Sesak berkelindan dengan cepat di dalam dada Asma. Wanita tidak asing itu terus bergelayut manja di lengan Wisnu. Meskipun ia tahu, jika Wisnu terus berusaha untuk melepaskan lingkaran tangan wanita dengan perut' bucit yang sama seperti dirinya itu. Tetapi tetep saja, rasa sakit seakan menusuk-nusuk di dalam hati Asma."As, aku bisa menjelaskan semuanya!" ucap Wisnu menarik paksa tubuhnya menjauh dari Natasya.Sejenak Asma tidak bergeming. Wajahnya datar menatap pada Wisnu. Degupan jantungnya berdebar kencang. Tetapi ia tetap bersikap biasa saja di depan Wisnu. Sekalipun Asma sudah bersumpah pada dirinya sendiri untuk berhenti mencintai Wisnu. Tetapi tetap saja, melihat wanita lain bergelayut manja pada bahu Wisnu, hatinya remuk berkeping-keping."Oh, tidak apa-apa, Bang!" balas Asma setelah beberapa saat ia menyadarkan dirinya. Gerombolan air mata, sudah memenuhi pelupuk. Sesekali Asma membuang tatapannya dari Wisnu, seraya mengedip-ngedipkan matanya. Agar genangan itu luruh dan tida
Wisnu mengalihkan tatapannya sekilas pada Asma. Mencoba menebak tamu yang datang ke rumahnya di pagi-pagi buta seperti ini."Aku akan melihat ke luar dulu!" ucap Wisnu pada Asma. Seketika Asma membuang tatapannya dari Wisnu. Wanita berambut panjang itu memasang wajah acuh, tidak peduli.Kedua mata Wisnu membulat. Melihat lelaki yang muncul di balik pintu rumahnya. Menatap dari ujung kaki hingga ujung kepala lelaki bertopi hitam yang Kini berdiri memunggunginya."Si-siapa ya?" tanya Wisnu dengan nada sedikit terbata. Matanya menelisik pada lelaki asing itu.Lelaki bertopi hitam itu seketika memutar tubuhnya ke arah Wisnu."Selamat pagi Tuan Wisnu." Lelaki berkumis tebal itu melemparkan senyuman ramah pada Wisnu yang berdiri di ambang pintu rumah dengan wajah penuh tanya."Selamat pagi!" balas Wisnu dengan wajah berpikir. Ia berusaha mengingat, barang kali wajah lelaki yang berdiri di hadapannya pernah terselip di dalam memorinya di masalalu.Setelah cukup lama berusaha untuk mengingat
Sebuah alamat tertulis pada pesan yang muncul pada layar ponsel Asma. Beberapa kali ia mencoba menghubungi nomor sang pengirim pesan. Tetapi tetap saja, nomor itu sama sekali tidak menjawab panggilan Asma."Apa maksudnya ini?" gerutu Asma mengeryitkan dahi. Benaknya dilanda rasa penasaran yang hebat. "Apakah aku harus mendatangi alamat ini?" monolog Asma pada dirinya sendiri. Sejenak ia nampak berpikir apa yang harus ia lakukan._____Taksi online yang Asma pesan sudah menunggu di luar pintu pagar rumah. Cepat, Asma berjalan' menuju ke arah pintu rumah. Tekadnya sudah bulat untuk mendatangi alamat rumah yang seseorang kirimkan kepadanya. Pasti ada suatu di sana."Nyonya mau kemana?" Asma tertangkap basah. Saat ia hendak keluar dari pintu rumah. Tiba-tiba Bibik mengangetkannya.Asma memutar tubuhnya ke arah Bibik. "Ehm, aku sedang ada janji dengan teman, Bik!" Jawab Asma dengan nada mengeja. Wajahnya terlihat gugup sekali.Kedua alis Bibik berkerut seketika. "Nanti kalau Tuan mencari
Sebuah alamat tertulis pada pesan yang muncul pada layar ponsel Asma. Beberapa kali ia mencoba menghubungi nomor sang pengirim pesan. Tetapi tetap saja, nomor itu sama sekali tidak menjawab panggilan Asma."Apa maksudnya ini?" gerutu Asma mengeryitkan dahi. Benaknya dilanda rasa penasaran yang hebat. "Apakah aku harus mendatangi alamat ini?" monolog Asma pada dirinya sendiri. Sejenak ia nampak berpikir apa yang harus ia lakukan._____Taksi online yang Asma pesan sudah menunggu di luar pintu pagar rumah. Cepat, Asma berjalan' menuju ke arah pintu rumah. Tekadnya sudah bulat untuk mendatangi alamat rumah yang seseorang kirimkan kepadanya. Pasti ada suatu di sana."Nyonya mau kemana?" Asma tertangkap basah. Saat ia hendak keluar dari pintu rumah. Tiba-tiba Bibik mengangetkannya.Asma memutar tubuhnya ke arah Bibik. "Ehm, aku sedang ada janji dengan teman, Bik!" Jawab Asma dengan nada mengeja. Wajahnya terlihat gugup sekali.Kedua alis Bibik berkerut seketika. "Nanti kalau Tuan mencari
Tatapan mata Danil beralih pada benda pintar yang berkedip di atas meja. "Baiklah, apakah masih ada yang ingin ditanyakan?" ucap Danil menatap pada beberapa bawahannya yang berada di ruangan meeting bersamanya.Sepersekian detik Danil terdiam, menunggu jawaban. Tetapi tidak ada satupun yang menjawab."Jika tidak ada yang ingin ditanyakan. Saya nyatakan jika rapat hari ini telah selesai," ucap Danil.Berapa karyawan yang berada di ruangan berpendingin itu bangkit dari bangku dan meninggalkan ruangan meeting.Di dalam ruangan berdinding putih itu hanya ada Danil seorang. Setelah semua orang pergi. Satu tangan Danil terulur meraih benda pintar yang telah mati di atas meja. Jemarinya mengusap lembut pada layar ponsel. Mencari kontak nomor yang baru saja menghubunginya. Tapi tidak sempat ia jawab.Tut ... Tut ...Sambungan telepon terdengar dari balik telepon yang menempelkan pada telinga Danil. Sesaat kemudian, suara barito menjawab panggilan Danil di seberang telepon."Halo!" "Bagaimana
Langit masih sama. Tetapi tidak seperti hari kemarin. Mendung yang datang bergulung-gulung hilang bersama derasnya hujan yang turun. Menyisakan sisa-sisa air yang menggenang di pucuk dedaunan pagi ini. Kesedihan yang menyelimuti hati Gala perlahan berangsur sembuh. Meskipun sayangnya tidak mampu membuat luka itu hilang secara sempurna. Masih ada bekas luka yang mungki seumur hidup Gala tidak akan pernah bisa ia sembuhkan.Hari berganti hari memaksa Gala terbiasa menjalani kehidupanya di negara belanda. Bergaul dengan orang-orang asing yang sama sekali tidak pernah ia kenali sekalipun. Untuk anak seperti Gala hal itu bukanlah hal yang susah. Dia cukup pandai untuk berbaur dengan sekitar.“Gala!” Suara seseorang dari ambang pintu mengalihkan tatapan Gala yang sedang duduk pada bangku perpustakaan. “There’s a phone for you!” (Ada telepon untuk kamu.) Wanita berambut kecoklatan itu mematung di ambang pintu perpustakaan seraya melemparkan senyuman hangat pada Gala.Gala mengangguk le
Bagaikan guntur yang menyambar di siang bolong. Lelaki berseragam putih itu tidak bisa memastikan kapan Asma akan sadarkan diri dari koma.Wisnu terhuyung, tubuhnya mendadak kehilangan tenaga. Seluruh persendiannya melemas, tidak mampu menopang tubuhnya. Tatapan matanya mendadak berkabut. Genangan air mata dengan cepat memenuhi pelupuk. Membuat pandangannya meramun."Bagaimana jika kami membawa istri saya berobat ke luar negeri saja, Dok?" ucap Wisnu dengan nada terbata. Ia terus menguatkan diri demi Asma.Sepersekian detik lelaki yang selama satu bulan ini menangani Asma tidak bergeming. Menatap serius dengan wajah berpikir pada Wisnu."Bisa saja, tetapi ...?" Lelaki berseragam putih itu menggantung kalimatnya.Degupan jantung Wisnu semakin berdebar. Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya. Takut jika kalimat yang keluar dari bibir lelaki di depannya adalah sebuah kabar buruk yang akan kembali ia dengar.Wisnu menarik tubuhnya ke dekat meja. Ingin memastikan sepasti-pastinya. "
Suara isakan sesekali terdengar dari lelaki yang berdiri di samping Danil. Hatinya terasa sakit setiap kali melihat wanita yang terbaring di atas ranjang. Sesak dan perih menjalar hingga ulu hati. “Aku tau ini pasti tidak mudah untuk kamu, Wisnu!” ucap Danil memecah keheningan yang tercipta. Tatapan matanya tertuju pada Asma yang terbaring di atas ranjang.Helaan nafas panjang Wisnu terdengar. Senyuman getir terulas pada susut bibirnya. Serka mengangguk lembut, lelaki berlesung pipi itu menyeka air mata yang membasahi pipinya. Danil memutar tubuhnya secara sempurna ke arah Wisnu. “Lalu apakah kamu akan membiarkan istri mudamu tinggal di sini? Lalu bagaimana jika nanti Asma sadar dari koma dan melihat kehadiran istri muda kamu. Aku pikir itu bukanlah ide yang bagus?” Danil melipat kedua tangannya di depan dada menjatuhkan tatapan serius pada Wisnu. Wisnu mendengus berat. “Tidak seperti itu Danil. Ini hanya semetara waktu.” Wisnu menjeda ucapannya. “Aku tidak mungkin membiarkan Natas
Tidak ada yang bisa menyembuhkan kerinduan kecuali pertemuan. Segalanya nelangsa sirna, saat raga mampu mendekap tubuh yang terkasih secara sempurna. Jarak yang membelah, kini hanya menjadi sepenggal cerita manis. Melebur menjadi sebuah kisah bahagia."Ibu!" Gala terisak di dalam pelukan Nada. Tangis dua manusia yang tidak memiliki hubungan darah itu pecah. Menumpahkan segala dahaga yang selama ini tertahan."Maafkan ibu, Gala!" lirih Nada di sela-sela tangisannya. "Jangan tinggalkan ibu!" pinta Nada, memohon.Gala mengusap lembut pipi Nada yang basah oleh air mata. Menjatuhkan tatapan teduh pada wanita yang lebih tinggi darinya itu."Tidak Bu, aku tidak akan meninggalkan ibu!" ucap Gala, suaranya terdengar sumbang. Karena terlalu banyak menangis.Wisnu yang mematung di halaman rumah hanya terdiam seraya menarik sebelah sudut bibirnya tersenyum kecil. Ia tidak menyangka jika darah dagingnya bisa sesayang itu pada Nada. Wanita yang telah ia benci selama ini._____Satu bulan telah berl
Nada memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Melihat ke arah wanita dengan setelan seragam kerja yang sedang menatap ke arahnya."Saya sedang mencari pemilik apartemen ini?" Nada mengarahkan jari telunjuknya pada pintu apartemen yang ada di depannya."Saya pemilik apartemen ini!" jawab Hanum dengan tatapan sedikit bingung. Tetapi entah mengapa ia merasa pernah melihat sosok Nada sebelumnya. Tetapi lupa di mana ia pernah melihatnya.Kepulan asap putih dari gelas yang berada di depan Nada menyeruak ke udara. Aroma terapi Jasmine sedikit menghilangkan perasaan khawatir yang sejak tadi melanda hati Nada."Saya Nada, saya mencari keberadaan Gala?" seloroh Nada setelah meletakkan gelas teh yang baru saja ia sesap.Wajah Hanum berubah sesaat. Tatapan yang sulit sekali untuk Nada artikan."Apakah anda orang itu?" celetuk Hanum menebak. Puzzle kisah cinta segitiga Wisnu, Asma dan wanita yang duduk di sudut bangku ruangannya telah sempurna. Sekarang ia bisa membingkainya dengan baik.Dari pert
Cuaca panas tidak hanya terjadi di kota Medan. Hampir di seluruh kota yang berada di Indonesia. Hal seperti ini akan terjadi selama kurang lebih enam bulan ke depan. Hingga musim kemarau berakhir dan berganti dengan musim penghujan.Pengacara Arif membawa Nada menuju sebuah restauran cepat saji yang berada di pusat kota. Sebuah restoran yang menjual makan khas Padang."Nyonya mau makan apa?" ucap pengacara Arif mengalihkan tatapannya dari buku menu pada Nada. "Terserah Pak Arif saja," balas Nada tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Wanita itu melipat kedua tangannya di atas meja. Netranya terus mengawasi Sekertaris Arif yang semakin lama menjadi salah tingkah oleh tatapan Nada.Setelah memesan makanan lelaki itu mulia dengan tujuannya untuk mendatangi Nada ke pulau seberang.Wajah pengacara yang tidak lagi muda itu berubah lesu, penuh dengan penyesalan. Sesekali ekor matanya melirik pada Nada yang sejenak tadi mengawasinya dengan tatapan tidak suka."Saya minta maaf, Nyonya Nada. Karen
Tubuh Gala terhuyun jatuh di lantai. Wisnu tidak sempat menghalangi peluru yang hendak menembus dada Gala. Timah panas itu melesat cepat dan berhenti tepat di jantung Gala."Gala, bangun Gala!" Wisnu menarik tubuhnya Gala di atas pangkuannya. Dar*h dengan cepat menyebar pada bagian dada Gala yang tertembus timah panas. Kemeja putih yang Gala kenakan, berubah warna menjadi merah dar*h"Polisi, tolong!" teriak Wisnu panik.Wajah Danil mendadak berubah cemas. Para polisi yang sejak tadi memang mengintai cepat mengeluarkan diri dari persembunyiannya. "Sialan!" decak Danil meradang. Beberapa lelaki berseragam kepolisian muncul satu persatu masuk ke dalam ruangannya."Gala, bangun Gala!" Wisnu mengucang tubuh' Gala. Nafasnya yang mulia melemah membuat Wisnu semakin takut.Kedipan mata Gala melemah. Sakit yang mendadak menyiksanya, perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya."Ibu ....!" lirih Gala sebelum akhirnya ia memejamkan kedua matanya dan tidak sadarkan diri."Gala, bangun!" teriak Wisnu
Memilih tidak menceritakan apapun pada Wisnu adalah pilihan Gala. Sekalipun lelaki itu terus mendesaknya dan hampir seperti memaksa. Tetapi Gala tetap menyimpan permasalahan yang terjadi antara dirinya dan Danil sendirian.Berita kematian Gala semakin menyebar luas. Setelah sebulan berlalu di temukannya mobil yang Gala kendarai meringsek ke dalam jurang. Meskipun jenazah Gala tidak di temukan, tetapi media membuat berita sedemikian rupa. Jurang yang dalam menjadi dugaan tempat jasad Gala berada. Apalagi di bawah jurang itu ada aliran sungai yang cukup deras. Membuat pihak sars menyudahi pencarian setelah semua usaha tidak mendapatkan hasil.Selama pemulihan Gala memilih bersembunyi di rumah Wisnu. Hanya lelaki itulah yang menjadi andalan Gala saat ini. Menghilang dari Danil agar lelaki itu senang karena mengetahui jika Gala telah tiada."Sudah tidak terlalu sakit, Hanum!" suara yang terdengar seperti rengekan itu menghentikan langkah kaki Wisnu yang hendak menuju pintu utama rumah.Ke
Aroma anyir menusuk pangkal hidung Wisnu. Perlahan setelah kesadarannya kembali. Tetapi entah mengapa kepalanya terasa sangat sakit sekali. Tanpa sadar, tangan kanan Wisnu memegangi sudut pelipisnya. Dan ia bisa merasakan ada sesuatu yang keluar dari pelipis lelaki itu dan sangat perih sekali.Wisnu membiarkan tubuhnya terbaring di atas rerumputan beberapa saat. Rekaman kejadian yang terjadi beberapa saat yang lalu berputar kembali di dalam kepalanya. Bergegas ia bangkit saat teringat dengan Gala dan mobil yang terperosok hampir masuk ke dalam jurang."Gala, di mana dia?" Wisnu bangkit dengan wajah panik duduk di atas rerumputan. Tatapannya menyapu ke sekeliling tebing. Tetapi ia tidak melihat keberadaan Gala. Hanya sebuah mobil yang terangkut pada pohon yang ada di bibir jurang.Perasaan khawatir seketika menguasai Wisnu. Seingatnya sebelum mobil yang kini tersangkut pada pohon yang berada di tepi jurang itu meringsek, Wisnu telah mendorong tubuh Gala ke arah pintu. Tetapi dia tidak
Setelah Danil menolak ajakan sarapan paginya, Gala terpaksa menikmati serapan itu sendirian. Sebenarnya ia tahu, pasti Danil saat itu sangat marah karena niatannya untuk menyingkirkan Gala tidak berhasil. Sementara nasib Bibik, Gala belum tahu pasti. Yang jelas wanita itu pasti kena hukuman berat. Begitu dugaan Gala.Ekor mata Gala melirik pada jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Masih ada waktu yang cukup lama untuk ia berangkat ke kantor.Rasa penasaran masih menganggu pikiran Gala. Tegang surat wasiat yang Nada katakan kepadanya. Jika sebenarnya dirinyalah pewaris utama seluruh harta Tuan Seno. Tetapi sampai detik ini, Gala tidak menemukan di mana lelaki bertubuh jangkung itu menyembunyikan surat wasiat itu.Cukup pelan Gala menyeret langkah kakinya menaiki anak tangga menuju kamar Danil. Dugaan Gala kali ini, Danil menyembunyikan surat wasiat itu di dalam kamarnya. Hanya ada dua tempat di rumah itu yang memungkinkan Danil menyimpan sesuatu. Yaitu ruang ke
Bergegas Gala turun dari bangku. Memperhatikan dengan seksama kucing berwarna orange yang mendadak kejang dengan mulut berbusa. Melihat dari tanda-tandanya kucing itu sepertinya mengalami keracunan."Tidak salah lagi!" guman Gala yakin dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Jika ada seseorang yang menginginkannya mati.Gala bangkit berdiri. Tatapannya tajam melihat ke arah makanan yang tersaji di atas meja makan. Beruntungnya belum ada satupun makanan yang masuk ke dalam mulut Gala. "Aku harus lebih berhati-hati lagi!" monolog Gala dengan tatapan serius.____Danil menatap terkejut saat baru kembali ke rumah. Pemuda tampan itulah yang membukakan pintu rumah untuknya. Keringat dingin seketika membahasi sekujur tubuh Danil.Sepersekian detik Danil mematung di depan pintu rumah. Menatap pada Gala yang tengah melemparkan senyuman kepadanya dengan wajah yang sedikit malas khas seorang yang baru bangun dari tidur."Ayah, kenapa pulang larut malam sekali?" seloroh Gala terdengar malas. Ke
"Gala kamu kenapa?" seloroh Wisnu.Gala terseret kembali dari lamunannya. Sekarang ia sudah menemukan siapa wanita yang sudah melahirkannya ke dunia. Jawaban yang sudah sangat jelas sekali.Tidak terasa sudut mata Gala pun telah basah. Cepat ia mengusap genangan itu agar tidak berjejak. Ia tidak ingin Wisnu melihat hal itu.Bagaimana tidak sakit, menemukan wanita yang telah melahirkannya tetapi dalam perpisahan yang menyakitkan. Hanya sebait kenangan yang bisa Gala ingat. Jika Asma juga tidak kalah sayangnya kepadanya. Hingga hampir gila saat Nada mengambil Gala dari kehidupannya."Aku banyak sekali bersalah pada Asma." Helaan nafas Wisnu terdengar jelas. Suaranya yang menggelar terdengar penuh kesedihan.Kerongkongan Gala terasa kering. Hanya sedikit ia menelan salivanya. Selebihnya, tatapan matanya tidak beralih sedikitpun dari Wisnu."Memangnya kesalahan apa yang sudah Om Wisnu lakukan?" ucap Gala."Banyak Gala. Kesalahanku sudah tidak termaafkan oleh Asma." Tatapan mata Wisnu meli