“Nur, kau menghubungi tuan kalau aku di rumah sakit untuk periksa?” tanyaku pada pengasuh anak-anak yang juga ikut mengantarku karena Gala dan Meida mendesak ikut.“Belum, Nyonya. Apa saya minta Danang menguhubungi tuan?” tanyanya.“Oh, jangan! Tidak usah. Kau tidak dengar tadi kalau dokter juga bilang aku hanya masuk angin dan butuh istirahat? Lihatlah, aku hanya minum teh hangat yang kau berikan dan sudah nampak segar.”Untungnya Nur hanya mengangguk. Padahal dia sudah dipesan Ed agar mengawasi kesehataanku.Aku takut saja kalau Ed tahu hal ini, dia bisa-bisa menjadikan ini alasan untuk memarahiku.Bagaimana tidak? Semalam kami sudah dengan heboh mengeskplor hasrat cinta kami, dan sepaginya masih kugoda Ed untuk melakukannya lagi. Ed sudah menolak dengan berbagai cara namun tidak mampu juga menolak permintaanku. Pria itu pasti tidak akan mau lagi menurutiku kalau tahu keadaanku jadi begini.“Anak-anak bersama Danang di taman, Nyonya.” Nur memberi tahu.“Baik, biarakan mereka. Kita j
“Biar tante periksa dulu,” tukas Tante Atika memegangi perutku. “Masih sakit?” tanyanya.Aku menggeleng. Membuat wajah ayu wanita sebaya ibuku itu menatapku dengan raut keheranan.“Kalau tidak sakit kenapa masih nangis?” tanyanya melepas stetoskop di telinganya.“Lihat itu, Tante. Ada laki-laki yang sangat tidak ramah padaku. Aku jadi takut!” kukeluarkan tangisku agar Ed segan dengan keberadaan Tante Atika karena menurunkan kekesalannya padaku.Walau aku sudah tahu, itu karena dia yang terlalu mencemaskanku. Tapi biar bagaimanapun melihat wajah tampan yang setiap hari selalu lembut padaku dan sekarang sejutek itu, aku tentu sedih sekali.Lebih tepatnya tidak mau dimarahi hanya karena alasan sepele periksa ke rumah sakit tanpa memberitahunya.“Astaga, Ed… kenapa sih? Istrimu sudah baik-baik saja, loh!” Tante mencoba menengahi.“Mila memang tambeng, Tante. Apa dia tidak tahu betapa gugupnya aku saat diberitahu dia diserang Jessica di rumah sakit. Sampe aku nabrak pedagang somay tadi
“Kau mengiraku takut dengan Om Danio?” Ed merasa tidak terima dikata takut dengan pria itu. Bisa jadi para pria memang selalu gengsi mengakui hal seperti itu. Tidak mau saja terlihat lemah di depan orang lain.“Tidak masalah, Ed. Kau mencemaskan kami, bukan?” kusampaikan hal itu agar Ed tidak tersinggung.“Meida minta kolam renang, sementara rumahnya di renovasi ‘kan?” Ed mengingatkan hal itu. Kupikir itu hanya alasannya saja pada putri kecilnya itu.“Ed, serius?”“Serius! Nanti aku cubit pipimu lagi kalau masih juga mikirin ini!” Ed kembali menegasi. Dia sangat tidak suka melihatku kerasa kepala dengan terus membahas tentang hal yang sudah dibilang akan dibereskannya.Meski kurang terima, aku masih mengangguk.“Ya sudah, sekarang bobok biar sehat lagi. Masalah Jessica ataupun Om Danio biar kuurus. Oke?” Ed menungguku menyahutinya.“Iya, Sayang.”“Nice girl! Sekarang aku balik kerja dulu ya, Sayang. Baik-baik di rumah untukku.” Ed mencium keningku lagi sebelum pergi.“Hati-hati, Saya
“Oh. Jadi Paman Prabowo mengenal Om Danio?” Aku baru ingat, Pak Prabowo sejak dulu menjadi pengacara keluarga Permana, hanya saja dipecat oleh orang kepercayaan beliau.“Iya, dan dia bilang, tidak perlu terlalu cemas padanya. Suamimu itu adalah big bos yang menggajinya. Dia juga pasti punya kuasa pada pria itu. Mau dipecat dia?”Aku tidak sepakat dengan ucapan Tante Atika kali ini. Karena sebelumnya Sam sudah bercerita bahwa pria itu kini memanfaatkan hubungan yang tidak baik dari saudara kembar Ed untuk mengadu domba dua bersaudara itu. “Aku pernah dengar dia itu mafia, Tante. “ Kuberi sedikit alasan mengapa aku masih cemas.Tante Atika tertawa mendengarku menyebut Danio sebagai mafia.“Ya ampun, Mila. Kau ini pasti kebanyakan lihat film-film itu ya? Sudah tidak perlu dipikirkan. Ini negara hukum. Sudah ada prosedur hukum untuk pelaku kejahatan di negara ini. Lebih baik kita mawas diri sendiri dan banyakin berdoa agar selalu dilindungi Allah. Bukannya ibumu barusan telpon dan mend
“EEEED!?” Teriakku ketika melihat sekilas mobil yang terbakar itu sama dengan mobil yang biasa dipakai Ed.“Tidak, tolong! Padamkan apinya. Suamiku ada di dalam sana!” kakiku lemas tapi aku masih berusaha berteriak pada beberapa orang yang juga masih bingung harus melakukan apa.Dua penjaga rumahku segera mengambil APAR dari pos satpam dan berlari kembali ke mobil yang terbakar itu.Jantungku tak karuan berdetak dan sesaat tubuhku oleng hingga tak mampu berdiri tegak. Aku sampai harus bersimpuh di jalan karena terlalu lemah menghadapi kenyataan ini.“Ed…” tangisku tergugu sambil memegangi dadaku yang bergemuruh tak karuan. Mimpi yang barusan terlintas kembali semakin membuatku kacau.Aku tidak akan bisa hidup tanpa Ed. Tolong jangan begini Ya Tuhan…“Hey, aku di sini!” suara itu terdengar bersamaan sebuah pelukan hangat yang langsung menenangkan tsunami besar dalam dadaku.“Ed? Kau di sini? Kau tidak apa-apa?” aku langsung menatap wajah itu dan memastikan bahwa pria yang memelukku it
“Sayang, apa ini tidak akan menambah masalah dengan keluarganya?” tanyaku lagi pada Ed dan memintanya memberiku satu alasan saja agar tidak terus mencemaskan kelakuan wanita itu.Ya tuhan, secara tidak langsung aku jadi trauma setelah mendapat serangan dari wanita itu kemarin. Kulihat Jessica bisa semurka itu padaku hanya karena kebohongan vonis penyakitnya itu.Tidak bisa kubayangkan jika dia juga bisa menyakiti anak-anakku yang tidak berdosa.“Sudah kutunjukan kebohongan putri tercintanya itu pada Om Danio. Sepertinya dia memaklumi alasanku semarah itu pada Jessica. Lagi pula, pria itu juga punya ambisinya sendiri. Tidak mungkin berbelok begitu saja hanya karena putrinya yang labil itu!”Kubayangkan lagi Jessica yang masih memendam kesal itu harus menurut begitu saja dengan perintah Ed. Jadi penasaran hal apa yang ditawarkan Ed pada wanita itu hingga dia mau menurut untuk balik ke Jakarta?“Apa yang kau janjikan padanya?” tanyaku serius.Ed hanya melirikku dan mengingatkan agar a
“Anak-anak di wahana jungkat-jungkit itu, Nyonya!” tukas Danang menunjuk tempat si kembar sedang asik bermain.“Baik, aku akan ke sana!” ujarku. Kuambil tangan Ed untuk menyaliminya baru aku beranjak pergi.Dari jauh bisa kulihat Danang sedikit membungkuk untuk bisa berbicara dengan Ed yang masih duduk di dalam mobilnya itu.“Maaa!” teriak Meida melihatku datang menghampiri mereka. “Kita main jungkat-jungkit ya, Ma? Mama duduk di sana Meida di sini!” bocah itu memberikan instruksi padaku.“Meida, Sayang. Mama enggak boleh naik jungkat-jungkit, nanti adik di perut mama sakit.” Tante Atika menghampiri dan mengingatkan bocah kecil itu.“Tidak boleh, ya?” Meida menirukan ucapan Tante Atika. Wanita itu mengangguk memberikan pengertian. ”Padahal Meida pengen main sama Mama.” Meida cemberut. Sepertinya berpikir, belum juga adiknya lahir dia sudah tidak bisa minta main denganku. “Begini saja, bagaimana kalau kita main ayunan? Biar mama yang mengayun Meida dari belakang.” Kuhibur dia dengan
Sejak tadi aku menyalakan televisi di kamar untuk mengikuti berita. Berita anak yang diculik itu dengan cepat menjadi viral di kabar kota maupun media sosial.Apalagi, ternyata dua anak itu merupakan cucu mantan orang nomor satu di negara ini yang sedang berkunjung ke rumah kerabat di kota ini. Sehingga dengan segera polisi bertindak menyelidikinya.Pak Bupati tidak mau saja di saat kota yang dipimpinnya sedang mendapat sorotan positif karena mulai mengembangkan sektor pariwisata, tiba-tiba harus dicoreng dengan ulah orang yang tidak bertanggung jawab.Karenanya dia juga beberapa kali ikut nimbrung dalam pemberitaan untuk memberikan himbauan dan komando agar seluruh warganya ikut membantu melaporkan orang-orang yang mencurigakan sebagai penculik cucu orang penting itu.“Belum tidur, Sayang?” Ed baru masuk ke kamar dan duduk di sampingku ikut melihat berita yang tersuguh di layar televisi. “Sejak tadi belum kelar juga beritanya?”“Kau tahu siapa penculiknya, Ed?” tanyaku padanya. “