Share

7.

[Pantesan kamu minta cerai, ternyata main belakang sama Juan selama ini.] Candra menulis pesan kepada Melani.

Melani melipat dahinya usai membaca pesan tersebut.

‘Apa-apaan ini? Ngapain kirim pesan begini,’ pikir Melani.

Melani memilih tidak membalas pesan dari Candra. Baginya tidak perlu membicarakan hal yang tidak penting meskipun lewat pesan.

Dia berencana akan menutup semua jalur komunikasi dari Candra jika pemisahan harta selesai. Bagaimanapun rasa itu masih ada dan sesekali hinggap, dia tidak mau merusak hidupnya dengam terjebak di masa lalu.

Di rumahnya Candra tampak sangat kesal, apa saja yang dilakukan oleh Riana terasa salah dalam pandangannya. Sang istri memilih diam dan meninggalkan Candra sendiri.

‘Aneh banget suamiku hari ini. Biasanya suka kalo mesra-mesraan ini kok malah mengelak? Apa dia sebenarnya masih cinta sama mantannya itu? Toh udah cerai ini ngapain juga dipikirin. Aku harus sabar sampai semua harta Candra bisa aku kuasai,’ batin Riana.

Candra duduk termenung di ruang kerjanya, kemudian dia mebgalihkan perhatiannya pada pemisahan harta serta uang yang akan dia dapat dari bagi hasil tersebut.

“Aku bikin usaha apa, ya? Selama ini ide selalu datang dari Melani. Ah, mendingan aku biarkan aja saham ada di sana, kan aku bisa gajian tiap bulan dan dapat pembagian laba dari situ,” gumam Candra.

Entah bagaimana asalnya, bayangan kejadian saat Juan menyeka kedua telapak tangan Melani, kembali berkelebat dalam benaknya.

Ingatan itu menari-nari dalam kepalanya seolah sedang mengejek betapa bodoh ti dakan yang dia ambil. Suasana hati Candra kembali memburuk.

Wajahnya memerah dan tangannya meninju meja kerja di depannya. Dia tampak sangat marah dan juga kesal.

“Sialan! Ngapain sih aku inget kejadian itu? Apa urusanku coba? Ah, aku tau …, ini pasti karena aku dipelet sama dia, masa mendadak aku inget dia terus,” geram Candra.

Lelaki itu memilih tidur di sofa ruang kerjanya, dia enggan menuju kamar dan tidur bersama Riana. Keesokan paginya sang istri membangunkannya dengan lembut.

Usai menggeliat sejenak, Candra bergegas menuju kamar dan membersihkan tubuh. Tampak pakaian untuk ke kantor sudah tersedia di tempat tidur.

Candra diam mematung, dia teringat akan kebiasaan Melani setiap hari yang pagi ini mulai dilakukan oleh Riana.

‘Ini kan kebiasaan Melani, kok Riana juga bikin begini?’ pikir Candra.

Usai memakai pakaian, Candra menuju meja makan untuk sarapan. Di atas piring tersedia roti bakar serta segelas susu di samping piring.

“Mel, pasangin dasi aku, dong,” ucap Candra.

“Mel? Aku Riana bukan Melani, dan aku gak bisa pasang dasi pake aja sendiri,” ketus Riana.

Candra tersentak, ‘duh aku salah sebut gara-gara kepikiran Melani. Sialan itu orang,’ pikir Candra.

“Sayang, kamu jangan marah gitu. Denger dulu penjelasan aku.” Candra mengejar Riana dan menarik tangannya.

“Lepas, gak penting penjelasan kamu tau gak!” seru Riana.

“Itu karena aku kepikiran mau ngelabrak dia di kantor. Makanya otak aku gak sejalan ama mulut,” jelas Candra.

Riana diam, ‘mau labrak Melani? Waaah, menarik nih,” batinnya.

Riana membalikkan tubuhnya kemudian menyilangkan kedua tangan di depan dada.

“Mau ngelabrak masa pas pasang dasi? Gak masuk akan deh alasan kamu,” ucap Riana sinis.

“Lah kan aku liat kamu, karena aku belum pasang dasi makanya aku minta kamu pasangin. Nah kan dipikiran lagi mikir mau labrak dia makanya itu yang terucap. Kamu juga pastu pernahkan apa yang dipikiran sama apa yang terucap beda,” jelas Candra.

Riana memasang dasi Candra dengan wajah sedih, tatapan matanya tampak sendu. Sang suami merasa sangat bersalah dan merutuki perkataan yang terlontar tadi.

Usai memasang dasi, Riana menggandeng tangan Candra dan mendudukkan di kursi.  Dia meminta sang suami menyelesaikan sarapan yang tertunda.

Sarapan usai sudah, Candra berpamitan untuk bekerja tidak lupa mengecup kening sang istri. Tiba di kantor dia menuju ke ruangan Melani.

“Heh perempuan licik, pasti kamu ke dukun buat guna-gunain aku biar inget sama kamu, kan? Mau hancurkan rumahtanggaku karena kamu iri, makanya balas dendam pergi ke dukun. Pantesan tadi malam aku inget kamu terus, cih, gak aku duga kamu secinta itu sama aku,” tuduh Candra.

Melani yang sedang sarapan tertawa kecil, hingga dia tersedak dan wajahnya memerah. Candra semakin kesal dan tampak marah laku berkacak pinggang.

Sang mantan istri duduk dengan santai kemudian menyilangkan kedua tangannya di dada, kemudian menatap sinis kepada Candra.

“Candra, sepertinya makin lama kamu makin gak waras. Kamu boleh ambil cuti lebih awal untuk periksa ke dokter spesialis kejiwaan, atau ke psikiater,” ejek Melani.

“Maksud kamu apa? Aku gila, gitu!” bentak Candra.

“Lah emang iya. Kapan sejarahnya aku ke dukun? Jelas sepanjang hari aku kerja. Jangan-jangan kamu kangen sama aku trus cari alesan ke sini,” hina Melani.

Candra merasa sangat terhina dengan perkataan Melani barusan. Dia menatap wanita yang ada di depannya dengan sorot mata benci.

“Apa? Aku kangen sama kamu? Cuih aku gak sudi,” tangkis Candra.

Lelaki itu meninggalkan ruangan Melani dengan wajah memerah. Bahkan dia menatap benci ke arah Juan sebelum tubuhnya menghilang di dalam lift.

Melani menggelengkan kapala dan melanjutkan sarapan. Dia tidak ambil pusing dengan tuduhan Candra.

“Mel, ngapain dia marah-marah? Atau sengaja cari masalah?” tanya Juan.

“Dia ngomel nuduh aku ke dukun buat guna-guna dia, trus katanya aku iri mau hancurkan rumahtangga dia, soalnya dia keingetan terus tadi malem. Aku suruh dia periksa ke psikiater malah ngamuk.” Melani tertawa lepas.

Juan ikut menertawakan tuduhan konyol Candra, tetapi dalam hatinya dia merasa sedikit terancam, akan keberadaan mantan suami Melani. 

Juan berpikir bahwa sikap yang ditunjukkan Candra adalah bentuk penyesalan. Sebagai sesama lelaki tentu dia bisa menebak perasaan Candra yang sesungguhnya.

“Mel, ntar pulang kantor kita ke cafe yang di rooftop itu, yuk,” ajak Juan.

“Boleh, aku suka sama tempat itu,” sahut Melani dengan wajah ceria.

Melani kini tampak sibuk dengan pekerjaannya. Juan meraih ponsel dari sakunya dan menulis beberapa pesan kepada seseorang.

Usai menulis pesan, Juan berselancar pada ponselnya mencari sesuatu kemudian menghubungi seseorang lainnya.

“Udah beres, Mudah-mudahan dia suka,” gumam Juan.

Jika Juan dan Melani sibuk dengan pekerjaannya, tidak demikian dengan Candra yang uring-uringan tanpa sebab di ruangannya. Wanda merasa sikap atasannya itu sedikit berbeda dari biasa.

Dia mengirim pesan kepada Juan, yang isinya menceritakan sikap Candra di ruangannya.

Tepat waktu makan siang, saat Candra akan menuju kantin dia melihat Riana datang. Kali ini dia membawa sebuah kantong yang dia tidak bisa menerka apa isinya.

“Halo, Sayang. Waktunya makan siang. Aku bawain makanan buat kamu dari rumah. Ini kesukaan kamu loh, sop ayam jamur sama ayam goreng plus perkedel.” Riana menyusun makanan yang dia bawa di meja tamu dan menata sebuah piring.

“Makasih, Sayang. Aku gak nyangka kamu perhatian banget sama aku,” pujI Candra.

“Iya dong. Aku kan lagi belajar jadi istri yang baik, biar kamu betah sama aku dan gak salah sebut nama lagi,” sindir Riana.

Candra tertawa kemudian memeluk tubuh Riana dan mencium pipi sang istri dengan gemas.

“Cieeee masih ngambeg. Tadi aku udah labrak dia loh, tau gak dia tadi diem aja pas aku omelin,” adu Candra.

“Masa sih? Emang kenapa kamu marahin dia, Sayang?” tanya Riana.

Candra memutar otak sejenak untuk menjawab pertanyaan sang istri, agar tidak salah salah ucap lagi.

“Dia goda aku, hih mana sudi aku. Istriku aja cantik dan perhatian begini, gila aja aku kalo cari yang lain.” Candra merayu Riana agar berhenti merajuk padanya.

“Gak salah?” ucap seseorang yang baru saja masuk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status