Malam itu, di apartemen Daniel, Bella duduk dengan gelisah di sofa, ujung jarinya mengetuk-ngetuk gelas wine yang isinya hampir kosong. Matanya menyipit menatap pemandangan kota dari jendela besar, tapi pikirannya jauh melayang pada kejadian kemarin."Aku masih tidak percaya," desisnya, suaranya bergetar oleh amarah yang tertahan. "Gavin benar-benar menyewa bodyguard untuk wanita itu? Bodyguard pribadi! Seperti dia ini ... apa? Selebriti? Putri bangsawan?"Daniel yang baru keluar dari kamar mandi dengan handuk melingkar di pinggangnya dan tetesan air masih menempel di dada bidangnya, menatap Bella. Ia mengambil posisi di sisi Bella."Kau harusnya melihat bagaimana Gavin memandang wanita itu," Bella melanjutkan, tangannya gemetar hingga wine di gelasnya bergoyang. "Seperti dia adalah ... harta paling berharga di dunia ini."Daniel menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Bella ....""Tidak," potong Bella, suaranya pecah. "Dia tidak pernah memandangku seperti itu. Tidak s
Mentari pagi menembus tirai tipis kamar tidur. Bella menggeliat, perlahan membuka matanya. Ia meraih ponsel di nakas, mengecek waktu dan notifikasi yang masuk.Matanya langsung terbuka lebar saat melihat pesan dari Gavin. Dengan jantung berdegup kencang, ia membuka pesan tersebut."Bella, ini peringatan terakhir. Jangan coba-coba mengganggu Livia lagi. Jika kau berani mendekatinya atau mengancamnya, aku tidak akan segan melaporkanmu ke pihak berwajib. Aku serius."Amarah langsung menyulut dalam diri Bella. Jemarinya menggenggam ponsel dengan begitu erat."Berani-beraninya dia!" desis Bella, melempar ponselnya ke sudut tempat tidur dengan kasar.Suara bantingan itu membangunkan Daniel. Pria itu terduduk dengan cepat, matanya masih setengah terpejam. "Ada apa?""Gavin," Bella mendesis, matanya nyalang dengan amarah. "Dia mengancamku untuk tidak mendekati wanita pelacur itu. Bahkan mengancam akan melaporkanku ke polisi!" Daniel mengusap wajahnya, mencoba mengumpulkan kesadaran. "Bell, d
"Wow!" Elena ikut terkesiap. "Itu banyak sekali untuk perlengkapan bayi."Livia menggelengkan kepalanya, masih tidak percaya. Selama hidupnya, ia tidak pernah melihat angka sebesar itu di rekeningnya. Bahkan gaji bulanannya tidak pernah melebihi UMR. Dan sekarang, ada 100 juta rupiah yang tersedia untuknya dan bayinya."Aku bahkan tidak tahu harus membeli apa dengan uang sebanyak ini," gumam Livia.©©©Mobil yang dikemudikan Dika memasuki pelataran Galeri Harmoni. Bangunan bergaya minimalis dengan dominasi kaca dan kayu itu menjulang dengan elegan di hadapan mereka."Kita sudah sampai," ucap Dika sambil membukakan pintu belakang.Livia turun dengan hati-hati, satu tangan menopang perutnya yang membuncit. Elena mengikuti dari sisi lain, tangannya dengan sigap memegangi lengan Livia."Pelan-pelan saja," bisik Elena penuh perhatian.Mereka baru saja melangkah beberapa meter menuju pintu masuk ketika seorang pria berusia sekitar empat puluhan bergegas menyambut mereka. Pria itu mengenakan
Baby Wonder, toko perlengkapan bayi terbesar di Jakarta, terlihat menjulang dengan bangunan tiga lantainya yang didominasi kaca dan aksen warna-warna pastel. Livia tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya saat mobil mereka memasuki area parkir yang luas."Ini pertama kalinya aku belanja perlengkapan bayi," akunya pada Elena, matanya berbinar penuh antisipasi.Elena meremas tangannya dengan lembut. "Kau akan menikmatinya, Liv. Ini akan jadi pengalaman yang menyenangkan."Begitu mereka turun dari mobil, Dika langsung mengambil posisi tidak jauh dari mereka, matanya tetap waspada meski wajahnya tampak tenang.Livia terhenti sejenak. "Pak Dika, apa tidak apa-apa kalau Bapak ikut masuk? Ini kan toko perlengkapan bayi, pasti akan lama.""Tidak apa-apa, Nyonya. Saya sudah diperintahkan Tuan Gavin untuk tidak meninggalkan Anda," jawab Dika tegas.Livia dan Elena bertukar pandang, kemudian tersenyum maklum. "Baiklah kalau begitu," Livia mengangguk.Begitu memasuki toko, aroma khas bedak bayi l
"Tidak, tidak ada masalah," jawab Livia cepat, memilih untuk menghindari konfrontasi lebih jauh. "Ayo kita lanjutkan belanja, El."Livia dan Elena bergegas menjauh, meninggalkan Sandra yang masih berdiri dengan ekspresi penasaran. Mereka pindah ke bagian perlengkapan makan bayi, berusaha melupakan pertemuan tidak menyenangkan tadi."Kau baik-baik saja?" tanya Elena khawatir, mengamati wajah Livia yang sedikit pucat.Livia mengangguk, tangannya tanpa sadar mengelus perutnya seolah ingin melindungi bayinya dari energi negatif. "Aku baik-baik saja. Hanya ... tidak menyangka akan bertemu mereka di sini."Sementara itu, tak jauh dari tempat Livia dan Elena berdiri, Sandra masih terpaku. Pikirannya dipenuhi pertanyaan tentang Livia. Ia begitu larut dalam pikirannya hingga tidak menyadari kedatangan Evan."Sandra, kau di sini rupanya," Evan menghampiri, membawa beberapa potong pakaian bayi. "Aku sudah mencarimu keliling toko."Sandra menarik lengan Evan dengan antusias. "Evan, kamu tidak aka
Gavin Lysandros, mematikan mesin mobilnya di garasi rumah mewahnya yang berada di kawasan elit Menteng. Jam tangan mahalnya menunjukkan pukul 10 malam. Seharusnya, saat ini ia masih berada di Singapura menghadiri rapat direksi. Tapi, kejutan ulang tahun untuk sang istri lebih penting dari apapun. Dengan kue ulang tahun di tangannya, ia melangkah tanpa suara, memasuki rumah, menaiki tangga hingga ke lantai dua. Saat tiba di depan pintu kamar utama, ia mematung. Samar-samar terdengar desahan dari dalam. "Ah ... Daniel ... Kamu begitu gagah perkasa. Gavin tidak pernah bisa memuaskanku seperti ini." Suara Bella terdengar dengan jelas. Lima tahun menikah, Gavin memang terlalu sibuk dengan pekerjaannya. "Di ranjang pun dia payah ... loyo ... tidak bisa membuatku puas," lanjut Bella di sela-sela desahan. "Nyonya Bella memang butuh pria jantan seperti saya ...." Suara Daniel, sopir pribadi yang sudah ia percaya selama tiga tahun, membuat darah Gavin mendidih. "Mmhh ... ya ... Gavin t
Sehari sebelumnya ...Bungkusan plastik berisi kotak makan itu terjatuh begitu saja dari genggaman Livia. Nasi goreng special yang ia masak dengan penuh cinta berhamburan di lantai koridor kontrakan yang sempit. Namun, suara berisik dari kotak makan yang berbenturan dengan lantai tak mampu mengalahkan desahan dan erangan yang terdengar dari balik pintu kamar Evan yang sedikit terbuka."Ahh ... Sayang ... kamu memang yang terbaik ...."Suara itu, suara yang sangat Livia kenal, menghancurkan seluruh dunianya dalam sekejap. Tubuhnya membeku dan jantungnya seakan berhenti berdetak.Tiga bulan. Hanya tinggal tiga bulan lagi menuju hari pernikahan mereka. Hari yang selama ini Livia impikan, hari yang ia nantikan sejak Evan berlutut dan memasangkan cincin di jari manisnya enam bulan yang lalu.Dengan tangan gemetar, Livia mendorong pintu kamar itu. Pemandangan di hadapannya membuat dunianya seketika runtuh. Di atas ranjang sempit, Evan, pria yang ia percayai dengan sepenuh hati, tengah menin
Kembali ke hotel ....Masih berdiri di ambang pintu, Livia menatap Gavin sejenak sebelum berbisik lirih, "Nama saya ... Aurora."Sebelumnya, Madam Rose berpesan pada Livia kalau ia tidak boleh memberitahukan nama aslinya kepada pelanggan. Setiap wanita di dunia malam ini mempunyai nama khusus dari Madam Rose. Livia pulang diantar oleh sopir pribadi Madam Rose. Di dalam mobil, ia hanya diam menatap kosong lampu kota yang berpendar sambil meneteskan air mata. Begitu tiba, Livia membuka pintu rumah kontrakan kecilnya, Rita sudah menunggu di ruang tamu sempit dengan senyum tersungging di wajahnya. Livia masuk dengan langkah pelan, tubuhnya letih secara fisik dan mental."Kamu sudah melakukan hal yang benar," ujar Rita dengan nada lembut yang tidak biasa. "Jangan terlalu dipikirkan. Yang penting sekarang ayahmu bisa mendapat pengobatan yang layak."Livia hanya mengangguk lemah, tak mampu berkata-kata. Ia langsung masuk ke kamarnya tanpa makan malam terlebih dahulu. Padahal, perutnya belu
"Tidak, tidak ada masalah," jawab Livia cepat, memilih untuk menghindari konfrontasi lebih jauh. "Ayo kita lanjutkan belanja, El."Livia dan Elena bergegas menjauh, meninggalkan Sandra yang masih berdiri dengan ekspresi penasaran. Mereka pindah ke bagian perlengkapan makan bayi, berusaha melupakan pertemuan tidak menyenangkan tadi."Kau baik-baik saja?" tanya Elena khawatir, mengamati wajah Livia yang sedikit pucat.Livia mengangguk, tangannya tanpa sadar mengelus perutnya seolah ingin melindungi bayinya dari energi negatif. "Aku baik-baik saja. Hanya ... tidak menyangka akan bertemu mereka di sini."Sementara itu, tak jauh dari tempat Livia dan Elena berdiri, Sandra masih terpaku. Pikirannya dipenuhi pertanyaan tentang Livia. Ia begitu larut dalam pikirannya hingga tidak menyadari kedatangan Evan."Sandra, kau di sini rupanya," Evan menghampiri, membawa beberapa potong pakaian bayi. "Aku sudah mencarimu keliling toko."Sandra menarik lengan Evan dengan antusias. "Evan, kamu tidak aka
Baby Wonder, toko perlengkapan bayi terbesar di Jakarta, terlihat menjulang dengan bangunan tiga lantainya yang didominasi kaca dan aksen warna-warna pastel. Livia tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya saat mobil mereka memasuki area parkir yang luas."Ini pertama kalinya aku belanja perlengkapan bayi," akunya pada Elena, matanya berbinar penuh antisipasi.Elena meremas tangannya dengan lembut. "Kau akan menikmatinya, Liv. Ini akan jadi pengalaman yang menyenangkan."Begitu mereka turun dari mobil, Dika langsung mengambil posisi tidak jauh dari mereka, matanya tetap waspada meski wajahnya tampak tenang.Livia terhenti sejenak. "Pak Dika, apa tidak apa-apa kalau Bapak ikut masuk? Ini kan toko perlengkapan bayi, pasti akan lama.""Tidak apa-apa, Nyonya. Saya sudah diperintahkan Tuan Gavin untuk tidak meninggalkan Anda," jawab Dika tegas.Livia dan Elena bertukar pandang, kemudian tersenyum maklum. "Baiklah kalau begitu," Livia mengangguk.Begitu memasuki toko, aroma khas bedak bayi l
"Wow!" Elena ikut terkesiap. "Itu banyak sekali untuk perlengkapan bayi."Livia menggelengkan kepalanya, masih tidak percaya. Selama hidupnya, ia tidak pernah melihat angka sebesar itu di rekeningnya. Bahkan gaji bulanannya tidak pernah melebihi UMR. Dan sekarang, ada 100 juta rupiah yang tersedia untuknya dan bayinya."Aku bahkan tidak tahu harus membeli apa dengan uang sebanyak ini," gumam Livia.©©©Mobil yang dikemudikan Dika memasuki pelataran Galeri Harmoni. Bangunan bergaya minimalis dengan dominasi kaca dan kayu itu menjulang dengan elegan di hadapan mereka."Kita sudah sampai," ucap Dika sambil membukakan pintu belakang.Livia turun dengan hati-hati, satu tangan menopang perutnya yang membuncit. Elena mengikuti dari sisi lain, tangannya dengan sigap memegangi lengan Livia."Pelan-pelan saja," bisik Elena penuh perhatian.Mereka baru saja melangkah beberapa meter menuju pintu masuk ketika seorang pria berusia sekitar empat puluhan bergegas menyambut mereka. Pria itu mengenakan
Mentari pagi menembus tirai tipis kamar tidur. Bella menggeliat, perlahan membuka matanya. Ia meraih ponsel di nakas, mengecek waktu dan notifikasi yang masuk.Matanya langsung terbuka lebar saat melihat pesan dari Gavin. Dengan jantung berdegup kencang, ia membuka pesan tersebut."Bella, ini peringatan terakhir. Jangan coba-coba mengganggu Livia lagi. Jika kau berani mendekatinya atau mengancamnya, aku tidak akan segan melaporkanmu ke pihak berwajib. Aku serius."Amarah langsung menyulut dalam diri Bella. Jemarinya menggenggam ponsel dengan begitu erat."Berani-beraninya dia!" desis Bella, melempar ponselnya ke sudut tempat tidur dengan kasar.Suara bantingan itu membangunkan Daniel. Pria itu terduduk dengan cepat, matanya masih setengah terpejam. "Ada apa?""Gavin," Bella mendesis, matanya nyalang dengan amarah. "Dia mengancamku untuk tidak mendekati wanita pelacur itu. Bahkan mengancam akan melaporkanku ke polisi!" Daniel mengusap wajahnya, mencoba mengumpulkan kesadaran. "Bell, d
Malam itu, di apartemen Daniel, Bella duduk dengan gelisah di sofa, ujung jarinya mengetuk-ngetuk gelas wine yang isinya hampir kosong. Matanya menyipit menatap pemandangan kota dari jendela besar, tapi pikirannya jauh melayang pada kejadian kemarin."Aku masih tidak percaya," desisnya, suaranya bergetar oleh amarah yang tertahan. "Gavin benar-benar menyewa bodyguard untuk wanita itu? Bodyguard pribadi! Seperti dia ini ... apa? Selebriti? Putri bangsawan?"Daniel yang baru keluar dari kamar mandi dengan handuk melingkar di pinggangnya dan tetesan air masih menempel di dada bidangnya, menatap Bella. Ia mengambil posisi di sisi Bella."Kau harusnya melihat bagaimana Gavin memandang wanita itu," Bella melanjutkan, tangannya gemetar hingga wine di gelasnya bergoyang. "Seperti dia adalah ... harta paling berharga di dunia ini."Daniel menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Bella ....""Tidak," potong Bella, suaranya pecah. "Dia tidak pernah memandangku seperti itu. Tidak s
Tanpa terasa hari sudah malam, dan aroma masakan lezat menguar dari dapur rumah mewah itu. Livia dan Elena duduk bersisian di meja makan besar yang terlihat terlalu luas untuk hanya ditempati dua orang. Amina dan dua pelayan lainnya sibuk menata hidangan di atas meja—nasi putih yang masih mengepul, ayam panggang dengan saus krim jamur, tumis sayuran segar, dan sup krim asparagus yang menggoda selera."Selamat menikmati, Nyonya, Nona," ujar Amina setelah selesai menata semua hidangan. Ia dan dua pelayan lainnya membungkuk hormat sebelum bergegas keluar dari ruang makan, memberikan privasi bagi kedua wanita itu.Elena menatap makanan di hadapannya dengan mata berbinar. Ia mengambil garpu dan memutar-mutarnya di antara jemarinya. "Aku tidak menyangka hidup kita akan berubah drastis seperti ini, Liv," ucapnya sambil menusuk sepotong ayam panggang. "Dari apartemen kecil kita dengan mie instan sebagai menu favorit, kini tinggal di rumah mewah dengan pelayan dan makanan seperti di restoran b
Livia melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai, tangannya masih gemetar. Elena mengikuti dari belakang sambil sesekali menoleh ke arah Dika yang berjalan dengan langkah tegap dan waspada. Aura profesional menguar dari setiap gerak-gerik pria itu, matanya tajam menyapu sekeliling, memastikan tidak ada ancaman lain yang tersisa."Silakan duduk," ujar Livia lembut seraya menunjuk sofa besar berwarna krem di ruang tamu. Dika mengangguk singkat. "Terima kasih, Nyonya," jawabnya formal sambil duduk di ujung sofa, posturnya tetap tegak meski sedang duduk. Matanya masih waspada, menilai setiap sudut ruangan.Elena menghampiri Livia dan berbisik, "Kau tidak apa-apa? Perlu kuambilkan minum?"Livia menggeleng pelan. "Aku perlu bicara dengan Gavin," ucapnya sambil mengeluarkan ponsel dari sakunya. Jemarinya yang masih sedikit gemetar menekan nama Gavin pada layar sentuh.Sementara Livia menelepon, Elena duduk di sofa seberang Dika, sesekali mencuri pandang pada pria yang tampak fokus
Elena mengepalkan tangannya, berusaha tetap tenang meski emosinya mulai terpancing. "Nyonya Bella, aku tidak tahu apa yang Anda bicarakan, tapi sebaiknya Anda pergi dari sini sebelum aku memanggil polisi."Bella tertawa sinis. "Oh, kau tahu persis siapa yang aku maksud. Si penggoda suami orang yang sekarang mengandung anak haram itu!"Pak Bambang bergegas menghampiri, berusaha menenangkan situasi. "Maaf, Nyonya, tapi Anda tidak bisa masuk ke area ini tanpa izin. Silakan—""Diam!" bentak Bella pada petugas itu, matanya tetap tertuju pada Elena. "Di mana pelacur itu? KATAKAN PADAKU!"Elena melangkah maju, berdiri menantang. "Nyonya Bella, kau harus pergi. Ini tidak akan menyelesaikan apapun.""Jangan berani-berani menghalangiku!" Bella mendorong Elena dengan kasar, membuat wanita itu tersungkur ke tanah.Keributan itu terdengar oleh Livia yang saat itu tengah duduk di ruang televisi. Ia keluar dengan wajah pucat.Mata Bella langsung menangkap sosok Livia yang berdiri di teras rumah, sat
Elena menyetir mobil Toyota Corolla 2010 miliknya dengan hati-hati menembus kemacetan Jakarta yang mulai padat. Radio memutar lagu-lagu pop yang menjadi favoritnya."Setidaknya dia aman di rumah itu," gumam Elena. "Bella pasti tidak akan tahu di mana Livia tinggal."Perjalanan dari rumah Livia ke kantor memakan waktu hampir satu jam karena macet, namun Elena tidak keberatan. Rasa lega mengetahui sahabatnya aman jauh mengalahkan kelelahan akibat perjalanan panjang.Tiba di area parkir Lysandros Group, Elena memarkirkan mobilnya dengan hati-hati. Dari kejauhan, ia bisa melihat sekelompok karyawan wanita berkumpul di dekat lobi, berbisik-bisik sembari sesekali tertawa.Saat Elena melewati mereka, potongan percakapan mereka terdengar jelas."... katanya sidang perceraiannya kemarin.""Dengar-dengar, Pak Gavin yang menggugat cerai.""Wah, bos kita jadi duda nih. Kesempatan dong!"Elena menggeleng-gelengkan kepala, memilih untuk mengabaikan gosip tersebut dan langsung menuju lift. Di dalam