Setelah seharian bekerja, Reyhan pulang ke rumah dengan langkah berat. Kepalanya dipenuhi berbagai pikiran yang membebaninya.Namun, saat ia baru saja melepas jasnya di ruang tamu, suara lantang ibunya, Bu Maya, langsung menyambutnya dengan keluhan."Reyhan! Kamu harus melakukan sesuatu! Ini sudah keterlaluan!" seru Bu Maya dengan wajah memerah, jelas dipenuhi amarah.Lila, yang duduk di samping ibunya, ikut mengangguk cepat. Wajahnya tampak frustrasi."Benar, Kak! Naira benar-benar melewati batas! Dia telah menghancurkan hidup kita dan sekarang bertingkah seolah tidak peduli!"Reyhan menghela napas panjang, menatap ibunya dan adiknya dengan lelah. "Apa lagi sekarang?"Bu Maya mengibaskan tangannya dengan emosi. "Aku dihina di arisan, Reyhan! Mereka mempermalukanku, menganggap kita penjahat! Dulu mereka menghormatiku, sekarang aku bahkan dikeluarkan dari grup sosialita!""Dan aku..." Lila menimpali dengan suara tinggi. "Di kampus, semua orang menjauhiku! Teman-temanku meninggalkanku,
Suasana ruang rapat di Grup Wijaya terasa tegang. Di ujung meja, Arga duduk dengan ekspresi serius, matanya menatap tajam layar proyektor yang menampilkan desain terbaru yang diajukan Raisa.Para eksekutif saling bertukar pandang dengan wajah tegang, sementara beberapa karyawan mulai mengangkat tangan, menyuarakan keberatan mereka dengan nada khawatir."Ini tidak bisa diterima," suara berat milik Pak Herman, kepala divisi hukum, memecah keheningan."Desain ini sangat mirip dengan salah satu koleksi dari Maison Laverne, desainer terkenal yang memakai nama samaran. Jika ini sampai dipublikasikan, kita bisa dituduh melakukan plagiarisme."Raisa yang duduk di sisi meja, menggigit bibirnya. Wajahnya memerah, baik karena gugup maupun marah. "Saya tidak menjiplak! Saya merancang ini sendiri berdasarkan riset tren pasar dan inspirasi dari berbagai referensi."Arga menggerakkan jarinya di atas meja dengan ritme pelan sebelum akhirnya menatap Raisa dengan tatapan tajam."Referensi atau menyalin
Keesokan paginya, Raisa berdiri di depan ruang rapat dengan napas tak beraturan. Berkas laporan dan hasil desainnya tergenggam erat, tapi rasa percaya dirinya telah lenyap.File aslinya hilang, dan kenyataan pahit menghantamnya. Desain itu bukan miliknya ia membelinya dari situs anonim tanpa tahu asal-usulnya. Kini, tanpa bukti, ia tak bisa membela diri.Begitu ia masuk, ruangan sudah dipenuhi oleh eksekutif Grup Wijaya. Arga duduk di ujung meja dengan ekspresi dingin, matanya langsung mengunci pada Raisa begitu ia masuk.Reyhan duduk bersandar dengan tangan terlipat di dadanya, sementara Naira terlihat tersenyum tipis di sudut ruangan."Baiklah, Raisa," suara Arga terdengar tegas. "Tunjukkan kepada kami bahwa desain ini memang milikmu. Kita tidak bisa menunda proyek lebih lama. Tender akan dibuka dalam waktu dekat, dan kita harus memastikan bahwa desain yang diajukan benar-benar orisinal dan kompetitif."Dengan tangan sedikit gemetar, Raisa mulai menjelaskan. Ia memaparkan referensi
Hari presentasi akhirnya tiba. Suasana ruang rapat Grup Wijaya terasa tegang. Para eksekutif telah berkumpul, menunggu dengan penuh antisipasi untuk melihat hasil desain dari Naira dan Raisa.Arga duduk di kursi utama dengan ekspresi tenang, sementara Reyhan bersandar dengan tatapan tajam dan sedikit senyum meremehkan.Raisa tampak percaya diri, tetapi di balik senyumnya, ada rencana licik yang telah ia jalankan.Naira melangkah ke depan dengan mantap, menyalakan laptopnya untuk memulai presentasi. Namun, begitu layar menyala, ia terkejut. Layarnya kosong. File desainnya hilang.Seisi ruangan mulai berbisik, beberapa di antaranya terdengar meremehkan. "Sepertinya Bu Naira tidak siap," bisik salah satu eksekutif.Reyhan melirik ke arah Arga sebelum berkata pelan, "Aku sudah menduganya." Beberapa eksekutif mengangguk setuju.Sementara yang lain mulai berbisik lebih tajam. "Bu Naira terlihat percaya diri, tapi sepertinya tidak punya desain sama sekali," komentar seseorang. "Mungkin Bu Na
Naira melangkah keluar dari ruang rapat dengan senyum puas. Ia berjalan menuju kantornya, merapikan beberapa dokumen sebelum pulang.Naira melangkah ringan ke arah lift, tetapi langkahnya terhenti saat melihat Arga berdiri di sana dengan tangan diselipkan ke dalam saku celana.Tatapan pria itu tajam, penuh kebanggaan yang tak berusaha ia sembunyikan.“Kau luar biasa sayang,” ucap Arga dengan nada mantap.Naira hanya tersenyum tipis. “Kau terlihat puas.”Arga mendekat, ekspresinya tidak berubah. “Tentu saja. Istriku baru saja membuktikan bahwa dia lebih dari sekadar pendampingku dia adalah ratu dalam permainan ini.”Naira menatapnya dengan penuh kelembutan. Ia tahu betapa ambisius dan kerasnya Arga dalam dunia bisnis, tetapi saat ini, lelaki itu hanya seorang suami yang bangga.Arga meraih tangannya, menggenggamnya erat. “Ayo pulang. Kita rayakan kemenangan ini.”Naira mengangkat alis. “Dengan apa?”Arga menatapnya dalam, lalu berbisik di telinganya. “Dengan caraku.”Sebuah debar aneh
Lila dan Raisa akhirnya berpisah setelah pertemuan mereka di kafe, tapi tanpa kesimpulan yang jelas.Mereka memiliki dendam yang sama terhadap Naira, tetapi tidak ada rencana konkret yang berhasil mereka susun. Raisa melangkah keluar dengan frustrasi, sementara Lila juga tidak puas dengan percakapan mereka.Beberapa hari berlalu, Raisa masih terjebak dalam pikirannya. Ia duduk di mejanya, memainkan pena di tangannya tanpa benar-benar memperhatikan pekerjaan yang harus ia selesaikan.Rencana yang ia bicarakan bersama Lila terasa menggantung, tanpa arah yang jelas.Saat ia berjalan keluar ruangannya dengan pikiran berkecamuk, tanpa sengaja ia menabrak seseorang. Tumpukan berkas yang dibawa orang itu jatuh berhamburan ke lantai."Maaf, aku tidak—" Raisa mengangkat wajahnya dan melihat siapa yang ia tabrak.Bastian, pria berpostur tegap dengan bahu lebar dan wajah berkarakter kuat. Dengan rambut hitam yang selalu rapi serta mata tajam yang sulit ditebak, ia membawa aura disiplin dan ketel
Beberapa hari setelah pertemuan di kantin, Raisa mengatur pertemuan pribadi dengan Bastian. Ia sengaja memilih sebuah kafe yang tidak terlalu ramai.Bastian datang tepat waktu. Seperti biasa, ia tampil rapi dengan kemeja biru gelap yang lengan bajunya tergulung hingga siku.Ekspresinya tetap kaku dan penuh kehati-hatian. Ia menarik kursi di hadapan Raisa dan duduk dengan sikap waspada."Bu Raisa," sapanya singkat.Raisa menyunggingkan senyum tipis. "Bastian, aku senang kau datang.""Apa yang ingin Anda bicarakan bu?"Raisa menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap pria itu dengan pandangan penuh arti. "Aku melihat caramu menatap Naira dan Arga waktu itu. Dan aku rasa, aku tidak salah dalam menilai situasi ini. Kau memiliki perasaan terhadapnya, bukan?"Bastian menegang sejenak, tetapi ia tidak langsung menjawab. Ia hanya mengepalkan jemarinya di atas meja."Tidak perlu menyangkal," lanjut Raisa dengan suara lembut namun tajam. "Kau tidak perlu malu jika kau memang menyukainya. Perasaan
Malam itu, setelah Bastian pergi, Naira bisa merasakan ketegangan di udara. Arga berdiri di sampingnya, menatap ke luar jendela dengan ekspresi yang sulit ditebak.Suara hujan yang mengguyur kaca jendela menambah suasana muram di antara mereka."Kau baik-baik saja?" tanya Arga akhirnya, suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya.Naira mengangguk pelan. "Tentu saja. Kenapa kau bertanya begitu?"Arga menghela napas, lalu berbalik menatapnya. "Aku melihat cara Bastian memperlakukanmu. Dan jujur saja, aku tidak menyukainya.""Sayang, Aku yakin Bastian tidak mendekatimu tanpa alasan."Naira menatap suaminya dengan serius. Mereka sudah lama mencurigai Raisa memiliki rencana tersembunyi, dan kehadiran Bastian hanya semakin menguatkan dugaan itu."Aku tak mau kita bermasalah karena prasangka," ujar Naira hati-hati. "Tapi kalau Bastian memang bagian dari rencana Raisa, kita harus lebih berhati-hati."Arga menatapnya dalam-dalam, lalu meraih tangan Naira, menggenggamnya erat. "Aku hanya t
Reyhan jatuh tersungkur di lantai dengan napas terengah-engah. Naira menatapnya dengan campuran keterkejutan dan kebingungan.Bagaimana bisa Reyhan ada di sini? Apa yang sebenarnya terjadi?Pria bertopeng yang tadi menampar Naira menggeram kesal. "Bodoh! Kenapa kau membawa orang lain ke sini? Ini hanya akan menyulitkan kita!""Dia mencoba mengikuti jejak wanita ini," jawab salah satu anak buahnya. "Kami menemukannya mengintai di sekitar lokasi."Naira menatap wajah Reyhan yang penuh luka, alisnya berdarah, dan sudut bibirnya pecah. Matanya perlahan terbuka, menatapnya dengan lemah. "Naira... kau tidak apa-apa?"Naira menelan ludah, berusaha meredam emosi yang berkecamuk di dadanya. "Kenapa kau ada di sini? Apa kau datang untuk menyelamatkanku?"Reyhan tersenyum miris. "Tentu saja. Aku tidak bisa diam saja melihatmu dalam bahaya."Namun, sebelum Naira sempat membalas, salah satu pria bertopeng mengangkat tangannya, hendak memberikan pukulan lagi.Namun, sebelum tangannya bisa mendarat,
Suasana kantor masih terasa sibuk saat Naira melangkah keluar dari ruangannya. Sudah sore, tetapi karena kejar target, banyak karyawan masih lembur, termasuk Arga yang masih fokus di ruangannya.Sebelumnya, Arga sempat menawarkan diri untuk mengantarnya pulang."Aku bisa mengantarmu, sayang. Hari ini kau terlihat lebih lelah dari biasanya," katanya dengan nada penuh perhatian.Namun, Naira tersenyum kecil dan menggeleng. "Tidak perlu, aku bisa sendiri. Lagipula, aku sudah berjanji dengan ibu untuk pergi ke salon bersama."Arga menghela napas sebelum mengangguk. "Baiklah, kalau begitu hati-hati. Jangan lupa beri kabar kalau sudah sampai."Naira tersenyum, lalu melangkah mendekat dan memeluk suaminya erat. "Aku akan baik-baik saja, jangan khawatir."Arga mengecup puncak kepalanya dengan lembut. "Tetap hati-hati, sayang."Di rumah, Naira mengambil tasnya dan bersiap pergi. Sebelum keluar dari pintu, ia menoleh ke arah Arga yang masih berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan cemas.Ia k
Pagi itu, suasana kantor dipenuhi kesibukan seperti biasa. Namun, bagi Reyhan, langkahnya terasa lebih berat dari biasanya.Kepalanya masih dipenuhi oleh masalah dengan Raisa dan tuntutan pernikahan yang terus menghantuinya.Saat ia melangkah masuk ke ruangannya, matanya langsung menangkap sosok Naira yang baru saja hendak keluar dari ruangan.Namun, begitu melihat Reyhan, Naira dengan cepat menghindar, berpura-pura sibuk dengan berkas di tangannya.Reyhan mengerutkan kening. "Naira."Naira berhenti sejenak, namun tidak menoleh. "Aku sedang sibuk, Reyhan. Kita tidak perlu bicara."Reyhan menghela napas panjang. Ia melangkah mendekat, namun Naira justru semakin menjauh, seolah enggan berada di dekatnya lebih lama."Kau menghindariku?" tanya Reyhan dengan nada datar, namun matanya menelisik tajam.Naira tertawa kecil, tetapi tanpa humor. "Aku hanya tidak punya waktu untuk membicarakan hal yang tidak penting.""Aku baru saja kemarin mendatangi rumahmu," kata Reyhan, suaranya lebih rendah
Reyhan menatap Bu Ratna dan Pak Alfian dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ada amarah, frustasi, dan kepasrahan dalam satu waktu.Pernikahan? Dengan Raisa? Semua ini terasa seperti jebakan yang sudah dirancang matang, seolah mereka hanya menunggu waktu yang tepat untuk menjebaknya sepenuhnya.“Aku butuh waktu,” akhirnya Reyhan berkata, suaranya serak dan berat.“Tapi Reyhan—” Raisa mencoba berbicara, namun ia terdiam ketika melihat tatapan dingin yang diberikan Reyhan padanya.“Jangan paksa aku mengambil keputusan sekarang.” Ia mengalihkan pandangannya ke arah Bu Ratna dan Pak Alfian. “Aku akan bertanggung jawab atas anak ini, tapi pernikahan bukan sesuatu yang bisa diputuskan dalam satu malam.”Bu Ratna hendak membantah, tetapi Pak Alfian menepuk tangannya pelan, memberi isyarat agar diam. “Baiklah, Reyhan. Kami akan memberimu waktu. Tapi jangan terlalu lama. Anak ini membutuhkan kepastian.”Reyhan tidak menjawab. Ia hanya menatap Raisa sejenak sebelum berbalik dan melangkah keluar da
Reyhan berdiri di depan pintu apartemen Naira yang kini tertutup rapat, seperti tembok yang tak mungkin ia tembus lagi.Jemarinya masih menggenggam erat gelang kecil itu, seakan bisa menghidupkan kembali waktu yang telah hilang. Tapi tidak. Waktu tak akan pernah bisa diputar kembali.Dadanya terasa sesak. Bukan hanya karena kata-kata tajam Naira, tetapi juga karena kenyataan yang harus ia hadapi.Wanita yang dulu begitu mencintainya, kini bahkan tak lagi ingin melihatnya. Wanita yang pernah ia abaikan, kini membalasnya dengan tatapan dingin yang menusuk.Dan ironisnya, di saat ia baru menyadari betapa berharganya Naira, semuanya telah terlambat.Dari balik jendela, Naira berdiri diam, menyaksikan sosok Reyhan yang mulai melangkah pergi.Ia seharusnya merasa puas, seharusnya merasa menang karena bisa melihat pria itu merasakan kepedihan yang dulu pernah ia rasakan.Tapi mengapa ada sesuatu di dalam dadanya yang terasa begitu sakit? Jemarinya menggenggam kerah gaunnya, berusaha menahan s
Reyhan berdiri di depan pintu apartemen Naira, dadanya naik turun dengan napas yang tertahan.Tangannya terangkat, ragu-ragu sebelum akhirnya mengetuk. Tiga ketukan pelan namun penuh harap. Hening. Tidak ada jawaban.Ia menelan ludah, lalu mengetuk lagi. Kali ini lebih keras. Jantungnya berdetak lebih cepat saat langkah kaki terdengar dari dalam.Tak lama kemudian, pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok yang selama ini menghantuinya dalam setiap mimpi buruk dan penyesalan.Naira.Wanita itu berdiri di hadapannya dengan tatapan yang dingin dan datar, seolah kehadirannya bukanlah sesuatu yang berarti.Rambut panjangnya tergerai rapi, wajahnya cantik seperti yang selalu Reyhan ingat, tetapi ada sesuatu yang berbeda.Mata itu, mata yang dulu penuh cinta saat menatapnya, kini hanya dipenuhi dengan sesuatu yang jauh lebih tajam. Jauh lebih berbahaya.Reyhan merasa dadanya sesak."Ada apa?" suara Naira terdengar tenang, hampir terlalu tenang, seolah ia tidak terganggu sedikit pun denga
Raisa duduk di depan layar laptopnya, matanya memandang kosong pada layar yang menampilkan satu lagi email penolakan.Tangannya mengepal erat, wajahnya memerah karena frustrasi. Sudah lebih dari dua puluh perusahaan yang ia lamar, namun semuanya menolak tanpa memberikan alasan yang jelas."Ini pasti ulah Arga!" desisnya marah, suaranya penuh kebencian.Ayahnya, Pak Alfian, berdiri di belakangnya dengan wajah keruh. Sebagai seorang pengusaha senior, ia masih memiliki pengaruh.Namun setiap kali ia mencoba menghubungi kenalan bisnisnya untuk membantu Raisa mendapatkan pekerjaan, mereka selalu menolak secara halus atau bahkan langsung memutuskan komunikasi, seolah takut hanya dengan menyebut nama keluarganya."Aku tidak mengerti, Raisa," kata Pak Alfian, suaranya berat dan penuh ketakutan. "Bahkan perusahaan-perusahaan yang berutang budi padaku pun menolak membantumu. Ini... ini bukan kebetulan." Raisa menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram ujung meja hingga buku-buku jarinya memu
Malam itu, di kamar mereka yang remang-remang dengan pencahayaan hangat, Arga menatap Naira yang tengah bersandar di dadanya.Jemarinya dengan lembut memainkan rambut istrinya, sementara pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian hari itu."Jadi, apa rencanamu selanjutnya setelah Raisa dipecat?" Arga bertanya dengan suara rendah, matanya penuh perhatian menatap wajah Naira.Naira tersenyum tipis, sorot matanya penuh tekad. "Aku ingin dia kehilangan segalanya, pekerjaan, reputasi, dan setiap peluang di dunia bisnis. Biarkan dia merasakan kehancuran yang sama seperti yang dia rencanakan untukku."Arga mengangguk, ekspresinya tetap tenang meski ada kilatan tajam di matanya. "Aku bisa mengurus itu. Aku akan menghubungi beberapa koneksi dan memastikan tidak ada satu pun perusahaan besar yang mau menerimanya."Naira mengangkat wajahnya, menatap Arga penuh cinta. "Terima kasih, sayang. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu."Arga mengusap pipi istrinya dengan lembut, menatapnya dengan sorot mata t
Naira masih berbaring di sofa, merasakan kehangatan genggaman tangan Arga. Meski tubuhnya lelah, hatinya terasa lebih ringan setelah semua yang terjadi.Arga duduk di sampingnya, jemarinya mengusap lembut punggung tangannya. "Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan nada khawatir.Naira mengangguk pelan. "Aku hanya butuh sedikit waktu untuk beristirahat. Terima kasih karena selalu ada untukku."Arga tersenyum, lalu menghela napas panjang. "Aku sudah memecat Raisa. Dia tidak akan mengganggumu lagi. Kau tidak perlu khawatir tentangnya."Naira terdiam sesaat, lalu mengangguk kecil. "Terima kasih, Arga. Aku tidak ingin hal ini berlarut-larut."Arga menatapnya dengan penuh kelembutan. "Kau sudah bekerja terlalu keras. Aku ingin kau pulang lebih awal hari ini dan beristirahat dengan baik. Aku akan mengurus semua urusan di kantor."Naira tersenyum kecil, merasa lega karena Arga begitu memperhatikannya. "Baiklah, aku akan pulang lebih awal."Arga mengusap pipinya perlahan. "Aku akan mengantarmu s