Night, night, happy reading. Thanks for the supports.
Karena mengalami kejang-kejang dan demam tinggi alhasil Eka Sagara Yudistira akhirnya harus dilarikan ke rumah sakit. Semua orang panik setelah mendengar laporan dari Linda mengenai kondisi anak lelaki tampan itu. Bukan tanpa alasan, sebelumnya suhu tubuh Sagara tampak normal. Namun tiba-tiba saja suhu tubuhnya merangkak naik.Embun menatap putranya dengan perasaan sedih. Ia merasa simpatik ketika melihat para perawat berusaha mencari pembuluh darah untuk dipasang selang infus. Mereka tampak kesulitan karena Sagara tidak bisa diam sampai menangis kejer. Pasti anak itu kesakitan ketika jarum infus menusuk kulitnya. “Sayang, kau sarapan dulu! Biar Gara Mami yang jaga.”Ana mengusap lembut pundak putrinya karena semalaman Embun berjaga. Sagara menangis dan menyusu terus.Namun kini anak tampan itu terlihat tergolek lemah karena sedang tidur. Barangkali anak itu mengantuk dan letih akibat tenaganya dihabiskan untuk menangis. Ana sempat kaget melihat cucunya menangis kejer saat sakit. Dulu
Embun sudah kehilangan urat malunya akibat perutnya yang bergemuruh lapar. Pada akhirnya, ia pun menyantap bubur ayam kampung buatan ibunya Manggala. “Mama yang bikin tadi pagi setelah mendengar kabar Gara dirawat.”Manggala menggunakan modus sang ibu, dengan tujuan agar Embun mau makan.Embun mengangkat mata dan bersuara. “Oalah, bikinan Mama Mas Gala?”“Iya, kebetulan Mama masih di penthouse belum pulang ke Salatiga. Mama mirip kamu suka masak,” tukas Manggala sukses membuat hati Embun berdebar-debar.“Karena ini bikinan Mama Mas Gala, aku akan memakannya. Sayang, kalau gak langsung dimakan. Bubur ‘kan enak dimakan saat masih panas.”Embun pun mengambil wadah berbahan anti panas kemudian ia membuka tutupnya. Harum aroma bawang merah yang menguar menusuk-nusuk hidung dan menggugah nafsu makan wanita muda itu. Embun pun langsung melahapnya dengan kalap hingga habis. Manggala hanya mengulum senyum menatap dalam wanita cantik berkerudung hitam itu. Mau berdandan atau tidak, bagi Mangg
Setelah mendapat kabar berita buruk tentang ibunya, Danar Yudistira langsung turun dari kendaraan mewahnya diikuti oleh Gilang. Rupanya, rumah sakit di mana ibunya dilarikan adalah rumah sakit yang sama di mana Sagara dirawat. Dengan langkah yang mendugas pria itu langsung berjalan menuju ruang ICU di mana wanita yang melahirkannya itu ditangani. Tubuh Danar luruh ke lantai saat melihat dengan mata dan kepala sendiri sang ibu tergolek lemah di atas ranjang ICU lewat jendela kaca dengan berbagai alat medis yang menopang tubuhnya. Sebab untuk sementara waktu ia tidak diperbolehkan melihatnya masuk ke dalam sebab kondisinya kritis. Diajeng mengalami kecelakaan saat hendak pergi ke rumah temannya. Rem mobil yang ditumpanginya blong hingga menyebabkan sang supir pribadi hilang kendali. Diajeng mengalami luka serius hingga membuatnya belum sàdarkan diri. Kepalanya terhantam kaca depan mobil dan kakinya mengalami patah tulang karena terjepit badan mobil. Tak hanya Diajeng yang mengalami
Mita mendesah pelan. Ia tidak suka cara suaminya bertanya padanya—yang terkesan intimidatif.“Mas, aku tahu, kau pasti mengira aku tidak peduli pada Ibu. Menantu tidak berguna begitulah. Ckck!”Mita menjeda kalimatnya. Ia bersedekap tangan di dada dan menengadah saat menatap lawan bicaranya. “Waktu itu aku pernah mendengar cerita dari ibu jika mobil itu sering bolak balik ke bengkel. Tapi, Ibu memang suka menaiki mobil itu karena itu mobil hadiah ulang tahun dari suami tercinta. Dengan kata lain, mobil itu hadiah dari Ayah,” jelas Mita menambahkan. Meskipun penjelasannya terasa janggal.Dalam diam, Danar membenarkan perkataan istrinya. Memang dari beberapa koleksi mobil ibunya, ada satu mobil yang sering bermasalah. Namun karena kesibukannya, ia tidak terlalu memperhatikannya.Kombes Hasan menajamkan indera pendengarannya kemudian menatap Mita dan Danar bergantian. “Tuan Danar dan Nyonya Mita, saya permisi dulu. Kami harus melanjutkan penyelidikan kami. Semoga Bu Diajeng cepat pulih
“Apa yang kaulakukan?”Mita melayangkan tatapan menghunus tajam pada sosok pria tampan yang secara tiba-tiba memasuki kamarnya saat tengah malam. “Aku kangen, Mit,” jawab pria itu seraya mengayunkan langkah kaki jenjangnya menuju wanita berpenampilan seksi di depannya. Pria berwajah oriental itu memangkas jarak di antara mereka. Pria tampan itu menelan salivanya saat melihat Mita dalam balutan gaun malam yang menerawang dan menempel di tubuhnya. Warna putih gading gaun itu menyatu dengan kulit tubuhnya yang putih dan mulus.Rasanya, pria itu ingin mengupas dan merobek gaun itu dengan tidak sabaran.Semenjak pernah berbagi kehangatan dengan Mita, Satria menjadi ketagihan pada tubuh wanita itu. Apalagi merasakan wanita bersuami di mana menjadi sebuah tantangan tersendiri baginya. Dadanya terasa berdebar-debar tak karuan. Namun sensasinya terasa nikmat.Menyadari tatapan Satria, Mita buru-buru menyilangkan ke dua tangannya di depan dadanya. Perasaannya tak enak. Apalagi Danar sedang ber
Pada suatu hari minggu yang cerah, Embun sudah tampil cantik dan prima. Ia sudah bersiap-siap akan mulai belajar bahasa Inggris secara private di rumah. Sang kakak sudah mendapatkan seorang tutor bahasa untuknya. Sebelumnya, Ana sudah mencarikan tutor bahasa Inggris langsung ke berbagai lembaga kursus. Kebetulan lembaga kursus itu tidak memiliki tutor dengan jadwal yang kosong. Oleh karena itu ia menyerahkan tugas itu pada Pasha. Sesungguhnya, seluruh keluarga Basalamah pandai dalam berbahasa asing baik bahasa Inggris maupun bahasa Arab. Namun karena semua orang sibuk maka tidak memungkinkan salah satu dari mereka mengajari Embun.“Wah, wah, anak Mami sudah cantik. Semangat sekali mau belajar,” puji Ana—yang sedang menggendong Sagara. Sagara tampak sedang memilin rambut neneknya yang terurai sembari terkekeh geli. Akhir pekan itu, Ana memilih mengasuh cucunya di rumah. Sebuah hobi baru di mana ia bisa mengajak main Sagara. Bukan shopping atau pergi ke spa bersama teman sosialita.U
“Bagaimana tadi lesnya?”Ana bertanya pada putrinya yang terlihat ceria setelah belajar bahasa Inggris, meskipun Embun sempat kesal karena tutor bahasa Inggris yang dijanjikan oleh Pasha membatalkan pertemuannya.Embun duduk dan menaruh tas yang dijinjingnya di atas kursi di mana ia duduki. Kemudian ia pun merespon pertanyaan ibunya dengan seutas senyum tipis. Tatapan matanya berbinar terang saat mengingat beberapa menit yang lalu, ketika ia belajar bahasa Inggris bersama Manggala. Di luar dugaan, rupanya Manggala bisa menjelma menjadi sosok guru yang hebat. Ia mengajarinya dengan sangat baik. Yang terpenting, Embun bisa memahami penjelasannya. Baru satu jam tiga puluh menit, namun Embun sudah bisa menguasai conversation dasar. Manggala memforsir dirinya untuk terbiasa bicara dalam bahasa Inggris saat pertemuan. Embun pun mengikuti nasehatnya dan ternyata ia bisa berhasil bicara bahasa Inggris meskipun masih terbata-bata.Padahal niat hati, ia ingin menghindari sosok Manggala karena p
Danar menjadi merasa bersalah. Ia bingung harus menjelaskan soal cincin itu. Ia memang sudah lama membeli cincin berlian itu. Sebelumnya ia menaruh cincin berbatu safir itu di dalam ruang kerjanya di rumah. Namun karena merasa tidak aman, ia berniat akan menyimpan cincin itu di ruang kantornya. Sayang, ia malah lupa menaruhnya di dalam laci kamar mereka. Padahal ia menaruhnya di bagian terdalam laci tersebut. Bahkan ia memang melupakan cincin itu.Bagaimana lagi, sebaik atau serapi apapun orang menyembunyikan bau maka akan ketahuan juga. Cincin itu dibeli untuk Embun. Ia ingin memberikan hadiah untuknya.“Mita, saya bisa jelaskan,” imbuh Danar menatap Mita yang memunggunginya. Wanita itu menangis sesenggukan. Hatinya terasa pedih ketika melihat dengan kepala sendiri, suaminya masih mengharapkan mantan istri sirinya. Padahal, Mita sedang berjuang untuk mempertahankan rumah tangganya meskipun dengan hati yang berdarah-darah.“Cukup, Mas!” tukas Mita yang terdengar lirih dan menyerah. Wan
Saat Laila tengah menikmati helaian buku yang diberikan oleh kakak penyelamatnya, suara Serina menyambarnya seperti cambuk. “Wow, akhirnya si anak hilang datang juga.” Laila menoleh dan menemukan Serina berada di ambang pintu, mengenakan maxi dress sutra berwarna merah darah yang kontras dengan kulitnya yang pucat. Rambut brunettenya tergerai sempurna, dan bibirnya melengkung dalam senyum penuh ejekan. Sesuai pikirannya, Serina tidak akan pernah berubah, ia datang bukan untuk melihat kondisinya. Namun ia ingin berusaha menyingkirkannya dari kehidupan ayah mereka. Namun kini Laila tidak akan terprovokasi oleh perkataannya yang toxic.Hari-hari berikutnya Laila mulai merasa ketenangannya diusik oleh Serina. Gadis itu benar-benar mengujinya. Apalagi Rahes sangat sibuk dengan pekerjaannya. Ia selalu pulang malam, bahkan kadang tidak pulang.Setiap kali Laila mulai membuka diri, berbicara dengan Rahes, Serina selalu muncul di antara mereka, mengalihkan perhatian ayah mereka dengan ke
Pada suatu sore, saat Laila sedang duduk di ruang tamu menikmati udara segar yang masuk lewat jendela, seorang gadis muda menghampirinya. Gadis itu mengenakan balutan setelan kasual, kemeja dan celana jeans berwarna biru senada dengan senyum yang ramah. “Halo, sepupu! Aku Nadia,” kata gadis itu, memperkenalkan dirinya. Laila pikir, gadis yang datang ialah kakak seayahnya, Serina. Menurut Rahes, Serina tinggal di Indonesia untuk sementara. Namun ia akan pergi menjenguknya nanti. “Kamu pasti Laila, kan? Aku sepupumu. Anak dari kakaknya Om Rahes.”Nadia memperlihatkan dua lesung pipi di wajahnya. Gadis itu terlihat memiliki pembawaan yang dewasa, cerdas dan tenang.Laila terkejut mendengar kata 'sepupu', namun dengan cepat ia tersenyum. “Iya, aku Laila,” jawabnya dengan suara lembut. Di dalam rumah Laila tidak mengenakan cadarnya. Hanya ada pelayan perempuan wara wiri di sana. Para pelayan pria berada di luar rumah.Nadia duduk di samping Laila, menawarkan secangkir teh hangat yang sud
Sulis duduk di kursi ruang tamu, menyilangkan tangan di dada sambil menatap suaminya, Ali, yang mondar-mandir dengan ekspresi tak karuan. Lelaki itu tampak gelisah, sesekali menghela napas panjang seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan. Ali sedang kesal pada istrinya. “Honey Sweety, kalau kamu mau ngelamar kerja sebagai penjaga pos ronda, aku yakin kamu sudah diterima dengan cara mondar-mandir kayak gitu,” sindir Sulis, mencoba mencairkan suasana. Sulis seorang yang mudah marah, namun amarahnya cepat pula surut. Berbeda dengan suaminya ketika marah akan lebih awet alias lama.Ali berhenti, menatap istrinya dengan mata menyipit. “Jadi, Rahes Pramudya itu, mantan kekasihmu? Pantes,” Sulis mengembuskan napas, sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. “Ya.” Ali terdiam sejenak, lalu tertawa sinis. “Oh, bagus. Aku baru tahu fakta kecil ini setelah dia hampir bikin perusahaan Basalamah bangkrut, lalu tiba-tiba berubah jadi pahlawan kesiangan.” Sulis menatap Ali tajam. “Kamu
Beryl terduduk lesu di sofa, menatap kosong ke layar ponsel yang sudah lebih dari dua hari tidak menampilkan notifikasi dari Laila. Ia menyimpan nomor Laila namun tidak berani meneleponnya secara langsung. Sebenarnya, ia tahu betul bahwa Laila sudah terbang ke Malaysia, tapi hatinya tetap berharap ada pesan masuk, mungkin semacam, “Aku kangen kamu, Kakak.” Tapi nihil. Sayang, semua itu hanyalah khayalan Beryl semata.Pasha dan Alby duduk di sebelahnya, masing-masing membawa sekantong cemilan. Mereka sengaja ingin menghiburnya karena tahu Beryl pasti sedang galau ditinggal oleh Laila.“Aku nggak habis pikir, kenapa Laila tega ninggalin aku?” keluh Beryl, masih dengan ekspresi dramatis khasnya. Pasha mengunyah keripik sambil menatapnya dengan sok prihatin. “Kayaknya sekarang Laila udah sembuh. Dia udah kerja di kantor ayahnya. Wuih, keren CEO Laila! Laila pantas cerdas karena turunan dari ayahnya. Eh, pasti banyak pengusaha mendekati CEO wanita!”“Atau mungkin dia ikut audisi film Up
Dua minggu berlalu, Laila sudah mulai membaik. Ia masih dirawat di rumah sakit kota Bandung dengan penjagaan ketat dan perawat profesional. Sulis memberikan perawatan terbaik untuk gadis itu, terlepas dari gadis itu adalah gadis yang ditaksir putranya. Satu yang pasti, keluarga Basalamah berhutang nyawa padanya. Itulah alasan kuat Yuda tidak menolak bantuan Sulis.Sore itu, Beryl membesuk Laila setelah beberapa hari ia tidak ke sana. Kesibukan dalam dunia kerja membuatnya tidak punya waktu banyak untuk mengambil cuti atau liburan. Namun demi gadis kecilnya, ia rela menempuh perjalanan panjang demi dirinya.Dengan antusias Beryl membawa satu buket bunga mawar putih untuk Laila. Pun, ia membawa novel romance religi yang dibelinya di Gramedia yang dilewatinya, karena ingat jika Laila suka membaca buku.Saat kakinya tiba di ambang pintu ruangan di mana Laila dirawat, Beryl menatap Laila dengan campuran iba dan kagum. Perempuan itu, meskipun tubuhnya lemah, semangatnya tetap menyala bagai
Laila hanya menatap Beryl dengan tatapan yang rumit. Pada awalnya, ia mengira jika Beryl itu hanya merasa kasihan dan iba padanya. Namun saat ini, ia melihat wajah pria tampan di dekatnya berwajah penuh keringat, rambut berantakan dan terutama raut wajah penuh kerutan cemas. Ia menempuh perjalanan jauh dari Jakarta ke Bandung hanya demi dirinya.Hati Laila merasa hangat melihatnya. Beryl memang menaruh perasaan padanya. Bukan karena kasihan atau iba. Namun Laila memejamkan matanya, merasa ia tidak pantas mendapat perhatian apalagi kasih sayang dari pria itu. Kini, ia bukan wanita normal, lumpuh dan ringkih. Sementara pria di depannya sosok yang tampan dan mapan. Beryl berhak mendapat wanita yang sepadan dengannya. Alih-alih menjawab pertanyaan Beryl, Laila menatap Sulis lalu bibirnya bergetar pelan. “Tante, aku haus,”“Tante ambilkan minum, Sayang,” imbuh Sulis lalu mengambil botol minum dengan sedotan. Ia membantu Laila minum. Sementara itu Beryl merasa dadanya terasa sesak, mengapa
“Laila,” seru Sulis membuka pintu kamar Laila dengan pelan. Seketika ia terkejut saat melihat Laila terkapar di lantai dan tak sadarkan diri.Wajah gadis itu pucat pasi dengan tubuh yang lemah. Kondisinya sangat memprihatinkan.Wanita paruh baya itu panik bukan main. Lalu segera membantu gadis itu, mengangkat tubuhnya yang kurus ke atas ranjang.Ia pun segera keluar kamar gadis itu lalu memanggil Yuda.Yuda pun panik saat melihat Laila tak sadarkan. Sudah ia kira Laila pasti syok melihat kedatangan Rahes yang tiba-tiba mengaku sebagai ayah kandungnya.“Kita harus bawa ke rumah sakit!” ujar Sulis langsung menepuk pundak Yuda. Yuda hanya diam dengan pikiran yang berkecamuk. Ia mulai berpikir, jika ia tidak boleh egois. Ia harus membawa Laila ke rumah sakit kota yang terbaik. Bayangkan saja, jarak dari rumah pondok itu ke rumah sakit terdekat saja lumayan jauh. Sudah saatnya ia membawa Laila pulang ke rumah. Namun, pasti akan terjadi persaingan lagi antara Dania dan Laila. Meskipun Dania
Laila tergugu saat melihat pria di depannya mengaku sebagai ayah kandungnya. Namun sebisa mungkin ia berusaha tenang. Ia tidak ingin terlalu menanggapi soal hal itu. Hatinya merasa letih dengan kebenaran-kebenaran yang terus menerus datang tanpa diundang.Rahes menatap Laila dengan lebih tenang. Ia bisa merasakan keterkejutan pada mata jernih putrinya–yang sialnya mengingatkannya pada sosok Melani. Wajahnya begitu mirip dengannya.“Ayah, bukankah mau tes DNA Laila? Kenapa Ayah percaya begitu saja kalau Laila itu putri Ayah yang hilang?” Serina merasa kecewa dengan Rahes—yang begitu mudah percaya pada kehadiran Laila sebagai anak kandungnya."Tidak perlu," Jawab Rahes.Rahes langsung memegang tangan Serina, mengisyaratkan agar ia diam saja tidak perlu ikut berkomentar. “Laila, maafin Ayah, Nak. Mungkin ini terlalu cepat. Tapi, tenang saja, Ayah akan memberimu waktu,” lanjut Rahes dengan suara yang lembut. Tanpa sàdar air menetes dari pelupuk matanya.Mendengar perkataan Rahes, Laila p
“Udah jangan nangis lagi dong! Kita bisa pulang seminggu sekali kalau mau,”Manggala menggenggam tangan Jeena sepanjang perjalanan berada di dalam pesawat. Jeena merasa berat harus meninggalkan putranya yang kini sudah semakin besar dan cerewet. Sebagai seorang ibu, rasanya begitu berat berpisah dengannya.“Mas gak bakalan ngerasain yang aku rasain sekarang,” beo Jeena mulai berani memprotes suaminya.“Iya, iya, iya, Mas ‘kan gak ngelahirin jadi gak tahu gimana rasanya menjadi seorang ibu. Tapi, tenang saja, Mas akan menjadi Ayah Sagara yang baik hati dan tidak sombong.”Manggala mencubit pipi Jeena dengan pelan. Lalu ia mengusap-usap kepalanya dengan lembut seperti pada seekor anak kucing.Jeena mengangkat mata dengan bibir yang mencucuk mirip bebek. “Apaan sih!”“Ya … salah lagi, deh!”Manggala menepuk jidatnya dengan kekehan pelan.Setelah sekian jam menempuh perjalanan udara, akhirnya mereka tiba di bandara dan langsung kembali pulang ke apartemen Jeena. Kini mereka hanya berdua ka