"Ini dimana?" Vivi berusaha mengingat kejadian semalam dengan kepala sakit.
Semalam dia mengunjungi kakek tunangan di rumah sakit setelah menghadiri meeting manajemen di hotel.
Saat itu ia bertemu dengan Krisna, tunangannya bersama seorang wanita dewasa yang cantik seperti model di luar ruangan.
Vivi menghela napas melihat tangan tunangan memegang tangan wanita itu, sudah bisa menebak kalau wanita itu merupakan salah satu kekasih tunangannya. Selama masih bertunangan, Vivi tidak akan keberatan. Itulah yang diajarkan keluarga tunangan.
Semua orang di dalam ruangan terdiam begitu Vivi, Krisna dan wanita itu masuk ke dalam ruangan bersamaan."Kakek, Vivi sudah membuatkan sup kesukaan Kakek." Senyum Vivi sambil meletakan isi tas yang dibawanya ke atas nakas tempat tidur rumah sakit.
"Hari ini kamu sudah kerja keras, para manajer tadi memuji hasil kerjamu," puji ibu Krisna.
Vivi terkejut, selama ini ibu Krisna selalu menatap sinis dirinya dan sekarang memuji? apakah hasil kerja kerasnya selama ini diakui?
"Terima kasih."
Entah kenapa semua orang tersenyum sinis menatap dirinya. Ah, tak apa. selama diakui calon ibu mertua maka-
"Sudah berapa tahun ya kamu tinggal di rumah kami?" tanya Ibu Krisna.
"Sepuluh tahun," jawab Vivi. Dia mengingat tanggal kecelakaan kedua orang tua yang menyebabkan dirinya dititipkan di rumah keluarga Aditama hari itu juga.
Ibu Krisna tersenyum dan menepuk tangan Vivi. "Berarti sudah saatnya kamu keluar dari rumah kami."
Senyum Vivi lenyap.
"Sekarang kondisi kakek sudah stabil, nenek juga sudah bisa mendapatkan perawatan terbaik, hotel-hotel keluarga kami sudah bisa menghasilkan pendapatan bersih lalu kami akan memberikan kompensasi yang sesuai untuk kamu."
Kami?
"Ah, coba minum ini dulu." Wanita yang dibawa Krisna memberikan secara paksa sebuah gelas ke Vivi. "Ini untuk merayakan kemenangan kami makanya kami berkumpul disini."
Vivi menundukan kepala dan menatap gelas di tangan dengan mata berkaca-kaca.
"Minum, bersulang."
Vivi menarik napas panjang, lalu meminum sampai habis.
Ibu Krisna dan Krisna tersenyum puas melihatnya.
Tak lama, entah kenapa Vivi merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya, ia ingin mengatakan sesuatu tapi entah kenapa tidak bisa mengacaukan suasana bahagia di tempat ini, karena tidak mau mengganggu ia memutuskan pamit pulang dan terburu-buru keluar.
Setelah berusaha keras mencapai parkir mobil, ia tidak menemukan satupun mobilnya.
Vivi menelepon sopir, tidak diangkat. Telepon rumah pun tidak ada yang mengangkat. Di tengah guyuran hujan dan susah payah melangkah dengan mata berkabut berusaha menahan air mata, dia mencari mobil.
Vivi melihat seluruh tangan membengkak dan ia juga merasakannya di wajah. Vivi melihat spion kaca mobil orang lain, seluruh wajah bengkak memerah. Rasa mual menghampiri.
"Kamu baik-baik saja?"
Vivi mengangkat kepala. Dia melihat seorang pria tinggi yang sedang memegang payung menutupi mereka berdua dari hujan.
Perlahan kesadaran mulai memudar. Dan sekarang, entah berapa lama terbangun di sebuah kamar yang tidak dikenalnya.
"Itu-"Pria itu berdiri di samping tempat tidur dan menatap Vivi. "Kamu pingsan di parkir rumah sakit. Dokter sudah periksa dan mengobatimu, kamu menunjukan gejala keracunan."
Vivi tertawa. Tentu saja.
"Ini."
Vivi menatap sebuah kotak besar di tangan pria itu. "Apa ini?"
"Hadiah ulang tahun kamu."
"Bagaimana-"
"Saya melihat id card."
Vivi menerima kotak itu dan membukanya. "Gaun?"
"Selamat ulang tahun."
Vivi kembali menatap pria itu, matanya berkaca-kaca. Tidak ada yang mengucapkan ulang tahun setelah kedua orang tua meninggal. "Terima... kasih..," ucapnya dengan lirih.
"Pulanglah, keluargamu pasti khawatir. Saya akan menyuruh sopir-"
"Tidak perlu!" tolak Vivi, "Saya bisa pulang sendiri."
Pria itu balik badan dan menelepon seseorang.
Vivi buru-buru bangun dari tempat tidur dan lari mencari kamar mandi. Ketemu! ia segera memuntahkan seluruh isi di dalam perut ke toilet.
"Saya sudah memanggil taxi." Pria itu sudah berdiri di depan pintu kamar mandi.
Vivi mengangguk dan buru-buru membersihkan toilet.
Setelah selesai, Vivi mengucapkan terima kasih ke pria itu dan keluar ruangan. Ia terkejut, ternyata ini bukan hotel ataupun apartemen tapi Villa. Dia membaca petunjuk jalan sambil melihat sekeliling, masing-masing kamar terlihat seperti rumah biasa tapi dalam ruangan pasti mewah seperti yang dilihat di ruangan tadi.
Vivi menghela napas panjang. Selama ini dia hanya dididik menangani budget hotel atau city hotel. Mungkin menangani villa tidak terlalu berbeda.
Vivi menghentikan langkahnya. Tidak, ini bukan sekedar villa tapi juga resort. Ada lapangan golf tidak jauh dari sini. Terbesit keinginan kecil Vivi untuk belajar di tempat ini.
"Apa pria tadi tamu disini? sayang sekali aku tidak terlalu memperhatikan wajahnya." Gumam Vivi sambil melihat kotak di tangan.
Begitu mencapai lobby, ia disapa bellboy dengan ramah. "Taxi sudah datang dan sudah dibayar, jadi anda bisa diantar kemanapun."
Vivi mengangguk, mengikuti arahan bellboy. Begitu masuk ke dalam taxi dan memberitahu alamat rumah, Vivi segera menghubungi rumah untuk melaporkan kondisi. Lagi-lagi tidak diangkat.
Vivi menelepon sekali lagi. Nihil. Dia menatap luar jendela mobil. Sudah lama pingsan, ini sudah hampir jam 7 malam.
Beberapa menit kemudian, dia sampai ke rumah. Vivi terkejut melihat mobil-mobil mewah diparkir di sekitar rumah.Vivi tersenyum, menutup mulut karena tidak percaya. Dia keluar dari mobil dan lari kecil ke dalam rumah dengan antusias.
"Saya ingin mengumumkan sesuatu yang spesial disini."
Terdengar pengumuman bersamaan dengan masuknya Vivi, jantung Vivi berdebar keras. Hari ini ulang tahunnya, apakah ini kejutan dari tunangan setelah berhasil menstabilkan hotel keluarga?
"Saya akan menikahi seorang perempuan cantik."
Senyum Vivi lenyap setelah melihat pemandangan di atas panggung.
"Almira, setelah perjuanganmu selama ini menemaniku dari bawah. Maukah kamu menikahiku?"
Vivi menjatuhkan kotak di tangan. Jadi ini alasan dirinya diberi minuman? supaya mendapatkan perawatan dan tidak bisa masuk kesini lalu mengganggu acara ini di hari ulang tahun? Wanita itu yang semalam di rumah sakitkan?
Orang-orang di dekat Vivi menatap jijik Vivi sambil menutup hidungnya. Vivi merasa malu.
Menyadari atmosfer suasana mulai berubah, Krisna dan ibu di atas panggung melihat Vivi berdiri di tengah ruangan sambil menundukan kepalanya.
Almira yang melihat itu, menatap tidak suka Krisna. "Sayang-"
"Apa yang kamu lakukan disini?"
Vivi mengangkat kepalanya dan menatap terkejut Krisna. "Aku-"
"Hari ini adalah hari istimewa aku, kamu yang hanya anak angkat tidak berhak masuk ke dalam sini," tegur Krisna.
Vivi lupa kalau dia diperkenalkan sebagai anak angkat keluarga Aditama, pertunangannya dengan Krisna hanya diketahui pihak keluarga atau orang tertentu dengan alasan Krisna dan Vivi masih terlalu kecil.
"Aku- aku sudah berusaha keras melakukan yang terbaik, kita sudah bertunangan-" ucap Vivi.
Ibu Krisna turun dari panggung, berjalan mendekati Vivi dan menamparnya. "Apa yang kamu katakan tentang kakakmu, saya mengangkat kamu sebagai anak, adik Krisna bukan tunangan!"
Vivi menyentuh pipi yang ditampar. "Tapi-"
"Semalam kamu habis darimana?" tanya Almira.Vivi hendak menjawab.
"Kamu pasti berkeliaran lagi, setiap malam pulang dengan alasan kuliah malam tapi pada kenyataannya kamu bersenang-senang dengan pria lainkan?" tuduh ibu Krisna.
Vivi bingung dengan perkataan ibu Krisna, ia menatap Krisna untuk meminta tolong. Krisna harusnya tahu kemana saja ia pulang malam.
Krisna mengalihkan tatapan dan tersenyum ke Almira.
Hati Vivi berdenyut sakit.
Ibu Krisna menjambak rambut Vivi hingga Vivi jatuh ke depan tepat di bawah sepatu ibu Krisna. "Ambilkan sapu! selama ini ternyata aku mendidik anak liar!"Vivi merasa malu, ia mendengar bisikan dan tatapan tajam para tamu mengelilingi dirinya.
Alih-alih sapu, pelayan menyerahkan pukulan rotan. Ibu Krisna memukul Vivi tanpa ampun.
"Selama ini aku menjadikan kamu anak supaya bisa menjadi perempuan baik-baik dan menikah dengan laki-laki baik. Tapi apa- kamu malah mempermalukan keluarga!" teriaknya tanpa memperdulikan tamu yang hadir.
Krisna memijat kening sementara Almira mengerutkan kening. Ibu Krisna memang dikenal temperamen di rumah tapi bukan berarti sampai bersikap seperti ini di acara penting.
Almira turun dari panggung dan menghampiri ibu mertua berusaha menghentikan apa yang dilakukan beliau.
"Nona Almira, jangan dihentikan! itu memang pantas untuk dia, hukuman seperti ini masih ringan," tegur salah satu tamu wanita setengah baya
"Hanya seorang anak angkat, harusnya bisa berterima kasih. Bukannya melakukan hal yang mempermalukan nama baik keluarga ini."
"Benar-benar mengecewakan."
"Anak liar tetap saja anak liar."
Krisna yang mengejar Almira, merangkul pundaknya. "Tidak apa, ibu hanya mendidik. Tamu yang hadir disini adalah kenalan keluarga kami."
Almira masih tidak puas.
Krisna tersenyum bangga. "Kamu masih memiliki hati malaikat ya."
Vivi tidak menjerit, dia menerima semua pukulan ibu Krisna sambil menelan kesakitan. Ia mendengar apa yang dikatakan Krisna.
"KAMU MASIH TIDAK MAU MENGAKU!"
Vivi menitikan air mata. Orang tuanya tidak pernah memukul, ia juga tidak pernah berbuat di luar batas, selalu menurut tapi kenapa justru ia dituduh hal seperti ini?"Saya- sepulang kuliah, pergi ke hotel, belajar dan bekerja manajemen disana..." lirih Vivi.
"BOHONG!" teriak para tamu satu persatu.
'"Belajar manajemen hotel di malam hari? kamu kira kita buta?" Krisna tersenyum sinis.
"Lalu apa? pagi sampai sore aku merawat kakek dan nenek, setelah jam lima sore aku kuliah lalu jam sepuluh sampai jam dua pagi aku di hotel untuk belajar mencari tamu, menerima tamu bahkan perhitunga-"
"Mencari tamu dan menerima tamu?" potong Almira yang terkejut, "Sayang. Apa kamu mempekerjakan anak ini di malam hari?"
Para tamu yang mendengar sontak terkejut. Apa yang dilakukan anak perempuan keluar masuk hotel di malam hari? Tidak mungkin belajar bukan?
Wajah Krisna berubah merah karena marah begitu mendengar pertanyaan tersirat Almira. "Tidak ada yang seperti itu!""JANGAN MELONTARKAN KEBOHONGAN!" teriak Ibu Krisna.
Para manajer hotel yang bekerja di bawah naungan keluarga Aditama percaya dengan perkataan Vivi karena faktanya memang begitu. Tapi mereka tidak bisa mengucapkan apapun karena tidak mau dipecat, di masa pandemi dan kesulitan mencari pekerjaan aman benar-benar beresiko untuk dipecat.
Vivi yang memahami jalan pikiran para manajer, tidak menyentuh mereka.
"Ma-"
"Siapa mama kamu!" Ibu Krisna semakin membabi buta memukul Vivi. Dia lupa kalau tadi mengakui Vivi sebagai anak angkat di depan umum.
Tidak ada yang menghentikannya sampai Ibu Krisna lelah memukul, Almira menepuk tangan ibu mertua.
"Bawa anak ini ke dalam kamarnya!" perintah Ibu Krisna.
Almira menyipitkan mata dan menatap kotak yang jatuh tidak jauh dari Almira.
"Kotak itu-"
Krisna mengambil kotak dan melihat isi. "Gaun? ini gaun yang kamu inginkan bukan?"
Almira menutup mulut dengan terkejut. "Itu memang gaun yang aku inginkan, ini mahal dan harus menunggu berbulan-bulan. Kenapa bisa-"
Vivi yang kesakitan, sontak memeluk kaki Krisna. "Kembalikan padaku, itu punyaku."
Itu hadiah ulang tahun pertama setelah kedua orang tuanya meninggal. Selama tinggal di keluarga ini, ia diingatkan untuk bersikap dewasa dan tidak mengingat masalah kecil seperti ulang tahun sementara dia ingat kalau Krisna dan adik perempuannya merayakan ulang tahun setiap tahun."Tolong kembalikan."
Krisna menendang Vivi untuk menjauh, lalu menyerahkan kotak itu Almira.
Almira mengeluarkan gaun dan menatap kagum gaun itu.
"Itu harusnya milik kamu," ibu Krisna bahagia melihat senyum cantik menantu.
"Itu milikku." Vivi menepuk dada dengan keras. "Itu kado ulang tahunku."
"Kamu membelinya darimana? menggunakan uang apa? keluarga Aditama, kan?" senyum Ibu Krisna dengan sengaja mengeraskan suara. "Saya tidak pernah memberikanmu uang sebanyak gaun itu."
"Jangan-jangan-" Almira menatap putus asa Krisna.
Krisna mengangguk mengerti. "Kamu mencuri uang hotel."
Vivi menggeleng putus asa, para manajer menghela napas panjang melihat perilaku tidak bermoral keluarga Aditama.
"Kurung dia ke dalam kamar, jangan diberikan makanan sampai besok!" perintah Ibu Krisna.
Para pelayan menyeret Vivi tanpa rasa hormat, mengabaikan rasa sakit yang diderita Vivi.
Ibu Krisna dan Krisna bercakap-cakap dengan Almira, para tamu mendekati mereka dan melontarkan pujian karena masih mau menerima anak luar yang jelas merugikan keluarga mereka.
Vivi dilempar secara kasar oleh dua pelayan ke dalam kamar lalu dikunci dari luar. Dia menangis karena terlalu shock.Saat pertama masuk ke dalam keluarga ini, semua menyambutnya dengan hangat tapi sekarang malah hinaan yang dilontarkan bahkan jika mereka tidak puas, menyiksanya secara fisik dan menyebutnya sebagai hukuman.Vivi menyeret badan ke dalam kamar mandi. Dia bisa mencium bau bekas muntah dicampur dengan darah dan keringat lalu menyalakan air di bathtub dan duduk di samping sambil menangis. kedua tangan bertumpu di atas bathtub."Vivi kangen..." isak ViviDia merindukan saat kedua orang tua mencintai, memeluk bahkan memarahi dengan lembut. Tidak ada hinaan maupun cacian."Vivi gak sanggup, Vivi ingin bersama kalian-" isaknya.Sementara suasana pesta di bawah berlangsung dengan sukses meskipun sempat ada kekacauan yang dibuat Vivi."Sayang, terima kasih sudah melamarku." Almira mencium pipi kanan Krisna.Krisna tersenyum manis, calon istri cantik dan memiliki latar belakang he
Vivi yang sudah selesai masak, bergegas naik ke kamar di lantai dua. Sebentar lagi dia harus menemui nenek, tapi sebelumnya dia harus ke rumah sakit untuk mengobati punggung. "Kamu belum keluar dari rumah ini?" Vivi balik badan sesampainya di atas tangga. Almira. Almira tersenyum. "Apa kamu masih punya hak berada disini?" Vivi tersenyum, berusaha tidak gentar dengan serangan Almira. "Kenapa aku tidak memiliki hak? meskipun aku menyerahkan posisi istri pertama, tetap saja aku masih tunangannya." Almira menyentuh anting berliannya untuk menunjukan cincin lamaran Krisna. "Tunangan tidak bisa dibandingkan dengan istri sah, dan kamu seharusnya tahu itu." Vivi tidak mengubah senyumnya, meski hati dongkol dan sedih. Dia sudah belajar menahan emosi sejak kecil, dalam kondisi apapun harus tersenyum. "Terima kasih sudah mengingatkan dan selamat." "Krisna memohon padaku untuk menjadikanmu sebagai istri kedua," kata Almira. Vivi mengangguk. "Dia sudah menceritakannya padaku, kalian
Sesampainya di hotel, Vivi disambut hangat front office, bellboy. Vivi menyapa mereka lalu mendengarkan curhatan sekilas mengenai tamu, Vivi merasa bisa tertawa lepas jika bersama mereka."Anda tahu, saya bertemu tamu dari ibu kota. Beuh, sombongnya minta ampun. Saya kasih senyuman malah dikasih cemberutan terus komplain kalau botol airnya kurang tapi merasa bayar mahal kamar."Vivi pernah mendengar ini dari supervisor house keeping. Rata-rata hotel hanya menyediakan satu atau dua botol minum gratis, mengenai ukuran atau jumlah tergantung kebijakan hotel sementara jika tamu mengambil lebih dari batas ketentuan maka harus dibayar. Kadangkala ada tamu yang komplain mengenai jumlah botol gratis."Mereka kan memang bayar kamar paling mahal.""Iya, tapi gak mau rugi.""Ah, aku ingat! mereka suruh-suruh kita tapi tidak memberikan tip. Yah, kalau gak bisa kasih tip setidaknya ramah kek, murah senyum kek."Vivi tersenyum saat mendengarkan sambil geleng-geleng kepala.Evi yang keluar dari rua
"Tinggal diberikan salep dan rutin dibersihkan saja, jangan kena air dulu untuk sementara."Eve dan Evi akhirnya memutuskan membawa Vivi ke klinik begitu melihat luka di punggungnya parah, bahkan sepertinya ada luka lama."Nanti membekas gak dok?" tanya Eve yang khawatir.Dokter mengangguk miris. "Pasti ada bekasnya."Evi menepuk kepala Vivi yang menunduk. "Tidak apa, dengan keuangan keluarga Aditama pasti bisa membawamu ke dokter bedah kecantikan."Vivi mengangkat kepalanya dan mengerutkan kening. Ia sering mendengar soal bedah kecantikan di wajah, tapi bedah kecantikan di punggung? memang ada?Eve menggeleng miris seolah perkataan Eva tidak pernah terjadi. "Aku ambilkan obatnya dulu.""Bayarnya-""Aku masukan ke tagihan hotel saja, kamukan juga pegawai hotel," kata Eve sambil menepuk kepala Vivi.Vivi dan Eva keluar dari ruangan lalu duduk di ruang tunggu.Evi yang melihat Vivi duduk perlahan tidak tahan untuk berkomentar. "Kamu sudah cerita ke orang rumah?"Vivi menggeleng pelan.Ev
"Bagaimana makanannya?" tanya ibu Reza.Reza memakan makanannya dengan lahap sementara Vivi hanya menundukan kepala dengan tegang."Lumayan," komentar Reza.Ibu Reza memegang tangan Vivi. Ia duduk di tengah sementara Reza dan Vivi duduk di sebelah kanan dan kirinya. "Syukurlah, ya."Vivi tersenyum canggung.Reza menatap Vivi dengan tajam. "Sepertinya kamu lupa siapa saya.""Y- ya?" Vivi menaikan kepalanya untuk menatap Reza."Apa kamu lupa kalau saya yang membawamu ke villa karena keracunan?"Vivi mencoba mengingat."Keracunan? apa yang terjadi?" tanya ibu Reza dengan nada khawatir ke putranya.Reza tidak menjawab, ia hanya melanjutkan makanannya.Vivi mengingatnya lalu menundukan kepalanya untuk mengucapkan terima kasih. "Yang waktu itu terima kasih dan saya minta maaf karena tidak langsung mengenali anda."Ibu Reza menatap Vivi dan Reza bergantian."Kamu tunangan Krisna, sudah sewajarnya," balas Reza.Vivi masih bingung hubungan Krisna dengan pria tampan di hadapannya ini."Sepertin
"Awalnya saya bingung saat masuk kali pertama ke hotel. Saya bingung apa yang harus dikerjakan lebih dahulu, lalu saya melihat restoran ramai jadi saya membantu mereka.""Tidak ada komentar dari para pegawai?""Sebenarnya ada, tapi karena sibuk mereka tidak bertanya. Setelah semua selesai, saya memperkenalkan diri dan mereka mengajarkan saya cara menerima tamu ala restoran.""Front office dan marketing tidak mencari nona?" tanya Putra yang penasaran."Waktu itu marketing sibuk keluar hotel untuk memperkenalkan hotel, banyak uang dikeluarkan untuk membuat event diluar agar menarik minat pengunjung."Putra menganggukan kepala. Waktu itu ia sempat sakit kepala saat membaca proposal perkenalan hotel yang berlebihan, belakangan ia menyadari kalau itu juga salah satu upaya nyonya dan putranya memperkenalkan diri mereka di depan umum. Bukannya memperkenalkan hotel, mereka jadinya melakukan kegiatan tidak penting."Lalu front office dituntut bekerja sebagai reservasi sekaligus bellboy bahkan j
Choky dan Putra merinding melihat perubahan emosi bosnya."Kami tumbuh bersama, jadi saya tidak bisa langsung melupakannya begitu saja."Nona, jangan menuang minyak ke dalam api!"Bukannya Krisna sudah memiliki kekasih lain? saya dengar wanita itu sedang mengandung anaknya."Vivi terkejut. "Anda sudah mengetahuinya?"Reza menjawab singkat. "Ya."Hati Vivi mencelos. Setidaknya ada sedikit harapan jika bisa mendekati calon ayah mertua, siapa tahu bisa membantunya untuk mengubah pemikiran Krisna. Di dalam hati kecilnya, ia ingin menjadi istri pertama Krisna.Kalau kepala keluarga sudah mengetahui soal kehamilan Almira itu berarti kepala keluarga sudah menyetujuinyakan? apalagi latar belakang wanita itu lebih menguntungkan daripada dirinya."Kamu kecewa tidak hamil duluan?"Vivi menatap bingung Reza. "Hamil?""Ya."Vivi awalnya bingung lalu menggeleng panik. "Bukan begitu, saya-""Sudah sewajarnya kamu punya pemikiran begitu."Vivi kembali menundukan kepalanya. Sudah berapa kali ia menund
Setelah membuat kesepakatan secara manual dan kilat dengan disaksikan sekretaris dan bodyguard. Reza segera kembali ke kantor bersama kedua pegawai konyolnya sementara Vivi masuk ke dalam ruang kerja Reza."Ruangan ini hanya bisa dimasuki tuan besar dan nyonya besar."Vivi memiringkan kepalanya lalu balik badan, menatap kepala pelayan.Kepala pelayan tersenyum. "Tuan besar Reza dan nyonya besar itu ibunya tuan besar.""Bagaimana dengan kakek?""Tuan tua tidak diijinkan masuk.""Kenapa?""Tuan tua pernah melakukan kesalahan, menghilangkan dokumen penting disini jadi tidak diijinkan masuk kembali."Jantung Vivi berdebar keras. "Pasti penting sekali, kalau begitu aku-""Tuan besar sudah memberikan kepercayaan, jangan disia-siakan, nona."Vivi menatap takjub bagian dalam ruang kerja yang seperti perpustakaan kecil, di bagian tengah ada meja kerja sementara belakangnya jendela perancis yang ditutup gorden mewah."Keluarga Aditama keturunan eropa dan struktur rumah ini masih bergaya eropa u