Dear GoodReaders!!
Author ingin menyapa sejenak.
Sebentar lagi Aruna Season 2 akan segera berakhir (Author usahakan sampai dengan Aruna memiliki anak yaa).
Dan Author juga mau minta maaf, untuk hari ini, Author absen update ya, karena mudik ^,^
Besok dan seterusnya Author usahakan untuk tetap upload seperti biasanya, sampai dengan Aruna Season 2 ini beneran tamat.
Terima kasih untuk semua pembaca setia Aruna dan Brahmana.
Selamat menunaikan ibadah puasa menjelang akhir, bagi yang melaksanakannya. Sampai jumpa besok dan jika kalian ingin memberi saran atau pun menyampaikan keinginan tentang kisah Aruna dan Brahmana ini, silakan kasih komen aja di bawah, yaaa....
See you tomorrow and... Enjoy!! ^,^
“Aapaa?!?” Pekikan kaget Jasmine menggema seantero ruangan. Aruna dan Shanti segera mengingatkan Jasmine, sementara Najla langsung membekap mulut Jasmine dengan sebelah tangan. “Lu malu-maluin banget sih. Ini di tempat umum,” Najla mendelik pada Jasmine dengan tangan masih bertengger di mulut sahabatnya itu. Jasmine menggeleng-gelengkan kepala, lalu menepis tangan Najla dan mengomel. “Ya lagian! Gue kan kaget denger Shanti bilang dia ngelamar mas Fathan?!” Jasmine tidak salah. Sesungguhnya Najla bahkan Aruna sendiri terkejut mendengar berita yang dikatakan Shanti, saat mereka hari ini janjian untuk bertemu di sebuah kafe favorit mereka. Keterkejutan mereka bukan tanpa alasan. Shanti yang mereka kenal, adalah seseorang yang selalu menghindari keterikatan bahkan tidak berpacaran. Dan sekarang tiba-tiba mereka mendengar bahwa Shanti dan Fathan berencana menikah. Terutama lagi, Shanti mengatakan dirinyalah yang melamar Fathan lebih dulu. “Kamu serius Shan?” tanya Aruna pada Shanti.
“Apa yang Bapak lakukan di sini?” Getaran dalam suara Shanti tidak bisa disembunyikan dan itu membuat lelaki yang dipanggil ‘bapak’ itu menapak maju. “Be-berhenti!” Shanti berusaha menahan lelaki itu di depan pintu rumahnya, namun tangan besar lelaki itu menarik daun pintu yang hendak ditutup Shanti. Terjadi aksi tarik menarik untuk beberapa saat. Lelaki itu mengentak kuat, sementara Shanti tetap mencoba bertahan di balik pintu untuk menutupnya. Hingga ketika lelaki paruh baya itu mengerahkan tenaganya lebih besar lagi, ia berhasil membuat Shanti terseret maju. Dalam satu kali tarikan lagi, lelaki itu membuat daun pintu rumah itu seluruhnya membuka lebar dengan Shanti tertarik maju lebih mendekat ke arahnya. Lelaki itu menarik tangan Shanti dan langsung menendang, ke arah tubuh Shanti yang masih belum siap menerima serangan mendadak itu. Bruk!! Panggul kiri Shanti terkena hantaman dan wanita muda itu terhuyung mundur. Dengan menahan nyeri di panggulnya, Shanti berusaha menyei
Pria itu --Fathan, menarik tubuh Shanti dengan lembut dan mengangkatnya perlahan. Sempat terjadi penolakan dari tubuh Shanti yang spontan, namun rengkuhan kuat namun hangat dan tanpa menyakiti yang Fathan berikan pada wanita muda itu, membuat Shanti akhirnya diam dan pasrah. Fathan meletakkan Shanti di atas sofa di ruang keluarga --tidak ingin lancang masuk ke salah satu kamar di sana, dan hanya mencari tempat yang ia anggap paling nyaman untuk Shanti. “Aku yang salah…” Fathan merendahkan tubuh dan menunduk di dekat telinga Shanti. “Aku datang terlambat, maafkan aku Baby Doll…” Suara lirih Fathan seharusnya tetap terdengar dengan jelas oleh Shanti, karena pria itu mengatakannya di dekat telinga Shanti. Namun Shanti bergeming dan tetap membisu, meskipun getaran tubuhnya sudah tidak terlalu terasa lagi, dengan kedua tangan yang masih menutupi wajah dan kepala. “Baby…” Brak! Suara gaduh di ruang tamu, membuat Fathan menjauhkan kepala dari Shanti. Ia menegakkan punggung dan berbali
“Kepala bagian kakak terhantam dengan kuat, hingga kakak cedera dan sempat tidak sadarkan diri selama dua hari di Rumah Sakit. Tangan kirinya retak dan tulang rusuknya juga. Saat itu Bapak menghantamkan kursi kayu ke tubuh kakak yang memeluk Ibu, hingga kursi kayu itu patah.” Shaddam menggigit bibir bawahnya saat bercerita, menahan gejolak emosi yang tidak kunjung padam saat mengingat momen itu kembali. Dirinya ditahan dan dikunci di kamar oleh Shanti, namun jendela kecil yang menghadap ke ruang tengah, membuat Shaddam bisa melihat semuanya. Tentu saja, bukan hanya Shaddam yang menahan gejolak itu. Pria jangkung di hadapan Shaddam itu pun tubuhnya terlihat menegang. Urat-urat nadi di lengan, punggung tangan hingga leher menonjol dan menampak sangat jelas. Namun raut wajahnya terlihat tetap tenang. Matanya lah yang menyemburkan tatapan dan sorot membakar. Mata itu teralih ke ranjang Shanti, namun Shaddam dengan jeli melihat amarah yang berkobar dari sorot itu. Shaddam menarik nap
“Ya Tuan, karena itu saya terlambat sedikit,” ujar Fathan dengan ponsel yang ia jepit di antara bahu dan telinga kanan. Ia duduk di atas sebuah kursi dengan tubuh menekuk condong ke depan, asyik berbicara dengan seseorang di ujung sana, tanpa menghiraukan jeritan dan lolongan kesakitan seseorang di bawahnya. Sementara tangan kirinya menjepit sebatang rokok yang terlihat habis setengahnya. ‘Berisik sekali di sana!’ keluh lawan bicara Fathan. “Maaf Tuan, saya sambil melakukan sterilisasi kota dari kotoran.” ‘Jangan harap bisa membersihkan seluruh kota olehmu sendiri, Fathan.’ “Setidaknya saya membersihkan kotoran dari rumah yang akan dihuni oleh istri saya.” ‘Hah! Istri? Rupanya kamu serius dengan Shanti?’ “Tentu saja, Tuan.” Fathan berhenti tersenyum. Lolongan di bawahnya terdengar agak mengganggu, sehingga ia menjejak kakinya ke sumber suara bising itu. “Hrrrgghhmmm!!!” “Diamlah! Saya sedang menelepon bos saya,” tukas Fathan tak acuh lalu mengisap rokoknya dengan sebelah mata
Beberapa hari berlalu dengan tenang. Aruna yang mengetahui ada kejadian yang menimpa sang sahabat, datang berkunjung ke rumah Shanti, tentunya dengan satu iringan pengaman yang berlapis. Shaddam yang saat itu baru pulang dari mini market, terbengong-bengong melihat jajaran mobil hitam di pinggir jalan menuju rumahnya. Kepalanya sampai terus menengok ke belakang, ke arah beberapa pria berseragam hitam berdiri berjajar rapi dengan sikap tegap dan siaga, saat Shaddam berjalan menuju teras rumah. “Dah kaya presiden aja yang datang. Siapa sih?” Ia bergumam lalu membuka pintu rumah. Ia tercengang di ambang pintu, saat melihat Shanti dan Fathan sedang duduk bersebelahan, sementara Aruna dan ibu Shaddam duduk bersebelahan di masing-masing kursi tunggal. “Apa…” Shaddam terhenti. “Kakakmu ngenalin calon suami!” tukas Aruna tersenyum lebar melihat kebingungan adik lelaki Shanti itu. Kedua mata Shaddam terbelalak. “Rombongan di depan rombongan lamaran? Kok seragamnya kaya bodyguards di fil
“Jadi… Apa kisah yang kau miliki di balik dirimu yang sempurna dan perfeksionis ini, Tuan Fathan?” Shanti menopang dagu dengan kedua tangannya di atas coffee table.Mereka berdua kini berada di satu coffee shop yang tidak jauh dari rumah Shanti.Shaddam ikut bersama mereka, dengan alasan, ia tidak bisa membiarkan Fathan berduaan dengan kakak tercintanya karena mereka belum menikah.Bahkan adik Shanti itu mengatakan, bersedia menjadi ‘setan’ alias pihak ketiga, untuk mencegah hal-hal yang ‘diinginkan’ oleh Fathan dan Shanti, jika mereka hanya berduaan.“Sumpah, ini enak Kak!” Shaddam berucap dengan mulut penuh. Ia memesan cromboloni dan telah habis dua buah.“Pesanlah lagi. Kau boleh makan sepuasmu,” Fathan berkata sambil tersenyum.“Seriusan Bang?”“Ya.”“Thanks! Abang emang ipar terbaik!” seru Shaddam girang.“Ta
Telah satu jam setengah Aruna menemani Shanti berkeliling di Plaza Amerta. Mereka belum membeli apapun, hanya berkeliling tanpa tujuan, keluar masuk outlet dan berhenti di beberapa counter penjual asesoris. Terkadang Shanti melupakan Aruna dan berjalan begitu cepat, sendirian di depan. Aruna sampai harus memanggil Shanti sekian kali dan menyusul langkah cepat sahabatnya itu, untuk kembali menjajari. Aruna memang hanya diam, tidak mendesak Shanti untuk menceritakan masalahnya pada Aruna. "Kau tahu apa yang paling buruk dari memiliki harapan?" Shanti nyaris bergumam saat mengatakan itu.Aruna di sisinya sampai harus memiringkan kepala agar ia bisa mendengar suara Shanti lebih jelas."Apa yang buruk dari memiliki harapan?" tanya Aruna. "Harapan itu tidak terwujud?""Bukan itu saja. Tapi harapan yang berubah menjadi mimpi buruk.""Bagaimana bisa menjadi mimpi buruk?" Dahi Aruna sedikit mengkerut.Shanti tidak menjawab. Mereka kini memasuki salah satu outlet pakaian batik.Tangan Shanti
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m