Halo, maaf akhir bulan ini saya sibuk duta. InsyaAllah, mulai besok update double lagi seperti semula.
Malam itu menjadi malam yang indah bagi seorang wanita dan pria yang baru saja mengungkapkan perasaan masing-masing. Embun menjawab pertanyaan Manggala dengan senyuman yang tipis. Senyuman yang menyiratkan bahwa ia bersedia menerima cinta dari seorang pemuda yang telah mengungkapkan perasaan padanya.Manggala memalingkan wajahnya, menahan euforia yang meledak-ledak di balik dadanya. Sempat ia berpikir harapan cintanya hanya sekitar lima puluh persen. Bukan tanpa alasan, selain Embun masih trauma dengan kisah cintanya dengan Danar, ada hal lain yang membuatnya memutuskan untuk menolaknya yaitu soal restu ke dua orang tua mereka. Bukankah ibunya Embun adalah mantan kekasih ayahnya?“Hum, jadi Jeena menerima cinta Mas Gala?”manggala bertanya kembali untuk ke dua kalinya. Baginya, ini seperti mimpi indah.Embun tersenyum melihat ekspresi Manggala yang mirip seorang anak kecil di mana ia baru saja mendapatkan mainan baru yang diinginkannya.Rona merah jambu menyembul di pipi Embun Ganita.
“Kenapa marah-marah? Tolong jaga sikap!”Satria mengingatkan Mita. Semenjak pulang dari pesta ayahnya Manggala, wanita itu terlihat kesal dan murka. Bahkan mereka lebih dulu pulang. Mita merengek pada Satria ingin pulang lebih dulu. Mereka berada di dalam kendaraan milik Satria. Mereka baru saja tiba di depan tower apartemen milik Satria.“Aku bosan saja! Pesta apa di sana? Sama sekali tidak keren! Hanya minuman biasa yang disajikan,” jawab Mita asal. Sebetulnya, yang membuatnya kesal ialah kehadiran Embun. Ia muak melihat Embun kini sudah berada satu level dengannya.Satria menggelengkan kepalanya. Ia juga tahu soal Embun dari Mita yang dulu bercerita padanya. “Honey, kau mau minum vodka? Sampanye? Atau apa?” Jawab Satria dengan menarik sudut bibirnya dengan penuh arti. Mita bisa langsung tahu arah kemana pembicaraannya. “Dasar pria mesum!” umpat Mita namun ia juga tidak bisa memungkiri jika Satria sangat buas di atas ranjang. Ia selalu mengumpatinya namun menikmati permainannya.“Ay
Embun menarik nafas dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Gadis bernama Laila cukup berhasil membuatnya mengalami sport jantung.“Mbak, sariawan?” Laila menatap Embun dengan tatapan interogatif. Kesal juga ketika ia bicara namun tidak ditanggapi oleh wanita bermanik almond di depannya. Padahal ia cukup letih berbincang panjang lebar namun hanya ditanggapi dengan kalimat singkat.Embun menghela nafas pelan. Menghadapi gadis cerewet membutuhkan kesabaran. Sikap gadis itu mengingatkan dirinya pada salah satu sepupunya yang menyebalkan.“Mbak cemburu ya? Bercanda kok? Aku belum mau menikah. Lagipula, aku tidak mau merebut calon suami orang,”Laila meralat perkataannya. Embun yang mendengarnya sampai menganga dibuatnya.Ke dua sudut bibirnya berkedut, Embun hendak mengomentari gadis berisik itu. Namun gadis itu lagi menyambar perkataannya.“Mbak pasti penasaran kan, kenapa aku tahu tentang kalian? Soalnya aku tadi mencuri dengar kalian bicara berbisik-bisik,” katanya dengan santai. Sese
“Ough, Satria, apa yang kaulakukan?” ujar Mita saat Satria menarik kardigan yang dipakainya dengan kasar. Wanita bertubuh jangkung itu cukup kaget melihat tingkah Satria yang tak biasa. Sekalipun sikap pria itu menyebalkan, namun sejauh ini pria itu bersikap lembut padanya dalam keadaan sadar. Kecuali saat pria itu dalam keadaan mabuk.Pria berwajah oriental itu mendengus kesal. Ia pun menarik paksa sebuah benda yang menempel pada cardigan Mita. Sebuah benda kecil namun sangatlah berbahaya.“Kenapa ditarik sih kancingnya?” oceh Mita tak terima dengan sikap Satria. Ia menatap tajam Satria, tidak terima dengan sikapnya. Satria tertegun menatap sebuah benda bulat yang berbentuk mirip pin atau kancing itu. “Sialan! Seseorang menyadap kita, Mita! Seseorang telah mencurigaimu. Bahkan kau tidak menyadarinya.”Mita mengerjapkan matanya sekali dengan wajah bingung. “Apa maksudmu? Penyadap apa?” tanya Mita memperhatikan sekelilingnya, mencari apa yang diucapkan oleh Satria padanya. “Kamarmu tid
Makan malam hari itu terasa hening. Hanya terdengar suara sendok dan garpu yang beradu dan berdenting. Suasana terasa menegangkan. Manggala merasa sang ayah seperti tengah marah padanya. Setelah acara pesta ulang tahun perusahaan, sang ayah masih mendiamkannya.Berawal dari respon Manggala yang mengatakan pada Yuda bahwa ia belum memikirkan soal jodoh. Aldino merasa kecewa karena putranya telah menyinggung perasaan Yuda-sahabatnya. Yuda merasa Aldino telah mengolok-oloknya dan mempermainkannya. Manggala dan ke dua orang tuanya menyantap makan malam dengan tenang. Saat ayahnya terlihat selesai menghabiskan makanannya, Manggala menggerakan ke dua sudut bibirnya. Ia akan membahas soal perjodohan dirinya dengan Laila.Manggala menarik nafas dalam sebagai ancang-ancang. Ia butuh menyiapkan stok kesabaran dan mental yang kuat saat berhadapan dengan sang ayah yang temperamen. Manggala melirik pada ibunya terlebih dahulu. Seolah mengerti apa yang putranya isyaratkan, Malati pun mengangguk pe
Manggala menengok arlojinya lalu kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia mengambil tas ransel kecil miliknya lalu memasukan beberapa benda penting dan pakaian ganti. Ia akan menginap di salah satu hotel miliknya, untuk menenangkan diri.Namun sebelumnya ia berpamitan pada ibunya sebab sang ayah kembali mendiamkannya.“Mama, Gala ada urusan di hotel, paling pulang besok ya,”Manggala memeluk tubuh mungil ibunya dan menciumi wajahnya. Pemuda itu memang sangat menyayangi ibunya. Padahal ibunya sudah tahu tujuan kepergiannya.Malati hanya bisa mendesah pelan melihat reaksi ke dua orang lelaki dalam hidupnya. Baru pertama kali mereka bersitegang. Penyebabnya ialah seorang Jeena Mahira Basalamah.Wanita itu tidak bisa mencegah ke duanya. Ia akan memberikan waktu bagi mereka untuk menenangkan diri. Ia yakin jika Aldino akan merestui hubungan itu pada akhirnya. Bukan tanpa alasan, baginya Manggala adalah satu-satunya putra kesayangannya. “Besok kamu harus pulang. Papa pasti kerepotan pergi ke per
Beryl memergoki Manggala dan Laila di cafe kopi. Ia mengira jika mereka sedang melakukan dating, pendekatan atau apalah untuk saling mengenal di antara mereka.“Gala, gue kecewa sama lo! Gue kira lo cowok baik dan alim. Ternyata lo lebih parah dari yang gue bayangkan. Mempermainkan cewek itu fatal lo tau! Jeena sudah trauma dengan yang namanya cowok. Tapi, lihat lo, Jeena kira lo cowok beda dari yang lain! Eksklusif! Taunya muna lo,” oceh Beryl dengan bernada penuh amarah. Manggala menelan salivanya yang terasa kecut. Tak pernah mengira jika situasi menjadi rumit begitu.Manggala menggerakan ke dua sudut bibirnya. Ia berusaha tenang dan akan memberikan sebuah penjelasan padanya. Namun sebelum suaranya lolos dari bibirnya, Beryl kembali menyambar. “Dan, kamu!”Beryl kini menatap tajam Laila. “Kamu berpenampilan seperti ini? Buka saja cadar dan penutup kepalamu! Malam-malam berduaan dengan yang bukan muhrim, ngafe?? Ngedate?”Beryl menggelengkan kepalanya ribut. Ia mengira jika Manggala
[Sa, kenapa lama sih? Aku kan sudah beres dari klinik.]Jeena terlihat mengomeli kakaknya yang tak kunjung datang menjemputnya saat ia pergi ke salah satu klinik kecantikan terkenal. Hari itu Embun (Jeena) melakukan berbagai macam perawatan tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sebetulnya, ia malas melakukan aktifitas wanita yang menyita uang dan waktu itu, namun sang ibu memaksanya untuk melakukan perawatan sebelum pergi ke luar negeri.[Tunggu ya, Jeena! Sepuluh menit lagi,]Pasha menjawab dengan suara yang memburu di luar sambungan telepon.Jeena hanya mendesah pelan mendengar suara telepon yang terputus tiba-tiba. Wanita pemilik manik almond itu langsung pergi menuju ke area lobi. Ia sudah terlihat segar setelah keluar dari klinik kecantikan. Penampilannya juga kini terlihat memukau dan berkelas. Embun bukan lagi wanita lugu dengan penampilan yang kuyu dan lusuh. Kini ia mirip seorang model berhijab yang wara-wiri di fashion show luar negeri. Ana berperan penting dalam mengu
Sepuluh Tahun KemudianLangit pagi itu cerah di kawasan perbukitan tempat kediaman keluarga Manggala berdiri megah. Rumah bergaya modern tropis dengan sentuhan klasik itu dikelilingi taman bunga dan pepohonan rindang, dibangun oleh Aldino, sang kakek yang visioner. Di halaman belakang, terdengar suara tawa anak-anak dan langkah kaki berlarian.Kini Manggala mengambil alih perusahaan sang ayah, sedangkan Jeena menjadi seorang pianis seperti ibunya. Ia juga bahagia menjadi seorang ibu dari empat orang anak. “Mas Sagara! Tunggu aku dong!” seru Bintang, bocah sepuluh tahun yang berusaha mengejar kakaknya.Sagara menoleh sambil tertawa. “Cepat dong, Bintang! Katanya mau lomba lari?”Dari balik pintu kaca, dua gadis kembar berambut panjang hitam–berusia tujuh tahun, Savana dan Aurora, berseru bersamaan, “Mamaaa! Mas Sagara gak mau ajak kita main!”Jeena, yang tengah menyiram bunga, menoleh sambil tersenyum. “Kalian gak usah ikut main lari-larian. Kalian bisa kan main yang lain,”Savana dan
Tiga minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu.Alby akhirnya pulang ke Jakarta. Ia masih lemah, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi kesadarannya sudah kembali. Dan itu saja sudah cukup membuat seluruh keluarga menghela napas lega.Di kamar yang tenang, Alby perlahan duduk di sisi ranjang. Levina sigap menopangnya.“Kamu yakin udah kuat buat berdiri?” tanyanya pelan, seolah takut suaranya akan membuat Alby goyah.Alby tersenyum tipis. “Aku nggak selemah itu, Lev… Tapi kalau kamu tetap mau di sini, aku nggak keberatan.”Senyum itu begitu lemah, tapi cukup untuk menggetarkan hati Levina. Ia membalas tatapan itu dengan lembut, menyembunyikan guncangan di dadanya. Sejak hari pertama Alby tak sadarkan diri, Levina tidak pernah meninggalkan sisinya.Ia bertahan, bahkan ketika dokter kehilangan harapan. Dan, keluarga Basalamah mengabaikannya. “Lev,” suara Alby pelan.Levina menoleh cepat. “Hmm?”“Makasih ya… sudah rawat aku.”Alby menatap Levina dengan senyum tipis.Levina diam kemudian m
RS Bali International Cahaya lampu rumah sakit memantul di lantai keramik yang licin, menciptakan suasana dingin dan sepi. Di balik pintu ICU yang tertutup rapat, Alby tengah berjuang mempertahankan hidupnya. Tubuhnya penuh luka, sebagian tulangnya retak, dan kepalanya mengalami trauma berat akibat benturan keras dalam kecelakaan.Di ruang tunggu ICU, suasana dipenuhi ketegangan.Dokter Bagas, ahli bedah saraf yang menangani Alby, keluar dengan wajah serius langsung mengabari kondisi Alby saat ini pada keluarga; Sulis-Ali, Beryl, Ana-dr Zain, dan Manggala-Jeena yang langsung terbang ke Bali setelah mendapat kabar buruk mengenai kecelakaan yang menimpa Alby.Dokter Bagas berkata. “Kami sudah melakukan tindakan penyelamatan secepat mungkin. Alby mengalami pendarahan hebat di otak serta beberapa patah tulang rusuk yang melukai paru-paru kirinya. Kami telah memasang ventilator dan melakukan dekompresi kranial untuk mengurangi tekanan pada otaknya.”Tak ada yang berbicara. Wajah Ali pucat,
“Hari ini mendadak sepi, ya?”Levina menoleh. Alby ada di sampingnya, berjalan santai di antara deretan pohon mahoni yang mulai meranggas. Cahaya senja memantulkan rona keemasan di wajah mereka, menciptakan siluet yang tenang namun menyimpan gelombang perasaan yang tak terucap.Alby menatap tunangannya dengan lembut. Banyak hal ingin ia katakan, tapi belum waktunya. Ia hanya meraih jemari Levina dan menggenggamnya erat. Namun, kali ini Levina tidak menolak. Ia tahu harus berpura-pura menjadi kekasih Alby dengan sebaik mungkin.“Besok kita menikah. Tapi hari ini… izinkan aku jujur.”Alby menatap Levina dari samping. Meskipun Levina selalu menampilkan wajah dengan minim ekspresi, di matanya gadis itu terlihat cantik. Mungkin wanita tercantik yang pernah ia sukai. Ia menyukai segala hal tentang dirinya. Entah sejak kapan, Ia mulai merasakannya. Alih-alih merespon perkataan Alby, Levina menatapnya dalam. “Aku dengar kau sudah melaporkan Bella dan Roger.”Alby mengangguk pelan. “Aku rekam
“Lihat nih! Komennya udah tembus sepuluh ribu. Gila, Bella, kamu viral!”Manager Bella, seorang wanita berkacamata bernama Fara, tertawa kecil sambil menyodorkan ponsel ke arah kliennya. Di layar, unggahan Bella sedang dibanjiri komentar dan likes. Foto-foto kontroversial dengan Alby—yang sengaja diposting ulang oleh akun fanbase-nya, membuat namanya melejit dalam semalam.Bella tersenyum tipis, membolak-balik notifikasi dengan santai.“Ya... kalau skandal bisa bikin aku trending, kenapa nggak?” ujarnya ringan.Fara menyikut lengannya. “Kamu jahat juga, ya.”Bella menjawab dengan anggukan percaya diri. “Dunia hiburan bukan tempat buat yang terlalu baik.”Namun sebelum mereka bisa tertawa lagi, pintu studio tempat mereka santai tiba-tiba terbuka keras.BRAK!Keduanya terlonjak kaget. Di ambang pintu, berdiri Alby dengan sorot mata yang tak pernah Bella lihat sebelumnya—dingin, tajam, dan penuh kemarahan yang ditekan.“Untuk apa kamu lakukan ini, Bella?”Nada suaranya rendah, tapi mengge
“Astaga, Bella, sialan!” gumam Alby saat melihat layar ponselnya. Foto-foto itu terpampang jelas. Ia dan Bella terlihat terlalu dekat. Mereka seperti sepasang kekasih.Skandal itu tersebar begitu cepat. Akun-akun gosip di X dan I*******m berebut menaikkannya, sementara bot-bot anonim memperkeruh suasana dengan komentar tajam dan spekulasi kejam. Nama Alby mendadak trending, bukan karena prestasi, tapi karena ciuman yang tak pernah benar-benar terjadi.Dengan geram, Alby melemparkan ponselnya ke meja. Ia ingin menyangkal semua ini, tapi bagaimana? Mata kamera tidak pernah peduli pada kebenaran—hanya pada apa yang terlihat.Ponselnya bergetar. Nama “Mommy” tertera di layar.Sulis tidak pernah menelepon tanpa alasan. Dan kali ini, Alby tahu persis apa yang membuat ibunya menelepon di tengah malam, saat hujan mengguyur kota seperti murka langit yang tak tertahan.Sulis duduk anggun di sofa ruang tamu. Ruangan itu sepi, tapi hawa di dalamnya menggigit seperti salju saat musim dingin. Alby
Di kediaman Mahesa“Levina…” suara Roger terdengar pelan dan penuh simpati saat ia masuk ke dalam ruang tamu di mana Levina sedang duduk, membaca buku.Levina menatapnya, keningnya berkerut. “Roger? Ada apa?”Hubungannya dengan Roger mulai membaik. Keluarga Roger datang dan meminta maaf pada Mahesa atas apa yang telah Roger lakukan.Roger tersenyum lalu duduk bergabung dengan Levina, seolah menimbang-nimbang kata-kata yang ingin ia ucapkan. “Aku mendengar kabar yang cukup mengejutkan.” Ia mencoba menatap Levina dengan ekspresi prihatin, namun dalam hatinya, ada kepuasan yang terselip. “Aku... aku dengar kalau Alby terlibat hubungan dengan seorang penyanyi pendatang baru. Mereka... kedapatan di beberapa tempat bersama. Selingkuh, mungkin.”Levina hanya mengangkat alis. “Oh,” jawabnya singkat, tanpa ekspresi lebih lanjut. “Kapan kamu mendengarnya?”Roger sedikit terkejut dengan respons Levina yang begitu datar. “Baru beberapa hari yang lalu. Sepertinya mereka terlihat sangat dekat. Aku h
Di sebuah lounge hotel mewah, Roger duduk menyilangkan kaki sambil menatap layar ponsel. Di sampingnya, seorang wanita berambut panjang duduk dengan senyum menggoda—Bella, penyanyi pendatang baru yang sedang naik daun.“Jadi... lo cuma mau gue foto bareng dia?” tanya Bella dengan alis terangkat. “That’s it? Gue pikir bakal lebih ekstrem.”Roger tertawa pelan, suaranya tenang namun licik. “Nggak perlu ekstrem. Cukup satu foto. Waktu yang pas, tempat yang pas. Publik akan percaya kalau Alby ternyata sama aja kayak pria lainnya. Dan Levina... perempuan dengan prinsip seperti dia? Dia akan mundur sendiri.”Bella mengangkat bahu. “Easy. Asal bayarannya sepadan.”Roger menyerahkan sebuah cek yang sudah ditandatangani olehnya. “Lihat sendiri.”Bella tersenyum licik. “Deal.”Roger bersandar, lalu menyesap kopinya. Matanya menatap kosong ke depan. “Sorry, Alby... Aku lebih dulu kenal Levina. Dan aku nggak akan biarin kamu ambil Levina,” Roger sudah mendengar kabar tentang Levina yang sudah di
Rumah besar keluarga Ana Basalamah sore itu lebih sunyi dari biasanya. Dedaunan bergerak pelan ditiup angin, dan cahaya matahari yang menembus kaca jendela membuat ruangan terlihat hangat—meski hati sebagian penghuninya masih membeku.Di ruang keluarga, Sagara duduk di atas karpet bulu berwarna krem. Bocah empat tahun itu memeluk boneka dinosaurus hijau miliknya. Matanya masih sembab, dan tak ada satu pun senyum terukir di wajah kecilnya.Pasha duduk tak jauh darinya, memangku salah satu putra kembarnya—Rayyan—yang tengah bermain mobil-mobilan sambil tertawa sendiri. Di sisi lain, Rosa menggendong Rafael yang baru saja tertidur di pangkuannya. “Gara,” panggil Pasha dengan suara pelan.Sagara menoleh perlahan. Ia belum sepenuhnya nyaman, belum juga paham sepenuhnya apa yang terjadi dengan ayahnya.Pasha mencoba tersenyum. “Papa Pasha bawa mainan, mau lihat?”Bocah itu hanya mengangguk kecil. Pasha mengeluarkan satu set puzzle binatang dari dalam tasnya.“Coba tebak ini apa?” Ia mengang