"Maafkan aku, Bu. Ini semua salahku. Jika saja aku tidak terobsesi dengan Rima, tentu kita tidak akan kehilangan Silvia. Dan jika saja aku tidak berusaha untuk menjebak Silvia, pasti aku tidak akan di penjara. Semua ini salahku, Ibu." Suaranya dan tangisnya saling berebut untuk mengambil Kendari.
"Tidak, Nak. Semua ini salah Ibu. Jika saja Ibu tidak menghasut kamu terus menerus, pasti semua ini tidak akan terjadi." Tangisnya tak kalah pilu dibanding anaknya. Setelah terisak beberapa saat, dia melanjutkan kata-katanya lagi."Sebaiknya kita lanjutkan hidup kita tanpa melihat ke belakang, Nak. Jadikan semua yang telah terjadi sebagai pelajaran berharga, agar tidak terjadi lagi dikemudian hari," ucapnya membujuk anaknya.Pazel terdiam mendengar kata-kata ibunya. Dia melihat ada ketulusan dari kata-kata ibunya. Dia bersyukur ibunya sekarang sudah menjadi pribadi yang lebih baik. Tidak lagi culas dan penuh dengan tipu daya seperti biasanya. TidakSilvia berjalan dengan senyum yang tidak lepas dari wajahnya. Dia berjalan menuju ruangan Dokter kandungan yang sudah dipesannya."Halo Dana, lama tidak ketemu" sapa seorang wanita berpakaian serba putih menghampiri Dokter Dana dan Silvia."Halo juga Dokter Wati," jawab Dokter Dana sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman."Sayang, ini Dokter Wati, dia ini Dokter kandungan terbaik di negeri ini,""O ya? Aku Silvia, Dok. Senang bertemu denganmu." Silvia mengulurkan tangannya dengan ramah."Aku juga senang bisa bertemu denganmu Silvia. Sebenarnya aku tidak se istimewa yang suamimu katakan. Karena masih banyak Dokter yang lebih baik dari aku, salah satunya Dokter Dana. Beliau Dokter yang hebat. Setiap operasi yang beliau lakukan tidak pernah gagal. Sedangkan aku hanya seorang Dokter kandungan.""Karena seorang Dokter kandungan banyak nyawa bayi yang terselamatkan. Itu saja sudah sangat istimewa men
Dokter Dana berlari ke ruang keamanan Rumah sakit. Di sana dia dibantu petugas keamanan memeriksa cctv.Di sana terlihat semua anak buahnya ternyata dibius dan dibawa ke dalam mobil ambulans dan istrinya juga dibius lalu di bawa menggunakan mobil lain.Petugas keamanan segera melapor kepada Polisi. Polisi segera bergerak mencari mobil yang sudah ditandai plat nomornya.Dokter Dana juga tidak tinggal diam. Dia mencari keberadaan mobil yang membawa istrinya. Dia memukul setir mobilnya dengan keras untuk melampiaskan kekesalannya."Aaaaaa...." Teriakan yang keras mungkin tidak akan bisa menenangkan perasaannya. Tapi setidaknya itu bisa melampiaskan juga rasa sakitnya karena dia telah merasa lalai menjaga istrinya.Dia mencari ke kediaman Rani. Tapi disana tidak ada orang sama sekali. Polisi mendobrak rumah itu dan mengacak-acak seluruh ruangan. Namun nihil."Maaf, Pak. Kami tidak menemukan siapa pun di dalam,""Besok adalah jadwal wajib lapor Bu Rani. Dia akan datang ke kantor polisi. Ki
Dokter Dana menoleh ke belakang."Kalian? Kalian sedang apa disini? Maaf saya buru-buru." Dokter Dana mengabaikan orang yang tadi memegang pundaknya."Kak. Kami ikut." Tiara dan Darwin segera berlari mengikuti Dokter Dana dan mesuk ke dalam mobil Dokter Dana dengan sigap.Dokter Dana mengejar mobil yang tadi sudah melaju lebih dulu. Dia menyalip mobil yang berada di depannya. Karena menyadari kalau dia sedang dikejar, mobil berwarna putih itupun segera menambah kecepatannya.Kejar-kejaran pun terjadi di sela-sela kendaraan lain yang saling berlomba untuk segera sampai ditujuan mereka.Dokter Dana menambah laju mobilnya lagi, Tiara dan Darwin ketakutan. Seberapa pun cepatnya laju mobil Dokter Dana, tidak dapat mengejar mobil yang sedang dikejarnya. Hingga akhirnya, dia kehilangan jejak.Dokter Dana merasa putus asa. Tapi dia tetap menyusuri jalanan sambil melihat mobil yang tadi tikejarnya. Akhirnya ia memutuskan untuk mengisi bensinnya di sebuah Pertamina , karena dia melihat bensinn
Mobil putih itu segera melaju meninggalkan parkiran. Dokter Dana masih penasaran dengan orang itu. Tapi jika ia mengejar dengan mobilnya, tetap akan ketahuan kalau dia sedang diikuti, karena dia tentunya sudah mengenali mobil Dokter Dana.Dia menatap layar ponselnya. Dari ponselnya dia dapat mengetahui arah yang dituju mobil tersebut dengan bantuan pelacak yang dipasangnya."Iya, Bos. Ada apa? Apa orangnya sudah terlihat?" ucap Darwin yang terkejut karena dibangunkan oleh Dokter Dana. Dia mengucek matanya yang sudah terbuka lebar namun belum bisa melihat dengan jelas."Ada apa, sih. Lu berisik banget," celetuk Tiara yang ikut terbangun karena suara Darwin yang berisik."Orangnya sudah pergi, tapi saya sudah pasang GPS di mobilnya. Sekarang kamu antar Tiara pulang, saya akan mengejarnya dengan ojek.""Lho, Bos? Kenapa dengan ojek? Kenapa tidak dengan mobil saja? Kalau Bos lelah, biar saya saja yang menyetir." Darwi
Sementara itu, di tempat lain, di sebuah rumah sakit sederhana di perkampungan yang asri, seorang wanita cantik sudah bangun dari tidurnya. Dia melihat ke semua sudut ruangan. Lalu dia terkejut mendengar suara seorang wanita paruh baya dengan pakaian sederhana yang sedang menungguinya."Kamu sudah sadar, Nak?"Wanita yang baru sadar itu menautkan kedua alisnya dan bertanya."Di mana saya?" Dia memegang kepalanya yang terasa nyeri. Dia mengingat kembali apa yang terjadi dengan dirinya. Sebelum dia tidak sadarkan diri, dia berjalan dengan suaminya di koridor rumah sakit menuju ke tempat parkir di dampingi beberapa pengawalnya. Lalu saat suaminya menerima panggilan di ponselnya dia melihat Rima menggendong seorang bayi berjalan seperti orang linglung. Dia berniat menghampirinya. Saat itulah ada seseorang yang menyekap mulutnya dengan saputangan dan dengan sigap memasukkannya ke dalam mobil. Saat di dalam mobil dia masih berusaha untuk memanggil suaminya, tapi percuma karena dia tidak lag
Belulm semlpat menjawab pertanyaan Silvia, pintu yang tadinya tertutup tiba-tiba terbuka. Dua orang laki-laki masuk dan mengunci ruangan itu."Apa kabar Silvia?" Seseorang berpakaian Dokter menghampirinya bersama orang yang dikenalnya, yaitu Pazel. Pazel segera memengang pundak ibunya yang terlihat tegang. Karena Dokter itu melihat ada ketegangan di dalam ruangan, dia mencoba mencairkan suasana dengan tertawa. Tapi alih-alih mencairkan suasana, Silvia dan Bu Rohana semakin tegang dan takut. Dokter yang memiliki nama Dokter Anwar itu pun memperkenalkan dirinya."Jangan takut Bu Silvia. Saya bukan Dokter yang jahat. Jika saya Dokter yang jahat, Ibu Silvia tidak akan mengingat apa pun saat ini."Silvia dan Bu Rohana menjadi lega. Dokter Anwar melajutkan kata-katanya lagi setelah melihat wajah Silvia dan Bu Rohana menjadi tenang."Perkenalkan saya Dokter Anwar. Saya sudah degar semuanya. Tadinya saya pikir Ibu adalah orang jahat, sama seperti anak Ibu."Pazel hanya menunduk. Tapi ibunya m
Pazel dan ibunya juga memilih untuk bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Dia tidak mau lagi melakukan kesalahan yang akan dia sesali nantinya. Untuk itu dia memilih untuk tinggal dan bertemu dengan Dokter Dana, apa pun konsekwensinya."Mas! Ibu Rohana, Bang Pazel dan Dokter Anwarlah yang sudah menolong aku. Jika tidak ada mereka, mungkin saat ini aku tidak akan mengenali, Mas. Dan mungkin juga kita tidak akan pernah bertemu."Dokter Dana ingin bertanya banyak, tapi dia juga harus berterima kasih kepada orang yang telah menyelamatkan nyawa istrinya. Dia melihat dengan tatapan yang bersahabat ke arah Dokter Anwar dan berkata, " Dokter. Terima kasih karena Dokter sudah menyelamatkan istri saya. Saya sangat berhutang budi kepada Dokter.""Sudah kewajiban saya, Dokter," ucapnya dengan ramah. Dokter Dana sekarang melihat ke arah Pazel dan ibunya. Tatapan yang tajam setajam pedang, membuat Pazel menunduk ketakutan. Wibawa Dokter Dana memang mematikan, sehingga membuat Pazel mati k
Wanita itu seolah ingin menyampaikan sesuatu. Tapi sayang dia tidak bisa bicara. Silvia terpana melihat gerakan yang dilakukannya. Para pengawal dengan cekatan memegang kedua tangan wanita itu dan menjauhkannya dari Silvia."Sepertinya dia ingin menyampaikan sesuatu," ujar Silvia kepada Dokter Dana sambil memegang lengan Dokter Dana."Tunggu! Lepaskan dia," suruh Dokter Dana kepada anak buahnya. Setelah tangannya bebas, dia kembali berkata dengan bahasa isyarat. Dokter Dana tidak mengerti sedikit pun dengan bahasa yang digunakan wanita itu. Tapi Silvia tampak memperhatikan dengan seksama, dan dia terkejut hingga berkeringat. Lalu Silvia juga membalas dengan bahasa isyarat yang dijawab kembali oleh wanita itu dengan bahasa isyarat."Kamu mengerti apa yang dimaksudnya?" tanya Dokter Dana yang heran melihat percakapan antara istrinya dengan wanita cantik yang punya kekurangan itu."Iya, Mas," jawab Silvia. Mukanya sudah terlihat cemas dan berkeringat.."Apa katanya?" Dokter Dana sudah ti
Karena melihat raut sedih di wajah istrinya yang berkepanjangan, akhirnya Dokter Dana mendekap istrinya dan berkata dengan yakin. "Kamu jangan khawatir lagi, Sayang. Aku pastikan bayi kita akan segera bersama kita lagi, dan penculiknya akan segera mendapat hukuman yang sangat berat.""Bagaimana, Mas bisa seyakin itu? Sudah hampir seminggu lamanya kita kehilangan bayi kita. Bahkan kita sudah mencari ke mana-mana, tapi hasilnya nihil," keluhnya dalam kesedihannya."Tapi, kita tidak boleh berputus asa, Sayang," pinta Dokter Dana yang sebetulnya menahan kesedihannya demi memberi kekuatan kepada istrinya."Lalu, apa ada perkembangan dari pencarian kita dan polisi, Mas? Aku gak sabar ingin segera bertemu sama anakku, Mas. Aku rindu, aku juga khawatir orang yang menculik anak kita tidak memberikan asupan makanan yang layak untuk anak kita. Atau jangan-jangan...." Kata-katanya terhenti saat pikirannya melayang ke hal-hal yang membuatnya takut. Air matanya tidak berhenti menetes. Melihat keka
Sebenarnya Rani merasa sangat terhina saat dia diperiksa di pos keamanan untuk bisa masuk ke rumah Perdana. Sebelumnya dulu dia tidak pernah diperiksa dulu sebelum masuk. Tapi hari ini dia harus melewati beberapa pemeriksaan dulu. "It's ok. Ini demi melancarkan rencanaku," ucapnya dalam hati. Dia melangkah masuk bersama dua orang anak buahnya yang masing-masing memegang bingkisan."Assalamualaikum," ucap Rani saat dia telah berada di ruangan tamu. Di sana sudah ada Pak Efendi dan istrinya, Pak Herman dan istrinya dan juga Dokter Dana dengan istrinya. Mereka serempak menjawab salam dari Rani."Wa'alaikummussalam.""Maaf, Dana. Om dan Tante. Juga Silvia. Aku tidak tahu, kalau Dana dan Silvia sedang ada acara kumpul keluarga," ucapnya basa-basi."Tidak apa-apa kok, Rani. Tidak ada acara penting. Silakan duduk. Perdana mencoba bersikap biasa."Iya, silakan duduk." Silvia pun berusaha bersikap ramah, walau di hatinya ada kecurigaan bahwa dialah dalang dibalik hilangnya anaknya."Terima ka
Bukan salahnya juga jika wanita itu menganggapnya lain. Dia hanya ingin berbuat baik kepada orang lain. Dia hanya ingin berbuat kebaikan kepada orang yang sedang terzalimi. Dan itu adalah perbuatan mulia. Namun, wanita itu salah kaprah terhadap kebaikan yang ditunjukannya, hingga menganggapnya sebuah tanda cinta sehingga dia menjadi tersanjung, lalu tidak terima saat melihat kenyataan yang terpampang di depan matanya."Kalau begitu, Perdana sudah melakukan perbuatan yang baik kepadamu. Lalu kenapa kamu membalasnya dengan menculik anaknya, Rani? Hentikan semua ini. Setidaknya demi Dana," bujuk Kanaya. "Bukan aku yang menculik anaknya! Tapi kamu! Kamu yang menculik anaknya, dan aku yang akan menyelamatkannya," kilah wanita itu dengan berteriak."Kamu ini sudah gila, Rani!" hardik Kanaya."Ya! Aku gila karena cinta, Kanaya. Dalam cinta semua adil," kekeh Rani yang tidak kehabisan kata-kata untuk membenarkan perbuatannya."M itueskipun begitu, tetap saja perbuatan kamu ini tidak benar, R
"Rani! Aku mohon, lepaskan aku. Aku janji akan melupakan ini semua. Kalau tidak, aku akan melaporkanmu ke polisi."Mendengar ancaman dari Kanaya, Rani jadi naik pitam. "Apa kamu bilang? Kamu mengancamku? Mau melaporkan aku ke polisi? Kamu gak sadar ya? kalau sekarang nyawamu ada di tanganku!" bentaknya. "Baiklah, kalau kamu menyetujui kesepakatan kita, aku mungkin bisa melepaskanmu," ujarnya. "Kesepakatan apa?" tanyanya dengan cemas. Ha ha ha....Setelah tertawa, dia mendekat ke muka Kania. "Sepertinya kamu sudah setuju, dan memang seharusnya kamu setuju," ocehnya yang terdengar seperti sampah di telinga Kanaya."Aku bukannya setuju. Aku hanya bertanya tentang kesepakatannya!" kilahnya dengan geram."Dengar, Kanaya. Kamu jangan menghabiskan tenagamu untuk marah-marah, karena selain kamu akan kehabisan tenaga, kamu juga akan kesulitan nantinya. kenapa? Karena aku bisa menyakitimu dan juga tiga orang yang sedang berada di ge
Sudah hari ketiga semenjak Savana menghilang. Puncak hidung Kanaya masih belum ditemukan. Nomornya sudah tidak aktif. Segala macam cara sudah dicoba untuk mencari keberadaan Kanaya, namun tak ada jejaknya. Dia bagaikan hilang ditelan bumi.Pihak kepolisian sudah menyatakan dia di daftar pencarian orang. Fotonya sudah disebar di berbagai media sosial dan di selebaran kertas sepanjang jalan di seluruh pelosok."Dasar perempuan tidak punya hati nurani," cerca Kanaya terhadap wanita yang kini tertawa lepas mendengar cercaannya. "Bisa-bisanya kamu menculik anak yang baru berumur dua hari, hanya untuk memuaskan egomu yang terluka!" hardiknya lagi.Perempuan itu menaikkan alisnya dan menghentikan tawanya lalu berkata, "Tunggu! tunggu. Tadi kamu bilang saya wanita yang tidak punya hati nurani karena menculik anak yang berumur dua hari. Betul begitu?" Perempuan itu diam sejenak seolah menunggu jawaban dari Kanaya. Namun belum sempat Kanaya berkata sepatah kata pun, dia sudah tertawa lagi terb
Ternyata ruangan itu kosong. Hanya tetesan air keran yang belum tertutup sempurna yang mengeluarkan suara tetesan air. "Sepertinya dia sengaja tidak menutup habis keran air," batin Perdana. "Dasar perempuan ular!" bentaknya sambil mengayunkan tinjunya ke udara.Dia kembali ke ruangan tengah dengan wajah yang masih merah padam.Silvia yang sudah tidak sabar mendengar keberadaan Kanaya pun bertanya."Bagaimana, Mas? Apa dia ada?"Pak Herman juga sudah tidak sabar menunggu jawaban dari menantunya itu. Dia menatap mata Perdana yang merah. Menunggu dengan tidak sabar. Meski dai tahu yang paling penting saat ini adalah keberadaan cucunya. Entah wanita itu yang menculik cucunya atau tidak, dia hanya ingin cucunya segera kembali.Pak Efendi juga satu pemikiran dengan Pak Herman. Dia ingin segera menemukan keberadaan cucunya. Tapi jika memang perempuan itu yang menculik cucunya, dia tidak akan memberikan ampun."Dia tidak ada di kamar tamu.""Jadi, dia yang menculik putri kita," ucapnya dengan
Azan subuh berkumandang bersahut-sahutan membangunkan umat muslim untuk beribadah menghada sang pencipta. Dokter Dana juga bangun untuk melaksanakan ibadah dua rakaat. Dia sengaja tidak membangunkan Silvia karena Silvia masih dalam masa nifas.Tapi karena sudah terbiasa bangun di waktu subuh, dia tetap terbangun. Semalam tidurnya terasa nyenyak, sebab dia tidak menyusui anaknya secara langsung. Savana minum susu formula yang dibuatkan oleh pengasuhnya. Hanya beberapa menit Dokter Dana pun selesai melaksanakan shalat subuh. Dia mendekat ke arah istrinya untuk memberikan sebuah ciuman."Savana gak nangis semalam ya, Mas?" tanyanya saat dia memeluk lengan suaminya."Kayaknya gak, Sayang. Yuk kita lihat," ucapnya sambil beranjak ke kamar anaknya dengan memapah Silvia.Dokter Dana mulai memutar gagang pintu kamar anaknya. Mereka masuk dan melihat ke arah suster yang terlelap sambil mengorok. Lalu dialihkannya penglihatan mereka kearah kasur bayi. Alangkah terkejutnya mereka saat mendapati
"Kaila..." Silvia dan Perdana menyebut namanya dengan setengah berteriak. Silvia tidak bisa berlari mengejar Kaila. Dia hanya merentangkan tangannya menyambut Kalia yang berlari ke arahnya diikuti seorang wanita cantik dari belakangnya."Tante. Tila kangen sama tante.""Tante juga kangen sama Kaila. Bicaramu sekarang sudah jelas, Ya?" ucap Silvia sambil mencubit pipinya."Iya dong, Tante..., Kan sekarang Tila sudah punya dedek bayi. Ini kado buat dedek bayinya, Tante," ucapnya sambil menyerahkan sebuah bungkusan kepada Silvia."Mmm, Terima kasih ya, Sayang? Repot-repot deh, Kamu," ucap Kanaya gemes sambil menerima kado dari Kaila."Gak repot kok, Tante. Aku cuma bilang bagus aja.""Cuma bilang bagus gimana sih, Sayang?""Jadi, Yang cari kadonya mama sama aku. Aku cuma ditanya sama mama, yang ini bagus, gak? Aku bilang bagus. Jadi aku gak repot, Tante."Semua orang yang mendengar jadi tertawa."Jadi kamu gak repot ya, Sayang?""Gak, Tante. Mana dedek bayinya, Tante?""Ini dedek bayinya
"Aku tidak tahu. Tapi untuk sekarang ini kamu boleh tinggal di rumah ini. Demi Aira."Mira senang sekali mendengar jawaban dari Pazel. Dia segera mengemas semua pakaiannya ke dalam lemari lagi, saat Pazel beranjak ke ruang keluarga membawa Aira sambil bercanda dengan riang. Bercanda dengan sikecil Aira membuatnya bisa menghilangkan beban pikirannya. Dia memang sudah lama menginginkan seorang anak. Kali ini dia tidak ingin melepaskannya, meski dia tahu kalau anak itu bukanlah darah dagingnya.Sementara keesokkan harinya, di sebuah rumah besar nan megah, Silvia sedang berbahagia dengan kehadiran putri mungilnya. Hari ini sedang diadakan acara pemberian nama untuk bayinya. Sekaligus acara potong rambut pertamanya. Silvia tampil cantik dengan balutan busana yang tertutup tapi elegan dan anggun. Warna dan coraknya senada dengan pakaian yang dikenakan oleh Perdana dan putri kecilnya."Saya ucapkan banyak terima kasih kepada saudara, fami