Kecemasan Jihan semakin berlanjut. Ketika di ruang keamanan, Darren yang tak muncul juga meski dipastikan sudah tahu kabar terbaru tentangnya. Jihan menjadi takut, jika Darren sudah tidak lagi menerima Jihan. Hal itu membuat Jihan menggigit kuku dengan mata sedikit berkaca."Aku harus bagaimana?" gumam Jihan.Hingga pintu ruang keamanan terbuka lebar. Mata Jihan menemukan Darren berlari ke arahnya dengan keringat bercucuran. Bahkan Darren sempat menarik napas panjang lebih dahulu, kemudian memutar tubuhnya yang sedang duduk."Kau baik saja kan Jihan? Tidak terjadi sesuatu padamu kan? Abian tidak melukaimu kan?"Bukannya menjawab. Jihan malah menghambur dan memeluk pinggang Darren. Hal itu membuat Darren mengelus kepalanya lembut, apalagi ketika mendengar suara tangisnya. Darren nampak sabar menunggunya tenang dan berhenti menangis."Kita pulang ya Jihan," bujuk Darren.Namun kepala Jihan menggeleng. "Tidak mau."Darren melirik sekitar, beberapa petugas bandara yang mengerti langsung b
Jihan terbangun dari tidurnya. Namun satu hal yang membuat Jihan merasa heran. Ketika menuruni anak tangga, rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Padahal selalu ada pembantu yang berkeliaran di rumah.Jihan semakin menuruni anak tangga. Hingga matanya menemukan Darren sedang memasak di dapur, Jihan menyipitkan mata, berusaha membenarkan penglihatannya yang barang kali saja kabur. Tapi, ternyata benar. Darren yang memasak, Jihan membeku melihat suaminya yang begitu tenang."Punggungku bisa berlubang, kalau ditatap begitu olehmu," sindir Darren tak meliriknya sama sekali.Jihan memutuskan untuk mendekat dan berdiri di sebelah suaminya. "Aku hanya tidak menyangka saja, kalau ternyata Mas bisa memasak."Darren tak menjawab, hanya meliriknya saja. Kemudian mengambil sedikit hasil masakan dan meminta Jihan untuk mencoba. Jihan langsung mengacungkan jempol saat merasakan hasil masakan suaminya."Enak," pujinya."Tentu," sahut Darren singkat dan nampak angkuh.Jihan tersenyum melihat suaminy
Susan langsung mengangguk tanpa ragu. Jihan menarik napas mendengar fakta bahwa Elina juga mengatakan pada Bella setiap waktu, kalau Bella bukankah anak kandung dari Elina sendiri. Jihan sama sekali tidak menyangka, ada seorang ibu yang seperti itu pada anak sendiri. Jihan pun mengusap kepala putrinya lagi."Yeay! Sampai!" seru Bella antusias begitu mobil tiba di parkiran.Jihan tersenyum. "Iya Sayang."Sopir membuka pintu, dan Susan membantu Bella juga Jihan untuk turun. Kemudian mereka bertiga memasuki supermarket dengan ditemani 5 orang pengawal. Beberapa orang yang melintas juga membeli di dalam, nampak menjadikan Jihan sebagai pusat perhatian. Jihan merasa malu sendiri."Harusnya tadi aku bawa masker atau kacamata saja," gumamnya.Susan menoleh. "Mau saya ambilkan, Nyonya?"Jihan langsung menggeleng. Menurutnya itu merepotkan untuk Susan, harus ke mobil untuk mengambil barang yang dirinya sebutkan, kemudian balik lagi ke dalam. Susan yang melihatnya menolak langsung mengangguk me
"Eh, buat apa ke rumah sakit?" tanya Jihan heran."Memeriksakan dirimu. Kau pasti salah makan atau pencernaanmu sedang tidak baik."Jihan berdecak. "Ya kalau begitu hanya perlu minum obat saja kan?"Mata Darren menatapnya tajam, seolah tak ingin dibantah. "Memangnya kau tahu obat apa yang harus diminum? Tidak kan? Makanya tidak usah protes."Jihan pun memilih mengunci mulutnya. Ketimbang dijawab lagi, pasti bakal tidak ada penghujungnya. Meski begitu, kan Jihan bisa jalan sendiri, tapi Darren malah menggendongnya. Dan ya, Jihan pun memilih tetap diam saja.***Di rumah sakit. Jihan ditempatkan di ruang rawat VVIP, padahal hanya kram perut saja. Kemudian perutnya sekarang sedikit lebih baik. Tapi, Darren menolaknya yang ingin diperiksa saja terus pulang. Harus sekali dirawat."Mas, kita pulang saja ya?" pintanya pada Darren yang duduk menunggu di sebelahnya."Sebentar lagi juga dokternya datang kok."Jihan mengelus perutnya. "Sudah tidak terasa kram lagi Mas. Kita pulang saja ya? Atau
"Apa yang membuatmu nampak murung tiba-tiba Jihan?"Pada akhirnya Darren mempertanyakan hal yang membuat Jihan merasa murung, begitu dalam perjalanan pulang. Jihan menggenggam hasil USG dan berusaha untuk tersenyum. Darren yang mengemudikan mobil, sesekali meliriknya."Jangan membohongiku dengan senyuman palsu," tegas suaminya.Jihan menarik napas dan langsung memeluk tangan Darren, kemudian Jihan merebahkan kepalanya pada pundak suaminya. "Biarkan aku tertidur Mas, mungkin ini karena sedang lelah saja."Darren membisu. Membiarkan Jihan memejamkan mata. Entah benar-benar tertidur atau malah pura-pura, sengaja supaya tidak ditanya oleh Darren kembali. Meski begitu, sorot mata Darren seperti mengerti akan sesuatu.Begitu tiba di rumah. Jihan langsung tersenyum saat membuka pintu rumah dan menemukan Bella tengah duduk di sofa memakai piyama. Bella menoleh antusias padanya ketika tahu Jihan dan Darren telah kembali. Namun Bella menunjukkan bibir yang cemberut kemudian."Pergi tanpa bilang
Setelah membuat Abian bicara. Darren mengambil ponsel dari tangan anak buah dan mulai menjauhi Abian. Darren nampak memeriksa hasil rekaman dan tanpa berpikir panjang langsung mengirim rekaman suara tersebut pada Jihan."Lalu bagaimana dengan binatang ini Tuan? Apa kita kembalikan ke sel?"Abian sedikit menatap tak terima, ketika anak buah Darren menyebut binatang. Namun, Abian memilih untuk tidak protes. Mata Darren mendelik pada Abian dengan dingin."Kembalikan dia ke sel.""Baik Tuan."Abian mengepalkan tangan melihat Darren yang hendak pergi begitu saja, kemudian Abian mulai memberanikan diri. "Apa Bapak akan menutup mata? Membiarkan kakak ipar Bapak lolos begitu saja?"Darren berhenti melangkah dan menyeringai, tanpa berbalik sama sekali Darren menjawab, "itu urusanku dengannya, kau tidak berhak ikut campur."***Pukul dini hari. Jihan menyuruh Susan untuk menggantikan dirinya tidur di sebelah Bella. Sementara Jihan sendiri menunggu di ruang tamu. Begitu mendengar suara mesin mob
"Cepat sikat gigi," titah Darren.Darren benar-benar memaksa Jihan untuk memegang sikat gigi. Jihan menarik napas. Mau cium suami saja harus sikat gigi dulu, hanya karena habis muntah. Jihan yang malas langsung mengembalikan sikat gigi ke tempatnya lagi, kemudian berjalan keluar kamar mandi."Loh, mau ke mana?" tanya Darren dengan dahi mengerut."Malas. Nanti saja kapan-kapan," sahutnya.Darren berdecak, namun memilih diam dan mengamati Jihan yang benar-benar keluar dari kamar mandi. Kemudian Darren tersenyum kecil dan mulai ikut keluar juga. Jihan baru saja menunjukkan sikap tidak takut pada Darren."Terima kasih ya Susan," ujarnya dan Susan tersenyum, kemudian berjalan pergi.Darren duduk di sebelah Bella, namun begitu Jihan menoleh setelah menutup pintu kamar. Posisi Bella di ujung, sementara Darren berada di tengah. Tangan Darren menepuk ranjang dengan mata menatapnya serius."Sini tidur.""Kenapa malah menyisihkan Bella sih Mas? Kalau nanti Bella jatuh gimana?" keluhnya sembari m
"Tameng? Maksudnya bagaimana Bu?" tanya Jihan penasaran.Stella baru saja ingin berucap, bahkan mulut sudah terbuka. Namun, begitu melihat Darren yang mendekat. Membuat Stella akhirnya sepenuhnya membisu. Rasa penasaran dalam diri Jihan pun semakin memuncak."Memangnya kau bekicot? Kenapa lama sekali," keluh Darren padanya.Darren menariknya untuk pergi ke arah dapur. Stella menatap cara Darren membawa Jihan pergi, begitu lembut dan terkesan tidak dibuat-buat. Stella juga menatap pinggang Jihan dan langsung mengerutkan dahi."Apa mungkin ... tidak, paling karena Jihan sedikit gemukkan saja," gumam Stella seorang diri.Darren di dapur sedang sibuk mencicipi kue kering yang dibuat oleh Stella sendiri. Kemudian mengangguk ketika dirasa rasanya atau kerenyahannya pas. Jihan sendiri sedang menahan air liurnya yang hampir menetes karena ingin, tapi Darren menahannya."Nutrisinya seimbang kayaknya," ujar Darren namun membuat Jihan melongo."Mas, kenapa cuma kasih satu?" protes Jihan karena d
Darren pikir, kalau sang putra yang terlihat jarang menangis itu akan tetap tertidur seperti siang hari. Ternyata tidak. Di tengah malam, Jihan sibuk membuka kancing baju untuk menyusui Bilal."Ternyata begini rasanya jadi ayah," gumam Darren di tengah mata yang mengantuk.Jihan tersenyum. Mungkin sewaktu bayi, Bella benar-benar diurus oleh pembantu. Darren yang sibuk mengejar cinta Elina atau bekerja, sedikit melupakan sang putri. Jemari Darren mengusap kepala Bilal lembut. "Kapan selesainya Nak? Papa juga kan mau gantian."Jihan menatap suaminya kesal. "Apa sih Mas? Kalau masih masa nifas, istri itu tidak boleh disentuh."Darren menatap Jihan dengan dahi mengerut. "Apanya Sayang?"Tapi, kemudian bibir mengulas senyum. "Aku tak ada membahas masalah ranjang sama sekali padahal.""Terus yang gantian itu apa? Ingin ikut menyusu kan?"Darren terkekeh dan mengusap hidungnya. "Mana tega aku melakukannya padamu Jihan. Aku bermaksud untuk gantian menggendong Bilal saja."Mendengarnya. Jihan
"Yohan," panggil Luna.Suara itu begitu bergetar. Sedang mata yang bengkak itu kembali meneteskan air mata. Kesedihan telah hinggap dalam diri Luna setelah mengetahui fakta terjangkit penyakit ganas itu."Aku akan mati," lanjut Luna.Yohan terburu mendekat dan duduk di kursi. Memegang tangan Luna yang tidak diinfus. Yohan berusaha untuk tidak menunjukkan wajah sedih dan mengelus kepala Luna amat lembut."Tidak Luna. Jangan katakan hal bodoh macam itu, karena kau akan sembuh." Yohan mencium tangan Luna."Tapi tak ada yang bertahan lama, kalau punya penyakit dalam," ujar Luna nampak takut.Yohan menggeleng. "Itu kata orang lain. Tapi kata Allah beda Luna. Selama kita mau berusaha, pasti ada jalan. Yuk semangat, aku akan membantumu menjalani kemoterapi."Luna menatap Yohan nanar. Dokter telah menyampaikan, bahwa kanker stadium 4 tidak bisa disembuhkan, namun tetap harus menjalani pengobatan. Guna memperlambat penyebaran sel kanker juga meningkatkan kualitas hidup pasien.***Waktu terus
"Aduh."Selagi ciuman itu. Darren dikejutkan oleh Jihan yang tiba-tiba saja mengaduh, namun bibir Jihan justru tersenyum begitu menjauhkan wajah. Darren tentu saja nampak cemas dan mengelus wajahnya."Kenapa Sayang? Apa aku ada menyakitimu?"Jihan terkekeh. "Bukan. Tapi anak kita terasa menendang tadi."Kecemasan di wajah Darren pun hilang, digantikan dengan senyuman. "Sepertinya anak kita juga tak sabar ingin ditengok sama ayahnya."Jihan tersenyum. "Apa sih Mas? Bisa saja alasannya kalau lagi ingin."Perlahan Darren merebahkan dirinya di atas ranjang. Kemudian Darren menaiki tubuh Jihan amat ramah. Kancing bajunya dilepas cukup hati-hati juga."Mas, aku tidak akan hancur, meski pun kau tidak melakukannya dengan pelan," komennya.Mata Darren terangkat dan menatapnya kemudian tersenyum. "Baiklah."Bibir Jihan pun mengulas senyum saat Darren lebih bersemangat membuka bajunya. Bibir Darren mengecup kulit lehernya antusias. Jemari Jihan mengelus kepala suaminya dengan lembut.Kecupan Dar
Yohan terkekeh. "Orang? Memangnya di rumahku ada siapa Luna?"Mata Luna menjadi menyipit. "Bisa saja kan kalau kau membawa kekasihmu ke sini. Dan kalian bersenang-senang bersama."Mendengar hal itu, Yohan menarik napas. "Sejak dulu aku tak punya kekasih.""Yohan," sebut Luna kembali mendekati Yohan.Namun, sekretaris Darren itu langsung memegang kedua pundak Luna. Bukan untuk melanjutkan kegiatan ranjang, tapi mendorong tubuh Luna untuk duduk di sofa. Hal itu membuat Luna mengerutkan dahi."Yohan, kan aku meminta bantuanmu, kenapa malah menyuruhku duduk?"Yohan tersenyum miris. "Kau tahu Luna, apa yang terjadi jika sampai orang lain tahu. Tahu soal kejadian malam ini.""Aku berjanji tak akan bicara pada siapa pun. Aku hanya perlu hamil saja Yohan," ujar Luna terdengar bersikeras.Yohan menarik napas. Justru karena ada Darren dan Akio yang bersembunyi di ruang kerja. Jadi, Yohan tak bisa leluasa melakukan hal seperti itu pada Luna, ya meski hal itu terlarang."Pulanglah, aku akan menga
Mendapat pertanyaan itu, membuat Stella bergeming sejenak. Kemudian berusaha untuk tersenyum. Menjemput Aksa di negeri orang, dan menempatkan ke sisi Luna lagi. Itu artinya Stella akan benar-benar bermusuhan dengan Darren."Tentu saja, aku akan membawa Aksa kembali."Luna tersenyum. "Ya harus Bu. Karena anak ini butuh ayahnya."Stella sempat saling lirik dengan pembantu, kemudian mengajukan pertanyaan, "oh iya Nak. Cucuku ini sudah berapa minggu? Jika belum tahu, nanti aku akan memanggil dokter ke rumah."Luna nampak kaget sejenak mendengar penuturan dari Stella, kemudian Luna menjawab dengan segera, "sudah kok Bu. Aku diperiksa oleh dokter yang dipanggil dari luar. Katanya sudah 5 minggu."Stella mengulas senyum. "Begitu ya, ternyata penantian menunggu cucu lahir masih sangat lama. Butuh waktu kurang lebih 8 bulan lagi kan?"Kepala Luna mengangguk dan tersenyum ceria. Namun, begitu Stella menatap ke depan. Raut wajah Luna langsung berubah, sedikit kecemasan terlihat jelas di sana. Na
Luna perlahan mulai keluar dari kamar mandi. "Katakan pada mertuaku, kalau aku hamil."Petugas pun nampak mengerutkan dahi. "Sudah dipastikan memangnya? Bukankah lebih baik diperiksa dulu?"Luna berjalan pergi. "Cukup katakan saja padanya, aku akan memberimu banyak uang jika melakukannya."Petugas tersebut menarik napas mendengar Luna yang bersikeras, padahal belum tentu mengandung. Masalahnya orang yang akan diberi tahu adalah nyonya besar dari keluarga Gerald. Kalau salah informasi sedikit saja, maka kelar sudah hidup petugas itu.***Baru saja kembali ke rumah. Tapi, Darren dibuat kesal oleh Akio yang datang tiba-tiba. Dan memaksa supaya Darren serta Jihan kembali dari perjalanan. Namun, hal yang diberi tahukan oleh Akio justru membuat Darren semakin kesal."Si Luna dikabarkan mengandung," ujar Akio membuat Darren menghela napas."Bagaimana bisa hamil sih?"Jihan membantu Susan meletakkan minuman serta camilan di hadapan Akio. Sepertinya pembahasan mereka berdua cukup serius. Hingg
Jihan menggeliat dalam tidurnya, ketika jemari Darren memainkan bulu matanya. Jihan yang merasa tidurnya terganggu, langsung menyingkirkan tangan suaminya kemudian berbalik memunggungi. Darren terkekeh melihat Jihan yang masih ingin tidur.Tak berhenti sampai disitu. Jemari Darren mulai iseng dan meraba punggungnya, tanpa permisi tiba-tiba saja selimut disibak. Tentu Jihan menolehkan kepala dengan mata yang masih mengantuk berusaha dibuka untuk menatap tajam. Sementara tangan meraih selimut lagi untuk menutupi tubuh polosnya."Mas!" keluhnya.Darren tersenyum. "Masih ngantuk?""Masih."Jihan berbalik lagi. Mendekati Darren kemudian memeluk suaminya yang juga tak berbusana. Darren tersenyum dan tangan mulai berhenti menjahilinya. Jihan pun akhirnya bisa memulai tidurnya lagi."Meski kelihatan kecil perutnya, tapi ketika bertemu kerasa ganjel Jihan," gumam suaminya.Jihan malas meladeni suaminya dan hanya menjawab singkat, "iya."Darren mengerutkan dahi mendengar nada suara malasnya. "B
Sementara Jihan menemani Bella belajar di kamar. Bella sudah tak perlu tidur ditemani Susan lagi, pasalnya Jihan tak harus bersandiwara dan menemani Darren di rumah sakit lagi."Ma," sebut Bella membuatnya menatap."Ya Sayang, ada apa?""Wali kelas memberi tugas, untuk membuat karangan ketika jalan-jalan. Tapi, kita kan tidak pernah pergi bersama-sama seharian penuh ya Ma?" tanya Bella.Jika dipikir kembali. Memang benar, selama menikah. Darren hampir tak pernah mengajaknya mau pun Bella pergi jalan-jalan seharian penuh. Jihan pun tersenyum karena sepertinya mendapat kesempatan untuk menghirup udara segar. Bosan juga rasanya dikurung di rumah karena masalah Aksa dan Luna."Kapan tugasnya harus dikumpulkan?" tanya Jihan sembari mengelus kepala putrinya."Lusa.""Ya sudah, nanti malam mama bilang sama papa ya. Biar besoknya kita jalan-jalan dan pulangnya Bella bisa langsung mengerjakan tugas untuk diserahkan besoknya," ujarnya sembari tersenyum."Benar ya Ma? Yeay!"Sesuai permintaan Be
Jihan berusaha mengalihkan pandangannya dari ibu mertuanya. Alangkah baiknya memang Jihan berpura tidak tahu apa pun. Hanya perlu ikut menatap dalam diam perdebatan antara suaminya dengan Akio."Kenapa langsung nuduh tanpa bukti sih? Serius, aku mendengar kalau Ibumu berkata seperti itu," ujar Akio penuh semangat, kemudian mata melirik pada Stella, "bukankah begitu Nyonya Stella?"Lagi, Akio bertanya. Namun, kali tersebut Stella menatap pada Darren sekilas. Kemudian mengangguk, membenarkan perkataan Akio soal kebohongan Darren sudah diketahui sejak awal. "Serius?" tanya Darren dengan wajah kaget.Kepala Stella mengangguk lagi. "Ya, ibu sudah tahu."Dan Stella pun menggunakan ibu untuk menyebut diri sendiri. Sorot mata Stella nampak sedih, begitu saling bertukar mata dengan sang anak. Darren sendiri hanya diam saja, sementara Jihan yang merasa pundak ibu mertuanya sedikit bergetar dan tak kuasa menahan emosi hingga berakhir dengan terisak. Jihan langsung mendekat dan memeluk pelan pun