Fathan menggelengkan kepala.
Dirinya akhirnya bisa berada di ruang gym yang juga terdapat dojo di dalamnya. Bagaimana ini bisa terjadi?
Dirinya dan Shanti kini berdiri di atas matras, dengan kedua tangan mereka telah mengenakan sarung tinju.
Fathan tidak habis pikir dengan kelakuan Shanti ini. Bisa-bisanya wanita muda itu terpikirkan minta sparing dengannya, setelah ia baru saja mendarat kembali dari enam belas jam penerbangan?
Namun Fathan tersenyum diam-diam.
Wanita muda di depannya itu terlihat cantik dan menarik.
Rambut sebahu miliknya yang diikat jadi satu ke belakang, memamerkan leher jenjang dan mulus yang sangat mengundang. Kedua pipinya pun hanya ternoda dengan satu jerawat kecil, terlihat kencang dan menggembung manis saat ia meniupkan udara dari mulutnya.
Dan bibirnya.
Kedua benda kenyal dan lembut berwarna merah muda pucat itu pernah dirasakan oleh Fathan. Segera, ia menandai dan memastikan hanya dirinya yan
Dear GoodReaders!! Author ingin menyapa sejenak. Sebentar lagi Aruna Season 2 akan segera berakhir (Author usahakan sampai dengan Aruna memiliki anak yaa). Dan Author juga mau minta maaf, untuk hari ini, Author absen update ya, karena mudik ^,^ Besok dan seterusnya Author usahakan untuk tetap upload seperti biasanya, sampai dengan Aruna Season 2 ini beneran tamat. Terima kasih untuk semua pembaca setia Aruna dan Brahmana. Selamat menunaikan ibadah puasa menjelang akhir, bagi yang melaksanakannya. Sampai jumpa besok dan jika kalian ingin memberi saran atau pun menyampaikan keinginan tentang kisah Aruna dan Brahmana ini, silakan kasih komen aja di bawah, yaaa.... See you tomorrow and... Enjoy!! ^,^
“Aapaa?!?” Pekikan kaget Jasmine menggema seantero ruangan. Aruna dan Shanti segera mengingatkan Jasmine, sementara Najla langsung membekap mulut Jasmine dengan sebelah tangan. “Lu malu-maluin banget sih. Ini di tempat umum,” Najla mendelik pada Jasmine dengan tangan masih bertengger di mulut sahabatnya itu. Jasmine menggeleng-gelengkan kepala, lalu menepis tangan Najla dan mengomel. “Ya lagian! Gue kan kaget denger Shanti bilang dia ngelamar mas Fathan?!” Jasmine tidak salah. Sesungguhnya Najla bahkan Aruna sendiri terkejut mendengar berita yang dikatakan Shanti, saat mereka hari ini janjian untuk bertemu di sebuah kafe favorit mereka. Keterkejutan mereka bukan tanpa alasan. Shanti yang mereka kenal, adalah seseorang yang selalu menghindari keterikatan bahkan tidak berpacaran. Dan sekarang tiba-tiba mereka mendengar bahwa Shanti dan Fathan berencana menikah. Terutama lagi, Shanti mengatakan dirinyalah yang melamar Fathan lebih dulu. “Kamu serius Shan?” tanya Aruna pada Shanti.
“Apa yang Bapak lakukan di sini?” Getaran dalam suara Shanti tidak bisa disembunyikan dan itu membuat lelaki yang dipanggil ‘bapak’ itu menapak maju. “Be-berhenti!” Shanti berusaha menahan lelaki itu di depan pintu rumahnya, namun tangan besar lelaki itu menarik daun pintu yang hendak ditutup Shanti. Terjadi aksi tarik menarik untuk beberapa saat. Lelaki itu mengentak kuat, sementara Shanti tetap mencoba bertahan di balik pintu untuk menutupnya. Hingga ketika lelaki paruh baya itu mengerahkan tenaganya lebih besar lagi, ia berhasil membuat Shanti terseret maju. Dalam satu kali tarikan lagi, lelaki itu membuat daun pintu rumah itu seluruhnya membuka lebar dengan Shanti tertarik maju lebih mendekat ke arahnya. Lelaki itu menarik tangan Shanti dan langsung menendang, ke arah tubuh Shanti yang masih belum siap menerima serangan mendadak itu. Bruk!! Panggul kiri Shanti terkena hantaman dan wanita muda itu terhuyung mundur. Dengan menahan nyeri di panggulnya, Shanti berusaha menyei
Pria itu --Fathan, menarik tubuh Shanti dengan lembut dan mengangkatnya perlahan. Sempat terjadi penolakan dari tubuh Shanti yang spontan, namun rengkuhan kuat namun hangat dan tanpa menyakiti yang Fathan berikan pada wanita muda itu, membuat Shanti akhirnya diam dan pasrah. Fathan meletakkan Shanti di atas sofa di ruang keluarga --tidak ingin lancang masuk ke salah satu kamar di sana, dan hanya mencari tempat yang ia anggap paling nyaman untuk Shanti. “Aku yang salah…” Fathan merendahkan tubuh dan menunduk di dekat telinga Shanti. “Aku datang terlambat, maafkan aku Baby Doll…” Suara lirih Fathan seharusnya tetap terdengar dengan jelas oleh Shanti, karena pria itu mengatakannya di dekat telinga Shanti. Namun Shanti bergeming dan tetap membisu, meskipun getaran tubuhnya sudah tidak terlalu terasa lagi, dengan kedua tangan yang masih menutupi wajah dan kepala. “Baby…” Brak! Suara gaduh di ruang tamu, membuat Fathan menjauhkan kepala dari Shanti. Ia menegakkan punggung dan berbali
“Kepala bagian kakak terhantam dengan kuat, hingga kakak cedera dan sempat tidak sadarkan diri selama dua hari di Rumah Sakit. Tangan kirinya retak dan tulang rusuknya juga. Saat itu Bapak menghantamkan kursi kayu ke tubuh kakak yang memeluk Ibu, hingga kursi kayu itu patah.” Shaddam menggigit bibir bawahnya saat bercerita, menahan gejolak emosi yang tidak kunjung padam saat mengingat momen itu kembali. Dirinya ditahan dan dikunci di kamar oleh Shanti, namun jendela kecil yang menghadap ke ruang tengah, membuat Shaddam bisa melihat semuanya. Tentu saja, bukan hanya Shaddam yang menahan gejolak itu. Pria jangkung di hadapan Shaddam itu pun tubuhnya terlihat menegang. Urat-urat nadi di lengan, punggung tangan hingga leher menonjol dan menampak sangat jelas. Namun raut wajahnya terlihat tetap tenang. Matanya lah yang menyemburkan tatapan dan sorot membakar. Mata itu teralih ke ranjang Shanti, namun Shaddam dengan jeli melihat amarah yang berkobar dari sorot itu. Shaddam menarik nap
“Ya Tuan, karena itu saya terlambat sedikit,” ujar Fathan dengan ponsel yang ia jepit di antara bahu dan telinga kanan. Ia duduk di atas sebuah kursi dengan tubuh menekuk condong ke depan, asyik berbicara dengan seseorang di ujung sana, tanpa menghiraukan jeritan dan lolongan kesakitan seseorang di bawahnya. Sementara tangan kirinya menjepit sebatang rokok yang terlihat habis setengahnya. ‘Berisik sekali di sana!’ keluh lawan bicara Fathan. “Maaf Tuan, saya sambil melakukan sterilisasi kota dari kotoran.” ‘Jangan harap bisa membersihkan seluruh kota olehmu sendiri, Fathan.’ “Setidaknya saya membersihkan kotoran dari rumah yang akan dihuni oleh istri saya.” ‘Hah! Istri? Rupanya kamu serius dengan Shanti?’ “Tentu saja, Tuan.” Fathan berhenti tersenyum. Lolongan di bawahnya terdengar agak mengganggu, sehingga ia menjejak kakinya ke sumber suara bising itu. “Hrrrgghhmmm!!!” “Diamlah! Saya sedang menelepon bos saya,” tukas Fathan tak acuh lalu mengisap rokoknya dengan sebelah mata
Beberapa hari berlalu dengan tenang. Aruna yang mengetahui ada kejadian yang menimpa sang sahabat, datang berkunjung ke rumah Shanti, tentunya dengan satu iringan pengaman yang berlapis. Shaddam yang saat itu baru pulang dari mini market, terbengong-bengong melihat jajaran mobil hitam di pinggir jalan menuju rumahnya. Kepalanya sampai terus menengok ke belakang, ke arah beberapa pria berseragam hitam berdiri berjajar rapi dengan sikap tegap dan siaga, saat Shaddam berjalan menuju teras rumah. “Dah kaya presiden aja yang datang. Siapa sih?” Ia bergumam lalu membuka pintu rumah. Ia tercengang di ambang pintu, saat melihat Shanti dan Fathan sedang duduk bersebelahan, sementara Aruna dan ibu Shaddam duduk bersebelahan di masing-masing kursi tunggal. “Apa…” Shaddam terhenti. “Kakakmu ngenalin calon suami!” tukas Aruna tersenyum lebar melihat kebingungan adik lelaki Shanti itu. Kedua mata Shaddam terbelalak. “Rombongan di depan rombongan lamaran? Kok seragamnya kaya bodyguards di fil
“Jadi… Apa kisah yang kau miliki di balik dirimu yang sempurna dan perfeksionis ini, Tuan Fathan?” Shanti menopang dagu dengan kedua tangannya di atas coffee table.Mereka berdua kini berada di satu coffee shop yang tidak jauh dari rumah Shanti.Shaddam ikut bersama mereka, dengan alasan, ia tidak bisa membiarkan Fathan berduaan dengan kakak tercintanya karena mereka belum menikah.Bahkan adik Shanti itu mengatakan, bersedia menjadi ‘setan’ alias pihak ketiga, untuk mencegah hal-hal yang ‘diinginkan’ oleh Fathan dan Shanti, jika mereka hanya berduaan.“Sumpah, ini enak Kak!” Shaddam berucap dengan mulut penuh. Ia memesan cromboloni dan telah habis dua buah.“Pesanlah lagi. Kau boleh makan sepuasmu,” Fathan berkata sambil tersenyum.“Seriusan Bang?”“Ya.”“Thanks! Abang emang ipar terbaik!” seru Shaddam girang.“Ta