Maaf, baru update soalnya Pie sibuk kerja. Satu bab dulu ya. Makasih banget buat support kalian untuk kisah Embun Ganita. Info update novel bisa diakses lewat saluran Whatsap (Pie Mar The Author)
Di balkon kamarnya Danar tengah menyesap kopi hitam sembari menatap pemandangan di depannya dengan tatapan yang rumit. Kegelisahan tengah menyelimuti hatinya. Saat ini ia merasa sendirian. Sosok peran istri perlahan mulai meredup. Hubungan dengan Mita semakin renggang. Ia juga tidak tahu mengapa hubungannya dengan Mita tak seperti dulu lagi. Meskipun mereka bersama namun hati mereka berjauhan. Selain itu, katakanlah Danar tamak. Ia mempertahankan Mita namun ia juga masih menginginkan Embun Ganita.Saat bawahannya menunjukan padanya foto Embun bersama Manggala di Taman Safari ia merasa tak rela. Dadanya terasa panas. Sesuatu membakarnya dari dalam. Apalagi Manggala menggendong Sagara. Rasanya, ia tidak rela melihat putranya diasuh oleh pria lain selain dirinya. “Argh,”Danar mencengkram cangkir kopi dengan tangan yang mengepal kuat. Bahkan ia nyaris melempar cangkir itu ke sembarang tempat.“Apa hubungan Embun dengan pria itu?” gumamnya dengan menahan emosi. Ia harus mencari tahunya
Embun tidak akan pernah lupa setiap momentum ketika ia dituduh mencuri kalung milik Mita dan pelakor yang berusaha mencuri suaminya. Atau, saat dirinya digeledah dengan tanpa belas kasih, diperlakukan kasar dan diusir dengan terang-terangan dari keluarga Yudistira.Embun memejamkan matanya. Hanya helaan nafas berat lolos dari sela-sela giginya. Ia tidak suka membalas dengan cara kotor. Ia lebih senang melakukannya dengan cara halus.Sesuatu yang menyadarkan wanita itu akan tindakannya yang keliru. Sesuatu yang membuatnya berpikir dua kali untuk memutuskan sesuatu! ‘Aku ingin lebih sukses dari dia! Kalau perlu aku ingin mengambil perusahaannya,’ gumam Embun dalam hati. Terdengar ambisius namun beresiko. Namun sekalinya ia berkata, ia tidak akan menarik ucapannya begitu saja. Wanita bermanik almond itu ingin menjadi seorang wanita karir. Ia ingin mandiri secara finansial dan tidak bergantung pada lelaki.“M-Mama,” Suara Sagara merambat di telinga ke dua wanita cantik berbeda usia ters
Setelah Embun menyampaikan keinginannya, suasana mendadak canggung.“Maaf, saya memang terlalu percaya diri.”Maya membalas perkataan Embun—yang mengatakan padanya bahwa ia memang tidak akan dipekerjakan olehnya sebagai babysitter Sagara lagi. Maya tahu diri. Kesalahannya pada Embun sangat fatal. Ia juga belum meminta maaf secara langsung sebab ia baru bertemu langsung dengannya saat itu.“Memang, betul! Kau terlalu percaya diri! Baguslah, kau tahu diri! Kau tahu di mana posisimu saat ini!” tukas Embun dengan nada serius. Tidak ada lagi kelembutan dalam nada bicaranya. Ia duduk dengan bertopang kaki dan bersedekap tangan di dada. Ia berkata dengan nada angkuh! Siapa sangka gadis desa yang dulu lugu kini telah bertransformasi menjadi wanita yang dingin dan penuh wibawa. Tidak ada belas kasih dan bersikap tegas.Melihat raut wajah Embun yang ketus, Maya semakin merasa terpuruk. Mungkin Embun bisa dengan mudah memperkarakan dirinya atas tuduhan fitnah padanya satu tahun silam. Ia gelap m
“Mas dari mana? Main tinggal saja.”Mita bersedekap tangan di dada menatap suaminya—yang menghilang secara tiba-tiba saat mereka berada di butik pakaian wanita. Sore itu mereka sedang mencari pakaian untuk pesta.Danar terdiam saat istrinya mencecarnya dengan pertanyaan. “Cepatlah! Aku tunggu di mobil!”Pria berwajah dingin itu langsung pergi meninggalkan istrinya. Ia jenuh menunggu wanita belanja. Tak seperti dulu, ia selalu bersedia menunggu Mita dengan sabar. Semuanya telah berubah. Mita mendecak sebal saat suaminya meninggalkannya begitu saja. Tega sekali! Padahal ia ingin suaminya memberikan komentarnya untuk pakaian yang akan dipilihnya. Nyatanya, Danar bahkan seolah tak peduli padanya.“Kenapa dengan Mas Danar sih?” ucapnya dengan helaan nafas berat. “Kalau aku tampil cantik juga kan buat dirinya. Aku kan tidak mau mempermalukan suamiku di pesta Pak Kamal Kapoor. Apalagi di sana ada banyak pengusaha terkenal.”Dengan berat hati, Mita pun memilih pakaiannya sendiri. Ia membayar
“Mama, boleh Gala bicara?”Manggala duduk di dekat ibunya yang saat ini tengah duduk di ruang tamu sembari mengupas buah-buahan. Pemuda tampan itu senang sekali karena ibunya bisa menghabiskan waktu lebih lama bersamanya.“Ada apa Sayang?”Malati menoleh ke arah putranya. Kemudian ia menghentikan aktifitasnya, mengupas buah-buahan. “Tumben minta ijin. Biasanya kalau mau bicara langsung saja.”Manggala menarik nafas dalam sebelum bicara. “Mama, umur Gala sekarang sudah jalan dua puluh tujuh tahun. Setelah Gala pikir-pikir, Gala seharusnya sudah mulai mencari calon menantu untuk kalian.”Manggala berkata dengan hati-hati. Ia memang tak pernah dekat dengan seorang wanita. Oleh karena itu, ia begitu malu ketika mengungkapkannya di depan ibunya. Ia akui, perkataan ke dua orang tuanya benar. Dulu, ia sempat meragukannya.Manggala berpikir jika ia akan menikah saat dirinya siap secara mental selain ekonomi—faktor utama dalam mengayuh biduk rumah tangga. Ia tidak berpikir harus menjalin asmar
Malam hari suasana terasa hening di kediaman Ana. Sagara tidur lebih awal. Ia seolah mengetahui rencana ibunya yang akan pergi ke suatu tempat saat malam hari dan saat anak lelaki tampan itu tertidur pulas. “Tenang saja, Nona, Tuan Gara sudah tidur pulas.”Babysitter Linda melapor pada Embun yang terlihat mengintip ke dalam kamarnya. Rasanya, setiap kali ia keluar rumah, ia merasa berat harus meninggalkan putranya. Ia pun mendekati ranjang putranya terlebih dahulu. Ia mencium pipi putranya yang mulai berisi dan terlihat chubby. Embun menepuk lengan Linda dengan pelan. “Aku titip Gara ya! Paling aku pulang jam sebelas atau dua belas malam jika tidak macet. Kalau ada apa-apa, hubungi nomorku. Mami sedang pergi ke Bogor.”Linda pun mengangguk setelah sebelumnya termangu melihat kecantikan Embun yang terasa berbeda malam itu. Wanita bermanik almond itu mengenakan gaun berwarna putih berbahan satin mix dengan sutra pilihan ibunya. Meskipun gaun tersebut polos dan hanya dihiasi sedikit ren
Karena mulai merasa jenuh dengan acara pesta, Embun berencana akan berjalan-jalan keluar hotel. Para pemuda yang datang bersamanya sibuk berbincang dengan kawan-kawannya membahas banyak hal. Sebuah topik bahasan yang Embun tidak pahami.Di situlah, Embun kembali merasa rendah diri karena wawasan dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya tak setinggi mereka. Embun hanya lulusan sekolah menengah atas dari desa, tidak seperti mereka pernah mengemban ilmu di bangku kuliah. Sekalipun ia menguasai alat musik piano, itupun tidak melalui sekolah formal. Sesaat tatapannya bertumbur pada seorang pria yang sedari tadi menatapnya. Tak jauh dari tempat Kamal Kapoor berada, Danar tampak berdiri menatapnya. Di samping pria itu ada Mita yang tengah menggelendot manja pada lengan suaminya. Embun merasa tak nyaman bertemu dengan mereka. Apalagi cara Danar menatapnya yang begitu intens. Mengapa pria itu bersikap seperti itu padanya? Tatapannya menyiratkan sesuatu yang rumit. Bukankah urusan mereka sudah s
Suasana terasa hening tiba-tiba. Hanya hembusan angin yang membelai kulit dan samar-samar suara dentuman musik yang menggema berasal dari area ballroom yang terdengar. Embun dan Manggala duduk di bangku taman yang sepi tanpa saling bicara. Embun hanya terdiam dengan mengusap air matanya. Ia kesal sekali pada Danar yang selalu saja mengusiknya. Pria itu menguji iman dan imunnya. Sebelumnya, ia mengatakan padanya ingin berdamai namun antara perkataan dan perbuatan sama sekali tidak sesuai. Apa yang baru saja Danar lakukan padanya telah melukai hatinya. Ia bersikap dan berkata kasar tanpa alasan yang jelas.Satu lagi kata-katanya yang pedas ialah dengan mengatakan dirinya, hanyalah seorang janda. Apa ada yang salah dengan status janda dirinya? Lagipula siapa yang membuatnya janda? Bukankah ia sendiri yang menceraikannya?Sepertinya pria itu butuh konsul ke psikiater. Otaknya mulai bergeser.“Jeena,”“Mas Gala,”Baik Embun dan Manggala saling memanggil secara bersamaan. Seketika mereka m
Pulang dari gym, Manggala kembali mengantar pulang Pasha. Karena sewaktu pergi ke tempat gym, Manggala menjemput Pasha dengan mobilnya. Selama perjalanan mereka mengobrol banyak hal.Setelah percakapan di tempat gym, Manggala setidaknya merasa sedikit lebih lega, mengetahui alasan yang membuat Embun marah padanya. Karena sudah mengetahui sumber permasalahannya, maka ia berencana akan bicara empat mata dengannya. Hanya saja, Manggala sedikit butuh waktu untuk mempersiapkan pertemuan dengannya. Mungkin ia akan mengajak personel The Great Duke lainnya untuk jalan bersama.Karena Manggala tahu, tak mungkin Embun bersedia diajak ngobrol benar-benar ‘berdua’. “Well, kita akan pergi hiking bagaimana? Atau, piknik ke hutan pinus? Di sana kita bisa melihat pemandangan alam,” ungkap Manggala saat tiba-tiba saja sebuah ide melintas di kepalanya. Ide tersebut muncul saat ia melihat pohon palem yang berjejer di taman. Mungkin, ia akan menyatakan cintanya saat mereka pergi ke tempat itu.Saat ini
“Ibu, cepat sembuh! Kalau Ibu sudah sembuh, kita akan pergi jalan-jalan ke Selandia Baru. Bukankah Ibu ingin pergi ke sana? Ibu bisa pergi ke Wai Ariki Hot Spring and Spa.”Danar merengkuh tangan keriput ibunya yang masih terbaring lemah di atàs ranjang rumah sakit. Kemudian ia mengecup punggung tangannya dengan penuh kasih sayang. Pria itu duduk di atas sebuah kursi yang berada di samping ranjang. Setiap hari ia selalu datang membesuk ibunya. Tak peduli ia sibuk, ia selalu menyempatkan dirinya untuk datang, memastikan kondisi ibunya. Ia teramat senang sekali saat melihat kondisi kesehatan ibunya sudah mengalami kemajuan saat ini. Dua minggu sudah terhitung ibunya masih terbaring di rumah sakit. Ia harus menjalani perawatan akibat lukanya yang serius. Beberapa kali, Diajeng menjalani operasi pada bagian kakinya. Kakinya mengalami patah tulang sehingga harus dioperasi dan dipasang pen.Diajeng hanya mendesah pelan sembari melirik ke arah putranya yang terlihat begitu berbakti padanya
Manggala dan ibunya duduk dan bicara empat mata. Pemuda tampan itu tidak ingin ibunya berspekulasi yang tidak-tidak tentang dirinya. Ia pun menceritakan apa yang terjadi saat mereka berada di cafe, saat pertama kali ia menemukan Serina hingga membawanya pulang ke apartemen.“Mama, dengarkan Gala! Malam, Gala menginap di hotel. Gala juga gak enak kalau tinggal berdua dengan gadis itu.”Manggala berusaha memberikan pengertian pada ibunya. Ia tidak ingin ibunya kecewa padanya.Malati menarik nafas dalam kemudian mengembuskannya perlahan. “Gala, apa kau tidak menaruh curiga pada gadis itu? Bisa-bisanya kau meninggalkan gadis itu di apartemen sendirian? Kau hanya baru mengenalnya beberapa jam?”Manggala mengerti arah pembicaraan ibunya. Jika ibunya orang biasa mungkin cara berpikirnya sederhana. Namun masalahnya ibunya seorang mantan agen detektif di mana ia selalu bersikap hati-hati dan waspada terhadap kemungkinan apapun yang terjadi.Manggala tidak berpikir panjang meninggalkan gadis it
Malam itu langit tampak gulita tanpa gemintang yang menghiasnya. Ditambah gemerosok angin menyapu dahan-dahan pohon hingga membuatnya bergoyang dan seperti sosok monster yang menakutkan. Namun pemandangan yang sedikit anker itu sama sekali tidak mengurungkan niat seorang gadis cantik untuk berjalan di jalan setapak. Gadis cantik dengan tas ransel yang tercangklong di punggungnya tampak berjalan cepat untuk mencari kendaraan yang akan membawanya keluar kota. Ia merasa sudah tidak aman jika ia kembali ke ibukota atau berada tinggal bersama ke dua orang tuanya di Bandung. Untuk sementara waktu ia akan pergi keluar kota.Peluh sudah membanjiri tubuhnya. Sungguh, ia merasa letih. Namun ia harus segera pergi demi keselamatannya. Gadis itu duduk di halte bus yang sepi. Hanya ada empat orang yang tengah duduk di sana, menunggu bus datang.Drt, drt, drt, Suara ponsel yang gemetar menginterupsi lamunannya. Gadis itu segera mengangkatnya namun sebelumnya ia mencari tempat sepi. Ia tidak mau per
Akhirnya, the Great Duke bisa menyelamatkan gadis bermata biru dan membawanya ke penthouse milik Manggala. Dengan sebuah asumsi dan pertimbangan jika penthouse itu adalah tempat yang paling aman untuk gadis itu tinggal sementara. Manggala sempat skeptis tak bisa melarikan diri dari rumah mafia itu. Namun ia berhasil selamat setelah baku hantam dengannya. Mafia itu tidak sekuat dan sesangar penampilannya. Dari gerakannya, ia terlihat sedang sakit.Namun, saat mereka pulang ke penthouse, ibunya Manggala ternyata tidak berada di sana. Manggala baru saja membaca pesan dari ibunya jika ibunya baru saja dijemput oleh sepupunya—Nadira. Padahal ia akan meminta ijin dan bantuan pada ibunya untuk melindungi gadis itu.Kini ke empat pemuda itu berkumpul di ruang tamu dan mulai menginterogasi gadis bermata biru itu. Gadis lugu itu pun menceritakan secara singkat mengapa ia bisa tertangkap oleh pria berwajah sangar tadi.“Jadi kau dijebak oleh siapa tadi? Teman barumu?”Beryl langsung berkomentar
“Maaf, ada kepentingan apa?” Seorang security bertubuh tinggi besar menghadang jalan Pasha yang tiba-tiba saja datang menghampirinya. Pasha melakukan penyamaran sebagai seorang tukang service AC. Ini semua ide Manggala. Mudah baginya untuk mengetahui siapa saja tamu yang datang ke sana. Sebetulnya security itu sudah tahu siapa saja tamu yang datang. Hanya saja, ia selalu waspada, mengkonfirmasi terlebih dahulu siapa saja tamu yang datang ke sana. Apalagi bosnya seorang yang keji dan tak segan memecat pekerjanya yang tidak mematuhi semua aturannya.Pasha pun menjawab dengan lugas. “Saya tukang service AC langganan rumah ini, Pak. Lihatlah ini kartu nama saya.”Pasha pun memperlihatkan sebuah kartu nama si empunya tukang service.Pucuk dicinta ulam pun tiba, sebuah keberuntungan memihak mereka. Kebetulan, di jalan perumahan mewah itu, ada sebuah mobil khusus bertuliskan service AC. Perumahan mewah itu menyediakan berbagai jenis jasa pemeliharaan rumah termasuk fasilitas demi kenyamanan
“Cepat kau katakan! Di mana gadis itu? Aku sudah membayarnya mahal! Mengapa kamu yang datang?”Pria dengan luka sayat di wajahnya itu memojokan gadis bermata biru ke dinding. Ke dua tangan kekarnya kembali menekan leher gadis itu hingga gadis itu tampak syok. Ia takut jika pria itu akan benar-benar mengakhiri hidupnya hari itu.Gadis itu hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan berderai air mata. Kesialan tengah menyambangi dirinya. “A-aku tidak tahu, Om. Aku tiba-tiba saja berada di kamar itu. Aku tidak ingat apapun lagi. Sungguh, bebaskan aku Om!” jawab gadis itu suara yang terbata-bata. Seingatnya, ia bekerja di sebuah hotel sebagai seorang housekeeper. Saat itu ia kehausan dan minum air berasal dari dalam tumbler miliknya. Namun setelahnya ia merasa pusing dan tingkahnya mulai aneh. Ia menjadi lebih berani dan terkesan tidak tahu malu. Sekonyong-konyong ia sudah berada di dalam kamar mewah hotel.“No! Kau harus bawa gadis itu! Aku cuma pengen dia!” ucap pria itu bernada dingin.
Suasana cafe bergaya retro itu tampak mencekam semenjak kedatangan beberapa orang pria berpakaian serba hitam. Seorang pria yang diduga sebagai ketuanya terlihat paling menonjol di antara yang lain. Wajahnya bukan wajah orang Melayu. Akan tetapi wajahnya mirip blasteran Amerika tengah. Fitur wajahnya tampan namun ada luka sayat melintang di pipinya hingga sekilas tampak menyeramkan bagi siapapun yang melihatnya. Apalagi ditambah bentuk matanya bagaikan mata elang yang tajam.Pria berwajah hispanik itu langsung mendelik ke arah sumber suara—yang tak lain suara Manggala. Ia tidak suka siapapun menginterupsi apa yang dilakukannya.“Siapa kau? Lancang sekali kau ikut campur urusanku!”Sekali hentakan pria itu mendorong gadis muda itu hingga terjatuh ke lantai. Gadis muda itu terlihat kehabisan pasokan oksigen yang membuatnya beberapa kali terbatuk-batuk. Wajahnya yang bersih tampak merah dengan mata yang sayu. Hanya dalam sekali tatapan, Manggala sudah bisa menarik kesimpulan jika gadis i
Di sebuah kafe kopi, tempat nongkrong anak muda, empat pemuda tampan tengah duduk melingkari meja berbentuk bundar. Mereka menghabiskan waktu sore mereka dengan ngopi di kafe di mana ada live music yang disuguhkan di sana.Manggala menyesap kopi Long Black Americano dengan begitu nikmat. Harum aroma kopi dengan rasa yang pahit dan agak sedikit asam memberikan sensasi tersendiri baginya sebagai penikmat kopi. Satu teguk tidaklah cukup. Ia pun mengulanginya hingga tiga kali.Barulah pemuda tampan itu menaruh cangkir kopi itu ke atas meja. Ia pun mulai berkisah pada anggota the Great Duke. Pertama kalinya, secara resmi ia menceritakan isi kepalanya pada sahabatnya. Ia mengatakan pada mereka, jika ia serius menyukai Embun.Ke tiga sahabatnya tidak terlalu terkejut mendengar ungkapan perasaan hatinya pada Embun. Mereka sudah tahu hanya dari melihat bahasa tubuhnya. Beryl pun mulai berkomentar setelah mendengar ungkapan isi hati Manggala.“Kau harus segera menembaknya! Kalau bisa sebelum Emb