Susan langsung mengangguk tanpa ragu. Jihan menarik napas mendengar fakta bahwa Elina juga mengatakan pada Bella setiap waktu, kalau Bella bukankah anak kandung dari Elina sendiri. Jihan sama sekali tidak menyangka, ada seorang ibu yang seperti itu pada anak sendiri. Jihan pun mengusap kepala putrinya lagi."Yeay! Sampai!" seru Bella antusias begitu mobil tiba di parkiran.Jihan tersenyum. "Iya Sayang."Sopir membuka pintu, dan Susan membantu Bella juga Jihan untuk turun. Kemudian mereka bertiga memasuki supermarket dengan ditemani 5 orang pengawal. Beberapa orang yang melintas juga membeli di dalam, nampak menjadikan Jihan sebagai pusat perhatian. Jihan merasa malu sendiri."Harusnya tadi aku bawa masker atau kacamata saja," gumamnya.Susan menoleh. "Mau saya ambilkan, Nyonya?"Jihan langsung menggeleng. Menurutnya itu merepotkan untuk Susan, harus ke mobil untuk mengambil barang yang dirinya sebutkan, kemudian balik lagi ke dalam. Susan yang melihatnya menolak langsung mengangguk me
"Eh, buat apa ke rumah sakit?" tanya Jihan heran."Memeriksakan dirimu. Kau pasti salah makan atau pencernaanmu sedang tidak baik."Jihan berdecak. "Ya kalau begitu hanya perlu minum obat saja kan?"Mata Darren menatapnya tajam, seolah tak ingin dibantah. "Memangnya kau tahu obat apa yang harus diminum? Tidak kan? Makanya tidak usah protes."Jihan pun memilih mengunci mulutnya. Ketimbang dijawab lagi, pasti bakal tidak ada penghujungnya. Meski begitu, kan Jihan bisa jalan sendiri, tapi Darren malah menggendongnya. Dan ya, Jihan pun memilih tetap diam saja.***Di rumah sakit. Jihan ditempatkan di ruang rawat VVIP, padahal hanya kram perut saja. Kemudian perutnya sekarang sedikit lebih baik. Tapi, Darren menolaknya yang ingin diperiksa saja terus pulang. Harus sekali dirawat."Mas, kita pulang saja ya?" pintanya pada Darren yang duduk menunggu di sebelahnya."Sebentar lagi juga dokternya datang kok."Jihan mengelus perutnya. "Sudah tidak terasa kram lagi Mas. Kita pulang saja ya? Atau
"Apa yang membuatmu nampak murung tiba-tiba Jihan?"Pada akhirnya Darren mempertanyakan hal yang membuat Jihan merasa murung, begitu dalam perjalanan pulang. Jihan menggenggam hasil USG dan berusaha untuk tersenyum. Darren yang mengemudikan mobil, sesekali meliriknya."Jangan membohongiku dengan senyuman palsu," tegas suaminya.Jihan menarik napas dan langsung memeluk tangan Darren, kemudian Jihan merebahkan kepalanya pada pundak suaminya. "Biarkan aku tertidur Mas, mungkin ini karena sedang lelah saja."Darren membisu. Membiarkan Jihan memejamkan mata. Entah benar-benar tertidur atau malah pura-pura, sengaja supaya tidak ditanya oleh Darren kembali. Meski begitu, sorot mata Darren seperti mengerti akan sesuatu.Begitu tiba di rumah. Jihan langsung tersenyum saat membuka pintu rumah dan menemukan Bella tengah duduk di sofa memakai piyama. Bella menoleh antusias padanya ketika tahu Jihan dan Darren telah kembali. Namun Bella menunjukkan bibir yang cemberut kemudian."Pergi tanpa bilang
Setelah membuat Abian bicara. Darren mengambil ponsel dari tangan anak buah dan mulai menjauhi Abian. Darren nampak memeriksa hasil rekaman dan tanpa berpikir panjang langsung mengirim rekaman suara tersebut pada Jihan."Lalu bagaimana dengan binatang ini Tuan? Apa kita kembalikan ke sel?"Abian sedikit menatap tak terima, ketika anak buah Darren menyebut binatang. Namun, Abian memilih untuk tidak protes. Mata Darren mendelik pada Abian dengan dingin."Kembalikan dia ke sel.""Baik Tuan."Abian mengepalkan tangan melihat Darren yang hendak pergi begitu saja, kemudian Abian mulai memberanikan diri. "Apa Bapak akan menutup mata? Membiarkan kakak ipar Bapak lolos begitu saja?"Darren berhenti melangkah dan menyeringai, tanpa berbalik sama sekali Darren menjawab, "itu urusanku dengannya, kau tidak berhak ikut campur."***Pukul dini hari. Jihan menyuruh Susan untuk menggantikan dirinya tidur di sebelah Bella. Sementara Jihan sendiri menunggu di ruang tamu. Begitu mendengar suara mesin mob
"Cepat sikat gigi," titah Darren.Darren benar-benar memaksa Jihan untuk memegang sikat gigi. Jihan menarik napas. Mau cium suami saja harus sikat gigi dulu, hanya karena habis muntah. Jihan yang malas langsung mengembalikan sikat gigi ke tempatnya lagi, kemudian berjalan keluar kamar mandi."Loh, mau ke mana?" tanya Darren dengan dahi mengerut."Malas. Nanti saja kapan-kapan," sahutnya.Darren berdecak, namun memilih diam dan mengamati Jihan yang benar-benar keluar dari kamar mandi. Kemudian Darren tersenyum kecil dan mulai ikut keluar juga. Jihan baru saja menunjukkan sikap tidak takut pada Darren."Terima kasih ya Susan," ujarnya dan Susan tersenyum, kemudian berjalan pergi.Darren duduk di sebelah Bella, namun begitu Jihan menoleh setelah menutup pintu kamar. Posisi Bella di ujung, sementara Darren berada di tengah. Tangan Darren menepuk ranjang dengan mata menatapnya serius."Sini tidur.""Kenapa malah menyisihkan Bella sih Mas? Kalau nanti Bella jatuh gimana?" keluhnya sembari m
"Tameng? Maksudnya bagaimana Bu?" tanya Jihan penasaran.Stella baru saja ingin berucap, bahkan mulut sudah terbuka. Namun, begitu melihat Darren yang mendekat. Membuat Stella akhirnya sepenuhnya membisu. Rasa penasaran dalam diri Jihan pun semakin memuncak."Memangnya kau bekicot? Kenapa lama sekali," keluh Darren padanya.Darren menariknya untuk pergi ke arah dapur. Stella menatap cara Darren membawa Jihan pergi, begitu lembut dan terkesan tidak dibuat-buat. Stella juga menatap pinggang Jihan dan langsung mengerutkan dahi."Apa mungkin ... tidak, paling karena Jihan sedikit gemukkan saja," gumam Stella seorang diri.Darren di dapur sedang sibuk mencicipi kue kering yang dibuat oleh Stella sendiri. Kemudian mengangguk ketika dirasa rasanya atau kerenyahannya pas. Jihan sendiri sedang menahan air liurnya yang hampir menetes karena ingin, tapi Darren menahannya."Nutrisinya seimbang kayaknya," ujar Darren namun membuat Jihan melongo."Mas, kenapa cuma kasih satu?" protes Jihan karena d
Gawat. Itulah yang ada di otak Jihan saat menatap Luna. Sementara Luna menyipitkan mata dan semakin berjalan mendekat, melupakan tas belanja yang tertinggal di belakang. Jihan menatap ke lantai atas, kenapa Darren masih belum kembali juga."Ibu bilang apa? Jihan hamil?" tanya Luna.Namun Stella menarik napas. "Aih, aku inginnya Jihan hamil. Memangnya salah ya kalau aku ingin punya cucu?"Jihan langsung menatap pada ibu mertuanya. Ah, ya Jihan lupa. Kalau waktu itu Stella yang memberi tahunya masalah Luna yang bersekongkol dengan Abian untuk menculiknya. Jihan tersenyum, sebab sepertinya ia punya sekutu untuk melawan Luna."Aku baru lepas suntik bulan ini, semoga saja ada kabar baik ya Bu, Kak Luna."Luna menghela napas kesal, kemudian berbalik lagi hanya untuk meraih tas belanja yang tertinggal. Lantas menaiki anak tangga, sementara Jihan mulai mengambil kue kering di dalam toples lagi dan memakannya. Setelah memastikan Luna benar-benar sudah tidak terlihat, Stella sedikit mencondongk
Jihan tersenyum mendengar penuturan suaminya. Kemudian mengangguk mengerti. Darren sendiri kembali mengemudi, namun tangan menggenggamnya."Memangnya tidak masalah menyetir pakai satu tangan?" tanya Jihan melirik tangannya.Darren justru menggenggam tangannya makin erat. "Tidak."Meski begitu. Jihan berusaha melepaskan tangannya, takut tiba-tiba ada kendaraan lain yang berhenti di depan mereka, kemudian pejalan kaki. Supaya Darren siap ketika dihadapkan pada peristiwa itu. Namun Darren tak melepaskannya sama sekali."Aku akan mengantarmu ke rumah, kau menemani Bella di rumah saja ya Jihan, karena aku bakal pulang malam," tutur Darren memberi tahu.Jihan pun menoleh. "Memangnya kau mau ke mana Mas?""Rumah sakit. Aku ingin melihat kondisi Yohan.""Aku ikut saja ya Mas? Cuma mau lihat sebentar saja kok," pintanya sekaligus berusaha membujuk suaminya."Bella bagaimana? Kalau kau ikut, nanti Bella sama siapa?"Jihan pun membisu. Benar juga, Bella kan tidak akan mau ditinggal lebih lama la