"Awas kalau kamu berani buka mulut. Jika kamu berani buka mulut, maka kamu akan di penjara dan dijatuhi hukuman gantung! Mau kamu, ha!" ujar wanita tersebut dengan nada suara lembut tapi penuh penekanan dan ancaman."Ti_tidak, Nya..., Saya tidak berani," ucap pelayan itu dengan rasa takut yang amat dalam."Bagus. Sekarang lakukan pekerjaanmu! Jangan terlalu dipikirkan! Anggap tidak pernah terjadi apa-apa! Paham, kamu." "Paham, Nyah."Nyonya Sulastri berlalu meninggalkan dapur untuk bergabung lagi dengan keluarga yang lain.Bu Desi yang berada di kamarnya merasakan kantuk yang amat berat. Tidak seperti biasanya. Biasanya setelah dia meminum obat herbal itu, keringatnya keluar, dia juga jadi bersemangat menjalani aktifitas sehari-harinya. Tidak seperti hari ini. Matanya benar-benar mengantuk tidak tertahan."Mungkin aku kelelahan dan kurang tidur karena seharian aku hanya menangis memikirkan
"Sabarlah, Nak. Ibumu sudah tenang, jangan buat dia tidak tenang meninggalkanmu." Nyonya Sulastri membelai rambut Silvia. Namun yang dibelai tidak lagi merasakan kehangatan mertua yang sudah zalim. Malahan, dia curiga kematian ibunya ada hubungannya dengan mertuanya. "Aku akan cari tahu, Ma. Jika terbukti Mama terlibat dengan kematian ibuku, tidak ada maaf untukmu, Ma. Akan aku penjarakan kamu," batinnya. Dia sempat melihat kerlingan mata mertuanya itu kepada pelayan yang menangis tanpa henti. Jika tidak ada sesuatu, tangis pelayan itu tidak akan mengganggunya."Nak, sebaiknya sekarang kita urus pemakamannya," ucap Pak Hermansyah."Iya, Nak. Ikhlaskan kepergian ibumu, lebih baik kita urus pemakamannya sekarang," sambung Bu Iyes dengan lembut kepada Silvia.Silvia tidak bisa menahan pilu. Dia masih ingat bagaimana perjuangan ibunya dalam melawan penyakit kankernya. "Ibuku ingin hidup lebih lama lagi, dia sangat bersemangat untuk kesembuhannya. Tidak mungkin dia pergi secepat ini," rat
Dia segera berbalik, dengan menautkan kedua alisnya dia bertanya. "Apa maksud Papa bicara seperti itu, Pa? Kenapa Papa menuduh mama seperti itu? Jika orang lain mendengar, mereka akan mengira itu benar, Pa! Jangan ulangi lagi bercanda seperti itu, Pa! Gak lucu...." Dia berpura-pura marah untuk menutupi ketakutannya.Setelah membuang napas kecil Pak Efendi berkata. "Maafkan Papa. Tapi ingat, Ma. Jika Mama terlibat, Papa akan lepas tangan." Efendi Kusuma pun berlalu meninggalkan Nyonya Sulastri yang sudah berkeringat dingin. Bergegas dia membuka pintu kamar, lalu masuk dan menutup daun pintunya lagi. Dia mondar mandir mencari ide untuk lepas dari masalah kematian ibu kandung Silvia."Semua gara-gara pelayan itu. Jika dia tidak terlihat mencurigakan, pasti Silvia tidak akan memanggil Dokter forensik," gerutunya.Sementara Silvia masih menangisi ibunya yang sudah diangkat oleh dua orang petugas rumah sakit. Silvia bertekat untuk menghukum orang yang sudah sengaja menghilangkan nyawa ibuny
Begitu Silvia sampai di rumahnya, dia merebahkan badan di sofa empuknya. Suasana berkabung masih begitu terasa. Semua kerabat dan keluarga masih berada di kediaman Silvia.Semua orang yang ada di ruangan itu hanya diam. Tak ada seorang pun yang bersuara. Hanya angin kesedihan yang memenuhi ruangan itu. Dari pancaran mata mereka semua Silvia menangkap ada kejanggalan. "Tidak mungkin mereka semua bersedih seperti seperti ini karena kehilangan ibu kandungku. Ada apa ini? Sepertinya ada masalah lain, dari raut wajah mereka juga ada kecemasan yang ingin mereka tunjukkan," batin Silvia.Silvia tidak mau hanya menerka tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Akhirnya dia memutuskan untuk bertanya kepada ibunya, yaitu Bu Iyes. Karena sekarang ini hanya Bu Iyeslah orang yang bisa dia percaya. "Bu. Ada apa ini? Kenapa aku melihat semua orang seperti yang aneh gitu?"Sebelum menjawab pertanyaan Silvia, dia melihat lagi ke wajah semua orang, lanjut ke suaminya dan kembali menghadap ke Silvia yang se
Begitu Silvia sampai di rumahnya, dia merebahkan badan di sofa empuknya. Suasana berkabung masih begitu terasa. Semua kerabat dan keluarga masih berada di kediaman Silvia.Semua orang yang ada di ruangan itu hanya diam. Tak ada seorang pun yang bersuara. Hanya angin kesedihan yang memenuhi ruangan itu. Dari pancaran mata mereka semua Silvia menangkap ada kejanggalan. "Tidak mungkin mereka semua bersedih seperti seperti ini karena kehilangan ibu kandungku. Ada apa ini? Sepertinya ada masalah lain, dari raut wajah mereka juga ada kecemasan yang ingin mereka tunjukkan," batin Silvia.Silvia tidak mau hanya menerka tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Akhirnya dia memutuskan untuk bertanya kepada ibunya, yaitu Bu Iyes. Karena sekarang ini hanya Bu Iyeslah orang yang bisa dia percaya. "Bu. Ada apa ini? Kenapa aku melihat semua orang seperti yang aneh gitu?"Sebelum menjawab pertanyaan Silvia, dia melihat lagi ke wajah
Matanya membola melihat Silvia dan Dokter Dana, rasa bersalah begitu terpancar di matanya. Tampak sekali langkah kakinya yang begitu berat berjalan ke arah Silvia sambil menatap nya tanpa berkedip. Mata itu sudah bengkak, namun masih mengalir air matanya dengan deras. Dengan gemetar tangannya memegang jeruji besi yang menjadi pembatas antara wanita yang berada di dalam sel dan Silvia yang sedang memandang wanita itu dengan tatapan tajam dengan mulut ternganga yang ditutupi dengan kedua telapak tangan.Ingin rasanya Silvia memakai orang yang ada di dalam sana. Tapi mulutnya terkunci. Matanya yang penuh dengan amarah mulai memerah dan berair.rasa dendam, benci dan kecewa bercampur menjadi satu.Wanita yang sedang memegang jeruji besi itu seakan menarik beban yang sangat berat di kakinya, sehingga dia tidak kuasa menahan tubuhnya yang pada akhirnya luruh juga ke lantai. Dia mencoba mengeluarkan suaranya untuk berkata."Silvia..., Maaf kan Mama, Nak..., Eghngeee...." Tangis wanita itu pec
"sayang. Kamu sudah bangun?" ucap Perdana sambil membelai kening Silvia yang sedang membuka matanya secara perlahan."Aku tertidur ya, Mas? Kenapa tidak bangunin aku?""Sekarang kan sudah bangun," jawab Perdana sambil tersenyum. "Yuk kita makan, supnya sudah siap, mungkin sudah dingin juga. Tapi tenang saja, tinggal di angatin sebentar di oven."Perdana membantu istrinya untuk bangun. Mereka pun menuju meja makan untuk menyantap hidangan yang sudah disiapkan oleh Perdana."Umm, wanginya enak sekali. Pasti rasanya enak.""Makanya cobain dong, Mas suapin, Ya?" Perdana menyendok nasi dan sup lalu menyuapi Silvia. Begitu mencobanya, matanya membulat, lalu bibirnya tersenyum."Kenapa, Sayang. Enak, gak?""Ini enak, Mas. Cuma agak kurang garam dan micin saja. Tapi aku suka banget. Rempah-rempahnya terasa. Jadi kayak alami gitu. Enak banget ini, Mas.""Mas memang sengaja tidak menambahkan micin, kar
"Aku tidak peduli jika aku harus dihukum mati. Bukankah semua orang juga akan merasakan yang namanya mati.""Meski pun begitu, Mama tidak berhak meracuni ibuku." Serangah Silvia yang sangat kesal."Sebenarnya Mama tidak berniat meracuni ibumu. Waktu itu, Mama memergoki dia sedang menelepon seseorang. Dia bilang kalau dia hanya pura-pura sakit kanker, agar dia bisa tinggal bersama kamu." Nyonya Sulastri memberikan penjelasan kepada Silvia."Itu tidak benar kan? Mama pasti berbohong!" Bentaknnya."Tidak. Mama tidak berbohong. Saat itu dia bilang kalau misinya tinggal beberapa bulan lagi. Lalu dia bilang, kita akan bisa menguasainya setelah anaknya lahir. Mama sangat takut. Mama yakin, yang dia maksud beberapa bulan lagi tu adalah masa kehamilan kamu. Itulah alasannya kenapa Mama menyuruh orang untuk menculik kamu, sebenarnya tidak lain karena Mama mau melindungi kamu dari wanita jahat itu. Mama tahu kalau mantan suamimu dan mantan mertuamu sudah menjadi orang yang baik, itu sebabnya Mam
Karena melihat raut sedih di wajah istrinya yang berkepanjangan, akhirnya Dokter Dana mendekap istrinya dan berkata dengan yakin. "Kamu jangan khawatir lagi, Sayang. Aku pastikan bayi kita akan segera bersama kita lagi, dan penculiknya akan segera mendapat hukuman yang sangat berat.""Bagaimana, Mas bisa seyakin itu? Sudah hampir seminggu lamanya kita kehilangan bayi kita. Bahkan kita sudah mencari ke mana-mana, tapi hasilnya nihil," keluhnya dalam kesedihannya."Tapi, kita tidak boleh berputus asa, Sayang," pinta Dokter Dana yang sebetulnya menahan kesedihannya demi memberi kekuatan kepada istrinya."Lalu, apa ada perkembangan dari pencarian kita dan polisi, Mas? Aku gak sabar ingin segera bertemu sama anakku, Mas. Aku rindu, aku juga khawatir orang yang menculik anak kita tidak memberikan asupan makanan yang layak untuk anak kita. Atau jangan-jangan...." Kata-katanya terhenti saat pikirannya melayang ke hal-hal yang membuatnya takut. Air matanya tidak berhenti menetes. Melihat keka
Sebenarnya Rani merasa sangat terhina saat dia diperiksa di pos keamanan untuk bisa masuk ke rumah Perdana. Sebelumnya dulu dia tidak pernah diperiksa dulu sebelum masuk. Tapi hari ini dia harus melewati beberapa pemeriksaan dulu. "It's ok. Ini demi melancarkan rencanaku," ucapnya dalam hati. Dia melangkah masuk bersama dua orang anak buahnya yang masing-masing memegang bingkisan."Assalamualaikum," ucap Rani saat dia telah berada di ruangan tamu. Di sana sudah ada Pak Efendi dan istrinya, Pak Herman dan istrinya dan juga Dokter Dana dengan istrinya. Mereka serempak menjawab salam dari Rani."Wa'alaikummussalam.""Maaf, Dana. Om dan Tante. Juga Silvia. Aku tidak tahu, kalau Dana dan Silvia sedang ada acara kumpul keluarga," ucapnya basa-basi."Tidak apa-apa kok, Rani. Tidak ada acara penting. Silakan duduk. Perdana mencoba bersikap biasa."Iya, silakan duduk." Silvia pun berusaha bersikap ramah, walau di hatinya ada kecurigaan bahwa dialah dalang dibalik hilangnya anaknya."Terima ka
Bukan salahnya juga jika wanita itu menganggapnya lain. Dia hanya ingin berbuat baik kepada orang lain. Dia hanya ingin berbuat kebaikan kepada orang yang sedang terzalimi. Dan itu adalah perbuatan mulia. Namun, wanita itu salah kaprah terhadap kebaikan yang ditunjukannya, hingga menganggapnya sebuah tanda cinta sehingga dia menjadi tersanjung, lalu tidak terima saat melihat kenyataan yang terpampang di depan matanya."Kalau begitu, Perdana sudah melakukan perbuatan yang baik kepadamu. Lalu kenapa kamu membalasnya dengan menculik anaknya, Rani? Hentikan semua ini. Setidaknya demi Dana," bujuk Kanaya. "Bukan aku yang menculik anaknya! Tapi kamu! Kamu yang menculik anaknya, dan aku yang akan menyelamatkannya," kilah wanita itu dengan berteriak."Kamu ini sudah gila, Rani!" hardik Kanaya."Ya! Aku gila karena cinta, Kanaya. Dalam cinta semua adil," kekeh Rani yang tidak kehabisan kata-kata untuk membenarkan perbuatannya."M itueskipun begitu, tetap saja perbuatan kamu ini tidak benar, R
"Rani! Aku mohon, lepaskan aku. Aku janji akan melupakan ini semua. Kalau tidak, aku akan melaporkanmu ke polisi."Mendengar ancaman dari Kanaya, Rani jadi naik pitam. "Apa kamu bilang? Kamu mengancamku? Mau melaporkan aku ke polisi? Kamu gak sadar ya? kalau sekarang nyawamu ada di tanganku!" bentaknya. "Baiklah, kalau kamu menyetujui kesepakatan kita, aku mungkin bisa melepaskanmu," ujarnya. "Kesepakatan apa?" tanyanya dengan cemas. Ha ha ha....Setelah tertawa, dia mendekat ke muka Kania. "Sepertinya kamu sudah setuju, dan memang seharusnya kamu setuju," ocehnya yang terdengar seperti sampah di telinga Kanaya."Aku bukannya setuju. Aku hanya bertanya tentang kesepakatannya!" kilahnya dengan geram."Dengar, Kanaya. Kamu jangan menghabiskan tenagamu untuk marah-marah, karena selain kamu akan kehabisan tenaga, kamu juga akan kesulitan nantinya. kenapa? Karena aku bisa menyakitimu dan juga tiga orang yang sedang berada di ge
Sudah hari ketiga semenjak Savana menghilang. Puncak hidung Kanaya masih belum ditemukan. Nomornya sudah tidak aktif. Segala macam cara sudah dicoba untuk mencari keberadaan Kanaya, namun tak ada jejaknya. Dia bagaikan hilang ditelan bumi.Pihak kepolisian sudah menyatakan dia di daftar pencarian orang. Fotonya sudah disebar di berbagai media sosial dan di selebaran kertas sepanjang jalan di seluruh pelosok."Dasar perempuan tidak punya hati nurani," cerca Kanaya terhadap wanita yang kini tertawa lepas mendengar cercaannya. "Bisa-bisanya kamu menculik anak yang baru berumur dua hari, hanya untuk memuaskan egomu yang terluka!" hardiknya lagi.Perempuan itu menaikkan alisnya dan menghentikan tawanya lalu berkata, "Tunggu! tunggu. Tadi kamu bilang saya wanita yang tidak punya hati nurani karena menculik anak yang berumur dua hari. Betul begitu?" Perempuan itu diam sejenak seolah menunggu jawaban dari Kanaya. Namun belum sempat Kanaya berkata sepatah kata pun, dia sudah tertawa lagi terb
Ternyata ruangan itu kosong. Hanya tetesan air keran yang belum tertutup sempurna yang mengeluarkan suara tetesan air. "Sepertinya dia sengaja tidak menutup habis keran air," batin Perdana. "Dasar perempuan ular!" bentaknya sambil mengayunkan tinjunya ke udara.Dia kembali ke ruangan tengah dengan wajah yang masih merah padam.Silvia yang sudah tidak sabar mendengar keberadaan Kanaya pun bertanya."Bagaimana, Mas? Apa dia ada?"Pak Herman juga sudah tidak sabar menunggu jawaban dari menantunya itu. Dia menatap mata Perdana yang merah. Menunggu dengan tidak sabar. Meski dai tahu yang paling penting saat ini adalah keberadaan cucunya. Entah wanita itu yang menculik cucunya atau tidak, dia hanya ingin cucunya segera kembali.Pak Efendi juga satu pemikiran dengan Pak Herman. Dia ingin segera menemukan keberadaan cucunya. Tapi jika memang perempuan itu yang menculik cucunya, dia tidak akan memberikan ampun."Dia tidak ada di kamar tamu.""Jadi, dia yang menculik putri kita," ucapnya dengan
Azan subuh berkumandang bersahut-sahutan membangunkan umat muslim untuk beribadah menghada sang pencipta. Dokter Dana juga bangun untuk melaksanakan ibadah dua rakaat. Dia sengaja tidak membangunkan Silvia karena Silvia masih dalam masa nifas.Tapi karena sudah terbiasa bangun di waktu subuh, dia tetap terbangun. Semalam tidurnya terasa nyenyak, sebab dia tidak menyusui anaknya secara langsung. Savana minum susu formula yang dibuatkan oleh pengasuhnya. Hanya beberapa menit Dokter Dana pun selesai melaksanakan shalat subuh. Dia mendekat ke arah istrinya untuk memberikan sebuah ciuman."Savana gak nangis semalam ya, Mas?" tanyanya saat dia memeluk lengan suaminya."Kayaknya gak, Sayang. Yuk kita lihat," ucapnya sambil beranjak ke kamar anaknya dengan memapah Silvia.Dokter Dana mulai memutar gagang pintu kamar anaknya. Mereka masuk dan melihat ke arah suster yang terlelap sambil mengorok. Lalu dialihkannya penglihatan mereka kearah kasur bayi. Alangkah terkejutnya mereka saat mendapati
"Kaila..." Silvia dan Perdana menyebut namanya dengan setengah berteriak. Silvia tidak bisa berlari mengejar Kaila. Dia hanya merentangkan tangannya menyambut Kalia yang berlari ke arahnya diikuti seorang wanita cantik dari belakangnya."Tante. Tila kangen sama tante.""Tante juga kangen sama Kaila. Bicaramu sekarang sudah jelas, Ya?" ucap Silvia sambil mencubit pipinya."Iya dong, Tante..., Kan sekarang Tila sudah punya dedek bayi. Ini kado buat dedek bayinya, Tante," ucapnya sambil menyerahkan sebuah bungkusan kepada Silvia."Mmm, Terima kasih ya, Sayang? Repot-repot deh, Kamu," ucap Kanaya gemes sambil menerima kado dari Kaila."Gak repot kok, Tante. Aku cuma bilang bagus aja.""Cuma bilang bagus gimana sih, Sayang?""Jadi, Yang cari kadonya mama sama aku. Aku cuma ditanya sama mama, yang ini bagus, gak? Aku bilang bagus. Jadi aku gak repot, Tante."Semua orang yang mendengar jadi tertawa."Jadi kamu gak repot ya, Sayang?""Gak, Tante. Mana dedek bayinya, Tante?""Ini dedek bayinya
"Aku tidak tahu. Tapi untuk sekarang ini kamu boleh tinggal di rumah ini. Demi Aira."Mira senang sekali mendengar jawaban dari Pazel. Dia segera mengemas semua pakaiannya ke dalam lemari lagi, saat Pazel beranjak ke ruang keluarga membawa Aira sambil bercanda dengan riang. Bercanda dengan sikecil Aira membuatnya bisa menghilangkan beban pikirannya. Dia memang sudah lama menginginkan seorang anak. Kali ini dia tidak ingin melepaskannya, meski dia tahu kalau anak itu bukanlah darah dagingnya.Sementara keesokkan harinya, di sebuah rumah besar nan megah, Silvia sedang berbahagia dengan kehadiran putri mungilnya. Hari ini sedang diadakan acara pemberian nama untuk bayinya. Sekaligus acara potong rambut pertamanya. Silvia tampil cantik dengan balutan busana yang tertutup tapi elegan dan anggun. Warna dan coraknya senada dengan pakaian yang dikenakan oleh Perdana dan putri kecilnya."Saya ucapkan banyak terima kasih kepada saudara, fami