Sebuah alamat tertulis pada pesan yang muncul pada layar ponsel Asma. Beberapa kali ia mencoba menghubungi nomor sang pengirim pesan. Tetapi tetap saja, nomor itu sama sekali tidak menjawab panggilan Asma."Apa maksudnya ini?" gerutu Asma mengeryitkan dahi. Benaknya dilanda rasa penasaran yang hebat. "Apakah aku harus mendatangi alamat ini?" monolog Asma pada dirinya sendiri. Sejenak ia nampak berpikir apa yang harus ia lakukan._____Taksi online yang Asma pesan sudah menunggu di luar pintu pagar rumah. Cepat, Asma berjalan' menuju ke arah pintu rumah. Tekadnya sudah bulat untuk mendatangi alamat rumah yang seseorang kirimkan kepadanya. Pasti ada suatu di sana."Nyonya mau kemana?" Asma tertangkap basah. Saat ia hendak keluar dari pintu rumah. Tiba-tiba Bibik mengangetkannya.Asma memutar tubuhnya ke arah Bibik. "Ehm, aku sedang ada janji dengan teman, Bik!" Jawab Asma dengan nada mengeja. Wajahnya terlihat gugup sekali.Kedua alis Bibik berkerut seketika. "Nanti kalau Tuan mencari
Sebuah alamat tertulis pada pesan yang muncul pada layar ponsel Asma. Beberapa kali ia mencoba menghubungi nomor sang pengirim pesan. Tetapi tetap saja, nomor itu sama sekali tidak menjawab panggilan Asma."Apa maksudnya ini?" gerutu Asma mengeryitkan dahi. Benaknya dilanda rasa penasaran yang hebat. "Apakah aku harus mendatangi alamat ini?" monolog Asma pada dirinya sendiri. Sejenak ia nampak berpikir apa yang harus ia lakukan._____Taksi online yang Asma pesan sudah menunggu di luar pintu pagar rumah. Cepat, Asma berjalan' menuju ke arah pintu rumah. Tekadnya sudah bulat untuk mendatangi alamat rumah yang seseorang kirimkan kepadanya. Pasti ada suatu di sana."Nyonya mau kemana?" Asma tertangkap basah. Saat ia hendak keluar dari pintu rumah. Tiba-tiba Bibik mengangetkannya.Asma memutar tubuhnya ke arah Bibik. "Ehm, aku sedang ada janji dengan teman, Bik!" Jawab Asma dengan nada mengeja. Wajahnya terlihat gugup sekali.Kedua alis Bibik berkerut seketika. "Nanti kalau Tuan mencari
Tatapan mata Danil beralih pada benda pintar yang berkedip di atas meja. "Baiklah, apakah masih ada yang ingin ditanyakan?" ucap Danil menatap pada beberapa bawahannya yang berada di ruangan meeting bersamanya.Sepersekian detik Danil terdiam, menunggu jawaban. Tetapi tidak ada satupun yang menjawab."Jika tidak ada yang ingin ditanyakan. Saya nyatakan jika rapat hari ini telah selesai," ucap Danil.Berapa karyawan yang berada di ruangan berpendingin itu bangkit dari bangku dan meninggalkan ruangan meeting.Di dalam ruangan berdinding putih itu hanya ada Danil seorang. Setelah semua orang pergi. Satu tangan Danil terulur meraih benda pintar yang telah mati di atas meja. Jemarinya mengusap lembut pada layar ponsel. Mencari kontak nomor yang baru saja menghubunginya. Tapi tidak sempat ia jawab.Tut ... Tut ...Sambungan telepon terdengar dari balik telepon yang menempelkan pada telinga Danil. Sesaat kemudian, suara barito menjawab panggilan Danil di seberang telepon."Halo!" "Bagaimana
Langit masih sama. Tetapi tidak seperti hari kemarin. Mendung yang datang bergulung-gulung hilang bersama derasnya hujan yang turun. Menyisakan sisa-sisa air yang menggenang di pucuk dedaunan pagi ini. Kesedihan yang menyelimuti hati Gala perlahan berangsur sembuh. Meskipun sayangnya tidak mampu membuat luka itu hilang secara sempurna. Masih ada bekas luka yang mungki seumur hidup Gala tidak akan pernah bisa ia sembuhkan.Hari berganti hari memaksa Gala terbiasa menjalani kehidupanya di negara belanda. Bergaul dengan orang-orang asing yang sama sekali tidak pernah ia kenali sekalipun. Untuk anak seperti Gala hal itu bukanlah hal yang susah. Dia cukup pandai untuk berbaur dengan sekitar.“Gala!” Suara seseorang dari ambang pintu mengalihkan tatapan Gala yang sedang duduk pada bangku perpustakaan. “There’s a phone for you!” (Ada telepon untuk kamu.) Wanita berambut kecoklatan itu mematung di ambang pintu perpustakaan seraya melemparkan senyuman hangat pada Gala.Gala mengangguk le
Bagaikan guntur yang menyambar di siang bolong. Lelaki berseragam putih itu tidak bisa memastikan kapan Asma akan sadarkan diri dari koma.Wisnu terhuyung, tubuhnya mendadak kehilangan tenaga. Seluruh persendiannya melemas, tidak mampu menopang tubuhnya. Tatapan matanya mendadak berkabut. Genangan air mata dengan cepat memenuhi pelupuk. Membuat pandangannya meramun."Bagaimana jika kami membawa istri saya berobat ke luar negeri saja, Dok?" ucap Wisnu dengan nada terbata. Ia terus menguatkan diri demi Asma.Sepersekian detik lelaki yang selama satu bulan ini menangani Asma tidak bergeming. Menatap serius dengan wajah berpikir pada Wisnu."Bisa saja, tetapi ...?" Lelaki berseragam putih itu menggantung kalimatnya.Degupan jantung Wisnu semakin berdebar. Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya. Takut jika kalimat yang keluar dari bibir lelaki di depannya adalah sebuah kabar buruk yang akan kembali ia dengar.Wisnu menarik tubuhnya ke dekat meja. Ingin memastikan sepasti-pastinya. "
Suara isakan sesekali terdengar dari lelaki yang berdiri di samping Danil. Hatinya terasa sakit setiap kali melihat wanita yang terbaring di atas ranjang. Sesak dan perih menjalar hingga ulu hati. “Aku tau ini pasti tidak mudah untuk kamu, Wisnu!” ucap Danil memecah keheningan yang tercipta. Tatapan matanya tertuju pada Asma yang terbaring di atas ranjang.Helaan nafas panjang Wisnu terdengar. Senyuman getir terulas pada susut bibirnya. Serka mengangguk lembut, lelaki berlesung pipi itu menyeka air mata yang membasahi pipinya. Danil memutar tubuhnya secara sempurna ke arah Wisnu. “Lalu apakah kamu akan membiarkan istri mudamu tinggal di sini? Lalu bagaimana jika nanti Asma sadar dari koma dan melihat kehadiran istri muda kamu. Aku pikir itu bukanlah ide yang bagus?” Danil melipat kedua tangannya di depan dada menjatuhkan tatapan serius pada Wisnu. Wisnu mendengus berat. “Tidak seperti itu Danil. Ini hanya semetara waktu.” Wisnu menjeda ucapannya. “Aku tidak mungkin membiarkan Natas
“Ayolah, Dokter Gia, aku tahu kamu sedang membutuhkan banyak uang kan?” cetus Natasya seolah tahu betul dengan kondisi temannya itu. Wanita dengan kaca mata itu nampak semakin gusar. Sekalipun Natasya bukan seorang peramal tetapi wanita itu tahu apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. “Perusahaan suami kamu sedang terlilit banyak hutang, kan? Dan kamu pasti tidak ingin suami kamu pergi meninggalkan kamu, kan?” Dokter Gia seperti dikuliti mentah-mentah oleh Natasya. Sedikitpun wanita bertubuh padat itu tidak dapat mengelak dari semua tuduhan yang Natasya katakan kepadanya. Karena semuanya adalah benar. Dokter Gia adalah salah satu wanita yang sangat cinta mati pada suaminya. “Bagaimana?” tanya Natasya memecah keheningan yang tercipta.Dokter Gia mengalihkan tatapanya. Wajahnya nampak bimbang. “Tapi Nat, itu sudah menyalahi aturan,” keluh dokter Gia terdengar lirih. “Bagaimana jika Mama tau?” imbuhnya dengan wajah gelisah. Natasya membuang nafas panjang. Memutar bangku ke arah D
Suara teriakan Wisnu menggema di seluruh penjuru lantai bawah. Natasya yang baru menutup tubuhnya dengan selimut terkejut. Ia bergegas bangkit, berjalan menuju ke arah pintu kamar."Ada apa Mas?" sergah Natasya dari ambang pintu menatap ke arah lelaki yang berjalan cepat menghampirinya."Nat, tolong jelaskan padaku mengapa kamu belum mengganti infus Asma. Kamu sengaja ya melakukan hal itu?" Wisnu membulatkan kedua matanya. Menatap tajam pada Natasya yang tercekat di dalam pintu kamar yang terbuka."Sial, sial! Kenapa aku bisa lupa. Harusnya sebelum Mas Wisnu pulang aku sudah mengganti infus Asma," batin Natasya merutuki keteledorannya sendiri.Natasya mengaduh. Tangan kanannya memegangi kepalanya. Memasang wajah lesu. "Aduh Mas, maafkan aku. Seharian ini aku ketiduran. Sepertinya bawaan bayi yang sudah mulai besar ini Mas. Maafkan aku ya Mas!" lirih Natasya memasang wajah penuh penyelesalan di depan Wisnu.Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Wisnu. Lelaki itu berdecak kesal. Memu