Happy reading. Thanks a lot for the support.
Suasana terasa hening tiba-tiba. Hanya hembusan angin yang membelai kulit dan samar-samar suara dentuman musik yang menggema berasal dari area ballroom yang terdengar. Embun dan Manggala duduk di bangku taman yang sepi tanpa saling bicara. Embun hanya terdiam dengan mengusap air matanya. Ia kesal sekali pada Danar yang selalu saja mengusiknya. Pria itu menguji iman dan imunnya. Sebelumnya, ia mengatakan padanya ingin berdamai namun antara perkataan dan perbuatan sama sekali tidak sesuai. Apa yang baru saja Danar lakukan padanya telah melukai hatinya. Ia bersikap dan berkata kasar tanpa alasan yang jelas.Satu lagi kata-katanya yang pedas ialah dengan mengatakan dirinya, hanyalah seorang janda. Apa ada yang salah dengan status janda dirinya? Lagipula siapa yang membuatnya janda? Bukankah ia sendiri yang menceraikannya?Sepertinya pria itu butuh konsul ke psikiater. Otaknya mulai bergeser.“Jeena,”“Mas Gala,”Baik Embun dan Manggala saling memanggil secara bersamaan. Seketika mereka m
“Betul sekali! Dunia begitu sempit sekali! Rasanya aku juga mulai muak melihat wanita manipulatif wara-wiri ke sana kemari.”Kini, Embun tak lagi diam. Saat seseorang mulai mengusiknya, tak segan ia membalasnya. Tatapannya tak lagi ramah namun berkilat penuh amarah. Ke dua wanita cantik berbeda usia itu saling memandang dengan sorot permusuhan. Aura ketegangan yang terasa dingin dan kelam terpancar di antara mereka.“Dasar Bit*h! Kau mau menggoda suamiku setelah apa yang terjadi? Tidak tahu diri! Apa maumu? Mentang-mentang sekarang kau sudah berbeda. Kau berlindung di balik keluargamu. Dengar, bagiku kau masih sama! Wanita bodoh dan kampungan! Mungkin pakaianmu saja yang terlihat berbeda saat ini. Tapi, otakmu masih sama bodoh.”Mita berkata dengan nada kejam dan tak berbelas kasih. Wanita itu bersedekap tangan di dada dengan dagu yang menengadah, memperlihatkan keangkuhan dirinya.“Ckck! Siapa yang merebut siapa? Jaga suamimu! Dari tadi dia memperhatikanku! Bahkan tadi dia mengikuti
Seorang gadis berambut panjang berjalan dengan langkah tergesa menuju sebuah kamar rawat inap di mana ayahnya dirawat. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu ruangan tersebut sesaat seorang wanita paruh baya keluar dari ruangan itu dan menyambutnya dengan sebuah pelukan hangat. “Ibu kangen sekali padamu, Yas. Kau baik-baik saja kan?”Indira memeluk putrinya dengan sangat erat. Sudah seminggu lebih putrinya baru pulang menjenguk ayahnya. Alih-alih menjawab pertanyaan ibunya tentang kabarnya, Yasmin menanyakan kabar ayahnya. Meskipun ia anak manja dan pembangkang, ia sangat menyayangi ayahnya. Terlebih Bagas memang selalu memanjakannya saat ada. “Bagaimana kabar Ayah sekarang?”Yasmin pergi ke sana, sengaja membolos kuliah demi membesuk sang ayah. Yang ia tahu kabar terakhir ayahnya sempat mengalami collapse usai menjalani operasi besar. Beberapa waktu yang lalu, ia baru dapat kabar jika sang ayah sudah siuman bahkan sudah bisa makan dengan normal dan sudah lepas dari selang NGT.N
“Kau tidak apa-apa?” Manggala panik. Ia buru-buru membantu Embun dan Sagara bangun. Sudah tak terhitung, Embun selalu saja melakukan hal yang konyol baik sengaja ataupun tidak saat berhadapan dengan Manggala. Embun meringis mendengar perkataan Manggala. Sepertinya pemuda itu terbentur sesuatu. Seharusnya pertanyaan itu diucapkan oleh Embun.“Mas Gala, kami baik. Seharusnya aku yang meminta maaf. Kami menindih Mas Gala. Apa kepala Mas Gala sakit? Coba aku periksa,” imbuh Embun bernada khawatir—setelah mengusir rasa canggung akibat posisi jatuh yang di luar nalar itu. Ia lebih mengkhawatirkan kondisi Manggala yang jatuh dalam keadaan telentang. Bisa jadi kepalanya terbentur kan!Embun menyerahkan Sagara pada Linda. Kemudian ia berusaha memeriksa luka yang mungkin mengenai tangannya.“Mas, maaf aku pengen lihat sikunya,” pinta Embun dengan begitu perhatian. Manggala jadi salting dibuatnya. Semoga wanita bermanik almond itu tidak mendengar detak jantungnya yang tak karuan. Jedag jeduh mi
Malam itu Embun tak bisa tidur. Ia terus mengingat pertemuannya dengan Manggala. Manggala bersikap manis sekali memberinya buket bunga mawar favoritnya dan memberikan hadiah pula untuk putra tampannya. So sweet … Namun air mukanya berubah dalam hitungan detik saat mengingat sikap ayahnya pada Manggala. Mengapa ayahnya yang biasanya santun dan ramah pada setiap orang kini terlihat ketus pada Manggala? Apakah di antara mereka punya masalah? Embun menggeleng ribut saat ia tergesa-gesa menyimpulkan. Atau, ayahnya marah saat memergoki anak perempuannya sedang asik mengobrol dengan seorang pria?Padahal di sana ada Linda yang duduk tak jauh dari sisinya. Karena tak bisa tidur, Embun melangkahkan kakinya menuju kamar ibunya. Dari luar ia bisa melihat jika lampu di kamar ibunya masih terang benderang. Kemudian ia pun berjalan mengendap-endap menuju ruang tengah yang masih menyala juga. Di atas sofa, tampak ayah dan ibunya sedang mengobrol berdua. Sore itu dr Zain sengaja datang dari kota
“Linda, tolong awasi Sagara ya! Ingat! Soalnya bisa jadi si Nyonya Lampir ikut.”Embun mewanti-wanti Babysitter Linda agar mengasuh Sagara selama Danar mengajaknya main. Hari minggu, Danar ingin mengajak Sagara bermain bersamanya. Entah sekedar jalan-jalan atau bermain di tempat wahana permainan anak.Karena Embun masih memikirkan Sagara sebagai seorang anak yang membutuhkan kasih sayang orang tua secara lengkap, ia pun memperbolehkan Danar untuk menjumpai dan bermain dengan Sagara.Mendengar nasehat Embun, Linda mengangguk paham. Ia juga mengerti keinginan majikannya. Nyonya Lampir yang dimaksud ialah Paramita. Mengingat sifat asli Paramita yang temperamen, Embun menjadi sangat khawatir jika Sagara menjadi sasaran kemarahan dan dendam wanita itu padanya.“Tenang saja, Nona Cantik! Aku akan siap menjaga Sagara dengan penuh siaga dan waspada. Jika wanita itu mencoba sedikit saja melukai Sagara, sudah dipastikan aku akan mematahkan tangan dan kakinya,” jawab Linda dengan penuh semangat.
Malam itu suasana di rumah Ana cukup ramai. Para keponakannya berkumpul di sana. Semenjak kehadiran Embun, kini rumah besar Ana yang sebelumnya selalu sepi menjadi hidup. Setiap akhir pekan, anggota keluarga lain datang ke rumahnya. Jika dulu rumah Ali–yang dijadikan tempat basecamp berkumpul keluarga. Kini giliran rumah Ana yang menjadi basecamp.Kehadiran Embun dan Sagara yang sangat menggemaskan sungguh membawa suasana baru di rumah mewah tersebut. Apalagi Sagara, anak lelaki tampan yang mencuri atensi seluruh anggota keluarga. Mungkin anak itu menjadi kesayangan Basalamah.Pukul delapan malam, mereka mengadakan makan malam di luar rumah dengan menu khas Timur tengah. Menu yang biasa disajikan di keluarga Basalamah. Sayang, Ali-Sulis tidak hadir karena mereka masih berada di Bogor menemani Sulaiman yang masih berada dalam masa pemulihan setelah penyakit jantungnya kumat.“Mami, dari tadi aku hanya diam. Aku tidak membantu memasak.”Embun berkata di belakang ibunya—yang sedang asik
Karena mengalami kejang-kejang dan demam tinggi alhasil Eka Sagara Yudistira akhirnya harus dilarikan ke rumah sakit. Semua orang panik setelah mendengar laporan dari Linda mengenai kondisi anak lelaki tampan itu. Bukan tanpa alasan, sebelumnya suhu tubuh Sagara tampak normal. Namun tiba-tiba saja suhu tubuhnya merangkak naik.Embun menatap putranya dengan perasaan sedih. Ia merasa simpatik ketika melihat para perawat berusaha mencari pembuluh darah untuk dipasang selang infus. Mereka tampak kesulitan karena Sagara tidak bisa diam sampai menangis kejer. Pasti anak itu kesakitan ketika jarum infus menusuk kulitnya. “Sayang, kau sarapan dulu! Biar Gara Mami yang jaga.”Ana mengusap lembut pundak putrinya karena semalaman Embun berjaga. Sagara menangis dan menyusu terus.Namun kini anak tampan itu terlihat tergolek lemah karena sedang tidur. Barangkali anak itu mengantuk dan letih akibat tenaganya dihabiskan untuk menangis. Ana sempat kaget melihat cucunya menangis kejer saat sakit. Dulu
Pukul lima pagi keesokan harinya, Serina dibangunkan oleh suara gong. Bukan alarm lembut di ponselnya, tetapi gong sungguhan yang dipukul oleh salah satu pelayan rumah. GONG! GONG! GONG!Serina terlonjak dari tempat tidur. “APAAN NIH? GEMPA?!”Nadia, sepupunya yang tinggal di rumah itu, menyeringai dari ambang pintu. “Bukan gempa, Sayang. Itu tanda bahwa kita harus bangun dan bersiap.”Serina mengusap wajahnya yang masih mengantuk. “Ini masih subuh! Aku butuh lima jam tidur lagi!”Nadia tertawa. “Selamat datang di rumah Tante Rosalinda!” Serina menggerutu sepanjang jalan menuju halaman belakang, tempat olahraga pagi dilakukan. Di sana, Rosalinda sudah menunggu dengan setelan olahraga yang sangat rapi. Beberapa pelayan rumah tangga juga ikut serta. “Baiklah, kita mulai dengan lari keliling halaman sepuluh putaran,” perintah Rosalinda. Serina terkejut. “Sepuluh?!” “Kalau protes, aku tambah jadi lima belas.”Serina langsung tutup mulut dan mulai berlari, meskipun rasanya seperti
Setelah berbincang lama dengan Laila dengan mengangkat topik yang berbeda-beda, Beryl mengambil jeda. Sudah cukup! Laila sudah terlihat lebih baik. Sudah saatnya ia mengungkapkan maksud inti kedatangannya ke sana. Sebagai seorang pria, ia akan memberanikan diri mengungkapkan perasaannya yang selama ini ia pendam. Perkara Laila menolaknya terserah nanti. Namun ia sudah tak bisa lagi memanjangkan sumbu kesabaran untuk menahannya. Nanti bisa-bisa kepalanya meledak.“Laila,” panggil Beryl menatap Laila lurus, terdengar serius.Laila pun mengangkat mata setelah mengecek ponselnya. Ayahnya mengirim pesan padanya, ia masih berada di jalan. Laila mengabari ayahnya soal tamu yang datang. Tak mungkin ia membiarkan tamunya begitu saja. Sang ayah harus tahu siapa tamu yang datang untuk putrinya.“Apa, Pak?” tanya Laila dengan tenang.Beryl menekuk wajahnya saat Laila memanggilnya dengan Bapak.Laila—yang peka terhadap perubahan ekspresi wajahnya itu langsung meralat panggilnya. “Ada apa Kak Ber
Beryl turun dari mobil dengan hati berdebar. Sudah sekian lama ia menunggu saat ini—bertemu Laila lagi, setelah semua kejadian yang menimpa mereka. Sengaja, ia tidak memberikan kabar padanya. Ia ingin memberikan kejutan.Meninggalkan Alby yang masih berada di luar, Beryl melangkah masuk ke rumah mewah itu dengan napas yang sedikit tertahan, seperti anak kecil yang hendak membuka hadiah ulang tahun.Pintu rumah mewah itu terbuka, matanya langsung tertuju pada sosok yang begitu dirindukannya. Laila, dalam balutan gamis berwarna merah muda sedang berjuang berdiri tegak di ruang tamu yang luas. Perawat Febi dengan sabar menopangnya, sementara Laila berkali-kali menggerutu, “Aku bisa sendiri! Jangan perlakukan aku seperti anak kecil!”Laila kembali cerewet, pertanda ia mulai sembuh. Namun, belum sampai tiga detik, tubuhnya oleng ke samping.“Ya Allah, Nona! Jangan maksa!” pekik Febi panik, buru-buru menangkapnya agar tidak jatuh.Namun Laila yang gigih tidak akan menyerah begitu saja. Ia
Hujan turun deras malam itu, menambah suasana kelam di kediaman Rahes. Serina duduk di ruang tamu dengan wajah tegang, masih tidak percaya bahwa ayahnya benar-benar akan menghukumnya. Di depannya, Rahes berdiri tegap, matanya dingin menatap putrinya yang selama ini begitu ia manja. Rahes bukan menutup mata dengan apa yang terjadi. Selama ini ia mengamati putrinya dari Laura itu diam-diam. Laporan dari Sulis, bukti-bukti kejahatan yang sudah dilakukannya, laporan dari para art dan perawat Febi sudah cukup menjadikan sebuah pertimbangan di mana ia harus segera bertindak. Ternyata, semakin dibiarkan Serina semakin menjadi. “Kamu akan pulang ke Indonesia,” kata Rahes tanpa basa-basi. Serina menatapnya dengan mata melebar. “Apa?”Rahes menekan pelipisnya, mencoba meredam amarah yang masih tersisa. “Kamu akan tinggal bersama Rosalinda. Dia akan mengajarkanmu bagaimana menjadi manusia yang lebih baik.”Serina bangkit dari sofa, tangannya mengepal. “Ayah tidak bisa melakukan ini padaku! A
Serina mendekat, menarik lengan Laila yang kurus, dan membuka tutup jarum suntik dengan jari-jari gemetar. Ini adalah usaha yang sudah kelewat batas! Tak peduli, amarah dan dendamnya berhasil merobohkan nuraninya. Malam itu ia berniat akan menghukum Laila dengan hukuman yang takkan pernah terlupakan olehnya.Laila pasti akan menyerah setelah ini!Obat-obatan akan meninggalkan jejak seperti waktu itu. Oleh karena itu, kini Serina menggunakan jarum suntik untuk membuat Laila semakin menderita. Setelah itu, Laila pasti akan minta pulang kembali ke keluarganya dulu.Namun, tepat saat jarum hampir menyentuh kulit Laila …“Angel!”Suara menggelegar membuat Serina tersentak kaget, tangannya gemetar hingga jarum suntik jatuh ke lantai. Ia menoleh cepat dengan mata yang membelalak saat melihat sosok pria berjas berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam. Rahes, sang ayah sudah pulang ke rumah. Ia menyalakan lampu dan bisa melihat apa yang dilakukan oleh Serina secara jelas. Jarum suntik
Kursi roda Laila berdecit pelan saat ia mendorong dirinya ke halaman belakang rumah. Kecelakaan itu memang telah merenggut kemampuannya untuk berjalan, tapi ia tidak akan membiarkan hal itu merenggut martabatnya juga. Laila tetap berusaha keras untuk sembuh dan menjalani kehidupan seperti orang normal pada umumnya.Di teras, Serina duduk santai dengan secangkir kopi, senyum liciknya tidak pernah berubah sejak hari pertama Laila datang ke rumah ini. Gadis itu menatap Laila seolah dirinya masih menjadi penguasa rumah ini yang tak tergoyahkan. “Bagaimana kabarmu, adik kecil?” Serina menyapa dengan nada pura-pura ramah. Ia menatap Laila dengan tatapan cemooh.Dari sini Laila bisa melihat jika selama ini Serina pandai menyembunyikan sifat aslinya. Dulu ia tampak seperti gadis yang rapuh dan patut dikasihani. Laila merasa iba padanya hingga menjalin persahabatan dengannya.Waktu terasa begitu cepat berlalu, hingga menampakan sisi lain dari dirinya. Ternyata, Serina memiliki kepribadian g
Pasha menatap layar monitor di ruang konsultasi dengan mata setengah merem. Sudah hampir delapan jam ia berjaga di rumah sakit, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Bukan ke pasien, bukan ke laporan medis, tapi ke seseorang yang sudah lama menghilang dari hidupnya—Rosa. Meskipun mereka tinggal satu kota, namun mereka kini seperti orang asing.Seperti halnya Beryl yang merindukan Laila, Pasha pun merindukan kehadiran Rosa di sisinya. Sayangnya, mereka saling menyukai namun Rosa menolaknya hanya karena perbedaan status sosial. “Dok, pasiennya dari tadi nunggu, loh.”Perawat Dini menepuk bahunya pelan, membuat Pasha tersentak. Dia segera berdehem, merapikan jas dokternya yang sudah kusut, dan menatap pasien di depannya—seorang pria paruh baya yang mengeluhkan sakit perut. “Baik, Pak. Mari kita periksa.”Tapi alih-alih bertanya tentang keluhan pasien, Pasha malah tanpa sadar bergumam, “Rosa... kamu di mana sekarang?”Belakangan ia sering mampir ke kosan Rosa, namun sialnya, menurut p
Jeena melangkah ringan memasuki kampusnya, sesekali menoleh ke belakang dan tersenyum pada Manggala yang masih berdiri di dekat mobil. Suaminya yang tampan dan penuh perhatian itu tidak hanya mengantarnya, tetapi juga berjanji akan menunggunya hingga kuliah selesai. Di kejauhan, Dion memperhatikan pemandangan itu dengan ekspresi datar. Ada sedikit rasa sesak di dadanya, tapi kali ini ia tidak lagi berusaha menutupi perasaannya dengan pura-pura santai atau bercanda dengan teman-temannya. Ia sadar, Jeena bukan lagi seseorang yang bisa ia dekati seperti dulu. Jeena kini adalah istri orang lain. Ia sudah menikah.Ia melihat bagaimana Manggala menunggu di sana, matanya terus mengikuti Jeena hingga ia menghilang di balik pintu gedung kampus. Itu bukan sekadar pengantaran biasa. Itu adalah bentuk cinta, sesuatu yang Dion tak mungkin bisa berikan kepada Jeena karena selama ini ia hanya berdiri di pinggir tanpa berani melangkah lebih jauh. Hati Jeena sudah lebih dulu dimiliki oleh pemuda be
Di sebuah pagi yang cerah, Beryl duduk di kantor dengan wajah muram. Sejak Laila ikut ayahnya ke Malaysia, hidupnya terasa hampa. Kangen berat. Rasa rindu itu sampai menyelinap ke alam bawah sadarnya.“Pak, ini dokumen yang harus Anda tanda—”Juna membawa berkas dokumen ke atas meja Beryl untuk ditandatangani olehnya.“Laila, tolong taruh di meja saja,” potong Beryl tanpa melihat ke arah sekretarisnya.Juna, sekretaris baru Beryl, berhenti di tempat dengan wajah yang mengernyit. “Pak Beryl, saya Juna.”Beryl menatap Juna, seolah baru sadar. “Oh, iya. Maaf, Jun— eh, Laila!”Juna menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya Beryl salah panggil. Sejak beberapa hari lalu, nama Laila seakan jadi mantra yang keluar dari mulut bosnya. Ingin tertawa takut kualat, eh, dipecat.Entah mengapa Beryl tak bisa mengontrol dirinya. Nama yang keluar dari bibirnya Laila dan Laila.Tak cukup di kantor, masalah ini berlanjut ke acara kumpul keluarga. Saat semua sedang menikmati hidangan makan malam,