Have a nice day ...
Malam itu suasana di rumah Ana cukup ramai. Para keponakannya berkumpul di sana. Semenjak kehadiran Embun, kini rumah besar Ana yang sebelumnya selalu sepi menjadi hidup. Setiap akhir pekan, anggota keluarga lain datang ke rumahnya. Jika dulu rumah Ali–yang dijadikan tempat basecamp berkumpul keluarga. Kini giliran rumah Ana yang menjadi basecamp.Kehadiran Embun dan Sagara yang sangat menggemaskan sungguh membawa suasana baru di rumah mewah tersebut. Apalagi Sagara, anak lelaki tampan yang mencuri atensi seluruh anggota keluarga. Mungkin anak itu menjadi kesayangan Basalamah.Pukul delapan malam, mereka mengadakan makan malam di luar rumah dengan menu khas Timur tengah. Menu yang biasa disajikan di keluarga Basalamah. Sayang, Ali-Sulis tidak hadir karena mereka masih berada di Bogor menemani Sulaiman yang masih berada dalam masa pemulihan setelah penyakit jantungnya kumat.“Mami, dari tadi aku hanya diam. Aku tidak membantu memasak.”Embun berkata di belakang ibunya—yang sedang asik
Karena mengalami kejang-kejang dan demam tinggi alhasil Eka Sagara Yudistira akhirnya harus dilarikan ke rumah sakit. Semua orang panik setelah mendengar laporan dari Linda mengenai kondisi anak lelaki tampan itu. Bukan tanpa alasan, sebelumnya suhu tubuh Sagara tampak normal. Namun tiba-tiba saja suhu tubuhnya merangkak naik.Embun menatap putranya dengan perasaan sedih. Ia merasa simpatik ketika melihat para perawat berusaha mencari pembuluh darah untuk dipasang selang infus. Mereka tampak kesulitan karena Sagara tidak bisa diam sampai menangis kejer. Pasti anak itu kesakitan ketika jarum infus menusuk kulitnya. “Sayang, kau sarapan dulu! Biar Gara Mami yang jaga.”Ana mengusap lembut pundak putrinya karena semalaman Embun berjaga. Sagara menangis dan menyusu terus.Namun kini anak tampan itu terlihat tergolek lemah karena sedang tidur. Barangkali anak itu mengantuk dan letih akibat tenaganya dihabiskan untuk menangis. Ana sempat kaget melihat cucunya menangis kejer saat sakit. Dulu
Embun sudah kehilangan urat malunya akibat perutnya yang bergemuruh lapar. Pada akhirnya, ia pun menyantap bubur ayam kampung buatan ibunya Manggala. “Mama yang bikin tadi pagi setelah mendengar kabar Gara dirawat.”Manggala menggunakan modus sang ibu, dengan tujuan agar Embun mau makan.Embun mengangkat mata dan bersuara. “Oalah, bikinan Mama Mas Gala?”“Iya, kebetulan Mama masih di penthouse belum pulang ke Salatiga. Mama mirip kamu suka masak,” tukas Manggala sukses membuat hati Embun berdebar-debar.“Karena ini bikinan Mama Mas Gala, aku akan memakannya. Sayang, kalau gak langsung dimakan. Bubur ‘kan enak dimakan saat masih panas.”Embun pun mengambil wadah berbahan anti panas kemudian ia membuka tutupnya. Harum aroma bawang merah yang menguar menusuk-nusuk hidung dan menggugah nafsu makan wanita muda itu. Embun pun langsung melahapnya dengan kalap hingga habis. Manggala hanya mengulum senyum menatap dalam wanita cantik berkerudung hitam itu. Mau berdandan atau tidak, bagi Mangg
Setelah mendapat kabar berita buruk tentang ibunya, Danar Yudistira langsung turun dari kendaraan mewahnya diikuti oleh Gilang. Rupanya, rumah sakit di mana ibunya dilarikan adalah rumah sakit yang sama di mana Sagara dirawat. Dengan langkah yang mendugas pria itu langsung berjalan menuju ruang ICU di mana wanita yang melahirkannya itu ditangani. Tubuh Danar luruh ke lantai saat melihat dengan mata dan kepala sendiri sang ibu tergolek lemah di atas ranjang ICU lewat jendela kaca dengan berbagai alat medis yang menopang tubuhnya. Sebab untuk sementara waktu ia tidak diperbolehkan melihatnya masuk ke dalam sebab kondisinya kritis. Diajeng mengalami kecelakaan saat hendak pergi ke rumah temannya. Rem mobil yang ditumpanginya blong hingga menyebabkan sang supir pribadi hilang kendali. Diajeng mengalami luka serius hingga membuatnya belum sàdarkan diri. Kepalanya terhantam kaca depan mobil dan kakinya mengalami patah tulang karena terjepit badan mobil. Tak hanya Diajeng yang mengalami
Mita mendesah pelan. Ia tidak suka cara suaminya bertanya padanya—yang terkesan intimidatif.“Mas, aku tahu, kau pasti mengira aku tidak peduli pada Ibu. Menantu tidak berguna begitulah. Ckck!”Mita menjeda kalimatnya. Ia bersedekap tangan di dada dan menengadah saat menatap lawan bicaranya. “Waktu itu aku pernah mendengar cerita dari ibu jika mobil itu sering bolak balik ke bengkel. Tapi, Ibu memang suka menaiki mobil itu karena itu mobil hadiah ulang tahun dari suami tercinta. Dengan kata lain, mobil itu hadiah dari Ayah,” jelas Mita menambahkan. Meskipun penjelasannya terasa janggal.Dalam diam, Danar membenarkan perkataan istrinya. Memang dari beberapa koleksi mobil ibunya, ada satu mobil yang sering bermasalah. Namun karena kesibukannya, ia tidak terlalu memperhatikannya.Kombes Hasan menajamkan indera pendengarannya kemudian menatap Mita dan Danar bergantian. “Tuan Danar dan Nyonya Mita, saya permisi dulu. Kami harus melanjutkan penyelidikan kami. Semoga Bu Diajeng cepat pulih
“Apa yang kaulakukan?”Mita melayangkan tatapan menghunus tajam pada sosok pria tampan yang secara tiba-tiba memasuki kamarnya saat tengah malam. “Aku kangen, Mit,” jawab pria itu seraya mengayunkan langkah kaki jenjangnya menuju wanita berpenampilan seksi di depannya. Pria berwajah oriental itu memangkas jarak di antara mereka. Pria tampan itu menelan salivanya saat melihat Mita dalam balutan gaun malam yang menerawang dan menempel di tubuhnya. Warna putih gading gaun itu menyatu dengan kulit tubuhnya yang putih dan mulus.Rasanya, pria itu ingin mengupas dan merobek gaun itu dengan tidak sabaran.Semenjak pernah berbagi kehangatan dengan Mita, Satria menjadi ketagihan pada tubuh wanita itu. Apalagi merasakan wanita bersuami di mana menjadi sebuah tantangan tersendiri baginya. Dadanya terasa berdebar-debar tak karuan. Namun sensasinya terasa nikmat.Menyadari tatapan Satria, Mita buru-buru menyilangkan ke dua tangannya di depan dadanya. Perasaannya tak enak. Apalagi Danar sedang ber
Pada suatu hari minggu yang cerah, Embun sudah tampil cantik dan prima. Ia sudah bersiap-siap akan mulai belajar bahasa Inggris secara private di rumah. Sang kakak sudah mendapatkan seorang tutor bahasa untuknya. Sebelumnya, Ana sudah mencarikan tutor bahasa Inggris langsung ke berbagai lembaga kursus. Kebetulan lembaga kursus itu tidak memiliki tutor dengan jadwal yang kosong. Oleh karena itu ia menyerahkan tugas itu pada Pasha. Sesungguhnya, seluruh keluarga Basalamah pandai dalam berbahasa asing baik bahasa Inggris maupun bahasa Arab. Namun karena semua orang sibuk maka tidak memungkinkan salah satu dari mereka mengajari Embun.“Wah, wah, anak Mami sudah cantik. Semangat sekali mau belajar,” puji Ana—yang sedang menggendong Sagara. Sagara tampak sedang memilin rambut neneknya yang terurai sembari terkekeh geli. Akhir pekan itu, Ana memilih mengasuh cucunya di rumah. Sebuah hobi baru di mana ia bisa mengajak main Sagara. Bukan shopping atau pergi ke spa bersama teman sosialita.U
“Bagaimana tadi lesnya?”Ana bertanya pada putrinya yang terlihat ceria setelah belajar bahasa Inggris, meskipun Embun sempat kesal karena tutor bahasa Inggris yang dijanjikan oleh Pasha membatalkan pertemuannya.Embun duduk dan menaruh tas yang dijinjingnya di atas kursi di mana ia duduki. Kemudian ia pun merespon pertanyaan ibunya dengan seutas senyum tipis. Tatapan matanya berbinar terang saat mengingat beberapa menit yang lalu, ketika ia belajar bahasa Inggris bersama Manggala. Di luar dugaan, rupanya Manggala bisa menjelma menjadi sosok guru yang hebat. Ia mengajarinya dengan sangat baik. Yang terpenting, Embun bisa memahami penjelasannya. Baru satu jam tiga puluh menit, namun Embun sudah bisa menguasai conversation dasar. Manggala memforsir dirinya untuk terbiasa bicara dalam bahasa Inggris saat pertemuan. Embun pun mengikuti nasehatnya dan ternyata ia bisa berhasil bicara bahasa Inggris meskipun masih terbata-bata.Padahal niat hati, ia ingin menghindari sosok Manggala karena p
Beryl turun dari mobil dengan hati berdebar. Sudah sekian lama ia menunggu saat ini—bertemu Laila lagi, setelah semua kejadian yang menimpa mereka. Sengaja, ia tidak memberikan kabar padanya. Ia ingin memberikan kejutan.Meninggalkan Alby yang masih berada di luar, Beryl melangkah masuk ke rumah mewah itu dengan napas yang sedikit tertahan, seperti anak kecil yang hendak membuka hadiah ulang tahun.Pintu rumah mewah itu terbuka, matanya langsung tertuju pada sosok yang begitu dirindukannya. Laila, dalam balutan gamis berwarna merah muda sedang berjuang berdiri tegak di ruang tamu yang luas. Perawat Febi dengan sabar menopangnya, sementara Laila berkali-kali menggerutu, “Aku bisa sendiri! Jangan perlakukan aku seperti anak kecil!”Laila kembali cerewet, pertanda ia mulai sembuh. Namun, belum sampai tiga detik, tubuhnya oleng ke samping.“Ya Allah, Nona! Jangan maksa!” pekik Febi panik, buru-buru menangkapnya agar tidak jatuh.Namun Laila yang gigih tidak akan menyerah begitu saja. Ia
Hujan turun deras malam itu, menambah suasana kelam di kediaman Rahes. Serina duduk di ruang tamu dengan wajah tegang, masih tidak percaya bahwa ayahnya benar-benar akan menghukumnya. Di depannya, Rahes berdiri tegap, matanya dingin menatap putrinya yang selama ini begitu ia manja. Rahes bukan menutup mata dengan apa yang terjadi. Selama ini ia mengamati putrinya dari Laura itu diam-diam. Laporan dari Sulis, bukti-bukti kejahatan yang sudah dilakukannya, laporan dari para art dan perawat Febi sudah cukup menjadikan sebuah pertimbangan di mana ia harus segera bertindak. Ternyata, semakin dibiarkan Serina semakin menjadi. “Kamu akan pulang ke Indonesia,” kata Rahes tanpa basa-basi. Serina menatapnya dengan mata melebar. “Apa?”Rahes menekan pelipisnya, mencoba meredam amarah yang masih tersisa. “Kamu akan tinggal bersama Rosalinda. Dia akan mengajarkanmu bagaimana menjadi manusia yang lebih baik.”Serina bangkit dari sofa, tangannya mengepal. “Ayah tidak bisa melakukan ini padaku! A
Serina mendekat, menarik lengan Laila yang kurus, dan membuka tutup jarum suntik dengan jari-jari gemetar. Ini adalah usaha yang sudah kelewat batas! Tak peduli, amarah dan dendamnya berhasil merobohkan nuraninya. Malam itu ia berniat akan menghukum Laila dengan hukuman yang takkan pernah terlupakan olehnya.Laila pasti akan menyerah setelah ini!Obat-obatan akan meninggalkan jejak seperti waktu itu. Oleh karena itu, kini Serina menggunakan jarum suntik untuk membuat Laila semakin menderita. Setelah itu, Laila pasti akan minta pulang kembali ke keluarganya dulu.Namun, tepat saat jarum hampir menyentuh kulit Laila …“Angel!”Suara menggelegar membuat Serina tersentak kaget, tangannya gemetar hingga jarum suntik jatuh ke lantai. Ia menoleh cepat dengan mata yang membelalak saat melihat sosok pria berjas berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam. Rahes, sang ayah sudah pulang ke rumah. Ia menyalakan lampu dan bisa melihat apa yang dilakukan oleh Serina secara jelas. Jarum suntik
Kursi roda Laila berdecit pelan saat ia mendorong dirinya ke halaman belakang rumah. Kecelakaan itu memang telah merenggut kemampuannya untuk berjalan, tapi ia tidak akan membiarkan hal itu merenggut martabatnya juga. Laila tetap berusaha keras untuk sembuh dan menjalani kehidupan seperti orang normal pada umumnya.Di teras, Serina duduk santai dengan secangkir kopi, senyum liciknya tidak pernah berubah sejak hari pertama Laila datang ke rumah ini. Gadis itu menatap Laila seolah dirinya masih menjadi penguasa rumah ini yang tak tergoyahkan. “Bagaimana kabarmu, adik kecil?” Serina menyapa dengan nada pura-pura ramah. Ia menatap Laila dengan tatapan cemooh.Dari sini Laila bisa melihat jika selama ini Serina pandai menyembunyikan sifat aslinya. Dulu ia tampak seperti gadis yang rapuh dan patut dikasihani. Laila merasa iba padanya hingga menjalin persahabatan dengannya.Waktu terasa begitu cepat berlalu, hingga menampakan sisi lain dari dirinya. Ternyata, Serina memiliki kepribadian g
Pasha menatap layar monitor di ruang konsultasi dengan mata setengah merem. Sudah hampir delapan jam ia berjaga di rumah sakit, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Bukan ke pasien, bukan ke laporan medis, tapi ke seseorang yang sudah lama menghilang dari hidupnya—Rosa. Meskipun mereka tinggal satu kota, namun mereka kini seperti orang asing.Seperti halnya Beryl yang merindukan Laila, Pasha pun merindukan kehadiran Rosa di sisinya. Sayangnya, mereka saling menyukai namun Rosa menolaknya hanya karena perbedaan status sosial. “Dok, pasiennya dari tadi nunggu, loh.”Perawat Dini menepuk bahunya pelan, membuat Pasha tersentak. Dia segera berdehem, merapikan jas dokternya yang sudah kusut, dan menatap pasien di depannya—seorang pria paruh baya yang mengeluhkan sakit perut. “Baik, Pak. Mari kita periksa.”Tapi alih-alih bertanya tentang keluhan pasien, Pasha malah tanpa sadar bergumam, “Rosa... kamu di mana sekarang?”Belakangan ia sering mampir ke kosan Rosa, namun sialnya, menurut p
Jeena melangkah ringan memasuki kampusnya, sesekali menoleh ke belakang dan tersenyum pada Manggala yang masih berdiri di dekat mobil. Suaminya yang tampan dan penuh perhatian itu tidak hanya mengantarnya, tetapi juga berjanji akan menunggunya hingga kuliah selesai. Di kejauhan, Dion memperhatikan pemandangan itu dengan ekspresi datar. Ada sedikit rasa sesak di dadanya, tapi kali ini ia tidak lagi berusaha menutupi perasaannya dengan pura-pura santai atau bercanda dengan teman-temannya. Ia sadar, Jeena bukan lagi seseorang yang bisa ia dekati seperti dulu. Jeena kini adalah istri orang lain. Ia sudah menikah.Ia melihat bagaimana Manggala menunggu di sana, matanya terus mengikuti Jeena hingga ia menghilang di balik pintu gedung kampus. Itu bukan sekadar pengantaran biasa. Itu adalah bentuk cinta, sesuatu yang Dion tak mungkin bisa berikan kepada Jeena karena selama ini ia hanya berdiri di pinggir tanpa berani melangkah lebih jauh. Hati Jeena sudah lebih dulu dimiliki oleh pemuda be
Di sebuah pagi yang cerah, Beryl duduk di kantor dengan wajah muram. Sejak Laila ikut ayahnya ke Malaysia, hidupnya terasa hampa. Kangen berat. Rasa rindu itu sampai menyelinap ke alam bawah sadarnya.“Pak, ini dokumen yang harus Anda tanda—”Juna membawa berkas dokumen ke atas meja Beryl untuk ditandatangani olehnya.“Laila, tolong taruh di meja saja,” potong Beryl tanpa melihat ke arah sekretarisnya.Juna, sekretaris baru Beryl, berhenti di tempat dengan wajah yang mengernyit. “Pak Beryl, saya Juna.”Beryl menatap Juna, seolah baru sadar. “Oh, iya. Maaf, Jun— eh, Laila!”Juna menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya Beryl salah panggil. Sejak beberapa hari lalu, nama Laila seakan jadi mantra yang keluar dari mulut bosnya. Ingin tertawa takut kualat, eh, dipecat.Entah mengapa Beryl tak bisa mengontrol dirinya. Nama yang keluar dari bibirnya Laila dan Laila.Tak cukup di kantor, masalah ini berlanjut ke acara kumpul keluarga. Saat semua sedang menikmati hidangan makan malam,
Saat Laila tengah menikmati helaian buku yang diberikan oleh kakak penyelamatnya, suara Serina menyambarnya seperti cambuk. “Wow, akhirnya si anak hilang datang juga.” Laila menoleh dan menemukan Serina berada di ambang pintu, mengenakan maxi dress sutra berwarna merah darah yang kontras dengan kulitnya yang pucat. Rambut brunettenya tergerai sempurna, dan bibirnya melengkung dalam senyum penuh ejekan. Sesuai pikirannya, Serina tidak akan pernah berubah, ia datang bukan untuk melihat kondisinya. Namun ia ingin berusaha menyingkirkannya dari kehidupan ayah mereka. Namun kini Laila tidak akan terprovokasi oleh perkataannya yang toxic.Hari-hari berikutnya Laila mulai merasa ketenangannya diusik oleh Serina. Gadis itu benar-benar mengujinya. Apalagi Rahes sangat sibuk dengan pekerjaannya. Ia selalu pulang malam, bahkan kadang tidak pulang.Setiap kali Laila mulai membuka diri, berbicara dengan Rahes, Serina selalu muncul di antara mereka, mengalihkan perhatian ayah mereka dengan kel
Pada suatu sore, saat Laila sedang duduk di ruang tamu menikmati udara segar yang masuk lewat jendela, seorang gadis muda menghampirinya. Gadis itu mengenakan balutan setelan kasual, kemeja dan celana jeans berwarna biru senada dengan senyum yang ramah. “Halo, sepupu! Aku Nadia,” kata gadis itu, memperkenalkan dirinya. Laila pikir, gadis yang datang ialah kakak seayahnya, Serina. Menurut Rahes, Serina tinggal di Indonesia untuk sementara. Namun ia akan pergi menjenguknya nanti. “Kamu pasti Laila, kan? Aku sepupumu. Anak dari kakaknya Om Rahes.”Nadia memperlihatkan dua lesung pipi di wajahnya. Gadis itu terlihat memiliki pembawaan yang dewasa, cerdas dan tenang.Laila terkejut mendengar kata 'sepupu', namun dengan cepat ia tersenyum. “Iya, aku Laila,” jawabnya dengan suara lembut. Di dalam rumah Laila tidak mengenakan cadarnya. Hanya ada pelayan perempuan wara wiri di sana. Para pelayan pria berada di luar rumah.Nadia duduk di samping Laila, menawarkan secangkir teh hangat yang suda