"Mau ke mana, Nduk?" tanya Bu Nyai. Inamah meraih tangan Bu Nyai dan mencium takzim punggung tangan perempuan itu. "Mau ke luar. Ada keperluan fotokopi.""Emang, di belakang nggak ada? Bukannya Pak Syamsul jaga fotokopi?" Pak Syamsul adalah salah satu petugas di Pondok."Lagi rusak. Masih diperbaiki. Mungkin, seminggu lagi baru bisa jalan lagi." Kali ini Fatih yang menyahut. "Oh." Bu Nyai mengangguk. Inamah tak enak. Ia hendak pamit. Tapi kemudian dicegah oleh Bu Nyai. "Bareng sama Ibu aja, ya? Kita naik mobil. Kasihan anak kamu. Di luar panas." Antara ingin menerima atau menolak. Sama-sama ada rasa segan. Inamah kemudian memilih mengangguk. Setuju saja. *** Canggung. Begitulah yang Inamah rasakan. Sejujurnya ini pertama kalinya ia naik ke dalam mobil Bu Nyai. Terlebih ada Fatih yang sedikit banyak membuat hati Inamah berdebar tak keruan. Ah, pemuda tampan yang menjadi idola para santriwati. Siapa yang tak tergoda oleh pesonanya. Ditambah suaranya yang merdu. Astagfirullah
Diblokir Tetangga 68"Jadi, mau berapa lembar kopian, Mbak?" tanya tukang fotokopi pada Inamah."Masing-masing lima lembar.""Oh, iya, siap." Petugas fotokopi lantas menekan tombol hinga terdengar mesin melakukan pekerjaannya. Sambil duduk menunggui, dengan menatap kedua mata Kia yang terbuka. Inamah tersenyum kecil. Mencandai putri kecilnya itu."Kita ke Bu Bidan, ya, Nduk?" ujar Inamah lirih. Mumpung sekalian ke luar. Ia akan pergi mencari klinik bidan terdekat. Pesan Bu Nyai tadi, sedikit banyak membuat Inamah kepikiran. Tak ingin melupakan hak sang putri. Juga tak ingin dianggap abai dan lalai pada tanggung jawabnya. Satu kecupan di kening ia berikan pada Kia. Lalu menghujamnya di kedua pipi. Tawa berderai dari wajah malaikat kecilnya itu, menjadi hiburan tersendiri di kala sendu menghampiri. Dalam hati, Inamah dirundung kalut yang tak bertepi karena kabar yang Bram sampaikan. Bagaimana pun, Ibu mertua adalah orang yang harus ia hormati. Suka atau tidak. Fakta berkata demikian
Sudut lain di Kota Surabaya, sebuah bangsal dengan alat medis menyahut satu sama lain di dalamnya. Hati seorang anak tengah diselimuti duka. Bram Ari Pratama. Mengembus napas kasar. Sesekali memijit kening sendiri. Bram tengah gelisah. Mondar mandir di depan kamar inap sang Ibu. Hatinya tak tenang, meski berkali-kali Lastri mencoba menenangkannya. Mengusap punggung, membisikikkan kata-kata yang mungkin bisa menawar gundah karena kepikiran sang ibu."Tenanglah, Mas. Jangan khawatir. Dokter pasti berusaha yang terbaik. Ibu bisa diselamatkan.""Nggak bisa, Dek. Ya Allah! Hati Mas nggak tenang!" "Sabar, ini ujian buat kamu, Mas. Tenanglah." "Ujian?" Bram tersenyum pahit. "Semoga ini benar ujian. Bukan hukuman yang Allah berikan." Lastri diam. Calon suaminya itu pasti teringat pada sang mantan istri. Inamah. Dalam hati Lastri, ia terkekeh geli. Bahagia melihat Bram frustrasi. Ah, nasibnya bahkan jauh lebih buruk. Tak hanya diasingkan. Aib pun Lastri bawa hingga ke luar perkampungan.
Di teras belakang pondok, tepatnya dekat pintu kamar Mirna. Inamah tengah duduk sambil memangku Kia, putri kecilnya. Ia menimang gadis kecilnya itu, mencandai hingga terasa lepas sudah beban dalam hatinya. Sesekali terdengar suara gemerisik dedaunan berpadu dengan bunyi nyaring binatang malam."Mashaa Allah, indah banget, ya, Nduk. Lihat di atas sana. Kerlap-kerlip cahayanya." Dipandanginya pekat langit malam yang bertabur bintang. Diangkatnya tangan ke atas, Inamah menunjuk dengan telunjuknya, berbicara pada Kia, seolah gadis kecilnya itu tahu apa yang ia ucapkan. Semilir angin berembus pelan, mengusap wajah lembut Inamah. Menimbulkan sensasi segar yang menyenangkan. Menjadi abdi dalem pondok bukan sekadar pilihan. Inamah tak memiliki tempat lain selain Pondok Pesantren As Salam ini. Selain itu, ia merasa tenang di sini. Anaknya akan tumbuh di lingkungan yang kental dengan nuansa agamanya. Meski ada pekerjaan berat yang harus Inamah lakukan. Menyiapkan makan, pergi belanja, bersih-
Kamu berangkat jam berapa, In?" Pertanyaan Mirna membuat Inamah terhenyak dari lamunannya. Ah, ia merindu masa nyantri dulu. "Nanti agak siang, Mbak." Inamah melanjutkan kegiatannya. Jika di luar gaduh persiapan mandi, Inamah dan Mirna justeru sibuk di dapur. Menyiapkan sarapan pagi. "Sama siapa?" tanya Mirna. "Sendirian aja, Mbak.""Bukannya sama Ustazah Shafa?" tanya Mirna lagi. Inamah menggeleng. "Enggak, Mbak. Saya tahu niat beliau baik. Tapi, saya juga harus menjaga marwah beliau. Ini menyangkut urusan rumah tangga saya. Apalagi kalau sampai ada Mas Fadhil. Apa komentar orang nanti?" Mirna tersenyum kecil. Inamah sudah biasa begitu. Pandai menjaga diri dan juga orang lain. "Baguslah kalau gitu. Semoga Allah berikan kemudahan.""Aamiin."*** Seperti rencana di awal. Pukul sembilan, usai mengerjakan pekerj
Di depan rumah sakit. Inamah menghubungi Bram. Ia tidak tahu di mana ruangan Ani. Mau atau tidak mau, ia terpaksa menghubungi lelaki itu. "Assalamualaikum, Mas. Ruangan Ibu di mana?" "Wa alaikumussalam. Ya Allah, kamu jadi ke sini, Dek?" Suara Bram terdengar sangat bahagia. Inamah mengembus napas. Sudah jengah rasanya."Iya. Aku di depan pintu utama. Kasih tahu saja ruangan Ibu di mana?" tanya Inamah tak sabaran. "Aku susul sekarang. Tunggu!" Tut!Panggilan diakhiri oleh Bram. Tanpa salam ataupun sahutan dari Inamah. Mungkin benar, karena saking senangnya. Bram mengusap wajahnya kasar. Lelah menunggui Ani akan terbayar karena apa yang ia rindukan telah datang sendiri. Bohong jika ia baik-baik saja tanpa Inamah. Sekali pun ada Lastri, yang kini sedikit banyak telah mengisi hari-hari Bram. Tetap saja, Inamah masih yang utama.Dan berharap akan selamanya b
Aku melihatnya. Istriku. Ia datang lagi. Setelah berminggu tak bertemu karena ia kabur dari rumah. Tidak, bukan kabur sebenarnya. Melainkan kuusir.Ah, betapa aku bodoh sekali. Bukannya mengendapkan masalah agar bisa berpikir jernih. Aku justeru memperkeruh suasana hati Inamah. Begitu mudah diri ini tersulut emosi, hingga berlian kesayanganku itu pergi dan tak lagi kembali.Ia bahkan mengancam akan menggugat cerai. Rabbi ....Tidakkah aku memiliki kesempatan untuk kembali? Andai Inamah tahu, bahwa aku telah ditipu Lastri. Rencana jahatnya yang busuk menjeratku, ia bahkan terang-terangan melukai ibuku.Aaaargh! Sialan! *** Penyesalan memang menyakitkan, tapi itu adalah sebuah kenyataan. Inamah masuk ke dalam ruang rawat inap Ani. Ia melangkahkan kaki dengan perlahan. Ada pedih merambati hati. Bagaimanapun, Ani sudah ia anggap seperti orang tuanya sendiri. Tak sampai hati saa
"Dek ... maafin, Mas. Kamu sudah termakan hasutan. Mas dijebak, Dek." Kalimat Bram patah-patah."Dijebak? Haha, jangan berdusta, Mas." Inamah sedikit terbahak sambil mundur satu langkah ke belakang. Beruntung ia sudah menuruti kata hatinya tadi. Menuju pengadilan agama lebih dulu. Benar dugaannya. Ada drama saat bertemu dengan Bram. Sudah muak ibu satu anak itu. "Dek. Harus bagaimana lagi menjelaskan semua ini sama kamu?" Masih dengan menekuk lutut, Bram maju ke depan. Dipeganginya lutut Inamah. "Bangunlah! Jaga kehormatan dirimu, Mas. Jangan begini! Ini di rumah sakit!" Inamah risih. Ia baru sadar bahwa dalam ruangan ini ada beberapa pasang telinga yang mendengar. Tadi, tanpa sengaja kedua mata Inamah menangkap seseorang menyibak tirai dari bilik pasien di sebelah. Akibat terbawa suasana. Inamah sampai lupa bahwa ia telah membuka aib di depan orang lain. Meski tanpa sengaja. Cepa