Happy reading fellas
Beryl memergoki Manggala dan Laila di cafe kopi. Ia mengira jika mereka sedang melakukan dating, pendekatan atau apalah untuk saling mengenal di antara mereka.“Gala, gue kecewa sama lo! Gue kira lo cowok baik dan alim. Ternyata lo lebih parah dari yang gue bayangkan. Mempermainkan cewek itu fatal lo tau! Jeena sudah trauma dengan yang namanya cowok. Tapi, lihat lo, Jeena kira lo cowok beda dari yang lain! Eksklusif! Taunya muna lo,” oceh Beryl dengan bernada penuh amarah. Manggala menelan salivanya yang terasa kecut. Tak pernah mengira jika situasi menjadi rumit begitu.Manggala menggerakan ke dua sudut bibirnya. Ia berusaha tenang dan akan memberikan sebuah penjelasan padanya. Namun sebelum suaranya lolos dari bibirnya, Beryl kembali menyambar. “Dan, kamu!”Beryl kini menatap tajam Laila. “Kamu berpenampilan seperti ini? Buka saja cadar dan penutup kepalamu! Malam-malam berduaan dengan yang bukan muhrim, ngafe?? Ngedate?”Beryl menggelengkan kepalanya ribut. Ia mengira jika Manggala
[Sa, kenapa lama sih? Aku kan sudah beres dari klinik.]Jeena terlihat mengomeli kakaknya yang tak kunjung datang menjemputnya saat ia pergi ke salah satu klinik kecantikan terkenal. Hari itu Embun (Jeena) melakukan berbagai macam perawatan tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sebetulnya, ia malas melakukan aktifitas wanita yang menyita uang dan waktu itu, namun sang ibu memaksanya untuk melakukan perawatan sebelum pergi ke luar negeri.[Tunggu ya, Jeena! Sepuluh menit lagi,]Pasha menjawab dengan suara yang memburu di luar sambungan telepon.Jeena hanya mendesah pelan mendengar suara telepon yang terputus tiba-tiba. Wanita pemilik manik almond itu langsung pergi menuju ke area lobi. Ia sudah terlihat segar setelah keluar dari klinik kecantikan. Penampilannya juga kini terlihat memukau dan berkelas. Embun bukan lagi wanita lugu dengan penampilan yang kuyu dan lusuh. Kini ia mirip seorang model berhijab yang wara-wiri di fashion show luar negeri. Ana berperan penting dalam mengu
Manggala merasa seperti terdakwa saat berhadapan dengan dr Zain–ayahnya Jeena. Pria paruh baya itu mengintrogasinya. Benar-benar menanyakan banyak hal padanya. Manggala yakin, di balik sikap dinginnya, pria itu berhati baik. Pria itu terlihat sangat menyayangi putrinya. Ia pasti akan merestui hubungan dirinya dan Jeena.“Eh, ada tamu, Gala, kita makan malam sekalian!” seru Ana berjalan menghampiri mereka. “Makasih, Tante, Gala masih kenyang.”Manggala ingin segera pulang. Tak ingin berlama-lama berada di sana.“Kalian makan bareng ya?” tebak Ana melirik pada putrinya dan Manggala.Jeena hanya tersenyum. Mereka memang sempat makan kudapan yang berada di samping toko perhiasan.“Maaf ya jadi ngerepotin, Gala,” ujar Ana, duduk di samping dr Zain. Wanita berhidung bangir itu menatap dr Zain dengan menahan tawa. Ia ingin sekali menertawakan sikap mantan suaminya yang kekanak-kanakan. Ana mengelus punggung tangan dr Zain dan berkata setengah berbisik padanya. “Jangan jadi Bapak yang galak
“Sayang, lihatlah! Ada berita bagus.”Ana memperlihatkan sebuah berita pada ponselnya. Jeena pun ikut melihat berita yang tertera pada salah satu portal berita online. Sebuah headlines news telah menayangkan sebuah berita viral yang menimpa salah satu pengusaha yang terkenal. Mulutnya menganga tak percaya dengan berita tersebut.“Mami, aku gak nyangka ternyata pelaku yang menyebabkan neneknya Sagara … menantunya sendiri,” gumam Jeena dengan menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.Ana bergegas menutup ponselnya. “Sekarang kamu bisa tenang, Sayang. Tidak akan ada lagi yang memperlakukanmu semena-mena,” imbuh Ana dengan tersenyum pada putrinya. Jeena mengangguk pelan. Ia senang mendengar berita tentang pelaku yang berusaha menghabisi nyawa Diajeng ditemukan. Namun, ia masih tak percaya dengan fakta tersebut. Fakta mencengangkan ternyata pelakunya adalah Paramita, istrinya Danar. Jeena belum mengetahui soal perceraian Danar dan Mita.“Kamu harus berterima kasih pada Masmu,” sambung Pa
“Hei, jangan bikin aku penasaran! Maksud kamu apa, Sa? Rahasia apa?” Jeena balik bertanya. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang Pasha ucapkan.“Lupakan saja! Biar Gala saja yang cerita,” seru Pasha kemudian mencium pipi ibunya dan adiknya bergantian. “Doakan aku lancar ya! Aku akan ketemu dosen pembimbing,” imbuh Pasha dengan penuh harap. Hari itu ia akan mengikuti sempro alias seminar proposal Fakultas Kedokteran. Sungguh, ia merasa sangat gugup. Oleh karena itu, pemuda tampan itu meminta doa dari orang tersayang.Baik Jeena maupun Ana tersenyum mendengar ucapan Pasha. “Kami doakan yang terbaik untukmu, Pasha,” imbuh Ana menyemangati putranya. “Semangat jadi dokter kayak Papi.”Ana berkata dengan riang gembira. Wanita berhidung bangir itu sampai mengangkat ke dua tangannya yang mengepal, menyemangati putranya. “Moga lancar ya!” sambung Jeena juga ikut mendoakan untuk kebaikan Pasha. Ia senang sekali memiliki keluarga yang berpendidikan tinggi. Melihat sang kakak yang justru mau
“Sayang, kamu tidak apa-apa?”Ana langsung memeluk putrinya dengan erat. Kini Ana dan Jeena sedang berada di rumah setelah mendapat kabar bahwa telah terjadi aksi penembakan yang dilakukan oleh seorang sniper di taman kota.Target penembakan ialah Jeena. Namun ia selamat karena Bang Alex reflek menolongnya saat tak sengaja ia melihat seorang pria dari kejauhan menodongkan moncong senapan ke arah Jeena Mahira Basalamah.Jeena hanya menangis dengan tersedu sedan saat mengingat kondisi Bang Alex yang kritis. Pemuda itu telah mengorbankan diri demi menyelamatkan nyawanya.“Sudah, sudah, anak Mami jangan bersedih lagi! Temanmu sudah ditangani, Sayang!” nasehat Ana pada putrinya. Ia mengusap air mata yang mengalir deras di pipi Jeena. Jeena terlihat syok atas apa yang terjadi beberapa waktu lalu. Tubuhnya gemetar hebat dan jantungnya berdegup kencang. Jangan tanyakan perasaannya! Saat ini perasaannya berkecamuk, tak karuan. “Jeena, kamu gak apa-apa?”Dari arah berlawanan Pasha dan Manggala
Brugh, Seorang gadis terjatuh saat ia menginjak lantai yang licin. Ia baru saja mengepel lantai. Ibu sambungnya menjatuhkan piring berisi rendang hingga mengotori lantai ruang makan. Alhasil ia lah yang bertugas untuk membersihkannya. Tak hanya membersihkan lantai bekas tumpahan kuah rendang, namun membersihkan seluruh lantai hingga ke teras rumah. “Ibu, kenapa aku sih yang harus mengepel lantai! Seharusnya yang mengepel lantai itu Mbak Dania. Mbak Dania kan cuman diam aja. La, aku yang malah disuruh-suruh bersih-bersih. Aku harus pergi ke pondok lagi,” omel gadis itu dengan helaan nafas panjang. Bahkan saking omelannya panjang pendek, tahu-tahu ia sudah selesai mengepel.Saat ibunya lengah, gadis itu buru-buru pergi setelah mengambil tas miliknya. Tak lupa ia mencari kunci mobil milik ayahnya, namun ternyata kunci mobilnya tidak ada.“Cari ini?”Seorang wanita bertubuh tinggi menggoyang-goyangkan kunci di depan wajah gadis cerewet tadi.“Mbak Dania, aku butuh kuncinya tolong!” ucap
Saat Ana dan Pasha pergi ke Bogor, Jeena masih berada di rumah sakit menunggu kabar tentang Bang Alex. Setelah mendapat hasil diagnosa dokter, Jeena pun memutuskan akan pulang. Ia lupa ada Sagara yang menunggu kepulangannya.Manggala menatap wanita di sampingnya yang tertunduk lesu. Sedari tadi Jeena tidak mau makan ataupun minum. Wajahnya menjadi pucat pasi. Pemuda itu menjadi mengkhawatirkannya.Namun Jeena keras kepala. Karena saking merasa sedih akibat insiden itu Jeena terlihat murung dan lemas.“Jeen, kita pulang! Kamu harus istirahat di rumah. Pasti Sagara menunggumu,” ucap Manggala penuh perhatian. Ia juga tidak ingin melihat kekasih hatinya jatuh sakit akibat insiden penembakan itu.Sepertinya Jeena memang terlihat sangat syok. Baru pertama kali melihat adegan tembakan di depan mata secara langsung.Jeena melirik sejenak ke arah Manggala namun tak lama kemudian tubuhnya ambruk ke sebelah Manggala. Manggala berjingkat kaget melihat Jeena yang sudah kehilangan kesadarannya.“Jee
Rosa menatap dua garis merah di test pack dan foto USG yang digenggamnya. Tangannya gemetar. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia merasa bisa mendengarnya sendiri. “Tidak mungkin,” bisiknya, suaranya bergetar. Tapi kenyataan sudah terpampang jelas di hadapannya. Dua garis itu nyata. Ia hamil. Rosa merosot ke lantai kamar mandi, punggungnya bersandar pada dinding dingin. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Ia menggigit bibir, menahan isakan yang hendak pecah. Ini semua gara-gara malam itu. Malam yang seharusnya tidak pernah terjadi. Rosa merutuki kebodohannya sendiri. Tapi yang sudah terjadi tak bisa diubah. Ia berpikir semuanya akan berlalu begitu saja. Rosa wanita yang cerdas. Ia bahkan meminum obat kontrasepsi setelah melakukan hubungan terlarang itu. Ia juga tidak mau hamil di luar nikah. Namun ternyata takdir berkata lain. Sekalipun, ia berusaha menolak, takdir memiliki cara sendiri untuk datang.Rosa menutup matanya rapat-rapat. Napasnya tersengal. “Apa
Senyum Rahes perlahan muncul. Ia mengangguk dan kembali menatap Ali. “Jika ini yang terbaik untuk Laila, aku merestui.”Sulis yang sejak tadi menunggu momen ini, segera membuka kotak beludru yang dibawanya. Di dalamnya, terdapat cincin emas putih bertatahkan berlian kecil yang berkilau di bawah cahaya lampu. Dengan penuh kelembutan, Sulis mengambil cincin itu dan berlutut di depan Laila.“Laila, izinkan aku mewakili Beryl untuk menyematkan cincin ini di jarimu sebagai tanda bahwa kau telah menjadi calon menantuku,” kata Sulis dengan suara bergetar penuh haru.Laila menatap cincin itu dengan mata berbinar, lalu perlahan mengulurkan tangannya. Dengan hati-hati, Sulis menyematkan cincin itu di jari manisnya. Suasana dipenuhi rasa haru, terutama bagi Yuda yang tanpa sadar menitikkan air mata bahagia.Yuda merasa bermimpi jika gadis kecil yang dibesarkan olehnya ternyata sudah ada yang melamar. Namun ia merasa senang sekali. Ia berpikir jika Laila menikah dengan Beryl maka ia juga akan mud
Rosa menghela nafas, lalu melangkah mundur, membiarkan Pasha masuk ke dalam kamar sempitnya. Begitu pintu tertutup, keheningan menyelimuti mereka berdua. Pasha berdiri canggung di tengah ruangan, sementara Rosa berjalan ke meja kecil di sudut kamar, mengambil segelas air, lalu meneguknya tanpa tergesa-gesa.Kemudian ia pun membawakan air minum untuk Pasha.“Ada yang mau kamu omongin?” tanya Rosa akhirnya setelah menaruh nampan berisi segelas air minum.Pasha mengembuskan napas panjang menatap Rosa yang duduk di sebelahnya. “Rosa, aku... aku ingin minta maaf.”Rosa menoleh padanya, mata gelapnya menelisik. “Untuk apa?”Pasha mengatupkan rahangnya, merasa semakin bersalah. “Untuk tadi malam. Aku seharusnya... aku seharusnya lebih kuat menahan diri. Aku merasa bersalah. Aku ingin bertanggung jawab.”Rosa tersenyum kecil, tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. Ia meletakkan gelasnya kembali ke meja, lalu berjalan mendekat. “Kenapa kamu merasa bersalah?” tanyanya pelan. “Karena kamu pikir
Pasha terbangun dengan kepala berat. Pandangannya masih kabur, tubuhnya terasa lelah. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Tapi ingatannya seperti kepingan puzzle yang tidak bisa tersusun dengan benar. Ia menoleh ke samping. Kosong.Pasha mengangkat tubuhnya perlahan, menyandarkan kepala ke sandaran tempat tidur. Kamar ini bukan kamarnya. Ia menatap langit-langit, mencoba mengingat sesuatu. Samar-samar, ia mengingat seseorang bersamanya tadi malam. Sosok seorang wanita. Tapi siapa?Tangannya meraba ke meja di samping tempat tidur, mengambil ponselnya. Saat ia membuka layar, sebuah pesan masuk dari salah satu temannya.[Pasha, lo aman? Semalam gue lihat Rosa yang anter lo ke hotel. Lo mabuk berat.]Jantungnya berdetak lebih cepat. Rosa? Pasha buru-buru membuka riwayat panggilannya. Ada beberapa panggilan tidak terjawab dan satu panggilan dari Rosa sekitar tengah malam. Ia menelan ludah.“Tidak mungkin…” gumamnya dengan perasaan yang gelisah.
Beryl duduk dengan gelisah di ruang tamu, menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin sejak tadi. Berhadapan dengannya, Rahes duduk dengan sikap yang sedikit terlalu santai untuk seorang pria yang sedang diuji kesabarannya. Rahes baru saja tiba di rumah. Ia langsung menemani pemuda itu di sana. Sementara itu, Laila duduk di sebelah sang ayah dengan perasaan yang tak kalah gugup. “Pak Rahes, aku ingin melamar Laila,” imbuh Beryl akhirnya, dengan nada penuh keyakinan dan percaya diri. Ia sangat yakin jika Laila akan menerima cintanya. Jika tidak, ia akan sedikit memaksa. Lama kelamaan Laila akan jatuh cinta padanya. Begitulah isi kepala pria berhidung bangir itu.Rahes menaikkan sebelah alis, menatap Beryl dengan ekspresi setengah geli, setengah skeptis. “Oh? Langsung ke inti, ya? Aku suka anak muda yang to the point. Sayangnya, aku gak suka anak muda yang gak bisa membaca situasi.”Beryl mengerutkan dahi. “Maksudnya?”Rahes meletakkan cangkirnya dengan bunyi kecil di meja. “Aku baru s
Pukul lima pagi keesokan harinya, Serina dibangunkan oleh suara gong. Bukan alarm lembut di ponselnya, tetapi gong sungguhan yang dipukul oleh salah satu pelayan rumah. GONG! GONG! GONG!Serina terlonjak dari tempat tidur. “APAAN NIH? GEMPA?!”Nadia, sepupunya yang tinggal di rumah itu, menyeringai dari ambang pintu. “Bukan gempa, Sayang. Itu tanda bahwa kita harus bangun dan bersiap.”Serina mengusap wajahnya yang masih mengantuk. “Ini masih subuh! Aku butuh lima jam tidur lagi!”Nadia tertawa. “Selamat datang di rumah Tante Rosalinda!” Serina menggerutu sepanjang jalan menuju halaman belakang, tempat olahraga pagi dilakukan. Di sana, Rosalinda sudah menunggu dengan setelan olahraga yang sangat rapi. Beberapa pelayan rumah tangga juga ikut serta. “Baiklah, kita mulai dengan lari keliling halaman sepuluh putaran,” perintah Rosalinda. Serina terkejut. “Sepuluh?!” “Kalau protes, aku tambah jadi lima belas.”Serina langsung tutup mulut dan mulai berlari, meskipun rasanya seperti
Setelah berbincang lama dengan Laila dengan mengangkat topik yang berbeda-beda, Beryl mengambil jeda. Sudah cukup! Laila sudah terlihat lebih baik. Sudah saatnya ia mengungkapkan maksud inti kedatangannya ke sana. Sebagai seorang pria, ia akan memberanikan diri mengungkapkan perasaannya yang selama ini ia pendam. Perkara Laila menolaknya terserah nanti. Namun ia sudah tak bisa lagi memanjangkan sumbu kesabaran untuk menahannya. Nanti bisa-bisa kepalanya meledak.“Laila,” panggil Beryl menatap Laila lurus, terdengar serius.Laila pun mengangkat mata setelah mengecek ponselnya. Ayahnya mengirim pesan padanya, ia masih berada di jalan. Laila mengabari ayahnya soal tamu yang datang. Tak mungkin ia membiarkan tamunya begitu saja. Sang ayah harus tahu siapa tamu yang datang untuk putrinya.“Apa, Pak?” tanya Laila dengan tenang.Beryl menekuk wajahnya saat Laila memanggilnya dengan Bapak.Laila—yang peka terhadap perubahan ekspresi wajahnya itu langsung meralat panggilnya. “Ada apa Kak Bery
Beryl turun dari mobil dengan hati berdebar. Sudah sekian lama ia menunggu saat ini—bertemu Laila lagi, setelah semua kejadian yang menimpa mereka. Sengaja, ia tidak memberikan kabar padanya. Ia ingin memberikan kejutan.Meninggalkan Alby yang masih berada di luar, Beryl melangkah masuk ke rumah mewah itu dengan napas yang sedikit tertahan, seperti anak kecil yang hendak membuka hadiah ulang tahun.Pintu rumah mewah itu terbuka, matanya langsung tertuju pada sosok yang begitu dirindukannya. Laila, dalam balutan gamis berwarna merah muda sedang berjuang berdiri tegak di ruang tamu yang luas. Perawat Febi dengan sabar menopangnya, sementara Laila berkali-kali menggerutu, “Aku bisa sendiri! Jangan perlakukan aku seperti anak kecil!”Laila kembali cerewet, pertanda ia mulai sembuh. Namun, belum sampai tiga detik, tubuhnya oleng ke samping.“Ya Allah, Nona! Jangan maksa!” pekik Febi panik, buru-buru menangkapnya agar tidak jatuh.Namun Laila yang gigih tidak akan menyerah begitu saja. Ia
Hujan turun deras malam itu, menambah suasana kelam di kediaman Rahes. Serina duduk di ruang tamu dengan wajah tegang, masih tidak percaya bahwa ayahnya benar-benar akan menghukumnya. Di depannya, Rahes berdiri tegap, matanya dingin menatap putrinya yang selama ini begitu ia manja. Rahes bukan menutup mata dengan apa yang terjadi. Selama ini ia mengamati putrinya dari Laura itu diam-diam. Laporan dari Sulis, bukti-bukti kejahatan yang sudah dilakukannya, laporan dari para art dan perawat Febi sudah cukup menjadikan sebuah pertimbangan di mana ia harus segera bertindak. Ternyata, semakin dibiarkan Serina semakin menjadi. “Kamu akan pulang ke Indonesia,” kata Rahes tanpa basa-basi. Serina menatapnya dengan mata melebar. “Apa?”Rahes menekan pelipisnya, mencoba meredam amarah yang masih tersisa. “Kamu akan tinggal bersama Rosalinda. Dia akan mengajarkanmu bagaimana menjadi manusia yang lebih baik.”Serina bangkit dari sofa, tangannya mengepal. “Ayah tidak bisa melakukan ini padaku! A