“Keluar kau wanita iblis!” Jessica berteriak-teriak ketika melihatku masuk ke kamarnya bersama Ed.Dokter baru saja memeriksanya. Tidak ada luka serius kecuali goresan-goresan tipis di wajah dan lehernya karena duri mawar. Luka itu hampir rata di wajahnya membentuk garis-garis merah seperti benang ruwet. Tidak bisa dibayangkan betapa perihnya luka itu. Apalagi kalau proses mengering, Aku tidak yakin dia masih bisa sebawel ini.Rasanya seperti itu juga perih hatiku selama ini membiarkan suamiku bersamanya sementara aku merana sendirian. Malah bisa jadi lebih perih dari sekedar luka yang bisa mengering dengan salep dokter itu.“Ed, aku di luar saja, ya? Jessica tidak mengizinkanku masuk. Dia pasti terus menyalahkanku.” ujarku sedih di hadapan Ed. Namun Ed masih menggenggam tanganku.“Kau memang bersalah, Mila. Kau yang mendorongku ke semak-semak itu. Pasti kau ingin aku mati ‘kan? Mengakulah!” ujar Jessica lagi dengan segunung kesalnya.Sebentar dia meringis, mengeluhkan perih karena
“Bermalam-malam Edward bersama Jessica harusnya membuka matamu bahwa dia lebih peduli pada Jessica daripada dirimu. Dia kembali padamu karena rasa tanggung jawabnya pada anak-anaknya saja. Tahu diri saja kamu, wanita kampung!”Kubiarkan wanita itu melanjutkan cecarannya biar Ed tahu betul apa yang sedang di benak mereka tentangku.“Kak Lisa!” ujar Ed yang seketika membuat wanita itu membeku sejenak baru kemudian membalikkan badannya dan melihat Ed sudah berdiri di belakangnya.“Kenapa bicara seperti itu pada istriku?” tanya Ed dengan raut tenangnya, membuat Kak Lisa tergagap. Namun dia gengsi saja karena tidak ingin terlihat jatuh di pandanganku.“Edward? I-itu, bagaimana Jessica?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.“Aku sungguh mencemaskannya saat perawatnya mengatakan sedang terjatuh. Kau tahu kan kalau Jessica itu tidak boleh kenapa-kenapa di saat imunnya rendah begini. Takutnya akan ada komplikasi dan ...”“Jessica tidak apa-apa, Kak. Tidak perlu berebihan seperti itu. Dia nyun
“Kalau dipikir-pikir, Jessica dengan vonis dokter yang katanya parah, kondisi fisiknya masih kuat juga ya, Ed?”Kupancing perbincangan tentang Jessica saat kami sudah bersantai setelah sama-sama menidurkan si kembar.“Harusnya bagaimana?” Ed yang sesekali sudah menguap itu masih menyahuti pertanyaanku.“Enggak tahu juga sih, aku tidak pernah lihat langsung orang dengan vonis kanker stadium akhir. Hanya saja kalau dokter saja mengatakan Jessica tinggal hanya menunggu kematiannya, harusnya kondisinya semakin memburuk.Ya, kan?”Ed membuka matanya yang terpejam itu lalu meringsut berbaring miring agar bisa menatapku.“Tidak semua begitu, Mila.”“Ini hanya sebuah kemungkinan dari info yang pernah aku baca lho, Ed. Bukan aku yang kemudian ingin melihat dia semakin memburuk.” kutandasi ucapanku agar Ed tidak berpikir aku berharap Jessica semakin buruk.Tiba-tiba kulihat tatapan Ed yang meredup dan itu membuatku tidak nyaman. Apa dia tidak suka dengan pemikiranku ini? “Mamaku dulu sehat da
Selesai sarapan bareng si kembar dan memandikan mereka aku segera masuk ke kamar untuk mempersiapkan diri ke kantor.Kugenakan kaus tanpa lengan yang melekat ketat di tubuhku sebagai inner sebelum kubalut dengan blazer.Ini salah satu baju yang dibelikan perusaahaan agar aku tampil semakin menarik di depan big bos agar dia lebih tertarik dengan perusahaan tempatku bekerja sebagai partner kerja sama proyek ini.Namun, aku justru tidak pernah memakainya setelah mengetahui big bos perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan tempatku bekerja adalah suamiku sendiri. Sekarang, aku iseng ingin memakainya dan senyum-senyum sendiri melihat pantulan bayanganku di cermin. Di kantor, toh aku kerjanya barengan suamiku. Jadi kalau terlihat seksi begini, itu juga buat suamiku sendiri, kan?“Serius pakai begituan?” Ed yang masuk keburu melihat penampilanku. Dia tahu aku selalu sopan dalam berpakaian, jadi nampak kurang setuju kalau aku keluar dengan memakai pakaian begini.“Ini nanti aku tutup
“Kepalaku sakit sekali, Edward. Tolong bawa aku keluar mencari angin sebentar.” Jessica menarik lengan Ed dan memintanya mendorong kursi rodanya keluar.“Nona Jessica?” panggil perawat yang datang langsung menghampiri Jessica dan bersiap mengambil alih kursi rodanya.“Kak Lisa, tolong, aku tidak mau dikemo!” Jessica berteriak pada kakaknya yang kini terlihat lelah terus memainkan sandiwara adiknya itu.“Ya sudah bilang saja sana di dalam, atau hubungi dokter kepercayaanmu itu!” Kak Lisa malah memasrahkan pada Jessica kembali.“Kak?! Kau tega padaku?” Jessica memprotes sikap Kak Lisa yang tidak peduli itu.“Kau mau ditemani Edward?” aku malah menawarkan itu pada Jessica.Ed hanya melirikku sekilas. Masih ingat saat pertama Jessica di kemo kemudian memintanya memeluk sepanjang malam karena efek kemonya itu, Ed pasti kurang setuju. Dia tidak mau saja menghadapi kecemburuanku.“Tidak usah! Suster bawa aku masuk!” Jessica memutuskan. Dia tentu tidak mau Ed ikutan masuk lalu mengetahui
“Awas, Ed!” teriakku terkejut karena hampir saja mobil yang dikendarainya menabrak sebuah mobil di depan yang seketika memotong jalan.Beruntung Ed langsung membanting setir ke kanan menghindari mobil itu.“Sialan. Cari mati dia!” umpat Ed kesal melirik kaca spion.Jantungku hampir saja copot lalu kutoleh Ed untuk memperingatkannya.“Sayang, hati-hati! Kau melajukan mobil terlalu cepat.”Ada apa dengan Ed?Apa karena kebohongan Jessica tadi hingga dia sampai tidak fokus di jalan?Ingin kutanyakan sejak tadi, tapi Ed sedang menyetir dengan kecepatannya tinggi. Takut saja menganggu fokusnya dan malah membahayakan diri. Entahlah mau kemana dia sampai ngebut begitu? Padahal, tadi saat keluar dari rumah sakit cara nyetirnya normal-normal saja.“Maaf, Sayang!” Ed menoleh ke arahku. Merasa bersalah karena sudah membuatku takut dengan cara menyetirnya yang ngebut itu.“Bisa berhenti sebentar enggak?” pintaku karena meski meminta maaf Ed tidak mengurangi laju mobilnya.“Kau mau ke suatu tem
“Kenapa wajahmu, Ed?”Aku berjingkat cemas melihat memar di tulang pipi Ed yang ketara sekali itu.“Tidak apa-apa, Mila. Jangan cemaskan hal ini. Besok juga menghilang,” tukasnya tersenyum menghampiriku.Aku langsung memintanya mendekat dan memeriksa luka yang kebiruan itu. Yang kutahu luka seperti itu bisa terjadi karena bekas pukulan. “Kau tidak berkelahi, kan?” tanyaku lagi dengan cemas. “Tidaklah, Sayang.” Ed menenangkanku sambil mengulas senyum menunjukan bahwa dia baik-baik saja.“Lalu ini kenapa?” tanyaku lagi belum bisa menemukan dugaan lain selain karena suamiku berkelahi dan terkena pukulan di pipinya. “Ini karena tadi terlalu panik membawamu ke mobil saat kau pingsan. Lalu kebentur atap pintu mobil saat gendong kamu ke dalam mobil.” Ed menjelaskannya.“Benar itu? Bukan karena berkelahi, kan?” aku masih meminta penegasan. Ed tidak menjawabnya tapi hanya mengedikan bahunya lalu mendekapku di dadanya. “ Aku mau memeluk istriku yang di perutnya sedang ada Ed kecil l
“Tuan, Nona Jessica mengamuk di vila. Dia bahkan mengancam akan membakar vila kalau Anda tidak datang.” kudengar Sam mengatakan hal itu pada Ed keesokan harinya ketika kami bersiap akan kembali ke rumah.“Biar saja dia bakar sekalian vilanya.” Dengan santai Ed menjawabi Sam.“Lantas, tentang Tuan Danio?” Sam berlanjut menanyakan tentang ayah Jessica. Aku juga kurang memahami betul seperti apa hubungan Ed dengan pria yang di panggil Tuan Danio itu.“Nanti kita pikirkan lagi, yang penting jangan biarkan mereka mengusik keluargaku. Aku akan membawa Mila pulang dulu. Kita bertemu di kantor.” Ed memungkasi obrolan mereka sebelum kemudian Sam pergi dan dia kembali ke dalam kamar.Ed sedikit terkejut karena melihatku yang sudah berdiri menata barang. Entah itu terkejut karena mengiraku masih di kamar mandi atau karena aku yang sedang menata barang?“Kupikir kau masih di kamar mandi?” Ed mengambil tas itu dan memindahkannya ke tempat tidur penunggu agar aku tidak repot-repot.“Ya, baru kelua