"Jika kau berani melakukannya maka aku ...."
Meski penuh emosi. Namun, Jihan bingung sendiri, hal apa yang bisa ia jadikan sebagai bahan ancaman. Apakah ... nyawanya? Abian tersenyum dan kembali mengecup pipi Jihan."Kau mau apa Sayang?"Jihan terdiam sepenuhnya. Benar, tak ada yang bisa Jihan lakukan. Meski hanya untuk mengancam saja, Jihan tak ingin menggunakan nyawanya sebagai cara untuk bisa keluar. Kepala Abian menoleh pada suara mesin mobil di luar rumah. Perlahan Abian melepaskan Jihan."Sayang, ayo kembali ke kamar," ajak Abian dengan tangan menarik paksa.Jihan menatap sengit pada Abian yang hendak menutup pintu. Jihan sempat menggenggam daun pintunya dengan cepat dan mata masih menyorot tajam. Hingga Abian mengelus wajahnya."Jangan tatap aku seperti itu Jihan.""Aku berjanji akan bunuh diri jika kau berani sebarkan video itu pada Darren," ujarnya dengan menahan emosi dan air mata.Abian membisu. Tak menjawab ancamannya ini, kemudian Abian mDarren nampak mengambil ponsel dan menelpon seseorang. "Blokir semua penerbangan hari ini. Aku tidak peduli dengan berapa orang yang mengamuk! Aku hanya tahu kalau kau membiarkan siapa pun lolos, maka aku akan menyiapkan senapan untuk makanan kalian!"Sementara itu. Jihan menarik tangannya dari genggaman Abian, membuat mantan suaminya ini melirik. Namun, Abian tetap menarik paksa Jihan untuk keluar dari mobil. Jihan saat ini berada di depan bandara, tujuan tidak tahu akan dibawa ke negara mana."Ayo Sayang, kita harus cepat," ajak Abian menggenggam tangannya sangatlah erat."Jika Darren berhasil menemukanmu, maka kau kesulitan untuk hidup Abian. Lebih baik kau pikirkan sekali lagi dan pulangkan aku," ujar Jihan berusaha mencuci otak Abian."Tidak Sayang. Kalau aku memulangkan dirimu, sudah pasti aku akan kembali kehilanganmu, Jihan," tolak Abian."Sejak awal aku sudah bukan istrimu Abian! Kau sudah kehilangan aku sejak itu!" serunya.Abian melirik sekeliling yang ramai dan masih sempa
Kecemasan Jihan semakin berlanjut. Ketika di ruang keamanan, Darren yang tak muncul juga meski dipastikan sudah tahu kabar terbaru tentangnya. Jihan menjadi takut, jika Darren sudah tidak lagi menerima Jihan. Hal itu membuat Jihan menggigit kuku dengan mata sedikit berkaca."Aku harus bagaimana?" gumam Jihan.Hingga pintu ruang keamanan terbuka lebar. Mata Jihan menemukan Darren berlari ke arahnya dengan keringat bercucuran. Bahkan Darren sempat menarik napas panjang lebih dahulu, kemudian memutar tubuhnya yang sedang duduk."Kau baik saja kan Jihan? Tidak terjadi sesuatu padamu kan? Abian tidak melukaimu kan?"Bukannya menjawab. Jihan malah menghambur dan memeluk pinggang Darren. Hal itu membuat Darren mengelus kepalanya lembut, apalagi ketika mendengar suara tangisnya. Darren nampak sabar menunggunya tenang dan berhenti menangis."Kita pulang ya Jihan," bujuk Darren.Namun kepala Jihan menggeleng. "Tidak mau."Darren melirik sekitar, beberapa petugas bandara yang mengerti langsung b
Jihan terbangun dari tidurnya. Namun satu hal yang membuat Jihan merasa heran. Ketika menuruni anak tangga, rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Padahal selalu ada pembantu yang berkeliaran di rumah.Jihan semakin menuruni anak tangga. Hingga matanya menemukan Darren sedang memasak di dapur, Jihan menyipitkan mata, berusaha membenarkan penglihatannya yang barang kali saja kabur. Tapi, ternyata benar. Darren yang memasak, Jihan membeku melihat suaminya yang begitu tenang."Punggungku bisa berlubang, kalau ditatap begitu olehmu," sindir Darren tak meliriknya sama sekali.Jihan memutuskan untuk mendekat dan berdiri di sebelah suaminya. "Aku hanya tidak menyangka saja, kalau ternyata Mas bisa memasak."Darren tak menjawab, hanya meliriknya saja. Kemudian mengambil sedikit hasil masakan dan meminta Jihan untuk mencoba. Jihan langsung mengacungkan jempol saat merasakan hasil masakan suaminya."Enak," pujinya."Tentu," sahut Darren singkat dan nampak angkuh.Jihan tersenyum melihat suaminy
Susan langsung mengangguk tanpa ragu. Jihan menarik napas mendengar fakta bahwa Elina juga mengatakan pada Bella setiap waktu, kalau Bella bukankah anak kandung dari Elina sendiri. Jihan sama sekali tidak menyangka, ada seorang ibu yang seperti itu pada anak sendiri. Jihan pun mengusap kepala putrinya lagi."Yeay! Sampai!" seru Bella antusias begitu mobil tiba di parkiran.Jihan tersenyum. "Iya Sayang."Sopir membuka pintu, dan Susan membantu Bella juga Jihan untuk turun. Kemudian mereka bertiga memasuki supermarket dengan ditemani 5 orang pengawal. Beberapa orang yang melintas juga membeli di dalam, nampak menjadikan Jihan sebagai pusat perhatian. Jihan merasa malu sendiri."Harusnya tadi aku bawa masker atau kacamata saja," gumamnya.Susan menoleh. "Mau saya ambilkan, Nyonya?"Jihan langsung menggeleng. Menurutnya itu merepotkan untuk Susan, harus ke mobil untuk mengambil barang yang dirinya sebutkan, kemudian balik lagi ke dalam. Susan yang melihatnya menolak langsung mengangguk me
"Eh, buat apa ke rumah sakit?" tanya Jihan heran."Memeriksakan dirimu. Kau pasti salah makan atau pencernaanmu sedang tidak baik."Jihan berdecak. "Ya kalau begitu hanya perlu minum obat saja kan?"Mata Darren menatapnya tajam, seolah tak ingin dibantah. "Memangnya kau tahu obat apa yang harus diminum? Tidak kan? Makanya tidak usah protes."Jihan pun memilih mengunci mulutnya. Ketimbang dijawab lagi, pasti bakal tidak ada penghujungnya. Meski begitu, kan Jihan bisa jalan sendiri, tapi Darren malah menggendongnya. Dan ya, Jihan pun memilih tetap diam saja.***Di rumah sakit. Jihan ditempatkan di ruang rawat VVIP, padahal hanya kram perut saja. Kemudian perutnya sekarang sedikit lebih baik. Tapi, Darren menolaknya yang ingin diperiksa saja terus pulang. Harus sekali dirawat."Mas, kita pulang saja ya?" pintanya pada Darren yang duduk menunggu di sebelahnya."Sebentar lagi juga dokternya datang kok."Jihan mengelus perutnya. "Sudah tidak terasa kram lagi Mas. Kita pulang saja ya? Atau
"Apa yang membuatmu nampak murung tiba-tiba Jihan?"Pada akhirnya Darren mempertanyakan hal yang membuat Jihan merasa murung, begitu dalam perjalanan pulang. Jihan menggenggam hasil USG dan berusaha untuk tersenyum. Darren yang mengemudikan mobil, sesekali meliriknya."Jangan membohongiku dengan senyuman palsu," tegas suaminya.Jihan menarik napas dan langsung memeluk tangan Darren, kemudian Jihan merebahkan kepalanya pada pundak suaminya. "Biarkan aku tertidur Mas, mungkin ini karena sedang lelah saja."Darren membisu. Membiarkan Jihan memejamkan mata. Entah benar-benar tertidur atau malah pura-pura, sengaja supaya tidak ditanya oleh Darren kembali. Meski begitu, sorot mata Darren seperti mengerti akan sesuatu.Begitu tiba di rumah. Jihan langsung tersenyum saat membuka pintu rumah dan menemukan Bella tengah duduk di sofa memakai piyama. Bella menoleh antusias padanya ketika tahu Jihan dan Darren telah kembali. Namun Bella menunjukkan bibir yang cemberut kemudian."Pergi tanpa bilang
Setelah membuat Abian bicara. Darren mengambil ponsel dari tangan anak buah dan mulai menjauhi Abian. Darren nampak memeriksa hasil rekaman dan tanpa berpikir panjang langsung mengirim rekaman suara tersebut pada Jihan."Lalu bagaimana dengan binatang ini Tuan? Apa kita kembalikan ke sel?"Abian sedikit menatap tak terima, ketika anak buah Darren menyebut binatang. Namun, Abian memilih untuk tidak protes. Mata Darren mendelik pada Abian dengan dingin."Kembalikan dia ke sel.""Baik Tuan."Abian mengepalkan tangan melihat Darren yang hendak pergi begitu saja, kemudian Abian mulai memberanikan diri. "Apa Bapak akan menutup mata? Membiarkan kakak ipar Bapak lolos begitu saja?"Darren berhenti melangkah dan menyeringai, tanpa berbalik sama sekali Darren menjawab, "itu urusanku dengannya, kau tidak berhak ikut campur."***Pukul dini hari. Jihan menyuruh Susan untuk menggantikan dirinya tidur di sebelah Bella. Sementara Jihan sendiri menunggu di ruang tamu. Begitu mendengar suara mesin mob
"Cepat sikat gigi," titah Darren.Darren benar-benar memaksa Jihan untuk memegang sikat gigi. Jihan menarik napas. Mau cium suami saja harus sikat gigi dulu, hanya karena habis muntah. Jihan yang malas langsung mengembalikan sikat gigi ke tempatnya lagi, kemudian berjalan keluar kamar mandi."Loh, mau ke mana?" tanya Darren dengan dahi mengerut."Malas. Nanti saja kapan-kapan," sahutnya.Darren berdecak, namun memilih diam dan mengamati Jihan yang benar-benar keluar dari kamar mandi. Kemudian Darren tersenyum kecil dan mulai ikut keluar juga. Jihan baru saja menunjukkan sikap tidak takut pada Darren."Terima kasih ya Susan," ujarnya dan Susan tersenyum, kemudian berjalan pergi.Darren duduk di sebelah Bella, namun begitu Jihan menoleh setelah menutup pintu kamar. Posisi Bella di ujung, sementara Darren berada di tengah. Tangan Darren menepuk ranjang dengan mata menatapnya serius."Sini tidur.""Kenapa malah menyisihkan Bella sih Mas? Kalau nanti Bella jatuh gimana?" keluhnya sembari m