Pria itu --Fathan, menarik tubuh Shanti dengan lembut dan mengangkatnya perlahan. Sempat terjadi penolakan dari tubuh Shanti yang spontan, namun rengkuhan kuat namun hangat dan tanpa menyakiti yang Fathan berikan pada wanita muda itu, membuat Shanti akhirnya diam dan pasrah. Fathan meletakkan Shanti di atas sofa di ruang keluarga --tidak ingin lancang masuk ke salah satu kamar di sana, dan hanya mencari tempat yang ia anggap paling nyaman untuk Shanti. “Aku yang salah…” Fathan merendahkan tubuh dan menunduk di dekat telinga Shanti. “Aku datang terlambat, maafkan aku Baby Doll…” Suara lirih Fathan seharusnya tetap terdengar dengan jelas oleh Shanti, karena pria itu mengatakannya di dekat telinga Shanti. Namun Shanti bergeming dan tetap membisu, meskipun getaran tubuhnya sudah tidak terlalu terasa lagi, dengan kedua tangan yang masih menutupi wajah dan kepala. “Baby…” Brak! Suara gaduh di ruang tamu, membuat Fathan menjauhkan kepala dari Shanti. Ia menegakkan punggung dan berbali
“Kepala bagian kakak terhantam dengan kuat, hingga kakak cedera dan sempat tidak sadarkan diri selama dua hari di Rumah Sakit. Tangan kirinya retak dan tulang rusuknya juga. Saat itu Bapak menghantamkan kursi kayu ke tubuh kakak yang memeluk Ibu, hingga kursi kayu itu patah.” Shaddam menggigit bibir bawahnya saat bercerita, menahan gejolak emosi yang tidak kunjung padam saat mengingat momen itu kembali. Dirinya ditahan dan dikunci di kamar oleh Shanti, namun jendela kecil yang menghadap ke ruang tengah, membuat Shaddam bisa melihat semuanya. Tentu saja, bukan hanya Shaddam yang menahan gejolak itu. Pria jangkung di hadapan Shaddam itu pun tubuhnya terlihat menegang. Urat-urat nadi di lengan, punggung tangan hingga leher menonjol dan menampak sangat jelas. Namun raut wajahnya terlihat tetap tenang. Matanya lah yang menyemburkan tatapan dan sorot membakar. Mata itu teralih ke ranjang Shanti, namun Shaddam dengan jeli melihat amarah yang berkobar dari sorot itu. Shaddam menarik nap
“Ya Tuan, karena itu saya terlambat sedikit,” ujar Fathan dengan ponsel yang ia jepit di antara bahu dan telinga kanan. Ia duduk di atas sebuah kursi dengan tubuh menekuk condong ke depan, asyik berbicara dengan seseorang di ujung sana, tanpa menghiraukan jeritan dan lolongan kesakitan seseorang di bawahnya. Sementara tangan kirinya menjepit sebatang rokok yang terlihat habis setengahnya. ‘Berisik sekali di sana!’ keluh lawan bicara Fathan. “Maaf Tuan, saya sambil melakukan sterilisasi kota dari kotoran.” ‘Jangan harap bisa membersihkan seluruh kota olehmu sendiri, Fathan.’ “Setidaknya saya membersihkan kotoran dari rumah yang akan dihuni oleh istri saya.” ‘Hah! Istri? Rupanya kamu serius dengan Shanti?’ “Tentu saja, Tuan.” Fathan berhenti tersenyum. Lolongan di bawahnya terdengar agak mengganggu, sehingga ia menjejak kakinya ke sumber suara bising itu. “Hrrrgghhmmm!!!” “Diamlah! Saya sedang menelepon bos saya,” tukas Fathan tak acuh lalu mengisap rokoknya dengan sebelah mata
Beberapa hari berlalu dengan tenang. Aruna yang mengetahui ada kejadian yang menimpa sang sahabat, datang berkunjung ke rumah Shanti, tentunya dengan satu iringan pengaman yang berlapis. Shaddam yang saat itu baru pulang dari mini market, terbengong-bengong melihat jajaran mobil hitam di pinggir jalan menuju rumahnya. Kepalanya sampai terus menengok ke belakang, ke arah beberapa pria berseragam hitam berdiri berjajar rapi dengan sikap tegap dan siaga, saat Shaddam berjalan menuju teras rumah. “Dah kaya presiden aja yang datang. Siapa sih?” Ia bergumam lalu membuka pintu rumah. Ia tercengang di ambang pintu, saat melihat Shanti dan Fathan sedang duduk bersebelahan, sementara Aruna dan ibu Shaddam duduk bersebelahan di masing-masing kursi tunggal. “Apa…” Shaddam terhenti. “Kakakmu ngenalin calon suami!” tukas Aruna tersenyum lebar melihat kebingungan adik lelaki Shanti itu. Kedua mata Shaddam terbelalak. “Rombongan di depan rombongan lamaran? Kok seragamnya kaya bodyguards di fil
“Jadi… Apa kisah yang kau miliki di balik dirimu yang sempurna dan perfeksionis ini, Tuan Fathan?” Shanti menopang dagu dengan kedua tangannya di atas coffee table.Mereka berdua kini berada di satu coffee shop yang tidak jauh dari rumah Shanti.Shaddam ikut bersama mereka, dengan alasan, ia tidak bisa membiarkan Fathan berduaan dengan kakak tercintanya karena mereka belum menikah.Bahkan adik Shanti itu mengatakan, bersedia menjadi ‘setan’ alias pihak ketiga, untuk mencegah hal-hal yang ‘diinginkan’ oleh Fathan dan Shanti, jika mereka hanya berduaan.“Sumpah, ini enak Kak!” Shaddam berucap dengan mulut penuh. Ia memesan cromboloni dan telah habis dua buah.“Pesanlah lagi. Kau boleh makan sepuasmu,” Fathan berkata sambil tersenyum.“Seriusan Bang?”“Ya.”“Thanks! Abang emang ipar terbaik!” seru Shaddam girang.“Ta
Telah satu jam setengah Aruna menemani Shanti berkeliling di Plaza Amerta. Mereka belum membeli apapun, hanya berkeliling tanpa tujuan, keluar masuk outlet dan berhenti di beberapa counter penjual asesoris. Terkadang Shanti melupakan Aruna dan berjalan begitu cepat, sendirian di depan. Aruna sampai harus memanggil Shanti sekian kali dan menyusul langkah cepat sahabatnya itu, untuk kembali menjajari. Aruna memang hanya diam, tidak mendesak Shanti untuk menceritakan masalahnya pada Aruna. "Kau tahu apa yang paling buruk dari memiliki harapan?" Shanti nyaris bergumam saat mengatakan itu.Aruna di sisinya sampai harus memiringkan kepala agar ia bisa mendengar suara Shanti lebih jelas."Apa yang buruk dari memiliki harapan?" tanya Aruna. "Harapan itu tidak terwujud?""Bukan itu saja. Tapi harapan yang berubah menjadi mimpi buruk.""Bagaimana bisa menjadi mimpi buruk?" Dahi Aruna sedikit mengkerut.Shanti tidak menjawab. Mereka kini memasuki salah satu outlet pakaian batik.Tangan Shanti
“Selamat, Pak Brahmana. Anda akan menjadi seorang ayah.” Brahmana membeku di tempat duduknya. Kedua tangan yang berada di atas pahanya, menegang dan kaku. “A-apa, Dok?” Brahmana menelan ludah susah payah. “Tadi bilang apa?” “Anda akan menjadi seorang ayah. Istri Anda tengah mengandung. Berdasarkan hasil USG, usia kehamilannya masuk empat minggu dan…” Kalimat Dokter Kandungan yang tengah menjelaskan itu, sudah tidak terdengar lagi. Brahmana terpaku di tempat dengan gaung kata-kata indah yang berulang di dalam kepalanya. ‘Anda akan menjadi seorang ayah.’ ‘Istri Anda mengandung.’ Tubuhnya gemetar --karena kebahagiaan tentunya. Kedua matanya pun memerah. Kepalanya bergerak perlahan ke arah Aruna berbaring dengan monitor dan alat USG di sampingnya. “Sa..yang..” Pria itu bangkit perlahan dan berjalan mendekat. Namun Aruna langsung merentangkan tangannya tinggi, menghentikan langkah Brahmana. “Jangan dekati aku! Aku akan muntah lagi kalau kau mendekat!” Ia berkata. Tidak kencang, n
Tujuh setengah bulan kemudian. “Aku tidak percaya ini…” Jasmine terisak. Tangannya berulang kali mengusap ujung hidung dan juga sudut matanya agar kembali kering dari tetesan bening yang mengalir di sana. “Hey! Make up mu bisa berantakan,” cela Najla. “Aku tahu… Tapi kan… kan…” Jasmine terisak lagi. Aruna yang tengah merapikan ujung kebaya putih yang dikenakan Shanti, berdecak. “Astaga Jas!” Ia lalu terkekeh. Tidak bisa menyalahkan, karena dirinya sendiri pun dilanda rasa haru yang amat sangat. Saat ini, di hadapannya, Shanti duduk dengan anggun dalam balutan kebaya putih yang begitu indah dan menonjolkan lekuk tubuh Shanti yang proporsional dan seksi. “Cantik..” gumam Aruna. Ia sedikit tercekat, tapi melanjutkan kalimatnya. “Aku bahagia, Shan…” Shanti melipat bibir dengan kuat, menahan mata yang memanas agar tidak sampai meleleh dan merusak apapun yang telah dikerjakan pada wajahnya selama hampir sejam lebih. “Jangan pancing gue mewek!” gerutu Shanti. “Rusak semua kerja keras