Keterangan yang diberikan pemuda tampan di depannya sedikit membingungkan Sari. Biasanya, Dinda akan menceritakan setiap orang baru yang ia temui di kampus. Lebih lagi, jika orang itu memiliki penampilan yang sangat tidak biasa dari orang lain. Dan pria muda di depannya memiliki penampilan yang cukup mencolok, dan Sari yakin, jika pria ini adalah tipe-tipe yang sesuai dengan selera Dinda. Anehnya, mengapa Dinda tidak pernah menyinggung pria ini di depannya? Apakah sengaja dirahasiakan darinya?"Mengapa Dinda tidak pernah cerita tentang kamu?"Arya tidak menyangka akan mendengar pertanyaan seperti itu. Apakah itu artinya Dinda sangat terbuka dengan keluarganya? Termasuk siapa saja orang yang dekat dengannya di kampus? Atau siapa saja yang menarik perhatiannya akan ia ceritakan kepada orang tuanya? Dan dirinya tidak menarik sama sekali bagi Dinda hingga ia tidak diceritakan kepada orang tuanya?Arya tersenyum kecut. "Saya tidak menonjol seperti yang lain, Bu. Lebih banyak diam daripada
"Kenapa dia bisa kenal kamu, sedang kamu tidak? Katanya dia ada di bimbingan yang sama dengan kamu, dan dia menganggap kamu sebagai seniornya."Senior? Dinda benar-benar tidak tahu siapa yang dimaksud oleh Sari."Dinda nggak paham deh, Ma. Siapa sih? " Dinda mulai penasaran. Perasaannya, ketampanan teman-temannya di kampus berada di level standar semua. Tidak ada yang di atas rata-rata."Bener nggak ada yang ganteng di kampus kamu?" Sari mengulang pertanyaannya. Ia meragukan jawaban putrinya sendiri. Tidak mungkin'kan pria muda tadi berbohong padanya?Dengan yakin Dinda menggeleng. "Kalau ada yang ganteng, tampan dan rupawan, pasti udah Dinda deketin, Ma. Kenyataannya emang nggak ada kok."Sari masih belum menceritakan secara komplit tentang pertemuannya dengan Arya. Ia ingin melihat reaksi Dinda lebih dulu. Termasuk ponselnya yang sedang diservis. Mengapa putrinya itu tidak mengatakan yang sebenarnya?"Buruan selesaikan makannya. Papa keburu ngantuk nanti.""Kita bawa sopir aja, Ma.
"Tunggu di sini?" Dinda mengulang perkataan Arya.*Iya. Tunggu di sana."Pak Arya mau datang kemari? Jangan deh, Pak. Sudah malam. Mending Pak Arya istirahat saja di rumah. Lagian saya nanti tidak sendiri. Ada mama juga nanti."*Ssst. Udah. Jangan banyak protes. Arya mematikan sambungan telponnya. Ia tidak mau mendengar penolakan Dinda. Arya sebenarnya sudah bersiap mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur, namun pesan singkat Dinda mengurungkan niatnya. Tiba-tiba saja, terlintas ide untuk menyusul Dinda ke rumah sakit. Mumpung ada kesempatan untuk mendekati gadis itu. Mungkin saja, kesempatan itu tidak akan datang untuk kedua kali.Arya meraih jaket kulit yang tergantung di balik pintu kamarnya. Ia bergegas keluar kamar dan menuruni anak tangga dengan sedikit terburu-buru.Saat itu, kebetulan Anggun baru saja keluar dari kamarnya, hendak mengisi termos air di dapur."Mau kemana? Sudah malam begini?" Anggun tampak keberatan."Ada teman Arya yang masuk rumah sakit, Ma.""Oh. Baru saja
"Berikan alamat rumah sekarang." Dinda tidak berkutik. Apakah ia harus mengabulkan permintaan pria di depannya? Memberikan alamat rumahnya atau ia gunakan saja ide Mita? Memberikan alamat palsu? Toh, Arya juga tidak mungkin akan benar-benar datang ke rumahnya."Jangan pernah memberikan keterangan yang tidak jujur. Bisa-bisa kamu kualat di belakang," ancam Arya.Dinda berjingkat. Apakah rencananya tertulis jelas di keningnya?"Baiklah. Saya akan memberikan alamat saya tapi tidak sekarang. Nanti saja kalau saya sudah di rumah lagi. Saya akan berbagi lokasi dengan Pak Arya.""Lokasi rumah. Bukan lokasi tempat kamu hang out.""Iya-Iya, Pak. Bapak bisa memegang kata-kata saya." Dinda akhirnya menyerah. Arya melihat ke arah jam dinding yang terletak tepat di atas tempat tidur Dani. Jarum pendek sudah berada tepat di angka dua belas. Dinda yang sejak pembicaraan terakhir fokus pada layar ponselnya, membuat Arya curiga. Apa yang menarik perhatian gadis itu?"Ini. Seharusnya jangan berpose se
"Calon suami? Spill dong wajah calon suami gua." Dinda menantang balik Dani. Mentang-mentang dirinya baru saja bangun dari mimpi indahnya, bukan berarti dia dengan seenaknya bisa dijadikan bahan olok-olokan. Terlebih lagi, di ruangan itu ada Arya, dosen pembimbingnya, meski pria itu tidak datang dengan statusnya sebagai dosen."Bukannya dia calon suami kamu?" Dani menunjuk ke arah Arya dengan lirikan matanya.Dinda terkejut. "Pak-Pak Arya tidak mengatakan yang tidak-tidak, bukan?""Issh. Berisik. Nggak usah ditutupi lagi. Besok pagi, kamu harus mengenalkannya pada mama dan papa. Nggak usah lama-lama. Bahaya.""Tsk. Berisik. Kalau belum tahu yang sebenarnya nggak usah ikut-ikutan.""Nggak tahu gimana? Orang jelas-jelas dia datang malam-malam begini, buat nemenin kamu tugas jaga di sini. Masa belum 'ngeh' juga?" Dani gemas bukan main dengan Dinda yang tulalit untuk urusan begini. Ia tidak bisa memarahi Dinda, karena adiknya itu memang tidak pernah menjalin hubungan dengan pria mana pun.
"Dua minggu lagi, saya akan datang menemui orang tua kamu."Dinda menggelengkan kepalanya. Kalimat itu terus saja terngiang di kepalanya. 'Pak Arya pasti bohong. Beliau pasti tidak akan datang. Itu hanya isapan jempol saja. Tidak perlu diambil pusing.' Dinda berbicara dengan dirinya sendiri.Dinda mulai merasa perasaannya tidak baik-baik saja, sejak Arya meminta alamat rumahnya tadi siang. Antara senang dan tidak percaya. Ia tidak sadar jika Sari dan Broto terus saja mengawasinya. Sari dan Broto datang saat Dinda dan Arya tengah sarapan di warung sebelah rumah sakit.Dani yang sudah kembali tidur, tidak mengetahui kedatangan Sari dan Broto. Tidak berselang lama, Dinda sudah kembali ke ruangan Dani. "Darimana?" Broto menatap Dinda yang masih menggelengkan kepalanya saat melangkah masuk ke dalam ruangan Dani."Loh?! Papa sudah sampai di sini. Mama juga." Dinda menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi terkejut. Akibat memikirkan Arya, Dinda tidak fokus dengan orang-orang di sekeliling
Dinda langsung membersihkan dirinya begitu tiba di rumah. Ia berendam sebentar, menghilangkan rasa penat dan capek yang mendera tubuhnya sejak kemarin malam. Ponsel sengaja ia bawa, untuk berjaga-jaga jika orang tuanya tiba-tiba menelpon. Disaat Dinda sedang menikmati harumnya aromaterapi yang membuat tubuhnya rileks, ponselnya berbunyi. Dinda membuka kedua netranya. Arya? Pak Arya? Dinda segera bangun dari posisinya yang setengah bersandar di bathup. "Iya, Pak?" *Sudah di rumah? "Baru saja sampai. Ini sedang mandi." *Sedang mandi? Arya mengulangi ucapan Dinda yang tidak sadar telah menceritakan keadaannya sekarang. 'Astaga! Salah ngomong lagi!' jerit Dinda panik. Arya terkekeh. Ia tahu jika Dinda secara tidak sadar mengatakan keadaan dirinya yang sedang mandi. Tsk. Arya justru membayangkan hal yang tidak-tidak. *Boleh vc nggak? "Astaga! Bapak mesum! Saya matikan!" Tut. Benar saja. Sambungan itu langsung diputus oleh Dinda. Gadis itu tidak tahan untuk tidak membayangkan
Anggun sedang menata ruang tengah saat Arya keluar dari kamarnya. Dermawan sendiri belum pulang dari kantor. Anggun memperhatikan Arya yang turun tergesa-gesa dari tangga. Wajah Arya pun terlihat tidak seperti biasanya. Ia khawatir jika putranya itu sakit. "Mau kemana lagi?" Anggun terus memperhatikan wajah Arya. "Mau ke kampus sebentar, Ma." Sebelum menyusul ke rumah sakit untuk menemani Dinda, Arya mampir ke kampus sebentar untuk memberi konsultasi pada beberapa mahasiwanya. Ia sudah terlanjur janji dengan beberapa mahasiswa untuk memberi mereka kesempatan berkonsultasi dengannya. Semula ia menjadwalkan bimbingan dan konsultasi akan berlangsung siang hari, akan tetapi, Arya merubah jamnya. Ia ingin tidur sebentar karena semalaman hanya tidur tiga puluh menit selama di rumah sakit. "Ma... Nanti Arya langsung ke rumah sakit. Nemenin teman yang kemarin masuk rumah sakit." "Lagi? Dia tidak punya saudara?" "Cuma satu, Ma." "Kalau bisa ya tetap pulang ke rumah, tapi kalau lebih b
Suasana kediaman Dermawan begitu ramai. Bagaimana tidak, hari itu diadakan acara syukuran sekaligus akiqah kelahiran dua cucunya. Seluruh tetangga di komplek mereka undang, tanpa kecuali. Bahkan tukang martabak, es doger dan tukang sate yang sering mangkal di dekat rumah mereka juga ikut hadir.Malam itu menjadi malam bahagia semua orang. Broto dan Sari pun hadir, termasuk orang tua Mita, Candra dan Susan. Kedua bayi mungil itu tidur pulas di boks masing-masing. Mereka sama sekali tidak terganggu. Pun saat keduanya diajak keliling setelah acara potong rambut. Kedua bayi itu hanya bergerak sedikit lalu kembali tidur. Dermawan mengadakan acara itu secara besar-besaran sebagai ungkapan rasa syukurnya karena Tuhan memberikan dua cucu sekaligus kepadanya dan Anggun, dan memiliki dua menantu yang sama-sama pintar dan cantik. Acara berlangsung meriah dan khidmat selama hampir dua jam. Menjelang sore, tamu mulai berkurang hingga tersisa keluarga besar beserta besan-besan Dermawan."Khusus
"M-Mas....!" seru Mita lebih keras karena Fahri masih tertegun dengan suara tangisan bayi yang baru saja ia dengar."Eh? Gimana? Sakit?" Ia langsung mendekatkan dirinya.Mita memejamkan kedua netranya. Ia kembali mengatur napasnya. Gelombang rasa sakit yang datang bertubi-tubi, tidak memberikan waktu sedikit pun untuk Mita beristirahat.Bulir keringat berdatangan memenuhi dahinya. Ia mulai merasa rasa mulas yang sangat hebat. "Nggak kuat. Sakit." Rintihan Mita membuat Fahri panik. "Kita operasi saja kalau begitu.""Hush! Nggak mau! Sakit.""Lah. Katanya tadi sakit. Nggak kuat. Ya udah kalau begitu operasi saja.""Nggak mau."Anggun yang tadi sudah berada di luar bilik Mita, kembali masuk. "Kenapa?" "Sakit, Ma." Wajah Mita sudah tidak seperti sebelumnya. Ia terlihat berusaha kuat untuk menahan rasa sakitnya akibat kontraksinya yang meningkat.Fahri panik dan menekan tombol berulang kali. Seorang perawat datang. "Bagaimana, Pak?""Sakit, Sus. Istri saya merasa sakit lagi.""Oh. Saya pe
"Bayinya sehat. Semoga bayinya sehat dan kuat ya, Bu Dinda." Ucapan yang samar terdengar, mengejutkan Mita. "Hah?! Itu Dinda yang dimaksud istri Pak Arya, bukan? Dinda sudah lahiran? Beneran udah lahiran?" Kedua netra Mita membola sempurna. Rasa bahagia tiba-tiba datang menyelimuti dirinya. Namun, dirinya tidak seratus persen yakin. "Terus Pak Arya kemana? Masa iya nggak nemenin Dinda lahiran?"Fahri tertegun. Masa iya, adik iparnya sudah melahirkan? Cepat sekali. Ia baru saja bertemu dengan Arya, dan tidak mengatakan apapun, kecuali ia harus segera menemani Mita."Dinda yang lain mungkin. Tadi masih aman-aman aja kok. Dia duduk di dalam nggak ikut keluar. Cuma da-da-da doang.'"Benarkah?" Mita tidak mau percaya begitu saja. Tiba-tiba satu tonjolan muncul di perutnya. Seakan mengerti kode yang diberikan dari dalam perutnya, Mita mengangkat alis kanannya. "Kalian ... ?""Apa? Kami tidak menyembunyikan sesuatu." Ia merasa pertanyaan itu diajukan padanya. Arya tadi mengantarkan tas ini
Mita masih menunggu kedatangan dokter kandungannya. Kali ini, ia merasa perutnya mengejang sesaat. Ada mulas yang tiba-tiba datang. Mita mendesis. Sakit apa ini? Perut bagian belakangnya terasa tegang. Kandungannya terasa turun sedikit, membuat Mita takut. Rasanya seperti akan jatuh.Mita mencari sosok Fahri, tapi tak kunjung ia temukan. "Kemana, sih? Istri sedang seperti ini kok malah pelesiran kemana-mana.""Dokter Susan sedang dalam perjalanan kemari." Perawat yang usianya nyaris separuh baya itu kembali masuk dan mengganti alas tidur Mita yang sudah basah dengan yang baru. "Kenapa sekarang terasa mulas ya, Sus?""Mulas?"Mita hanya mengangguk. Perutnya terasa begitu melilit, mulas seperti ingin buang air besar. Pertama hanya terasa mulas sebentar, kemudian rasa itu hilang. Namun, tidak berapa lama, rasa yang sama datang kembali, membuat Mita tidak lagi meringis, tapi sekaligus mendesis."Sudah sejak tadi atau baru saja?""Baru aja nih, Sus, dan sekarang aduh..." Mita memejamkan k
"Jangan lupa bawakan tas hijau.""Tas?" Arya belum paham kemana arah perintah kakaknya."Tsk. Cari saja tas warna hijau di samping meja rias."Dengan masih memegang ponsel, Arya bergegas ke kamar Fahri. Ia mencari tas hijau yang dimaksud dan berhasil menemukannya."Ada?" Fahri berjalan hillir mudik di depan resepsionis. Ia sedang mengurus kamar untuk Mita. "Done. Harus diantar sekarang?" Pria ini masih belum menyadari kepanikan yang dialami sang kakak."Satu abad lagi, bolehlah.""Ya udah kalau begitu ...""Jelas sekaranglah! Berangkat segera! Dinda tidak perlu ikut. Jangan cerita apapun!""Bagaimana bisa, orang sejak tadi dia menguping," sahut Arya melirik Dinda yang mengikutinya kemana pun dirinya melangkah."Pokoknya, suruh dia diam di rumah saja. Takutnya istrimu ikut panik.""Dia sudah panik." Arya mengusir Dinda secara halus namun, Dinda bergeming. Sorot matanya memaksa Arya untuk menceritakan apa yang sedang dibicarakan."Terserahlah. Sekarang segeralah meluncur kemari. Mama su
Dinda berjalan mengitari kamarnya. Rasa sakit mulai sering dirasakan. Untuk mengurangi rasa sakit, ia memilih untuk berjalan-jalan. Melihat pemandangan kebun belakang kediaman mertuanya, Dinda tiba-tiba ingin melihat kolam ikan di sudut taman. Ia berjalan keluar kamar lalu mengarahkan kakinya ke ruang keluarga yang langsung terhubung dengan kebun belakang."Kamu mau kemana?" Arya tiba-tiba mencegat Dinda."Mau kesana," tunjuk Dinda ke sudut taman. "Nggak kesakitan lagi?" Akhirnya, Arya memutuskan untuk menemani istrinya. Ia menggandeng tangan kiri Dinda, karena tangan Dinda sibuk mengusap perut besarnya. "Masih. Lebih sering malah. Apa mungkin malam nanti lahirannya?" "Kamu takut?""Sedikit. Gimana kalau nanti nggak kuat ngeden?" Hal yang sangat dikhawatirkan selama ini. Ia tidak mau menjalani operasi caesar. Ia sebelas dua belas dengan Mita. Sama-sama takut dioperasi."Bisa. Pasti bisa. Dedek bayinya diajakin ngomong terus.""Udah. Sudah sejak umur 3 bulan, tapi keliatannya posisi
Dengan sangat terpaksa, Dinda harus menyetujui usul Arya yang disertai dengan sedikit ancaman jika ia akan melapor kepada Sari soal ini. Nama Sari sangat keramat bagi Dinda, khususnya saat-saat seperti ini. Ia tidak mau proses persalinannya nanti menjadi tidak lancar, karena membuat suami dan mamanya menaruh kesal padanya. Ia ingin semuanya kelak berjalan lancar dan damai.Fahri menyanggah kepala Mita yang kini tertidur pulas di sampingnya. "Begini kok masih mau lanjut belanja."Arya terkekeh. "Biasalah. Tidak mengukur kemampuan. Maunya jalan terus padahal kaki-kaki sudah bengkak semua.""Bukan begitu, Mas. Maksud kita itu, biar sekalian jalan. Jadi besok-besok nggak usah belanja lagi," jelas Dinda yang masih terjaga. Ia memegang perutnya sambil sedikit meringis. Seketika ia ingat dengan pesan dari instruktur senam hamilnya, untuk menarik napas ketika kontraksi mulai dirasakan."Ada apa?" Arya rupanya menangkap gerakan Dinda. Ia melihat dengan tatapan khawatir."Nggak apa-apa. Seperti
Tujuh bulan berlalu. Kehamilan Dinda semakin besar. Berbagai macam petuah mempersiapkan kelahiran bayi mulai pagi hingga malam datang, terus saja didengungkan Anggun kepada Arya. Ia terus mewanti-wanti agar putra keduanya itu mulai mengatur jadwal yang mendukungnya menjadi suami siaga."Duh, Mama. Setiap hari itu saja yang dibicarakan. Arya sampai membuat buku sendiri untuk mencatat semua nasihat Mama." Arya segera mengeluarkan sebuah buku catatan berukuran tanggung dari tas kerjanya, lalu menyodorkan buku ke hadapan Anggun.Anggun tersenyum senang. "Anak pintar!""Tapi, kenapa cuma Arya saja yang dapat kuliah beginian?""Nah! Kamu protes?" Salah satu alis Anggun meninggi. "Yang kelahirannya sudah dekat kan kamu, kalau kakakmu masih enam minggu lagi. .""Yaa, Mama. Dulu waktu Dinda hamil muda, Mama juga begini. Segala macam diributin. Yang inilah-yang itulah," sungut Arya sebal. Tiba-tiba ia merasa telah diperlakukan tidak adil oleh Anggun. Ia tidak pernah melihat Fahri mengalami hal
"Selamat! Sebentar lagi, Pak Arya akan menjadi Ayah." Tangan putih sang dokter mengangsur ke depan, menyalami Arya yang masih bingung, mencerna kalimat barusan. Senyum tulus tidak lupa diberikan oleh Rizky.Dinda yang semula ternganga langsung tertawa kecil. "Dokter bercanda pasti. Masa iya saya hamil?"Ia tidak dapat menerima mentah-mentah kabar baik itu. Pernikahannya dengan Arya belum ada satu bulan masa iya dia langsung hamil. Berbeda dengan Arya. Rasa hangat mulai merayap ke dalam hatinya. Ayah? Benar ia akan segera menjadi ayah? "Saya tidak bermimpi?" Arya menyangsikan namun besar harapannya itu kabar nyata.Rizky mengangguk. Dokter muda itu memberi isyarat agar sang perawat memberikan test pack yang tadi digunakan untuk mengetes kandungan hormon hCG pada urine Dinda."Dua garis merah ini menunjukkan jika Ibu Dinda positif hamil. Usia kandungannya masih sangat dini. Sekitar satu minggu. Jadi, pesan saya jangan bekerja terlalu berat. Hindari mengangkat beban yang berat. Serahka