“Kamu ini kenapa?” Joe melempar jaket lalu mengambil kotak P3K dan menghampiri Ardiya yang duduk bersandar di sofa.
“Apa yang terjadi, sampai bibirmu terluka gini? Kau benar-benar mabuk, kali ini?” Joe berdecak kesal. “That was afternoon, Dude! Bisa-bisanya kamu mabuk sore-sore gitu!”
“Sudah, biar aku sendiri saja,” tolak Ardiya tatkala tangan Joe hendak mengulurkan antiseptik pada sudut bibir Ardiya.
“Kamu lepasin pengunjung yang nekad mukul kamu ini?” Kening Joe berkerut. “Sangat bukan Kevin sekali.”
Bukan tanpa alasan Joe berkata demikian.
Ia mengenal dengan cukup baik seorang Kevin Ardi Dananjaya.
Pria yang tumbuh dengan dimanjakan kedua orangtuanya --Harsa dan Melissa-- dan dengan dibekali fasilitas kemewahan yang seolah tanpa batas itu, bukanlah seorang pria yang akan melepaskan begitu saja siapapun yang menentang atau menyinggungnya.
Apalagi sampai menyakit
“Kau tidak perlu membelikanku ini, Agha…” keluh Aruna sambil memandangi ponsel keluaran terbaru yang ia tahu berharga dua digit. “Kau sudah banyak membelikanku barang-barang. Aku bisa membeli yang biasa saja dengan uangku sendiri.” Brahmana hanya tersenyum menanggapi keluhan dari Aruna itu. Tangannya masih sibuk membolak-balik beberapa dokumen. Mereka berdua kini berada dalam mobil Brahmana untuk menjemput Maira di sekolahnya. Entah mengapa Brahmana bersikeras mengirim supir untuk menjemput Aruna di kediamannya, lalu kembali ke kantor dan mereka bersama-sama menuju sekolah Maira. “Kau terlihat sibuk.” Aruna memperhatikan Brahmana yang tengah berkutat dengan beberapa berkas di tangannya. “Ya, sedikit,” jawab Brahmana cukup singkat. “Kalau memang sibuk, lalu mengapa kau maksa ikut jemput Mai? Bukannya lebih baik kau fokus saja selesaikan dulu pekerjaanmu?” Aruna berdecak. “Mengapa sampai repot-repot memutar seperti ini?” Fathan yang mengambil peran sebagai supir di depan, memas
Langkah tungkai panjang Brahmana menghantarnya tiba di mansion milik Dananjaya tua.Hari itu Brahmana menerima panggilan dari sang kakek melalui asistennya. Kebetulan sekali, Brahmana pun ingin menyampaikan beberapa hal pada sang kakek.Langkahnya kemudian berhenti di depan dua daun pintu besar ruang kerja milik sang kakek.Pintu terbuka setelah Brahmana mengetuk.“Kalian boleh keluar.” Brahmana berujar pada dua pelayan yang berdiri di dekat pintu setelah ia masuk ke dalam ruang kerja tersebut.Kedua pelayan itu melirik pada asisten Dananjaya yang berdiri dekat meja kerja besar sang penguasa Dananjaya Group.Nuh --asisten Dananjaya Tua itu mengangguk.Kedua pelayan tersebut lalu membungkukkan badan pada Brahmana dan bergegas keluar dan menutup pintu perlahan.Brahmana memutar tubuh menghadap meja besar di ujung ruangan luas itu.Telah tampak di matanya, Dananjaya Tua yang duduk di kursi kebesaran miliknya den
Mobil yang membawa Brahmana, tiba di hotel bintang lima milik keluarga Robert.Fathan yang menemani Brahmana saat ini, turun mendahului Brahmana. Seorang laki-laki berseragam menghampiri mobil yang dikendarai CEO Dananjaya Group itu dan membukakan pintu sembari setengah membungkuk.Brahmana keluar dengan langkah mantap lalu berjalan masuk lalu mengikuti karpet merah tebal dari lobby menuju ke lift dengan didampingi Fathan dan dua orang bodyguard. Tidak lama setelah rombongan itu masuk dalam lift, Brahmana memiringkan kepalanya ke kanan, di mana Fathan berdiri satu langkah di belakang dirinya.Menerima kode itu, Fathan melangkah maju.“Sudah kamu pastikan semua siap?” tanya Brahmana pada Fathan.“Sudah Tuan.”Brahmana mengangguk. Lalu pandangannya kembali ke depan.Pintu lift terbuka, langsung menampilkan seseorang berseragam lainnya yang telah menunggu.Orang itu langsung merentangkan tanga
Melissa tertawa tanpa henti sepanjang perjalanan pulang menuju rumahnya. Sang suami --Harsa, menatap risih pada istrinya itu. “Diamlah, kau berisik sekali,” sungut Harsa mengomentari tingkah istrinya. “Kau yang diam. Apa kau tidak bisa lihat suasana hatiku yang sangat senang?” Melissa mendelik pada Harsa. “Kamu menertawakan sesuatu yang sesungguhnya tidak lucu,” protes Harsa. Ia membuang muka ke arah jendela mobil yang dikendarai seorang supir. “Apa kamu benar-benar polos?” Melissa menggelengkan kepalanya. “Tidakkah kamu lihat satu kesempatan bagus terhadap kejadian tadi?” “Kesempatan bagus apa? Bagaimana bisa acara pertunangan yang gagal disebut bagus?” Melissa berdecak jengkel. “Cucu tersayang ayah telah melakukan hal yang membuat malu ayah.” “Menurutku itu tidak terlalu membuat malu. Apa kamu tidak lihat muka serakah Robert tadi? Jelas-jelas dia sendiri senang dan dia juga yang membatalkan pertunangan dan memilih menerima tawaran kerjasama dari Bram!” dengkus Harsa. Melissa
“Kat!”Seruan suara seorang wanita tidak lantas membuat pemilik nama itu menoleh.Wanita cantik yang mengenakan dress tanpa lengan itu tetap asyik menatap gelas berkaki di tangan, sambil menggoyangkannya perlahan.“Hey Kat!” Dini menggoyangkan tangannya ke depan wajah Katrina.“Apa sih!” gerutu Katrina malas.“Kok ngelamun gitu?” Dini lalu mengambil tempat duduk di samping Katrina, begitu juga dengan Bella yang datang bersama Dini.Bella duduk di hadapan Katrina dan Dini.“Gue kagak ngelamun.” Katrina meneguk cairan kekuningan di dalam gelas berkaki itu.Dini dan Bella saling melempar tatap.“Eh iya, jadi kapan acara pertunanganmu dengan CEO DG itu?” Bella bertanya antusias.“Iya, bener Kat. Kemaren kan pertemuan keluarga kamu dan keluarga Dananjaya. Jadi gimana? Ceritain dong!” Tak kalah semangat, Dini pun melempar tanya.P
Bangunan bergaya klasik terpampang di hadapan Aruna. Wanita muda itu kemudian melirik pria bertubuh tinggi dan atletis yang berdiri di samping kirinya. “Kau melemparku ke salon selama berjam-jam dan membelikan serta memintaku memakai gaun ini, hanya untuk makan?” cetus Aruna dengan alis menurun. Pria tampan itu memiringkan kepalanya. “Ya,” ucapnya singkat. “Restoran ini berkonsep fine-dining.” “Aku tahu apa itu fine dining. Aku hanya gak nyangka harus mengorbankan waktu sebanyak itu untuk makan.” Aruna menggelengkan kepalanya. “Kau tidak suka makan di tempat seperti ini?” Brahmana melirik Aruna. “Bukan itu,” cetus si wanita. “Waktu kita itu, akan lebih berharga jika kita habiskan berdua. Rasanya kesal, berjam-jam aku membuangnya di salon…” Tangan kanan Brahmana meraih tangan Aruna dan menyisipkan jemarinya di setiap sela jemari wanita muda yang telah berdandan rapi itu. “Kau merindukanku?” “Waktu denganmu sangat berharga, Agha…” Aruna membalas remasan jemari Brahmana saat meng
Di sebuah kafe yang tidak ramai pengunjung. Satu sudut yang cukup tersembunyi dari pandangan dan lalu lalang pengunjung lain, satu meja dihuni oleh seorang wanita dan seorang pria berkacamata hitam. Wanita itu menatap amplop di atas meja dengan seksama, lalu mengangkat wajah, berganti melempar pandangan pada pria berkacamata yang duduk di seberangnya. “Jadi hanya itu aja yang harus aku lakukan?” Ferliana --wanita itu menatap seksama si pria. Pria berkacamata hitam mengangguk. “Tapi kamu tidak boleh membuka amplop itu.” Pria berkaca mata itu berkata datar. “Jika kamu membukanya, uang muka itu kami tarik kembali dan sisanya tidak akan kami berikan.” Ferliana menggeleng kuat. “Aku tidak akan membukanya.” Ia meregangkan bibirnya untuk membentuk senyuman --yang dia harapkan akan menawan dan meyakinkan. “Jangan kamu pikir kami tidak akan mengetahuinya. Jika kamu berani membuka amplop itu, kami akan tahu.” Pria itu menekankan kalimatnya. “Bukan saja kau tidak akan mendapatkan sepese
“Eh, sialan lu!” Bentakan nyaring terdengar dari belakang Aruna.Shanti yang tergopoh-gopoh segera menghampiri begitu ia mendengar adanya keributan di dekat pintu kafe.Ia terkejut bukan kepalang, saat mengetahui bahwa Aruna berada dalam sumber keributan itu.Tangan Shanti dengan cepat menarik Aruna ke belakang, sementara ia sendiri maju dan menantang ketiga wanita yang mencari ribut dengan sahabatnya.“Apa maksud lu nyiram temen gue?!” sentak Shanti pada Katrina dengan mata melotot.“Siapa yang nyiram? Aku hanya mengusir lalat yang menempel di wajahnya tadi,” jawab Katrina santai.“Nona, tadi Anda--”“Diamlah Pak!” Katrina menatap tajam pada pria paruh baya beserta istrinya yang hendak mengatakan sesuatu.“Sebaiknya kalian berdua lekas pergi dari sini,” desis Katrina dengan bola mata bergerak ke arah luar.Pria paruh baya itu hendak membantah, namun
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m