Happy reading gaes, don't forget to leave a love, comments, gems and gift. Thanks.
âKenapa marah-marah? Tolong jaga sikap!âSatria mengingatkan Mita. Semenjak pulang dari pesta ayahnya Manggala, wanita itu terlihat kesal dan murka. Bahkan mereka lebih dulu pulang. Mita merengek pada Satria ingin pulang lebih dulu. Mereka berada di dalam kendaraan milik Satria. Mereka baru saja tiba di depan tower apartemen milik Satria.âAku bosan saja! Pesta apa di sana? Sama sekali tidak keren! Hanya minuman biasa yang disajikan,â jawab Mita asal. Sebetulnya, yang membuatnya kesal ialah kehadiran Embun. Ia muak melihat Embun kini sudah berada satu level dengannya.Satria menggelengkan kepalanya. Ia juga tahu soal Embun dari Mita yang dulu bercerita padanya. âHoney, kau mau minum vodka? Sampanye? Atau apa?â Jawab Satria dengan menarik sudut bibirnya dengan penuh arti. Mita bisa langsung tahu arah kemana pembicaraannya. âDasar pria mesum!â umpat Mita namun ia juga tidak bisa memungkiri jika Satria sangat buas di atas ranjang. Ia selalu mengumpatinya namun menikmati permainannya.âAy
Embun menarik nafas dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Gadis bernama Laila cukup berhasil membuatnya mengalami sport jantung.âMbak, sariawan?â Laila menatap Embun dengan tatapan interogatif. Kesal juga ketika ia bicara namun tidak ditanggapi oleh wanita bermanik almond di depannya. Padahal ia cukup letih berbincang panjang lebar namun hanya ditanggapi dengan kalimat singkat.Embun menghela nafas pelan. Menghadapi gadis cerewet membutuhkan kesabaran. Sikap gadis itu mengingatkan dirinya pada salah satu sepupunya yang menyebalkan.âMbak cemburu ya? Bercanda kok? Aku belum mau menikah. Lagipula, aku tidak mau merebut calon suami orang,âLaila meralat perkataannya. Embun yang mendengarnya sampai menganga dibuatnya.Ke dua sudut bibirnya berkedut, Embun hendak mengomentari gadis berisik itu. Namun gadis itu lagi menyambar perkataannya.âMbak pasti penasaran kan, kenapa aku tahu tentang kalian? Soalnya aku tadi mencuri dengar kalian bicara berbisik-bisik,â katanya dengan santai. Sese
âOugh, Satria, apa yang kaulakukan?â ujar Mita saat Satria menarik kardigan yang dipakainya dengan kasar. Wanita bertubuh jangkung itu cukup kaget melihat tingkah Satria yang tak biasa. Sekalipun sikap pria itu menyebalkan, namun sejauh ini pria itu bersikap lembut padanya dalam keadaan sadar. Kecuali saat pria itu dalam keadaan mabuk.Pria berwajah oriental itu mendengus kesal. Ia pun menarik paksa sebuah benda yang menempel pada cardigan Mita. Sebuah benda kecil namun sangatlah berbahaya.âKenapa ditarik sih kancingnya?â oceh Mita tak terima dengan sikap Satria. Ia menatap tajam Satria, tidak terima dengan sikapnya. Satria tertegun menatap sebuah benda bulat yang berbentuk mirip pin atau kancing itu. âSialan! Seseorang menyadap kita, Mita! Seseorang telah mencurigaimu. Bahkan kau tidak menyadarinya.âMita mengerjapkan matanya sekali dengan wajah bingung. âApa maksudmu? Penyadap apa?â tanya Mita memperhatikan sekelilingnya, mencari apa yang diucapkan oleh Satria padanya. âKamarmu tid
Makan malam hari itu terasa hening. Hanya terdengar suara sendok dan garpu yang beradu dan berdenting. Suasana terasa menegangkan. Manggala merasa sang ayah seperti tengah marah padanya. Setelah acara pesta ulang tahun perusahaan, sang ayah masih mendiamkannya.Berawal dari respon Manggala yang mengatakan pada Yuda bahwa ia belum memikirkan soal jodoh. Aldino merasa kecewa karena putranya telah menyinggung perasaan Yuda-sahabatnya. Yuda merasa Aldino telah mengolok-oloknya dan mempermainkannya. Manggala dan ke dua orang tuanya menyantap makan malam dengan tenang. Saat ayahnya terlihat selesai menghabiskan makanannya, Manggala menggerakan ke dua sudut bibirnya. Ia akan membahas soal perjodohan dirinya dengan Laila.Manggala menarik nafas dalam sebagai ancang-ancang. Ia butuh menyiapkan stok kesabaran dan mental yang kuat saat berhadapan dengan sang ayah yang temperamen. Manggala melirik pada ibunya terlebih dahulu. Seolah mengerti apa yang putranya isyaratkan, Malati pun mengangguk pe
Manggala menengok arlojinya lalu kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia mengambil tas ransel kecil miliknya lalu memasukan beberapa benda penting dan pakaian ganti. Ia akan menginap di salah satu hotel miliknya, untuk menenangkan diri.Namun sebelumnya ia berpamitan pada ibunya sebab sang ayah kembali mendiamkannya.âMama, Gala ada urusan di hotel, paling pulang besok ya,âManggala memeluk tubuh mungil ibunya dan menciumi wajahnya. Pemuda itu memang sangat menyayangi ibunya. Padahal ibunya sudah tahu tujuan kepergiannya.Malati hanya bisa mendesah pelan melihat reaksi ke dua orang lelaki dalam hidupnya. Baru pertama kali mereka bersitegang. Penyebabnya ialah seorang Jeena Mahira Basalamah.Wanita itu tidak bisa mencegah ke duanya. Ia akan memberikan waktu bagi mereka untuk menenangkan diri. Ia yakin jika Aldino akan merestui hubungan itu pada akhirnya. Bukan tanpa alasan, baginya Manggala adalah satu-satunya putra kesayangannya. âBesok kamu harus pulang. Papa pasti kerepotan pergi ke per
Beryl memergoki Manggala dan Laila di cafe kopi. Ia mengira jika mereka sedang melakukan dating, pendekatan atau apalah untuk saling mengenal di antara mereka.âGala, gue kecewa sama lo! Gue kira lo cowok baik dan alim. Ternyata lo lebih parah dari yang gue bayangkan. Mempermainkan cewek itu fatal lo tau! Jeena sudah trauma dengan yang namanya cowok. Tapi, lihat lo, Jeena kira lo cowok beda dari yang lain! Eksklusif! Taunya muna lo,â oceh Beryl dengan bernada penuh amarah. Manggala menelan salivanya yang terasa kecut. Tak pernah mengira jika situasi menjadi rumit begitu.Manggala menggerakan ke dua sudut bibirnya. Ia berusaha tenang dan akan memberikan sebuah penjelasan padanya. Namun sebelum suaranya lolos dari bibirnya, Beryl kembali menyambar. âDan, kamu!âBeryl kini menatap tajam Laila. âKamu berpenampilan seperti ini? Buka saja cadar dan penutup kepalamu! Malam-malam berduaan dengan yang bukan muhrim, ngafe?? Ngedate?âBeryl menggelengkan kepalanya ribut. Ia mengira jika Manggala
[Sa, kenapa lama sih? Aku kan sudah beres dari klinik.]Jeena terlihat mengomeli kakaknya yang tak kunjung datang menjemputnya saat ia pergi ke salah satu klinik kecantikan terkenal. Hari itu Embun (Jeena) melakukan berbagai macam perawatan tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sebetulnya, ia malas melakukan aktifitas wanita yang menyita uang dan waktu itu, namun sang ibu memaksanya untuk melakukan perawatan sebelum pergi ke luar negeri.[Tunggu ya, Jeena! Sepuluh menit lagi,]Pasha menjawab dengan suara yang memburu di luar sambungan telepon.Jeena hanya mendesah pelan mendengar suara telepon yang terputus tiba-tiba. Wanita pemilik manik almond itu langsung pergi menuju ke area lobi. Ia sudah terlihat segar setelah keluar dari klinik kecantikan. Penampilannya juga kini terlihat memukau dan berkelas. Embun bukan lagi wanita lugu dengan penampilan yang kuyu dan lusuh. Kini ia mirip seorang model berhijab yang wara-wiri di fashion show luar negeri. Ana berperan penting dalam mengu
Manggala merasa seperti terdakwa saat berhadapan dengan dr Zainâayahnya Jeena. Pria paruh baya itu mengintrogasinya. Benar-benar menanyakan banyak hal padanya. Manggala yakin, di balik sikap dinginnya, pria itu berhati baik. Pria itu terlihat sangat menyayangi putrinya. Ia pasti akan merestui hubungan dirinya dan Jeena.âEh, ada tamu, Gala, kita makan malam sekalian!â seru Ana berjalan menghampiri mereka. âMakasih, Tante, Gala masih kenyang.âManggala ingin segera pulang. Tak ingin berlama-lama berada di sana.âKalian makan bareng ya?â tebak Ana melirik pada putrinya dan Manggala.Jeena hanya tersenyum. Mereka memang sempat makan kudapan yang berada di samping toko perhiasan.âMaaf ya jadi ngerepotin, Gala,â ujar Ana, duduk di samping dr Zain. Wanita berhidung bangir itu menatap dr Zain dengan menahan tawa. Ia ingin sekali menertawakan sikap mantan suaminya yang kekanak-kanakan. Ana mengelus punggung tangan dr Zain dan berkata setengah berbisik padanya. âJangan jadi Bapak yang galak
Malam itu, restoran mewah di ibu kota dihiasi lampu gantung kristal yang berkilauan, memberikan suasana romantis yang sempurna. Alby menatap Nadia dengan mata berbinar, tangannya sedikit gemetar saat akhirnya ia berhasil mengungkapkan perasaannya.âNadiaâĶ aku mencintaimu,â katanya dengan suara lembut namun penuh ketegasan. Akhirnya waktu yang telah lama dinantikan tiba. Alby bisa mengungkapkan perasaannya pada Nadia. Nadia terdiam sesaat, lalu tersenyum manis. Pipinya merona. âAlbyâĶ aku juga menyukaimu.âJawaban itu membuat hati Alby melompat girang. Ia nyaris lupa dengan semua kegugupan yang tadi melandanya. Akhirnya cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.âJadi âĶ maukah kau menjadi kekasihku?â tanya Alby menatap Nadia dengan penuh haru.Nadia mengangguk mantap dengan wajah yang merona seperti kepiting rebus.Di tengah kebahagiaan sebagai sepasang kekasih baru, mereka pun melanjutkan makan malam romantis dengan obrolan ringan dan tawa bahagia.Namun, ketika Alby menoleh sekilas ke s
Ruang tamu keluarga Basalamah terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun AC yang menyala hanya pada suhu normal. Ana duduk dengan punggung tegak, matanya tajam menatap Dasha, sepupunya yang kini datang dengan ekspresi penuh kemarahan.Dasha membanting tasnya ke meja, membuat cangkir teh yang disiapkan Jeena sedikit bergetar. âKamu pikir kamu siapa, Ana? Berani-beraninya mempermainkan putriku begitu saja!â suaranya menggema di ruangan.Ana tetap tenang, meskipun kedua tangannya saling bertaut di pangkuannya. âAku tidak mempermainkan siapa pun, Dasha,â jawabnya dingin. âPasha sendiri yang memutuskan ini. Dia tidak bisa menikahi Selina.âDasha mencibir, matanya menyipit. âOh, begitu? Jadi menurutmu, ini semua keputusan Pasha sendiri? Bukan karena kamu dan keluargamu yang ikut campur?âAna menghela napas panjang. Ia tahu ini akan terjadi. âDasha,â katanya dengan nada yang lebih terkendali, âPasha adalah pria dewasa. Dia membuat kesalahan, dan dia memilih untuk bertanggung jawab.âDasha t
Sulis datang diikuti oleh ke dua anak kembar identiknya, Beryl dan Alby. âKenapa gak nunggu Omnya sih? Omnya juga pengen ngasih nama,â imbuh Beryl sembari menggamit tangan mungil istrinya.âBayinya kembar identik juga ya,â Laila berkomentar dengan tersenyum manis menatap Rosa.Rosa menangguk. âMereka kembar identik. Tapi âĶ yang satu ada tanda lahir di dadanya. Yang satu enggak,ââNah, ada juga bedanya,â gumam Ana hampir kebingungan. Dulu ia juga tidak bisa membedakan mana Alby atau Beryl.âKalau masih bayi agak sulit emang. Kecuali udah gede,â tukas Sulis memandang ke dua putranya bergantian dengan mata yang memicing penuh arti.âApa Mi?â Baik Beryl maupun Alby mendengus pelan.âKalau udah gede, sikapnya kan beda. Jadi gak bakalan bingung,â imbuh Laila berkomentar. Pasha seketika terkekeh pelan. âLaila, sikap Beryl masih nyebelin gak udah nikah? Dia kan rada-rada sinâââSa, kenapa kamu jadi kasar begitu?â tegur dr Zain mengerutkan keningnya. âTanya aja sama istri gue.âBeryl menj
Senja itu, langit terlihat indah dan cerah seakan menambah nuansa bahagia sepasang kekasih yang baru saja memulai hidup baru. Mobil yang dikendarai Pasha melaju pelan memasuki halaman kediaman sang ibu yang luas dan megah. Namun, di dalam mobil, dada Rosa terasa sesak. Jari-jarinya menggenggam erat selimut bayi yang membungkus salah satu anak kembarnya. Ia menoleh ke kursi bayi di sampingnya, tempat bayinya tertidur pulas.Pasha, yang duduk di sebelahnya, menghela napas panjang. Ia tahu ini bukan hal yang mudah bagi Rosa. Wanita itu telah mengalami banyak hal, termasuk penolakan dari keluarganya sendiri. Kini, ia akan menghadapi keluarga besar.Situasinya berbeda. Jika dulu ia datang ke sana sebagai asisten pribadi Ana sekaligus pengawal Jeena. Sekarang, ia datang sebagai wanita yang telah melahirkan dua cucu sekaligus untuk keluarga Basalamah. âRosa,â suara Pasha terdengar lembut, namun tegas. âIni rumah kita sekarang. Kau tidak perlu takut.âRosa menelan ludah, mencoba menenangkan
Pasha mengangguk dengan mantap. âYa, mereka anak-anakku.âAlby merasa dunianya jungkir balik. âKapan ini terjadi?! Kenapa aku nggak tahu?!âSulis menepuk bahunya. âMungkin karena kamu terlalu sibuk cari gara-gara sama Levina?âAlby masih tidak percaya. Ia berjalan mendekat dan mengintip bayi yang sedang berada di pelukan Pasha. Wajah mungil itu begitu polos, matanya tertutup rapat dengan pipi bulat menggemaskan.Alby memijat pelipisnya. âOke. Ini kejutan besar. Aku perlu duduk.âPasha tersenyum kecil. âKamu bisa duduk di lantai kalau perlu.âSulis hanya bisa menghela nafas lagi. âSepertinya aku akan sering pusing mulai sekarang.âTak lama kemudian Rosa keluar dari kamar mandi. Tatapannya bertemu dengan Alby.Alby menatap Rosa dengan tatapan bingung. Namun ia tidak ingin menghakimi siapapun di sana. âSorry banget, aku kaget,âPantas saja ibunya memintanya untuk menjenguk Rosa. Mungkin maksud ibunya ialah membesuk ke dua keponakannya. Ia tidak tahu ternyata hubungan Pasha dengan mantan
Jeena menatap layar laptopnya dengan rahang mengeras. Rekaman CCTV yang baru saja diputar memperlihatkan sesuatu yang menggetarkan hatinyaâRosa yang kesakitan, merintih di lantai, sementara Selina hanya berdiri, menatapnya dengan ekspresi kosong sebelum akhirnya berbalik dan pergi begitu saja.Sulis yang duduk di samping Jeena terkesiap. Jari-jarinya yang sudah mulai berkerut mencengkeram lengan kursinya. Napasnya memburu, dan ekspresi terkejutnya segera berubah menjadi kemarahan yang mendidih.âAstaga, Jeena,â Sulis menggelengkan kepalanya tak percaya. âAnak itu benar-benar tega. Aku tahu dia punya dendam, tapi membiarkan seorang ibu dan bayinya dalam bahaya? Ini sudah kelewatan.âJeena mengepalkan tangannya di atas pahanya. Matanya menyala, penuh dengan amarah. âAku tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja, Tante. Aku akan melaporkannya ke polisi sekarang juga! Bayangkan saja, bukankah dia seorang dokter? Namun membiarkan wanita hamil yang ingin melahirkan begitu saja, sungguh pe
âSa, udah cukup. Aku udah kenyang.âRosa menahan tangan Pasha untuk terus menyuapinya.Pasha pun menurut lalu menyerahkan sebotol air minum untuk Rosa, lengkap dengan sedotannya. Tanpa ragu, Rosa menerima air minum itu lalu meneguknya perlahan. Dengan telaten, Pasha pun menaruh nampan bekas makan Rosa di atas nakas. Lalu ia langsung memanggil perawat yang tiba di sana untuk membereskan bekas makan Rosa. Ia tidak bisa melihat ada barang kotor di sana.Setelah memastikan Rosa makan dengan benar, Pasha tak langsung beranjak dari sana. Ia kembali duduk di sisi Rosa, membetulkan bantal yang menjadi sandaran Rosa meskipun ia terlihat letih.âSa,â imbuh Rosa menatap Pasha yang mengabaikan dirinya sendiri. Wajah pria tampan itu terlihat letih dengan penampilannya yang berantakan.âApa?â tanya Pasha dengan suara serakâyang letih.âKamu pulang aja,â Rosa menatap iba pemuda itu. âKamu bisa istirahat di rumah. Di sini ada perawat kok,âPasha menatap Rosa dengan tatapan penuh arti. Tangannya memb
âSiapa Na?â Sulis bertanya saat Ana tak kunjung mengangkat teleponnya.Ana melirik ke arah Sulis setelah mengatur ponsel itu menjadi silent. Untuk saat ini ia tidak ingin mendengar tentang Selina ataupun keluarganya. Ia hanya ingin fokus pada kebahagiaan Pasha dan wanita pilihannya. Mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Pasha sudah memilih Rosa. Bahkan kini mereka sudah punya anak.Mungkin ia akan segera menangani soal pertunangan Pasha dengan Selina yang akan batal untuk ke dua kalinya. Ana belum tahu apa yang ditemukan oleh Jeena di apartemen Pasha. Andai Ana tahu apa yang terjadi pasti ia akan murka. Seolah memahami isyarat yang diberikan oleh Ana, Sulis pun memilih mendekat. Ke dua wanita yang sudah tidak muda itu lalu memilih keluar ruangan. âDasha telepon,â imbuh Ana sembari merangkul lengan Sulis. Sulis menatap Ana dengan tatapan serius. âKamu harus segera bertemu dengan Dasha. Kalau kamu takut, aku temani,âAna meraih oksigen rakus lalu mengembuskannya dengan berat, menja
Rosa terdiam mendengar permintà an maaf mantan bosnya itu. Bukankah itu pertanda jika ia merestui hubungannya dengan putra kesayangannya?Dengan napas tersengal, Rosa mencoba menggerakkan tubuhnya, berusaha menyesuaikan diri dengan keberadaan wanita yang dulu menolak keberadaannya.Pasha yang duduk di kursi samping tempat tidur, langsung menggenggam tangan Rosa, seakan tahu bahwa Rosa sedang ketakutan. âTenang, aku di sini,â bisiknya pelan.Ana memperhatikan interaksi mereka. Ada sesuatu dalam sorot matanyaâsesuatu yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya. Mungkin itu penyesalan, mungkin itu rasa bersalah.âNyonya âĶ aku âĶâ imbuh Rosa menggantung sebab Ana sudah lebih dulu memotongnya.âJangan banyak bicara. Kau masih belum pulih,â ucap Ana dengan nada simpatik.Rosa menunduk, menatap selimutnya dengan pandangan kosong. Ia masih takut. Ia ingat dengan jelas bagaimana Ana dulu mengatakan bahwa ia tidak pantas untuk Pasha, dan permintaannya agar bisa menjauh dari Pasha.Tapi kini, Ana ada