“Jadi… Apa kisah yang kau miliki di balik dirimu yang sempurna dan perfeksionis ini, Tuan Fathan?” Shanti menopang dagu dengan kedua tangannya di atas coffee table.
Mereka berdua kini berada di satu coffee shop yang tidak jauh dari rumah Shanti.
Shaddam ikut bersama mereka, dengan alasan, ia tidak bisa membiarkan Fathan berduaan dengan kakak tercintanya karena mereka belum menikah.
Bahkan adik Shanti itu mengatakan, bersedia menjadi ‘setan’ alias pihak ketiga, untuk mencegah hal-hal yang ‘diinginkan’ oleh Fathan dan Shanti, jika mereka hanya berduaan.
“Sumpah, ini enak Kak!” Shaddam berucap dengan mulut penuh. Ia memesan cromboloni dan telah habis dua buah.
“Pesanlah lagi. Kau boleh makan sepuasmu,” Fathan berkata sambil tersenyum.
“Seriusan Bang?”
“Ya.”
“Thanks! Abang emang ipar terbaik!” seru Shaddam girang.
“Ta
Telah satu jam setengah Aruna menemani Shanti berkeliling di Plaza Amerta. Mereka belum membeli apapun, hanya berkeliling tanpa tujuan, keluar masuk outlet dan berhenti di beberapa counter penjual asesoris. Terkadang Shanti melupakan Aruna dan berjalan begitu cepat, sendirian di depan. Aruna sampai harus memanggil Shanti sekian kali dan menyusul langkah cepat sahabatnya itu, untuk kembali menjajari. Aruna memang hanya diam, tidak mendesak Shanti untuk menceritakan masalahnya pada Aruna. "Kau tahu apa yang paling buruk dari memiliki harapan?" Shanti nyaris bergumam saat mengatakan itu.Aruna di sisinya sampai harus memiringkan kepala agar ia bisa mendengar suara Shanti lebih jelas."Apa yang buruk dari memiliki harapan?" tanya Aruna. "Harapan itu tidak terwujud?""Bukan itu saja. Tapi harapan yang berubah menjadi mimpi buruk.""Bagaimana bisa menjadi mimpi buruk?" Dahi Aruna sedikit mengkerut.Shanti tidak menjawab. Mereka kini memasuki salah satu outlet pakaian batik.Tangan Shanti
“Selamat, Pak Brahmana. Anda akan menjadi seorang ayah.” Brahmana membeku di tempat duduknya. Kedua tangan yang berada di atas pahanya, menegang dan kaku. “A-apa, Dok?” Brahmana menelan ludah susah payah. “Tadi bilang apa?” “Anda akan menjadi seorang ayah. Istri Anda tengah mengandung. Berdasarkan hasil USG, usia kehamilannya masuk empat minggu dan…” Kalimat Dokter Kandungan yang tengah menjelaskan itu, sudah tidak terdengar lagi. Brahmana terpaku di tempat dengan gaung kata-kata indah yang berulang di dalam kepalanya. ‘Anda akan menjadi seorang ayah.’ ‘Istri Anda mengandung.’ Tubuhnya gemetar --karena kebahagiaan tentunya. Kedua matanya pun memerah. Kepalanya bergerak perlahan ke arah Aruna berbaring dengan monitor dan alat USG di sampingnya. “Sa..yang..” Pria itu bangkit perlahan dan berjalan mendekat. Namun Aruna langsung merentangkan tangannya tinggi, menghentikan langkah Brahmana. “Jangan dekati aku! Aku akan muntah lagi kalau kau mendekat!” Ia berkata. Tidak kencang, n
Tujuh setengah bulan kemudian. “Aku tidak percaya ini…” Jasmine terisak. Tangannya berulang kali mengusap ujung hidung dan juga sudut matanya agar kembali kering dari tetesan bening yang mengalir di sana. “Hey! Make up mu bisa berantakan,” cela Najla. “Aku tahu… Tapi kan… kan…” Jasmine terisak lagi. Aruna yang tengah merapikan ujung kebaya putih yang dikenakan Shanti, berdecak. “Astaga Jas!” Ia lalu terkekeh. Tidak bisa menyalahkan, karena dirinya sendiri pun dilanda rasa haru yang amat sangat. Saat ini, di hadapannya, Shanti duduk dengan anggun dalam balutan kebaya putih yang begitu indah dan menonjolkan lekuk tubuh Shanti yang proporsional dan seksi. “Cantik..” gumam Aruna. Ia sedikit tercekat, tapi melanjutkan kalimatnya. “Aku bahagia, Shan…” Shanti melipat bibir dengan kuat, menahan mata yang memanas agar tidak sampai meleleh dan merusak apapun yang telah dikerjakan pada wajahnya selama hampir sejam lebih. “Jangan pancing gue mewek!” gerutu Shanti. “Rusak semua kerja keras
Shanti meneguk ludah dengan alot. Ia langsung melirik ke arah sang ibu yang juga sama terlihat pucatnya.“Ma-mas…” Shanti berbisik lirih, sungguh lemas.Ia tahu, acara pernikahannya ini kemungkinan akan terjadi keributan.“Tenanglah. Aku di sini,” Fathan balas berbisik. Ia menggenggam tangan Shanti yang terasa dingin dan berkeringat.Shanti memaksakan diri mengangguk. Ia tidak ada pilihan lain, selain mempercayakannya pada Fathan.Tidak banyak kegaduhan yang terjadi, karena yang hadir di sana adalah orang-orang yang memiliki adab dan etika sangat baik.Semua mata tertuju pada pria paruh baya yang mengenakan kemeja krem bergaris vertikal dan celana kain berwarna coklat tua.Ia berjalan pelan dengan tatapan lurus ke arah meja dengan Shanti dan Fathan duduk di baliknya, bersisian.Shanti melihat Shaddam berdiri dengan tangan terkepal. Tentu adik lelakinya itu tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pa
Lalu… kalimat sakral itu diucapkan oleh Kusmana dengan lirih namun tanpa jeda dan tanpa terputus.Fathan pun dengan tegas dan cepat, menyambut dengan kalimat ‘qabul’ yang terucapkan sangat jelas.Semua yang hadir di sana mengembus napas lega dan sebagian besar di antara mereka mengucap syukur.Fathan mengerjap.Ia menarik tangan dan menyembunyikannya di bawah meja.Sesungguhnya, ia pun gugup dan kini merasakan tangannya sedikit gemetar.“Pak Suami, gugup ya?” goda Shanti sambil menyenggol lengan Fathan.Shanti memiliki sepasang mata yang jeli dan bisa melihat jelas kegugupan Fathan saat pria yang kini sah menjadi suaminya itu, menarik tangannya ke bawah.“Yes, I am now. But later… tonight, you’ll be the one…” (Ya, sekarang aku gugup. Tapi nanti… malam ini, kau yang akan gugup…) Fathan balas menggoda Shanti. “Shut up!” (Diamlah
“Tidak ada yang tahu soal ini kan, Pak?”Fathan saat ini tengah berbicara berdua dengan Kusmana di salah satu sudut ballroom. Acara masih berlangsung dan tamu yang sebelumnya sempat memenuhi ballroom, mulai berkurang satu demi satu.Lelaki paruh baya, ayah dari Shanti itu sebenarnya sudah ingin keluar dari ballroom, namun penjaga keamanan Brahmana menahan dirinya.Atas perintah Fathan, yang memang meminta mereka agar Kusmana tidak pergi kemana pun, sampai Fathan sendiri yang mengantarnya ke luar ballroom.Barulah saat ini, Fathan berkesempatan menghampiri ayah mertuanya itu dan berbicara pribadi dengannya.“Tidak! Tentu tidak! Pak Fathan tenang saja… itu.. itu rahasia kita berdua,” jawab Kusmana segera. Ia menelan ludah dan berharap jawabannya cukup memuaskan bagi Fathan.Fathan mengangguk.“Terima kasih, Pak Fathan telah memberi kesempatan pada saya untuk menyadari kesalahan saya. Terima kasih jug
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m