis itu padanya.“Sama-sama,” jawab Rosa dengan tersenyum tipis. Wanita cantik yang kini terlihat manglingi, karena memakai kebaya yang membalut tubuh rampingnya menuntun Laila masuk ke dalam hunian mewah tersebut.Laila sampai menganga melihat rumah besar nan mewah yang telah disulap menjadi sebuah venue lamaran. Hingga tanpa sàdar, ia menganga karena takjub. Terlihat kampungan memang, namun ia memang cukup ekspresif sehingga dengan begitu mudah mengekspresikan perasaannya. Beruntung ia memakai cadar sehingga tidak ada orang yang tahu raut dan wajah aslinya yang cantik.“Oalah, aku menghadiri a
“Gue gak butuh uang lo!” tukas Laila kemudian menegakkan tubuhnya dan menatap nyalang pemuda di hadapannya. “What? Kok malah nyolot sih,” jawab Beryl merasa tak terima dengan respon Laila.“Pikir aja sendiri,” imbuhnya dengan menghentakkan kakinya kesal. Ia kemudian pergi meninggalkan Beryl dan langsung menghampiri Jeena—yang kebetulan sudah turun dari panggung itu.“Selamat!” ucap Laila memeluk Jeena dengan penuh haru. Kemudian ia melirik ke arah Manggala–yang terlihat heran melihat kedatangannya.“Aku yang undang, Laila, Mas,” seru Jeena saat melihat raut tampan tunangannya.Manggala manggut-manggut dan tersenyum ke arah Laila. “Jadi kalian udah akrab nih,”Laila menatap Jeena yang juga menatapnya. Kemudian Jeena tertawa. “Iya, kami berteman sekarang. Laila seperti adikku, Mas,”Jeena tidak mengatakan pada siapapun kalau Laila adalah tutor online bahasa Inggris.“Betul, Mas Gala. Sekarang kami berteman,” jawab Laila terdengar ceria.“Kamu dengan siapa ke sini? Jauh-jauh dari Bogor,”
Beberapa hari setelah acara pertunangan adalah waktu keberangkatan Jeena menuju Manhattan. Sang ibu sudah mempersiapkan segalanya untuk putrinya. Ia sudah membeli sebuah unit apartemen yang akan ditinggali oleh Jeena selama berada di sana.Bulan pertama, ia juga akan ikut tinggal memboyong serta merta Sagara di sana. Ia mengambil liburan lebih awal dari jadwal manggungnya di beberapa tempat konser yang berkolaborasi dengan penyanyi tanah air demi membersamai putrinya.Ana seorang ibu yang pengertian. Mungkin bagi Jeena tak mudah tinggal di luar negeri berbeda dengannya yang sudah pernah tinggal lama di sana. Itulah alasan mengapa wanita berhidung bangir itu akan menemaninya untuk sementara waktu.Sayang, Manggala tidak bisa ikut mengantar keberangkatan kekasihnya itu. Ia sedang berada di Salatiga menemani sang ayah bertemu dengan investor. Manggala berusaha gencar meluluhkan hati sang ayah yang masih belum sepenuhnya memberikan restunya pada hubungannya dengan Jeena.Kata-kata restu it
“Kamu membunuh sembarang orang! Kamu penjahat! Kamu memang iblis! Kamu membunuh orang hanya karena kesalahan kecil!” pekik Yasmin dengan suara yang bergetar hebat.Miguel tidak bisa terima perkataan Yasmin. Ia menggeram pelan lalu berkata dengan penuh penekanan padanya. “Kamu bilang kesalahan kecil? Dia mencoba mendekati wanitaku, kamu bilang kesalahan kecil?”Tangisan Yasmin tumpah ruah. Ia benar-benar ketakutan. Ia merasa syok karena melihat dengan mata kepala sendiri Miguel menembak salah satu anak buahnya karena berusaha mendekati Yasmin.Saat itu Yasmin hanya mengajak mengobrol pria itu, berusaha bernegosiasi dengannya, ingin melarikan diri dari situasi itu. Naasnya, pria itu tidak bersedia menolongnya. Alih-alih berniat membantunya keluar dari apartemen atasannya, ia justru mencoba menggoda Yasmin.Miguel yang melihat kedekatan mereka langsung murka. Ia menodongkan pistol dan langsung menghabisi nyawa bawahannya dengan begitu mudahnya.“Yasmin! Ayo!”Miguel berkata dengan nada g
Jeena terlihat senyum sendirian setelah mendapat panggilan teleconference. Ana penasaran mengapa putrinya terlihat ceria dan antusias. Dengan siapakah ia melakukan video teleconference tersebut?Mungkin dengan kekasihnya yang saat ini berada di tanah air.“Gara, Mama ngobrol dengan siapa? Kelihatan seru banget,” tanya Ana sembari menoel-noel lengan anak lelaki tampan itu–yang terlihat sedang menyusun mainan berbahan balok kayu.Sagara asik bermain di atas playmate ditemani oleh babysitter Linda. Anak itu terlihat senang menyusun mainan kemudian membongkarnya lagi. Seringkali mainan serupa kendaraan, mobil, motor dan truk rusak, tidak bertahan lama karena dibongkar olehnya. Oleh karena itu, Jeena berinisiatif memberikan mainan berupa puzzle, Lego dan apapun mainan edukasi yang bisa disusun kembali.Mendengar neneknya bertanya padanya Sagara hanya menoleh sesaat lalu mengedikkan pundaknya. Bahasa tubuhnya yang alami sungguh terlihat menggemaskan. Rupanya, anak itu tidak senang diganggu
Wanita bermanik almond itu terkesiap saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu.Satu buket bunga mawar putih yang besar tampak menyambutnya. Seorang pria memegang buket bunga di depannya hingga menutupi wajahnya.Jeena mengira jika dia adalah seorang pria yang salah alamat atau seorang kurir ekspedisi.Wanita satu anak itu berkata dalam bahasa asing. "Sorry, I didn't order a bouquet of flowers. Maybe you have the wrong address.""No! I don't have wrong address,” jawab pria itu lalu menyingkirkan buket bunga dari wajahnya.Ke dua bola mata Jeena membola tatkala melihat siapa yang datang malam itu."Mas Gala?"Perasaan Jeena campur aduk. Ia senang sekaligus terkejut akan kedatangan kekasih hatinya."I'm coming, Sweety," imbuh Manggala dengan kekehan pelan. Sungguh, ia sangat merindukan wanita muda di hadapannya. Ingin sekali memeluknya jika tidak tahu diri. Oleh karena itu ia berusaha menahan diri untuk tidak memperlihatkan perasaannya yang membuncah bahagia."Aku gak disuruh masuk
“Mami, menurutmu, tunik hijau atau putih?” Jeena memperlihatkan dua buah tunik di hadapan wajah ibunya. Ia terlihat kebingungan saat memilihnya. Pagi itu ia bersiap-siap akan pergi bersama sang kekasih hati untuk sarapan bersama seperti kesepakatan semalam.Ana mengulum senyum melihat gerak gerik putrinya. Ia teramat bersyukur melihat kini Jeena bisa menjemput bahagianya. Sebetulnya, ia sama sekali tidak keberatan jika Manggala mengajaknya menikah langsung. Toh, dengan asumsi jika Manggala bisa menjamin kebahagiaan putrinya mengingat dengan segala kekayaan yang dimilikinya. Namun, di luar dugaan, Jeena ternyata memiliki keyakinan yang teguh. Ia benar-benar ingin merengkuh mimpinya sebelum menjalin hubungan yang baru.“Menurut Mami, Jeena pakai tunik putih. Setahu Mami, Manggala suka pake hem putih. Coba perhatiin!” jawab Ana seraya mengambil tunik berwarna hijau yang dipegang oleh putrinya. Ia pun menaruh kembali tunik berwarna hijau itu ke dalam lemari.Jeena mengerutkan keningnya, m
“Sayang, mau mandi? Ayo Kakak bantu,” ujar Beryl berniat membantu istrinya. “Jangan mikir macam-macam! Kamu pasti lengket badannya,”Beryl sudah berjanji pada dirinya sendiri, akan merawat istrinya sebaik mungkin.Laila terperangah. Beryl memang serius ingin merawatnya. Namun, ia menahan diri. Sebetulnya ia sudah bisa berjalan meskipun belum bisa seperti orang normal. Hanya saja, ia ingin memberikan kejutan padanya. “Bantu aku aja ke kamar mandi,” imbuh Laila dengan tersenyum lembut.Beryl berjongkok lalu mengangkat tubuh Laila ke kamar mandi. Bahkan membawakan pakaian untuknya. Seharian di pelaminan membuat mereka merasa gerah dan berkeringat. Mereka mandi bergantian. Laila keluar dari kamar mandi sudah berganti pakaian dengan piyama lengan panjang. Beryl menyambutnya dengan senyuman yang hangat. Saat Laila mendekat, Beryl menatapnya sejenak. Selain Laila, Beryl juga belum terbiasa melihat penampilannya tanpa hijabnya. Laila tampak seperti seorang gadis muda berusia tujuh belas ta
Langit Jakarta bertabur cahaya keemasan ketika malam mulai merayap perlahan. Gedung hotel mewah bintang lima itu berdiri megah di antara gedung-gedung pencakar langit lainnya, menjadi saksi sebuah pernikahan yang begitu dinanti. Di dalam aula yang luas, dekorasi bernuansa putih dan emas menyelimuti setiap sudut. Lampu kristal bergemerlapan di atas, sementara lantunan ayat suci Al-Qur’an mengalun syahdu, mengiringi kebahagiaan dua insan yang kini telah sah menjadi suami istri.Laila, dalam balutan gaun syar’i berwarna putih gading, tampak begitu anggun. Wajahnya yang selalu teduh kini berseri lebih dari biasanya. Sementara Beryl, dalam setelan khas pria Timur Tengah, tak bisa menyembunyikan binar bahagianya. Lelaki itu menatap istrinya dengan mata penuh takjub, seolah masih tak percaya bahwa gadis kecil yang dulu pernah ditolongnya kini telah menjadi pendamping hidupnya.Saat itu, keduanya duduk bersisian di pelaminan, menerima tamu yang datang silih berganti. Laila tersenyum lembut,
Laila duduk di ruang tamu rumahnya yang luas. Seorang perancang kondang dari Paris, Madam Coett, tengah sibuk menata beberapa gaun pengantin mewah di hadapannya. Meski masih duduk di kursi roda, Laila kini sudah bisa berjalan meskipun beberapa langkah. Itulah sebabnya, ia sangat bersemangat mencoba satu per satu gaun yang akan dikenakannya saat pesta pernikahannya di Indonesia.“Mademoiselle Laila, saya rasa yang ini akan sangat cocok untuk Anda!” kata Madame Coett sambil mengangkat gaun berlapis renda dengan ekor panjang.Laila tersenyum dan menyentuh lembut kain sutra itu. “Sus, bantu aku berjalan,” perawat Febi, pintanya pada pengasuh setianya. Ia harus berjalan sedikit untuk menatap cermin di depannya. Perawat Febi dengan sigap membantu Laila berdiri. Meski masih harus berpegangan pada kursinya, ia merasa lebih kuat dari sebelumnya. Gaun itu segera dikenakan, dan begitu ia melihat bayangannya di cermin, matanya berbinar.“Cantik sekali,” gumam Laila penuh kagum. Ia memang bukan g
Rosa menatap dua garis merah di test pack dan foto USG yang digenggamnya. Tangannya gemetar. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia merasa bisa mendengarnya sendiri. “Tidak mungkin,” bisiknya, suaranya bergetar. Tapi kenyataan sudah terpampang jelas di hadapannya. Dua garis itu nyata. Ia hamil. Rosa merosot ke lantai kamar mandi, punggungnya bersandar pada dinding dingin. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Ia menggigit bibir, menahan isakan yang hendak pecah. Ini semua gara-gara malam itu. Malam yang seharusnya tidak pernah terjadi. Rosa merutuki kebodohannya sendiri. Tapi yang sudah terjadi tak bisa diubah. Ia berpikir semuanya akan berlalu begitu saja. Rosa wanita yang cerdas. Ia bahkan meminum obat kontrasepsi setelah melakukan hubungan terlarang itu. Ia juga tidak mau hamil di luar nikah. Namun ternyata takdir berkata lain. Sekalipun, ia berusaha menolak, takdir memiliki cara sendiri untuk datang.Rosa menutup matanya rapat-rapat. Napasnya tersengal. “Apa
Senyum Rahes perlahan muncul. Ia mengangguk dan kembali menatap Ali. “Jika ini yang terbaik untuk Laila, aku merestui.”Sulis yang sejak tadi menunggu momen ini, segera membuka kotak beludru yang dibawanya. Di dalamnya, terdapat cincin emas putih bertatahkan berlian kecil yang berkilau di bawah cahaya lampu. Dengan penuh kelembutan, Sulis mengambil cincin itu dan berlutut di depan Laila.“Laila, izinkan aku mewakili Beryl untuk menyematkan cincin ini di jarimu sebagai tanda bahwa kau telah menjadi calon menantuku,” kata Sulis dengan suara bergetar penuh haru.Laila menatap cincin itu dengan mata berbinar, lalu perlahan mengulurkan tangannya. Dengan hati-hati, Sulis menyematkan cincin itu di jari manisnya. Suasana dipenuhi rasa haru, terutama bagi Yuda yang tanpa sadar menitikkan air mata bahagia.Yuda merasa bermimpi jika gadis kecil yang dibesarkan olehnya ternyata sudah ada yang melamar. Namun ia merasa senang sekali. Ia berpikir jika Laila menikah dengan Beryl maka ia juga akan mud
Rosa menghela nafas, lalu melangkah mundur, membiarkan Pasha masuk ke dalam kamar sempitnya. Begitu pintu tertutup, keheningan menyelimuti mereka berdua. Pasha berdiri canggung di tengah ruangan, sementara Rosa berjalan ke meja kecil di sudut kamar, mengambil segelas air, lalu meneguknya tanpa tergesa-gesa.Kemudian ia pun membawakan air minum untuk Pasha.“Ada yang mau kamu omongin?” tanya Rosa akhirnya setelah menaruh nampan berisi segelas air minum.Pasha mengembuskan napas panjang menatap Rosa yang duduk di sebelahnya. “Rosa, aku... aku ingin minta maaf.”Rosa menoleh padanya, mata gelapnya menelisik. “Untuk apa?”Pasha mengatupkan rahangnya, merasa semakin bersalah. “Untuk tadi malam. Aku seharusnya... aku seharusnya lebih kuat menahan diri. Aku merasa bersalah. Aku ingin bertanggung jawab.”Rosa tersenyum kecil, tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. Ia meletakkan gelasnya kembali ke meja, lalu berjalan mendekat. “Kenapa kamu merasa bersalah?” tanyanya pelan. “Karena kamu pikir
Pasha terbangun dengan kepala berat. Pandangannya masih kabur, tubuhnya terasa lelah. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Tapi ingatannya seperti kepingan puzzle yang tidak bisa tersusun dengan benar. Ia menoleh ke samping. Kosong.Pasha mengangkat tubuhnya perlahan, menyandarkan kepala ke sandaran tempat tidur. Kamar ini bukan kamarnya. Ia menatap langit-langit, mencoba mengingat sesuatu. Samar-samar, ia mengingat seseorang bersamanya tadi malam. Sosok seorang wanita. Tapi siapa?Tangannya meraba ke meja di samping tempat tidur, mengambil ponselnya. Saat ia membuka layar, sebuah pesan masuk dari salah satu temannya.[Pasha, lo aman? Semalam gue lihat Rosa yang anter lo ke hotel. Lo mabuk berat.]Jantungnya berdetak lebih cepat. Rosa? Pasha buru-buru membuka riwayat panggilannya. Ada beberapa panggilan tidak terjawab dan satu panggilan dari Rosa sekitar tengah malam. Ia menelan ludah.“Tidak mungkin…” gumamnya dengan perasaan yang gelisah.
Beryl duduk dengan gelisah di ruang tamu, menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin sejak tadi. Berhadapan dengannya, Rahes duduk dengan sikap yang sedikit terlalu santai untuk seorang pria yang sedang diuji kesabarannya. Rahes baru saja tiba di rumah. Ia langsung menemani pemuda itu di sana. Sementara itu, Laila duduk di sebelah sang ayah dengan perasaan yang tak kalah gugup. “Pak Rahes, aku ingin melamar Laila,” imbuh Beryl akhirnya, dengan nada penuh keyakinan dan percaya diri. Ia sangat yakin jika Laila akan menerima cintanya. Jika tidak, ia akan sedikit memaksa. Lama kelamaan Laila akan jatuh cinta padanya. Begitulah isi kepala pria berhidung bangir itu.Rahes menaikkan sebelah alis, menatap Beryl dengan ekspresi setengah geli, setengah skeptis. “Oh? Langsung ke inti, ya? Aku suka anak muda yang to the point. Sayangnya, aku gak suka anak muda yang gak bisa membaca situasi.”Beryl mengerutkan dahi. “Maksudnya?”Rahes meletakkan cangkirnya dengan bunyi kecil di meja. “Aku baru s
Pukul lima pagi keesokan harinya, Serina dibangunkan oleh suara gong. Bukan alarm lembut di ponselnya, tetapi gong sungguhan yang dipukul oleh salah satu pelayan rumah. GONG! GONG! GONG!Serina terlonjak dari tempat tidur. “APAAN NIH? GEMPA?!”Nadia, sepupunya yang tinggal di rumah itu, menyeringai dari ambang pintu. “Bukan gempa, Sayang. Itu tanda bahwa kita harus bangun dan bersiap.”Serina mengusap wajahnya yang masih mengantuk. “Ini masih subuh! Aku butuh lima jam tidur lagi!”Nadia tertawa. “Selamat datang di rumah Tante Rosalinda!” Serina menggerutu sepanjang jalan menuju halaman belakang, tempat olahraga pagi dilakukan. Di sana, Rosalinda sudah menunggu dengan setelan olahraga yang sangat rapi. Beberapa pelayan rumah tangga juga ikut serta. “Baiklah, kita mulai dengan lari keliling halaman sepuluh putaran,” perintah Rosalinda. Serina terkejut. “Sepuluh?!” “Kalau protes, aku tambah jadi lima belas.”Serina langsung tutup mulut dan mulai berlari, meskipun rasanya seperti